Miko kadang heran dengan adiknya. Kalau dia sedang di rumah Disa akan memusuhinya, tapi kalau dia berjauhan dengan Disa, adiknya itu kadang suka mengiriminya pesan yang tidak jelas seakan akan meminta perhatian darinya. “Jangan dekat – dekat! Ketek Mas Miko itu bauu!”
Terkekeh, Miko mendekati adiknya dan merangkulnya, secepat itu Disa langsung menepis tangannya dan duduk menjauhinya. “Nggak bau kok,” Miko menghidu ke dua ketiaknya secara bergantian membuat Disa berdecak. “Jorok banget sih Masss?”
“Hilih. Jorok – jorok gini sering kamu cariin juga, Dek Dek. Pakek nggak mau di peluk lagi.”
“Disa itu sudah gede Mas! Dah gede!”
“Siapa juga yang bilang kamu masih bayi Dek? Ada – ada aja kamu itu. Sini deh, Mas mau peluk. Mas kangen,”
“Sana peluk aja tembok.”
“Wes to Le. Jangan godain adikmu terus. Tambah ngambek sama kamu baru tau rasa.” Ujar Lastri yang baru datang dari dapur membawa sepiring pisang goreng. “Irna mana Bu?”
“Di dapur lagi kupas bawang.”
“Hah? Emang bisa Bu?”
Miko segera beranjak ke dapur dan melihat Irna tengah bersusah payah mengupas bawang merah. Miko yang melihatnya terkekeh kecil hingga kekehannya dapat di dengar dengan jelas di gendang telinga Irna. Sontak saja, Irna menoleh dan menatapnya tajam. “Apa ketawa – ketawa?”
“Lucu banget lihat kamu kupas bawang. Padahal di ruko mana pernah aku lihat kamu pegang pisau.”
“Diem deh!”
Mendadak tubuk Irna terasa sulit untuk bergerak ketika seseorang memeluknya dari belakang, “Bukan gitu caranya kupas bawang,” Ujar Miko setengah berbisik. Tangan hangat Miko menyentuh tangan Irna yang membawa pisau dan tangannya yang lain mengambil bawang yang ada di tangan Irna. “Biar matanya nggak pedih kupasnya agak berjarak dari mata. Lalu potong dulu ujungnya sebelum kupas kulitnya. Kamu bisa kan bedain kulit sama daging bawang merahnya?”
“Bisa..”
Miko pun menyerahkan sepenuhnya pisaunya pada Irna. Dia pun memilih menemani istrinya selama wanita itu mengupas bawang.
“Bawang putihnya sekalian di kupas nggak? Aku bantuin.”
“Nggak usah. Aku bisa kok,”
“Bisa apa. Kamu kesusahan gitu pegang pisaunya.”
Memanyunkan bibirnya karena sejak tadi Miko suka sekali meledeknya, tapi fokus Irna seluruhnya sudah tertuju pada bawang di depannya. “Itu sudah dagingnya, Na. Jangan di kupas,”
“O—oh ya?”
Irna meringis, memandang bawang merah di tangannya. Sepertinya memang dia tidak ahli dalam kupas mengupas bawang. “Nggak apa – apa belajar lagi aja.”
“Hmm..”
Mengerti bahwa mood istrinya sudah memburuk. Tangan Miko meraih sisi kepala Irna dan mendaratkan kecupan di puncak kepala wanitanya.
Lagi dan lagi. Perlakuan Miko membuat kerja jantung Irna tidak beraturan.
**
“Sekolah kamu jauh dari sini Dis?” Tanya Irna malam itu di perjalanan pulang menuju rumah dengan berjalan kaki. Irna dan Miko malam itu berkunjung ke rumah saudara – saudara Miko untuk memperkenalkan Irna tentu saja di temani Disa. “Lumayan sih Mbak. Kenapa?”
“Biasanya naik apa?”
“Bemo.”
Irna mengangguk. “Di sini sepi banget ya Dis. Padahal masih jam tujuh,”
“Namanya juga di desa Mbak. Pasti beda sama di kota,” Irna tersenyum lalu menatap Disa yang berjalan di sampingnya. “Kapan – kapan main ke Jakarta yuk, Dis. Mbak di rumah banyak pakaian yang ke beli tapi nggak pernah Mbak pakai sama ada beberapa make up nganggur sih di rumah. Apa nanti Mbak kirim ke sini aja ya?”
“Eh nggak apa – apa Mbak?”
“Nggak apa – apa sih. Daripada nggak kepake dan ujung – ujungnya di buang. Ya sudah, nanti Mbak kirimin ya?”
Disa mengangguk dengan senyumnya yang lebar, “Makasih Mbak.”
“Sama – sama..”
Miko yang memandang interaksi adik dan istrinya yang berjalan di depannya tersenyum tipis. Dia merasa lega jika Irna bisa berbaur dengan adiknya. Ternyata cukup mudah mendekatkan istri dan adiknya itu, padahal Miko kira cukup sulit melihat karakter keduanya yang sama – sama keras kepala.
Mereka pun akhirnya berpisah karena Irna dan Miko harus masuk kamar dan Disa harus masuk ke kamarnya sendiri yang terletak di samping. Irna memandang suaminya yang langsung merebahkan diri di ranjang, “Gue mau ganti baju. Lo bisa keluar nggak?”
“Na.. aku – kamu oke?”
Mendengkus Irna melipat kedua tangannya di depan d**a, “Aku mau ganti baju. Kamu bisa keluar sebentar?”
“Aku sudah lihat semuanya, Na. Kenapa juga aku harus keluar dari kamarku sendiri?”
“Cih..” Irna mengumpat dan menatap sengit Miko.
Miko hanya mengedikkan bahu acuh dan meraih ponselnya yang tergeletak di ranjang karena tadi sengaja tidak ia bawa keluar. Sesekali mata nakalnya mencuri pandang pada Irna yang melepas pakaian dan hanya menyisakan underwearnya saja. Irna lalu meraih daster yang diberikan Ibu dan segera memakainya.
Dan pada detik berikutnya Miko hanya bisa mengumpat memadang tubuh istrinya yang begitu menggoda saat sedang memakai daster. “Loh kan.. apa kata aku. Ku suruh keluar kamar tadi kan.”
Miko terkekeh dan meletakkan ponselnya secara asal. “Mau ya?” Dan Irna tidak bisa menolak selain mengangguk menuruti kemauan Miko/
“Mbak Irna subuh – subuh sudah keramas. Nggak dingin to Mbak?”
Irna hanya meringis ketika ia tertangkap basah Disa yang ternyata sudah bangun. Padahal maksud hati, Irna bangun subuh dan segera mandi agar tidak terlihat oleh Lastri dan Disa karena ia cukup malu. Tapi siapa sangka, ternyata kepergok Disa pada akhirnya.
“Mbak habis ngelakuin itu ya sama Mas Miko?”
Anjrit! Frontal banget sih nih anak! Masih kecil juga. Batin Irna.
Wanita itu semakin salah tingkah dan bingung harus menjawab apa. “Semalam berisik banget. Tapi tenang aja kok, Disa nggak dengar. Soalnya semalam Disa langsung pindah tidur ke kamar ibu.”
Akh! Sialan! Sialan! Sialan! Jerit Irna dalam hati. Wajahnya sudah memerah seperti kepiting rebus sekarang. “Ngg—maaf ya Dek..”
“Nggak apa – apa kok Mbak. Kata Ibu wajar soalnya kan masih manten baru.”
Irna menggaruk rambutnya yang masih basah dan tersenyum tipis. “Mbak ke kamar dulu ya?”
“Iya aku juga mau pakai kamar mandi, lagi mau pipis.”
Setelah itu, dengan terburu Irna masuk ke kamar dan langsung duduk di pinggiran ranjang di mana suaminya tengah berbaring terlelap. Lalu, tanpa banyak kata Irna mengambil guling dan memukulkannya di badan Miko hingga pria itu bangun dan mengadu kesakitan. “Hiya! Apa sih Na? Apa?”
“Gara – gara kamu nih! Rasain! Rasain!”
Beberapa kali Irna memukuli Miko dengan guling itu untuk mengalihkan rasa kesal juga malunya. “Pokoknya aku nggak mau gituan lagi sama kamu! Aku malu! Malu!”
“Ya ampunnn! Apaan sih Na? Ini masih pagi. Jangan ngajak ribut deh ah!”
Setelah puas memukul. Irna segera beranjak menjauhi Miko yang meringis karena pukulan guling. “Apaan sih? Ada apa hem?”
“Adik kamu semalam dengar kita ngelakuin itu Mikoooo.. aku malu! Maluuu!!!”
Miko memutar bola matanya dan mengusap wajahnya menggunakan telapak tangannya beberapa kali karena tak habis pikir. “Disa pasti ngerti. Namanya kita juga pengantin baru, Na. Sudah ah! Jangan ganggu lagi. Aku mau tidur. Capek!”
Bola mata Irna nyaris melompat keluar ketika dengan santainya Miko berkata capek. Apa sungguh suaminya itu tidak tau bahwa yang lebih capek itu Irna?