Suara Sinden dan Gayung

1199 Kata
Nalendra yang kebetulan berada di belakang pun secara otomatis menyalakan senter ponselnya agar bisa melihat apa yang terjadi di depan sana. Ternyata, Dewi terjatuh karena tersandung sebuah batu. Padahal, sewaktu mereka pergi ke rumah ibu Rahma, jalan setapak itu tampak bersih dari kerikil ataupun batu. Di depan sana, Pratiwi mencoba untuk membantu Dewi agar bisa bangkit kembali. Walaupun, kakinya terasa nyeri dan perih akibat luka. Tiba-tiba, Nalendra mendapatkan sebuah bisikan dari Anna. Hantu kecil itu mengatakan untuk berhati-hati, apalagi di belakang rumah itu. Informasi yang diberikan oleh Anna tidak lengkap, akhirnya membuat Nalendra tidak bisa menyimpulkan dengan baik. Setelah itu, Anna pergi hanya memberikan kata-kata takutnya untuk mengakhiri perjumpaan singkat itu. Sebenarnya, ada apa dengan belakang rumah? Pertanyaan-pertanyaan penuh teka-teki begitu memenuhi pikirannya, setelah kehadiran Anna. Padahal, sebelumnya dia mencoba untuk tetap berpikir positif walaupun mengetahui ada banyak makhluk astral dan aura yang negatif di sekitar rumah yang mereka tinggali. “Ndra, ayo,” kata Pratiwi yang menyadari jika Nalendra berhenti berjalan. Lima menit kemudian, mereka telah sampai di rumah itu. Mereka duduk di bangku dari bambu itu dengan pintu tertutup dan jendela yang ditutup. Mereka menyalakan ponsel lalu mencari kesibukannya masing-masing. Tepat pukul sebelas malam, Dewi tiba-tiba merasa kebelet membuang air kecil. Dia meminta bantuan Pratiwi agar ditemani untuk ke kamar mandi belakang rumah. Mereka berdua ke belakang, sedangkan Nalendra bersama Bram di ruang tamu sembari memainkan ponsel masing-masing. Sampai jam yang menunjukkan tengah malam pun mereka belum bisa tertidur. Alasannya mungkin klise, masih asing di tempat baru. “Wi, lo buang air apa ngapain?” tanya Pratiwi yang menunggu di depan pintu kamar mandi itu. Pratiwi mendengar suara yang terdengar begitu merdu dan melengking bersamaan dengan suara percikan air dalam gayung yang dibuang. “DEWI!” teriak Pratiwi yang merasa tidak enak dengan kondisi temannya. Apalagi, suara yang begitu merdu khas seorang sinden pun semakin nyaring di telinganya. Pratiwi menggedor pintu dari anyaman bambu itu dengan pelan sembari memanggil nama temannya, tapi sama sekali tidak ada jawaban. Bulu-bulu tangan dan kaki Pratiwi mulai berdiri. Air keringat mulai bercucuran membuat kacamatanya mengembun. Benar-benar panas dingin di situasi saat ini. Belum lagi, sifatnya yang memang penakut mulai membuat hati semakin tidak tenang. Lagi-lagi, suara itu terdengar dengan merdunya. Jika itu suara Dewi, sejak kapan Dewi memiliki suara yang merdu seperti itu? Memang, Dewi pun bisa menyanyi, karena memang kita mengambil seni. Tapi, suara Dewi bukan seperti itu. Tidak lama kemudian, Dewi telah keluar dari ruangan kecil itu. Dewi menatap Pratiwi dengan rasa penasaran. “Lo mandi di mana?” tanya Dewi sembari tertawa kecil seakan mengejek temannya. “Gila lo, gue takut. Ini masih gemetaran, lo ngapain sih di kamar mandi sambil nyinden?” sahut Pratiwi sembari melangkah masuk ke dalam rumah. “Hah? Nyinden? Mana mungkin, gue nyanyi saja cuman menguasai genre pop,” jawab Dewi sembari duduk di sebelah Nalendra. “Serius, kalian berdua dengar nggak sih? Tadi ada kaya suara orang nyinden?” tanya Pratiwi kepada Bram dan Nalendra. “Iya, gue dengar,” singkat Nalendra sembari mengingat perkataan Anna. Apa ini yang dimaksud Anna? Jika memang, iya, lebih baik mereka menghindari ke kamar mandi di saat waktu tengah malam. “Besok lagi, kalau tengah malam kebelet, enggak usah ke kamar mandi itu. Kalau bisa, sebelum magrib kalian harus sudah selesai memakai kamar mandi itu. Kalau perlu, nebeng aja di rumah ibu Rahma,” saran Nalendra agar kejadian seperti itu tidak terjadi lagi. Mereka memutuskan untuk segera memejamkan mata. Tidur dengan keadaan duduk di bangku itu. Sedangkan, Dewi dan Pratiwi memutuskan untuk tidur di dalam ruangan yang sudah mereka bersihkan tadi. Walaupun pikiran mereka berkecamuk, tetap saja mereka harus istirahat dengan banyak waktu. Padahal, porsi tidur mereka jelas saja sudah jauh berkurang. Sekitar pukul tiga dini hari, mereka terbangun untuk menjalankan salat sepertiga malam atau tahajud. Dewi dan Pratiwi sengaja membangunkan Bram dan Nalendra agar ikut ke belakang guna mengambil air wudu. Bersyukur, tidak ada gangguan apa-apa saat mereka mengambil air wudu. Tapi, ketika mereka ingin melaksanakan ibadah, tiba-tiba muncul bayangan putih di dekat pintu yang menghubungkan ke belakang rumah. Hati mereka terasa nyeri dan tidak bisa lagi untuk tinggal di rumah ini. Rasanya ingin pindah desa untuk kegiatan KKN, tapi mereka tidak bisa mengubah apa yang sudah disepakati. Lagi pula, mereka tidak ingin merepotkan Pak Didit atau warga sekitar. Jadi, mereka memilih untuk tetap mempertahankan diri agar tidak tergoda dengan setan. Selesai menjalankan salat tahajud, mereka membuat sebuah program yang akan dilakukan siang nanti bersama warga. Rencana, di hari pertama, mereka ingin berkeliling kampung dan mengajari anak-anak desa tentang pendidikan, terutama pendidikan seni yang harus dibudidayakan agar tradisi Indonesia tetap ada sampai kelak. Beberapa jam kemudian, waktu telah menunjukkan pukul tujuh pagi. Mereka bergegas ke rumah pak Arya untuk mencari tahu tentang desa yang mereka tempati saat ini. Pak Arya memilih untuk mengajaknya berjalan-jalan keliling desa. Mulai dari rumah ke rumah, jalan ke jalan, mereka berkeliling kampung dengan sukacita. Seru bertemu orang baru dan melihat aktivitas orang desa sebagai petani. Sawah yang hijau dan banyak sayuran yang ditanam, walaupun lara petani itu bekerja di bawah terik mentari, mereka tetap semangat agar kehidupan tetap berjalan. Andai saja tidak ada petani, makhluk satu bumi akan makan apa? Jadi, jangan pernah malu untuk mengakui profesi orang tua kalian, sekalipun sebagai petani. Tapi, ada satu hal yang membuat Nalendra merasa bingung. Ada satu jalan yang ditutup dengan palang dan diberi kain berwarna hitam. Pak Arya yang mengetahui tatapan mata Nalendra pun bisa menebak bahwa mereka sedang menerka-nerka tentang jalanan itu. “Jadi, kalian tidak boleh masuk ke dalam sana,” kata Pak Arya sembari berjalan. Sesekali tersenyum ramah kepada warga yang berpapasan dengannya. “Memang ada apa, Pak?” tanya Bram. “Ya, pokoknya jangan berani masuk ke sana. Kita, warga asli sini saja tidak berani untuk masuk ke sana,” jawab beliau yang masih fokus berjalan. Dia menjelaskan tentang wilayah mereka yang lumayan sulit untuk dijangkau oleh orang-orang. Selain tempat yang terpencil, ternyata karena ada sebuah titik yang sering dikunjungi untuk melakukan sebuah ritual. Tapi, beliau tidak menjelaskan ritual apa yang dimaksud, sehingga banyak orang yang merasa enggan untuk datang ke desa itu. Mereka telah selesai berkeliling kampung. Mereka bersama anak-anak desa sedang duduk di halaman rumah pak Arya. Mereka mengajarkan tentang pengoperasian laptop kepada anak-anak desa yang masih awam tentang teknologi. Setelah merasa bosan, mereka mengajarkan sebuah seni dari Indonesia. Mereka mengajarkan karawitan kepada anak-anak desa. Kebetulan, di desa ada perangkat gamelan yang lengkap, sehingga bisa digunakan untuk belajar anak-anak desa. Tujuannya, agar mereka bisa melestarikan budaya, kelak. “Suara kamu, teh, bagus. Coba saja, kamu bisa latihan terus, pasti nanti jauh lebih halus cengkok nyindennya,” kata Dewi sembari memberikan dua jempol untuk memberikan apresiasi kepada anak itu. “Tapi, saya enggak mau jadi sinden. Banyak orang mengaitkan sinden dengan ritual pemanggilan setan,” jawabnya dengan asal. “Tapi, kan, tidak seperti itu. Tapi, ya, itu kembali lagi ke kamu,” jawab Pratiwi. Tiba-tiba ada salah satu gamelan yang bunyi sendiri, tanpa ada orang yang memainkannya. Rasanya, memang aneh dan penuh kejanggalan mengenai desa itu. Tapi, Nalendra masih tidak paham dengan semua yang terjadi. Walaupun dia bisa mengetahui makhluk astral, tetap saja dia masih bingung dengan sua itu. Sebab, kemampuannya baru muncul beberapa minggu yang lalu.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN