Rapat Akhir Sebelum KKN

1106 Kata
Keesokan harinya, Nalendra harus berangkat ke kampus untuk membahas mengenai KKN yang akan diselenggarakan tiga hari lagi. Dengan mengendarai mobilnya yang sedikit peyok akibat semalam tertabrak mobil lainnya. Beruntung, tidak ada korban akibat peristiwa itu. “Nalendra, mobil lo kenapa renyek?” tanya salah satu perempuan yang baru saja datang. Dia memakai pakaian santai, tapi tetap sopan. “Biasa. Oh iya, yang lain belum datang? Dewi?” kata Nalendra yang menyebut nama Dewi ketika Bram datang. Dari sana terlihat dengan jelas, apa yang dirasakan Bram. Dia tampak tidak suka dengan Nalendra yang menyukai Dewi. “Belum,” jawab Pratiwi setelah Bram duduk di samping kanan Nalendra. Beberapa saat kemudian, mereka telah datang bersamaan dengan dosen pembimbing. Mereka dibimbing oleh Pak Didit. Walaupun termasuk dosen yang galak, tapi beliau tidak menyulitkan mahasiswa dalam hal nilai. Jadi, ada rasa sedikit tenang dari diri mereka. “Oke, semuanya sudah ada di sini. Alangkah baiknya, kita langsung mulai saja. Sebelumnya, apa sudah direncanakan tentang banyak hal? Kalian mendapatkan tempat KKN di daerah Jawa Barat, tepatnya Sukabumi.” Pak didit memberikan beberapa kertas yang harus digandakan. Sebuah kertas berisi agenda dan absensi. “Terima kasih, Pak. Kemarin, sih, sudah dibahas. Kita juga sudah sepakat dengan semua yang berkaitan dengan kegiatan ini.” Bram memberitahu. Dia mengeluarkan sebuah ponsel untuk mengambil dokumentasi rapat yang terakhir sebelum berangkat ke tempat KKN. “Bram, kamu jadi ketua di kelompok ini, ya,” ujarnya sembari menunjuk Bram yang sedang duduk di sebelah kanan Pratiwi. “Boleh, Pak.” “Baik, kalau begitu, saya hanya akan mengarahkan sedikit. Selama kalian menjalani KKN saya hanya meminta tolong untuk selalu menjaga sopan santun. Jaga ucapan dan tingkah. Sebab, di sana merupakan tempat baru,” kata Pak Didit, “kalau begitu, saya pamit dulu. Saya harus mengisi kelas. Silakan kalian lanjutkan untuk membahas bersama kelompok kalian.” Pak Didit pergi dari hadapan kelompok Nalendra. Saatnya, mereka membahas secara mandiri. Membahas banyak hal yang harus dikerjakan di tempat KKN. Terlebih, mengenai program kerja yang akan dilaksanakan. Sebelum pergi, semua yang akan dikerjakan harus benar-benar keputusan akhir agar bisa menjalankan KKN dengan baik. Sehingga, hasil akhir nanti pun baik dan kegiatan mereka memberikan manfaat untuk banyak orang. “Ndra, gue mau kita bebas. Tapi, tetap apa yang kita kerjakan jalan.” Bram berdiri mengambil laptop untuk menampilkan sebuah program kerja yang sudah disusunnya. Tapi, Nalendra merasa tidak nyaman dengan apa yang disampaikan oleh Bram. Di sini, Nalendra memiliki peran untuk menyampaikan pendapat agar bisa memenuhi hak asasinya. “Gue setuju dengan program kerjanya. Tapi, untuk peraturan, gue enggak setuju. Bukan bagaimana-bagaimana, tapi kita ini di tempat orang lain. Kita harus bisa menunjukkan sikap yang baik.” Nalendra berdiri untuk memberikan pengarahan kepada teman-temannya. “Kita ditempatkan di sebuah desa terpencil. Mungkin saja, di sana masih menganut adat yang kental. Kalau kita seenaknya dan bebas tanpa ada peraturan selama KKN, apa mau kalau akan terjadi apa-apa?” tanya Nalendra sembari menunjukkan lokasi KKN-nya dari sebuah peta yang ada di dalam ponselnya. “Gue setuju sama Nalendra. Kita tidak bisa seenaknya di tempat orang lain. Selain tidak sopan, hal itu tidak baik. Mungkin, bisa dikatakan pamali. Bram, dalam ucapan kamu mengatakan, bahwa kita di sana tetap sebagai mahasiswa yang bebas tanpa membuat peraturan. Nah, bebas di sini artinya apa? Apakah kita bebas membuang air di sembarang tempat?” tanya Dewi yang memakai kaos hitam dan almamater yang menjadi penutup kaosnya. “Ya, maksud gue begini, kita bebas untuk melakukan apa saja. Ya, mungkin seperti main sesuka hati,” katanya dengan sedikit menunduk. “Gue enggak setuju. Gue setuju dengan program yang sudah disepakati waktu itu. Kalau lo tetap maksa untuk memakai program kerja dan susunan rencana lo itu, mendingan gue keluar dari kelompok ini. Gue enggak mau terjadi hal yang tidak inginkan,” kata Dewi lalu beranjak berdiri. “Gue pamit, masih ada banyak hal yang harus gue selesaikan,” sambungnya lalu pergi. Akhirnya, rapat itu ditutup dengan kesepakatan sesuai awal. Mereka kembali ke rumah masing-masing. Nalendra pun kembali dengan mobilnya. Mengendarai dengan kecepatan sedang, dia ingin santai dan tidak terburu-buru. Tiba-tiba, sosok Anna kembali muncul di sampingnya. Dia duduk di sebelah Nalendra sembari memainkan rambutnya. “Nalendra, Anna imut tidak?” tanyanya dengan suara yang menggemaskan. Walaupun, wajahnya masih tertutup dengan rambut. “Biasa. Lo ngapain masih keliaran?” tanya Nalendra dengan mata yang fokus ke arah depan, “jangan bikin gue muter-muter,” sambung Nalendra. “Ehm, sebenarnya tulang kaki dan tangan aku hilang, belum ketemu. Anna mau mencarinya, tapi entah ada di mana,” katanya sembari mengamati sebuah bungkus permen di depannya, “Nalendra, Anna ... ingin permen,” sambungnya diiringi tawa ringan. “Ogah,” jawab Nalendra dengan singkat dan jelas. “Ndra, tadi bahas apa? Lo, mau tahu enggak? Di kegiatan KKN itu bakal ada kejadian yang menyedihkan, nantinya,” ujarnya. “ANNA DIAM!” teriak Nalendra yang tidak suka dengan pembahasan itu. Nalendra percaya hanya Tuhan yang bisa mengatur semuanya. Dia percaya dengan Tuhan yang akan membantunya dalam sulit atau hal lain. Nalendra percaya dan yakin kegiatan KKN akan berjalan dengan lancar dan tidak akan terjadi apa-apa, asalkan tetap taat dan bergantung kepada Tuhan. “Oke,” jawab Anna dengan lirih. Nalendra melanjutkan mengendarai mobilnya dengan hati-hati. Mengamati jalan yang tampak ramai di depan sana. Nalendra tidak ingin terburu-buru, lalu malah muter-muter di satu wilayah yang sama. Apalagi, saat ini dia bersama dengan hantu Anna. Beruntung, hantu itu tidak ngoceh layaknya burung kelaparan. Andai saja, dia mengoceh, sudah dipastikan Nalendra tidak akan bisa fokus dengan mobilnya. Beberapa waktu kemudian, dengan tiba-tiba Anna menghilang. Entah, ke mana dia pergi. Setelah sekitar satu jam berkutat dengan jalanan, akhirnya Nalendra bisa segera menikmati makanan di meja makan. Dia duduk di ruang makan bersama ibunya. Berdua menikmati nasi dengan sayur bening dan tempe mendoan. Rasanya, begitu nikmat daripada makan di sebuah restoran ternama, tapi seorang diri. “Ndra, pokoknya selama KKN, harus bisa menjaga sopan santun. Lidah jangan asal bicara, apalagi itu tingkah,” kata ibunya memberi nasihat. “Santai, Ma. Lendra pasti bisa menjaga diri,” jawab Nalendra sembari meneguk air putih dari dalam gelasnya. Kemudian, melanjutkan menikmati makanannya di sendok terakhir. “Ma, Nalendra masuk kamar, ya,” katanya sembari mengusap bibir dengan tisu yang ada di meja makan. Kemudian, berdiri sembari membawa tas ranselnya kembali. Dia masuk ke kamar dengan terkejut melihat polah Anna yang sedang bermain di kamarnya. Hantu Anna, hantu kecil keturunan Belanda yang sedang memainkan selimut dan bantal. Dia pun tampak meloncat-loncat tinggi dengan riangnya. Mungkin, jika orang awam melihat hal ini, akan merasa bingung atau ketakutan dengan selimut dan bantal yang tampak melayang. “Eh, Endra, maaf,” katanya sembari berloncat-loncat di kasur.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN