Semerbak Bunga Mawar

1137 Kata
Beberapa waktu kemudian, Pratiwi dan Bram pergi untuk membeli sesuatu. Tapi, hanya ada sebuah warung kecil yang menyediakan barang sembako. Sama sekali tidak ada barang yang mereka cari di warung itu. Mereka membutuhkan kertas untuk membuat bahan ajar. Akhirnya, mereka memutuskan untuk pergi keluar desa menggunakan sepeda motor milik salah satu warga. Mereka melalui jalanan dengan penuh kehati-hatian. Mereka melalui jalan setapak yang sama dengan waktu mereka datang. Menyerukan motor sampai mengeluarkan kepulan asap hitam dari motor tua itu. “Tiwi, lo kenapa cengkeram bajuku se-erat ini?’ tanya Bram dengan suara yang jauh lebih keras dari biasanya. Bisa dikatakan setengah teriak. Pratiwi tidak mengeluarkan sepatah kata pun. Dia diam memandang ke arah depan dengan tangan yang bertumpu pada kakinya sendiri. Bahkan, mencoba untuk menjaga jarak dengan Bram. Bagaimana pun, mereka lawan jenis yang bisa saja digoda oleh setan. “Pratiwi!” teriak Bram yang merasakan cengkeraman di bajunya semakin mengerat. Bahkan, terasa seakan-akan ingin mencekiknya. Bram mencoba untuk memberhentikan motornya untuk menyingkirkan sesuatu yang mengganggunya. “Kenapa berhenti?” tanya Pratiwi kala menyadari motor tidak berjalan lagi. “Gila, lo pegangan baju, boleh saja. Tapi, bisa, kan, enggak usah pakai ditarik kaya orang mau mencekik,” ujar Bram sembari menengok ke arah Pratiwi. Pratiwi menatap ke arah sekitar dengan mata yang terpencar. Mencari apa yang sedang diajak bicara oleh Bram. Tapi, matanya sama sekali tidak menemukan apa-apa. Pratiwi bergerak sedikit ke belakang sembari menjaga tas ransel sebagai pembatas dirinya dengan Bram. “Hah, gue enggak pegangan baju,” jawab Pratiwi dengan jujur. “Sudahlah, ini jalan belok atau lurus?” tanya Bram ketika melihat ada jalan setapak masih murni tanah. Sebenarnya, Bram lupa jalan yang dia lalui kala menuju desa yang sedang ditempati. Dia berharap Pratiwi memberikan solusi agar bisa keluar dari desa terpencil itu. Tapi, sayangnya Pratiwi pun lupa dengan arah jalan. Pratiwi membuka ponsel untuk mencari arah mata angin agar bisa memberikan petunjuk. Tapi, tetap saja tidak ada penerangan dari sana. Bram tanpa ada aba-aba atau persetujuan, dia memilih untuk membelokkan motor ke arah jalan setapak di sebelah kanan. Melaju dengan hati-hati, karena jalanan yang dilalui hanya berupa tanah yang becek dan batu-batu yang lumayan besar. Sampai di pertengahan jalan, Pratiwi mencium aroma harum khas bunga mawar yang masih baru. Tapi, entah dari mana asal bau itu. Semakin lama, bau itu semakin tercium kuat di hidungnya. “Tiwi, lo pakai parfum? Gila, sih, parfum lo baunya menyengat,” kata Bram yang masih fokus dengan rem dan gas sepeda motor, karena melewati jalanan yang cukup terjal. “Bram, lo yakin ini jalannya? Btw, gue enggak pakai parfum. Gue juga mencium aroma yang menyengat,” kata Pratiwi dengan jujur. Selama kurang lebih tiga puluh menit, mereka belum juga sampai di jalan raya. Justru, mereka semakin menapaki jalanan yang sangat terjal. Bahkan, batu-batu yang ada di sana jauh lebih besar dan membahayakan jika dipijak oleh ban. Tapi, Bram tidak berpikir negatif, sehingga tetap menapaki jalanan itu. Semakin lama, mereka justru semakin lama memutar di jalanan yang sama. Tapi, anehnya tidak menemukan jalan lurus yang membawanya ke jalanan sekarang. “KITA TERSESAT!” teriak Pratiwi sembari mengelap wajahnya dari minyak keringat yang keluar dari kulitnya. Pratiwi membaca doa-doa yang dihafal agar bisa keluar dari jalan sesat yang membawanya ke tengah hutan. Tidak lama setelah selesai membaca doa, Pratiwi melihat seorang kakek dengan tubuh besar dan gagah serta pakaian serba putih. Kakek itu semakin mendekat. “Nak, jalan kembali ada di sana,” katanya sembari berjalan meninggalkan Bram dan Pratiwi. Bram mengikuti jalan yang ditunjukkan oleh kakek itu. Ternyata benar, mereka telah menemukan jalan setapak yang menghubungkan ke desa. Mereka tidak jadi untuk pergi ke jalan raya membeli kertas. Mereka telah lelah dengan jalanan yang membuatnya pusing tujuh keliling. Pratiwi masuk ke kamar mandi belakang rumah untuk membersihkan diri. Tidak disangka, air dalam gentong memiliki aroma wangi khas bunga mawar. Sebenarnya, bau mawar itu sebagai pertanda apa? Setidaknya, hal itu benar-benar membuatnya berpikir keras, sampai-sampai telah dua kali mendapati aroma yang sama. Pratiwi tetap melanjutkan untuk mandi. Selama kurang lebih lima belas menit, dia telah menyelesaikan ritualnya di dalam sana. Keluar lalu menuju ruang tamu untuk berkumpul dengan temannya yang lain. Bersama Dewi, Pratiwi duduk bersebelahan sembari menyusun beberapa pembelajaran yang akan dibagikan kepada anak-anak desa. Belum sempat memberikan tanda titik di kalimat terakhir yang diketik oleh Pratiwi, tiba-tiba lampu kuning yang hanya memiliki daya sebesar lima watt itu mati-nyala selama beberapa saat. Benar-benar seperti ada yang memainkan sakelar lampu. “Istigfar,” ucap Nalendra ketika melihat lampu yang mendadak mati lalu menyala kembali. Nalendra mengetahui ada sosok yang tengah memainkan sakelar di ruangan itu. Tapi, dia tidak akan memberitahu teman-temannya, daripada akan mengalami hal yang tidak diinginkan. Beberapa waktu, mereka melanjutkan untuk membuat sebuah program kerja. Tentu saja, setelah kondisi kembali kondusif. Tepat pukul delapan malam, udara yang terasa panas membuat mereka keluar dari rumah mencari udara segar. Mereka duduk di teras rumah sembari melihat gelapnya desa. Mereka tersadar dengan desa yang minim dengan penerangan. Hal ini membuat Nalendra tergerak untuk membuat sebuah penerangan dan bak mandi sebagai program utama. Memang, agak lain dari rencana awal, tapi dengan begitu, mereka telah berpengaruh besar dalam aktivitas desa, nantinya. Tapi, Bram menolak hal itu. Menurutnya, saran dari Nalendra sedikit memberatkan jika tidak ada suapan dana dari pihak ketiga. “Tiwi, kertasnya mana? Biar gue pakai untuk gambar peta konsep,” kata Dewi sembari menutup laptopnya. “Belum jadi beli. Tadi gue sama Bram malah tersesat di tengah hutan. Ngeri, mana ada bau khas mawar yang membuat hidung tidak nyaman. Seperti ... ada aroma kuburan baru,” jawab Pratiwi mengawali ceritanya, “coba saja tidak ada kakek itu, entahlah gue sama Bram bakal keliling berapa kali putaran,” sambungnya. “Ya, sudah, pakai kertas yang ada.” Nalendra berdiri memberikan sebuah buku tulis yang masih kosong miliknya, “pakai ini saja,” katanya memberikan saran. Dewi menerima buku itu, dia mulai menggunakan bolpoin untuk membuat sebuah peta konsep. Sesuatu yang akan bermanfaat untuk anak-anak desa. Memberikan contoh ringkasan yang menarik dan mudah dipahami ketika belajar. Memang itu salah satu tujuan adanya peta konsep. Setelah selesai, Dewi meletakkan buku itu di pangkuannya, tepatnya di atas laptopnya. Dia beranjak ke dalam untuk merebahkan diri. Rasanya, kepalanya penat dengan kegiatan dan kejadian-kejadian janggal yang membuat hatinya tidak tenang. “Dewi, sumpah, gue pengen banget pulang,” kata Pratiwi sembari duduk di tepi ranjang yang mereka gunakan tidur. “Sama, tapi, kalau kita pulang, bagaimana nasib kuliah?” jawab Dewi sembari membangunkan diri dan mematikan ponselnya. Suatu kebiasaan Dewi kala duduk bersama orang lain, telepon harus keadaan mati atau diletakkan, tanpa dibukanya. “Beneran, di sini auranya negatif banget,” kata Pratiwi yang mulai dingin di permukaan telapak tangannya. “Tiwi ... itu apa?” tanya Dewi sembari menunjuk ke arah luar ruangan. Tepatnya, di dinding yang terbuat dari bilah bambu yang terdapat lubang di tengah-tengah.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN