Nalendra membuang pikiran negatif. Memang, di sekitar kamar itu banyak makhluk yang tinggal. Tapi, mereka tidak mengganggu penghuni hotel. Asal, tidak mengusik makhluk astral yang ada, penghuni hotel bisa menikmati malam-malam yang tenang sembari menikmati sejuknya Lembang.
Nalendra bergerak ke arah jendela. Menutup tirai lalu merebahkan diri di ranjang. “Tidurlah, Wan,” ujar Nalendra kepada temannya—Wawan.
Mereka mulai untuk memejamkan mata. Agar keesokan harinya bisa segera menikmati wisata di Lembang. Tepat pukul dua belas malam, Nalendra terbangun karena ada sesuatu yang mengganggu pikirannya. Ada seorang makhluk yang menghampiri. Nalendra pun merasa takut dengan sosok perempuan berambut panjang dengan mata yang besar berwarna merah. Wajahnya telah rusak seakan ditusuk paku beratus kali.
Nalendra duduk dan mencoba untuk tidak menggubris sosok itu. Jujur saja, Nalendra masih bingung untuk menyikapi hantu-hantu yang bertebaran di hadapannya. Walaupun dia merasa tidak nyaman dengan berbagai panggilan yang diucapkannya.
“Tolong, jangan ganggu. Saya mau istirahat di sini,” kata Nalendra dengan sopan.
Tapi, hantu itu malah semakin menampakkan wajahnya. Begitu songong, tertawa keras sembari memberikan unjuk wajahnya yang terlihat hancur itu. Nalendra tetap tenang, lalu Nalendra mencoba untuk menerima ajakannya untuk berbicara.
“Tolong aku,” kata hantu itu dengan suara yang keras lalu tiba-tiba menangis tersedu.
“Apa?” kata Nalendra cuek. Dia telah lelah ingin istirahat. Tapi, gara-gara kejadian kemarin, dia jadi bisa melihat hantu-hantu berkeliaran. Beruntung, Nalendra sedikit demi sedikit bisa menerima kehadiran dari hantu-hantu itu.
“Tolong carikan mantan pacarku. Dulu, dia membuatku jadi seperti ini,” katanya lalu mengeluarkan air mata. Anehnya, tiba-tiba hantu itu tertawa sampai memekikkan telinga Nalendra. “Dia sudah membunuhku dengan menggunakan paku. Menusukkan berkali-kali ke wajah dan anggota tubuhku yang lain. Aku masih ingin balas dendam dengannya,” sambungnya dengan tertawa.
Nalendra bingung untuk menyikapi hantu itu. Menggaruk kepala yang sama sekali tidak gatal. Pikirannya mencoba untuk mencerna perkataan hantu itu dengan baik. Mantan? Pembunuhan? Lalu, apa hubungannya dengan Nalendra? Bahkan, siapa sosok laki-laki yang membunuhnya saja Nalendra tidak tahu.
“Aku benci dengan laki-laki!” teriaknya sembari menunjukkan matanya yang besar dan merah menyala. Tersenyum lebar dengan taring yang panjang. Nalendra takut jika hantu itu akan berbuat jahat dengannya. “Kamu ... laki-laki! Aku benci kamu!” teriak hantu itu lagi.
Nalendra memejamkan matanya sembari memanggil Anna. Sosok hantu yang dari kemarin ikut dengannya. Bahkan, tinggal di kamarnya. Tidak lama kemudian, Anna telah hadir di samping Nalendra.
“Nalendra, Anna tidak bisa membantu. Hantu perempuan tadi menakutkan. Jadi, Anna hanya bisa bilang, hati-hati kalau ada hantu yang mendekati,” kata Anna. Sedangkan, hantu tadi telah pergi. Entah berada di mana. “Hantu yang tadi itu, hantu di kamar sebelah,” katanya.
“Anna, kenapa kamar sebelah di tutup?” tanya Nalendra dengan batinnya. Sebab, Wawan sempat merasa terganggu dengan suaranya tadi. Walaupun lirih, telinga Wawan masih normal seratus persen.
“Ya, itu. Si hantu tadi suka ganggu. Makanya, di tutup. Tapi, namanya hantu, ya, bisa saja pindah ruang. Kan bisa tembus dari pintu,” jawab Anna lalu pergi.
Anna bilang kepada Nalendra ingin kembali ke rumah. Dia tidak ingin kehabisan energi jika harus mengikuti Nalendra berwisata. Setelah Anna pergi, Nalendra mulai tidur dan menuruti perkataan hantu kecil itu.
Tidak terasa, waktu telah berputar dan menempuh pagi hari kembali. Nalendra telah terbangun kala mendengar azan subuh berkumandang. Dia bergegas untuk mengambil pakaian yang akan dipakai untuk jalan-jalan menikmati indahnya Lembang. Tentu saja, dia telah melaksanakan dua rakaat sejak tadi. Nalendra pun telah selesai membersihkan diri.
Kini, Nalendra sedang membuat dua cangkir kopi hangat untuknya dan Wawan. Sekaligus, memanfaatkan waktu luangnya yang menunggu temannya. Sebaik-baik manusia ialah orang yang bisa mengisi waktu luang dengan baik. Sebab, waktu tidak bisa diputar kembali.
“Apa, lo nongol lagi, mau kopi?” kata Nalendra sembari mengaduk kopi.
“Hi hi, aku cuman mau dicarikan mantanku,” katanya dengan suara yang begitu lantang.
“Sudah, kembali ke kamarmu. Ntar gue cari,” kata Nalendra tanpa menatapnya.
Setelah lima belas menit kemudian, Wawan telah selesai membersihkan diri. Mereka duduk di dekat jendela sembari menikmati sejuknya udara Lembang di pagi itu. Mengamati lalu lintas jalan yang tampak jauh lebih lapang daripada Jakarta yang macet.
“Ndra, lo ngomong sama siapa?” Wawan menyeduh kopi panasnya sembari ditiup beberapa kali.
“Hah, kapan?”
“Tadi, pas gue di kamar mandi,” Wawan beranjak memasang kabel untuk mengisi daya baterai ponselnya. Mereka masih ada waktu satu jam untuk sekadar menikmati hotel dan suasana di sekitarnya.
Nalendra tidak menjawab. Dia menggeleng lalu meletakkan cangkir di baki. Kopi yang masih setengah itu dibiarkannya dingin. Dia lupa jika tidak boleh mengonsumsi kopi banyak-banyak. Alasannya, sih, demi kenyamanan lambung. Nalendra mencari dompetnya di dalam tas ranselnya. Mengambil uang seratus ribu lalu diberikan kepada Wawan untuk membayar uang sewa hotel nantinya.
Nalendra dan Wawan keluar untuk bertemu dengan kedua temannya lagi. Mereka kumpul di depan hotel lalu pergi mencari angkutan yang bisa disewa. Tapi, menunggu selama beberapa saat, belum juga mendapatkannya. Sampai akhirnya, mereka terpaksa berjalan kaki sejauh tiga ratus meter untuk mencari angkutan umum. Tibalah sekitar pukul setengah sembilan pagi, mereka menemukan angkutan umum yang bisa disewa selama satu hari.
“Mang, bisa keliling Lembang?” tanya Nalendra dengan ramahnya. Walaupun, dia anak kota, tetap saja sopan santun nomor satu.
“Bisa, pertama kali mau ke mana?” jawabnya.
Di dalam angkutan itu benar-benar tidak ada hal yang aneh, mulanya. Tapi, setelah setengah jalan, tiba-tiba saja ban angkutan mendadak bocor. Sopir pun turun untuk melihat kondisi ban mobil. Benar saja, ada satu titik di mana ban itu bocor dengan lubang yang sangat jelas. Tapi, di sepanjang jalan tidak ada paku atau hal lainnya.
“Mang, kenapa, ya? Padahal, jalanan bersih,” kata Wawan yang dengan gaya sok cakep itu menggunakan kacamata hitam. “Bentar, kok, gelap,” sambungnya.
“Ini dilepas Bakwan,” sahut Nalendra sembari melepas paksa kacamata yang bertengger di mata temannya itu. Dasar, aneh. Siang-siang memakai kacamata hitam.
“Eh, iya.” Wawan mengambil lagi kacamatanya dari tangan Nalendra.
“Mang, Mamang ada dosa apa?” tanya Wawan.
“Heh, Wan, harusnya lo yang gue tanyain begitu. Dosa apa lo, sampai kena sial di kota orang,” kata salah satu temannya yang memakai kaos warna hitam berlengan pendek itu.
“Sudah-sudah. Kalau kalian masih mau untuk menyewa, bantu untuk mengganti ban. Tapi, kalau tidak mau melanjutkan, ya, silakan saja cari angkutan yang lain,” jawab sopir angkutan sembari mengangkat ban yang tadinya di letakkan di dalam mobil.
Nalendra bersama ketiga temannya pun bersiap untuk membantu mengganti ban. Akhirnya, setelah tiga puluh menit, mereka telah selesai untuk membenarkan mobil angkutan itu.
Memang, mereka datang ke Lembang membawa mobil pribadi, tapi tidak akan mengukir kisah jika tidak mencari jalan sulit. Ya, salah satunya berkeliling dengan angkutan yang ada di Lembang. Mereka melanjutkan perjalanan ke sebuah tempat wisata. Kali ini, tidak ada gangguan dalam kendaraan. Tapi, tiba-tiba saja, sosok hantu yang menunggu kamar hotel sebelah itu duduk di samping kenan Nalendra. Dasar, hantu aneh. Dia kata benci dengan laki-laki, tapi sekarang malah mengikuti Nalendra pergi. Mungkin, hantu itu kangen piknik seperti dulu waktu masih hidup. Makanya, ikut Nalendra jalan-jalan.
“Ndra, lo kenapa?” tanya Wawan.