Noni-noni Belanda

1098 Kata
Gadis astral itu terlihat menunduk dengan kedua tangan terlipat ke belakang. Rambutnya yang panjang terjuntai ke depan menutupi wajahnya. Hal itu membuat Nalendra sedikit kesal. Kenapa harus menutupi wajah? Apa semua hantu seperti itu? Pikiran Nalendra sibuk dengan alasan yang sebenarnya tidak penting. “Siapa?” tanya Nalendra dengan perasaan yang sudah kesal. “Anna.” Nalendra mengangguk sembari ingin beranjak pergi. Dia ingin segera melakukan kegiatan lain yang lebih penting. Tapi, makhluk astral itu memegang lengan kanannya. “Tolong, izinkan Anna untuk mengikuti kamu,” katanya mendongakkan kepala sembari tersenyum tipis. “Terserah saja. Asal jangan ganggu-ganggu. Apalagi, tiba-tiba muncul kaya gini,” ujar Nalendra sembari kembali fokus dengan mobilnya. Dia kembali menjalankan mobilnya. Tetap saja makhluk itu masih duduk di sebelahnya. Dia masih menunduk dengan pakaiannya yang berwarna putih bersih selayaknya putri peri. Nalendra melirik ke bawah, hantu itu lengkap memakai sepatu merah muda dan kaos kaki berwarna putih dengan renda di bagian atas kaos kaki. “Kamu kenapa mengikuti ku? Aku bisa jaga diri,” celetuk Nalendra dengan mata yang masih fokus dengan arah depan. “Anna kan sudah bilang, Anna disuruh Nenek Lendra,” jawabnya. “Astaga, Nenek? Nenek gue udah meninggal dan udah tenang.” Nalendra mengambil tisu yang ada di depannya. Mengusap wajahnya yang sedikit berkeringat akibat kegiatan selama satu hari. “Ya, terserah saja. Terpenting, Anna sudah mengingatkan kalau kegiatan KKN ini akan membawa musibah. Jadi, tolong diperkirakan lagi, ya.” Tiba-tiba saja, sosok hantu Belanda itu telah menghilang dari samping Nalendra. Benar-benar seperti berada di bawah alam sadarnya. Selama berjam-jam hanya melintasi satu wilayah. Padahal, seharunya dia telah sampai di rumah sejak beberapa jam yang lalu. Nalendra masuk ke kamarnya setelah selesai mencuci tangan, kaki, wajah dan makan malam. Dia sampai di rumah sekitar pukul tujuh malam. Seharusnya, dari sekitar pukul lima sore sudah sampai di rumah. Tapi, karena hantu itu dia harus menelan pil pahit. Dia duduk di meja belajarnya. Mengambil sebuah album yang berisi foto-foto kenangan masa kecilnya. Nalendra menemukan sebuah foto bersama neneknya ketika dia berusia sekitar lima tahun. Duduk di pangkuan nenek sembari tertawa riang dengan candanya. Begitu terlihat jelas dari foto itu, jika Nalendra salah satu cucu kesayangan neneknya. Apa benar neneknya yang menyuruh hantu itu untuk menjaganya? Padahal, tidak ada asap atau sesajen apa pun di dalam kamarnya. Nalendra hanya menyebut namanya dari dalam hati. Tidak disangka, hantu Anna itu muncul di hadapan Nalendra. Dia tertawa dengan gemasnya sembari duduk di atas meja belajarnya. “Dasar hantu, dulu pas masih hidup jadi manusia, tidak diajarkan untuk sopan santun?” tanya Nalendra sembari memasukkan buku-buku kampusnya di dalam laci meja. “Eh, maaf, Anna kan dari lima tahun sudah mati,” jawabnya polos, “jadi, tidak tahu mana baik dan buruk,” sambungnya dengan diiringi tawa yang begitu menggemaskan. “Oke, Anna ... gue kasih tahu duduk di meja seperti itu tidak baik. Turun,” kata Nalendra memberi tahu. Anna pun turun dari meja. Mata Nalendra samar-samar menatap caranya berpindah tempat dengan cara terbang. Bahkan, ketika dia berdiri di atas ranjangnya saja tidak menapakkan kaki. Rasanya, Nalendra tidak percaya jika sosok itu merupakan sebuah hantu. “Sekarang, mendingan kamu kembali ke tempatmu. Gue mau tidur,” kata Nalendra sembari mengambil pakaian tidur dari dalam almari yang berada tidak jauh dari ranjang. Anna, hantu gadis Belanda itu tetap juga masih di ranjang. Bermain berlompat-lompatan di sana. Mungkin, dia pikir kasur Nalendra salah satu wahana permainan. Tapi, melihat Anna yang menunjukkan wajah ceria, membuat Nalendra tidak tega untuk mengusirnya. Mungkin, dulu ketika masih hidup Anna tidak sempat merasakan berbagai wahana permainan yang ada. Pria itu memilih untuk pergi ke ruang tengah. Meninggalkan Anna yang sedang asyik melompat-lompat di atas kasur. Merebahkan diri di sofa sembari memainkan ponselnya. Baru saja satu detik rebahan, Anna telah muncul secara tiba-tiba di hadapannya. “Lendra, jangan tinggalkan sendiri di kamar. Di sana banyak hantu yang menakutkan,” katanya sembari menahan tangis. “Lucu-lucu. Hantu takut hantu,” celetuk Nalendra sembari duduk. Anna menunduk. Wajahnya sama sekali tidak pernah ditampakkan di hadapan Nalendra. Entah, apa yang menyebabkan hal itu. Apa karena hantu bermuka datar atau Anna salah satu hantu yang wajahnya telah rusak? “Kenapa Anna tidak menunjukkan wajah ke gue?” tanya Nalendra. “Gue? Kenapa kamu dari tadi mengatakan gue. Apa itu kue? Makanan yang manis itu?” jawabnya sembari tertawa tipis. Tangannya yang masih mungil itu tampak memundurkan rambutnya yang terjuntai ke depan. “Lain. Gue itu bahasa gaul. Gue itu sama dengan aku,” kata Nalendra sembari mengambil permen lingkaran dengan bentuk pipih berwarna-warni yang ada di meja ruang tengah. Memang, ibu Nalendra menyukai permen. Jadi, hampir setiap hari di rumahnya selalu ada permen. “Oh, Anna pikir itu kue. Lendra, Anna boleh minta satu?” tanyanya. “Minta apa?” jawab Nalendra dengan cuek. “He he, Anna mau minta permen. Anna suka makanan manis,” jawabnya. “Nih, permen.” Nalendra memberikan satu bungkus permen. Tapi, tidak diambil olehnya. “Lah, gimana, sih, katanya mau permen?” Anna tertawa cekikikan. Tapi, bukan seseram hantu-hantu yang dibayangkan. Justru, terdengar menggemaskan seperti anak-anak. Nalendra bingung dengan reaksi hantu itu. “Kalau aku terima, nanti permennya melayang. Nanti Mama kamu takut, lagi,” jawabnya sembari menutup mulutnya. Seakan manusia tertawa menutup mulut agar suaranya tidak terdengar orang lain. Nalendra menepuk dahinya. Teringat jika gadis kecil di depannya seorang hantu. Nalendra mengedipkan matanya sekilas. Menatap ke arah ibunya yang sedang melintasi ruangan tengah. Dia beranjak ke ruang tamu untuk mengambil sesuatu yang tertinggal. Nalendra pun kembali ke kamarnya dengan membawa dua bungkus permen. Mendudukkan diri di ranjang lalu melipat kedua tangannya di depan. Memejamkan matanya yang begitu lelah, tapi diurungkannya. Teringat dengan sosok Anna yang masih berada di sampingnya. “Anna, mah, ngikutin mulu,” kesal Nalendra. “Nanti pulang, kalau sudah dapat permen,” jawabnya dengan santai. “Pulang? Memang rumahmu di mana?” tanya Nalendra, “Terus, kalau mau permen. Memang bisa makannya?” “Rumahku di sana,” jawabnya dengan bibir tersenyum dan jari telunjuknya mengarah ke arah bawah meja belajar Nalendra. “Makan permen, dulu bisa. Tapi, sekarang enggak. Ah, Anna ingin permen. Lendra, mau kan kalau Anna masuk ke tubuh Lendra. Jadi, Anna makan permennya melalui Lendra,” sambungnya dengan kepala yang tetap menunduk. “Boleh. Tapi, Anna tunjuk wajah ke gue,” jawab Nalendra yang sudah penasaran dengan wajah Anna. Benar-benar, rasa ingin tahunya begitu tinggi. Bahkan, sejak tadi mencoba mencari celah agar bisa melihat wajah Anna. Tapi, Anna tidak menunjukkan sedetik pun. Sebenarnya, Anna tahu apa yang dipikirkan oleh Nalendra ataupun yang dikatakan dalam hatinya. “Ehm, Anna ... Anna takut,” lirihnya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN