Manis Gulali

1191 Kata
Malam yang dingin itu membuat Nalendra menaikkan selimut sampai sebatas pinggangnya. Menutupi kaki dari udara malam yang berhasil menerobos masuk melalui celah-celah atas jendela kamarnya. Tiba-tiba Anna pun turut meringkuk untuk melindungi dirinya. “Aneh, ngapain kamu?” tanya Nalendra yang duduk di ranjang dengan punggung bersandar pada tembok. “He he, ngikutin kamu.” “Mana kasih unjuk wajahmu. Nanti gue kasih permen,” kata Nalendra yang semakin menantang Anna. Tidak lama kemudian, Anna tampak menyingkirkan rambut-rambut yang terjuntai ke depan itu. Akhirnya, tangan mungilnya telah selesai merapikan rambutnya. Ternyata, wajah yang ditunjukkan di depan Nalendra merupakan wajah khas orang Belanda. Begitu anggun dan putih. “Gue pikir bakalan serem,” celetuk Nalendra. “Ini wajah Anna waktu masih hidup. Kalau Anna kasih unjuk diri Anna setelah mati, Anna takut kalau Lendra kejang-kejang karena ketakutan.” “Ya deh terserah. Terus, kenapa lo masih gentayangan?” “Lo? Apa itu?” lirihnya dengan penuh tanda tanya. “Kamu,” jawab Nalendra dengan cueknya. “Oh, lo itu kamu. Terus, kalau kamu apa?” tanya Anna dengan tawa kecil yang terdengar se-renyah kerupuk bawang. “Kamu, ya, kamu. Sudahlah, pulang ke tempatmu,” katanya sembari merebahkan diri. Sedangkan, Anna tahu diri. Anna menerbangkan diri ke bawah meja belajar Nalendra untuk istirahat. Walaupun, Anna seorang hantu, tetap saja dia membutuhkan energi untuk bisa beraktivitas. Nalendra memejamkan matanya dengan posisi membelakangi meja belajarnya. Walaupun, Anna hanya hantu, tetap saja Nalendra bisa menghargainya. Ya, seharusnya manusia bisa belajar itu. Menghargai sesama manusia, paling penting. Jika, takut dengan hantu, setidaknya jangan pernah menjadi hantu hidup yang bisa dilihat oleh manusia juga. Keesokan harinya, Nalendra masih terfokus dengan tidurnya yang belum puas. Tapi, Anna dengan sengaja mengganggunya. Menggunakan energinya yang masih kuat, Anna menarik selimut yang dikenakan Nalendra. Lalu, duduk di bawah kaki Nalendra sembari menggelitik telapak kaki Nalendra yang masih mulus itu. Walaupun, laki-laki, Nalendra tidak pernah melupakan untuk merawat diri. “Anna! Tidak sopan, kamu,” kata Nalendra sembari duduk dan melipat selimutnya. Anna yang tahu jika Nalendra marah pun hanya bisa terdiam dengan kepala yang menunduk. Tidak lama kemudian, Anna berdiri di samping Nalendra. Tetap dengan posisi yang menunduk. “Maaf,” lirihnya. “It’s okay, jangan diulangi lagi,” kata Nalendra beranjak untuk membersihkan diri di pagi hari. Lima belas menit kemudian, Nalendra telah selesai mandi. Keluar dari kamar mandi hanya mengenakan handuk warna putih sebatas pinggang. Tangannya memainkan rambut yang kasih basah itu. “Anjir! Lo ngapain masih di sini?” teriak Nalendra kala melihat Anna dengan polosnya menutup wajahnya. Anna berdiri di depan pintu kamar mandi. “Minggir,” kata Nalendra. “Eh, Nalendra tabrak saja Anna,” ucap Anna yang masih menutup wajahnya. “Nanti ... kamu terjungkal,” kata Nalendra sembari memegangi handuknya. “Enggak, kok. Nalendra saja yang bakal nembus,” jawab Anna. Nalendra memilih untuk berbelok kanan lalu menuju almarinya. Mengambil sepasang pakaian untuk pergi bersama teman-temannya. Hari ini, Nalendra berencana untuk liburan sejenak ke Lembang, Bandung. Tapi, baru saja selesai memakai pakaian, tiba-tiba Anna memainkan celana hitamnya. “Lendra, Anna mau permen,” katanya dengan khas anak kecil yang sedang merajuk meminta sesuatu pada kakaknya. Tapi, sayangnya ini seorang hantu yang sedang merajuk padanya. Bahkan, Nalendra pun bingung bagaimana cara untuk memenuhi permintaannya. Jika saja melakukan apa yang dikatakan oleh Anna, Nalendra takut tidak akan bisa mengembalikan jiwanya sendiri. Nalendra menggeleng lalu meminta kepada Anna agar melepas genggamannya. Tapi, tangan kecil itu bukan melepaskan, justru semakin dipererat. Akhirnya, Nalendra menyetujui hal itu. Padahal, dia sudah terburu-buru oleh waktu untuk pergi bersama temannya. Nalendra pun membuka bungkus permen gulali yang diambil dari wadah milik ibunya di ruang tengah. Meminta Anna agar segera masuk ke dalam tubuhnya. Hanya membutuhkan hitungan detik untuk Anna masuk ke dalam tubuh Nalendra yang tegap dan gagah itu. Nalendra dengan patuh menuruti jiwa Anna yang memakan beberapa bungkus gulali. “Anna kangen makan permen. Permen ini sama kaya kesukaan Anna dulu,” katanya sembari tertawa dengan riang. Memakan permen-permen sampai wajah Nalendra menjadi korbannya. Wajah tampan yang sudah siap untuk diajak bepergian harus kotor dan lengket akibat permen. Beberapa menit kemudian, Anna keluar dari raga seorang Nalendra. Hati dan pikirannya telah menduga jika Nalendra akan memarahinya. Akhirnya, dia memutuskan untuk pergi dari tempat Nalendra. “Anjir! Dasar hantu bocah, gue harus mandi lagi,” katanya sembari membanting pintu kamar mandi. Bagaimana pun, hal ini membuat seorang Nalendra harus beradaptasi dengan hantu yang katanya dijadikan hantu kepercayaan neneknya. Padahal, Nalendra tidak mempercayai hal itu. Tapi, kembali lagi sosok Anna yang nyata bisa dilihatnya, membuatnya merasa iba. Pagi ini Nalendra telah mandi dua kali. Sekarang, saatnya dia berangkat ke Lembang. Tapi, tanpa ditemani oleh Anna. Entah, hantu itu pergi ke mana. Nalendra berangkat bersama dengan temannya menggunakan sebuah mobil. Pergi ke Lembang untuk mencari suasana baru dan sebuah liburan agar dirinya jauh lebih tenang untuk menghadapi KKN yang tinggal menghitung hari. Mereka menempuh perjalanan selama beberapa waktu. Mereka istirahat di sebuah hotel yang ada di daerah setempat. Memesan dua kamar untuk empat orang. Mereka di Lembang selama dua hari untuk berkeliling dan berwisata di Lembang. Mereka mendapatkan sebuah ruangan di lantai lima. Di kamar itu ada sebuah kamar yang mencurigakan. Menjadikan hati Nalendra tidak tenang dan nyaman. Sebuah pintu di kamar paling ujung itu dipalang dengan balok kayu. Sedangkan, sebelahnya adalah ruangan yang disewa Nalendra. Nalendra berpikir positif. Mungkin saja, kamar itu memang sedang direnovasi atau ada bagian yang rusak, belum sempat untuk memperbaiki. Nalendra dan salah satu temannya memutuskan masuk ke dalam kamar yang sudah disewa. Tanpa ada sesuatu hal yang mengganggu. Mereka duduk di tepi ranjang sembari menikmati kopi yang masih hangat, baru dibuat oleh Nalendra. Menikmati indahnya Lembang melalui kaca jendela. Tidak lama kemudian, ada sesuatu aneh yang nyata di depan mata Nalendra. Sekilas, ada bayangan yang terbang melalui jendela. Nalendra bergegas untuk berdiri mendekati jendela. Tapi, tidak ada sesuatu yang hadir lagi. “Len, lo ngapain?” tanya teman Nalendra yang masih sibuk menikmati kopi hangatnya, tanpa peka dengan dunia lain yang baru saja mengusik ketenangan di kamar itu. “Gak,” jawabnya kembali duduk menyeduh kopi hangatnya. Beberapa menit kemudian, ada panggilan alam yang mengusik Nalendra. Dia masuk ke kamar mandi yang ada di kamar itu. Tiba-tiba, ada sosok hantu bertubuh tinggi, berbaju putih, dan rambut yang panjang sampai kata kaki sedang mengaca di kaca kamar mandi. Beruntung, Nalendra sering menonton video-video orang yang memiliki kemampuan yang sama. Jadi, Nalendra berusaha untuk menyesuaikan diri dengan makhluk Tuhan yang berbeda dimensi. “Hi hi hi hi ....,” tawanya yang menggelegar sembari kedua tangan yang tertutup lengan bajunya yang kebesaran itu telentang. Suaranya tawanya benar-benar memekikkan telinga Nalendra. Tawa itu begitu melengking, bahkan jauh lebih panjang daripada seorang penyanyi yang sedang menyanyikan lagu dengan nada tinggi. “Saya minta maaf, jika kehadiran saya mengusik kalian. Di sini, saya berniat untuk istirahat. Tolong, jangan ganggu tempat saya. Terima kasih dan silakan kembali ke tempatmu,” kata Nalendra. Tapi, hantu itu tidak juga pergi dari hadapannya. Suara tawanya justru semakin melengking dan membuat Nalendra hampir tuli. Nalendra memutuskan untuk segera pergi dari kamar mandi sebelum ada sesuatu hal buruk yang terjadi. “Astaghfirullah,” lirih Nalendra sembari duduk di tepi ranjang.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN