Ketika Irna baru turun dari kereta hawa pedesaan yang dingin dan bersahabat menyambutnya. Di sini terasa sejuk tentu saja. Berbeda dengan di Jakarta yang ada polusi di mana – mana. Perjalanan selama 13 jam menggunakan kereta cukup menguras tenaganya dan sukses membuat Irna terus terjaga. Berbeda dengan pria yang berdiri di sampingnya ini, semenjak kereta mulai berjalan dari Stasiun Gambir, pria yang berstatus sebagai suaminya itu langsung tertidur pulas. “Jangan manyun karena nggak tidur. Salah siapa juga gengsi buat mejamin mata di tempat umum.”
“Ini masih pagi di sini dan lo sudah ajak ribut ya Ko?”
Miko terkekeh dan merangkul bahunya. Irna berusaha mengelak, namun pria itu tetap memaksanya dan karena Irna tidak memiliki tenaga, dia pun pasrah. “Ingat perjanjian kita kemarin malam Na. Di sini di haramkan buat panggil lo-gue. Kita harus terbiasa panggil aku – kamu dan kamu sebagai istri aku harus panggil aku Mas.”
“Idih..”
“Na, please ya kita sudah sepakat untuk ini.”
“Terserahmu sajalah Ko. Kesel gue.”
Irna berjalan menuju pintu keluar. Miko yang membawa kopor dan satu tas ransel juga satu paper bag berjalan tergopoh mengekori Irna. Ketika pria itu melihat istrinya akan berbelok ke kanan, Miko pun mencegah. “Bukan ke kanan. Tapi ke kiri, Om ku sudah nunggu dari tadi kayaknya.”
Miko berjalan lebih dulu pada akhirnya dan sesekali memastikan Irna berada tepat di sampingnya. Cukup mudah menemukan pakdhenya Miko, karena memang keadaan stasiun tidak terlalu ramai. “Assalamualaikum, Om. Maaf harus di buat menunggu kami.” Ujar Miko seraya mencium punggung tangan dari adik ibunya itu.
“Nggak papa. Kayak sama siapa kamu itu, Mik. Eh? Ini istrimu?”
Irna tersenyum; memaksakan senyum sebenarnya dan meniru Miko mencium punggung tangan lelaki yang di panggil Om oleh suaminya ini. “Saya Irna, Om. Suami M—mas Miko.”
Ah kenapa lidah gue kelu banget sih panggil dia mas. Batin Irna.
“Aduh, iya nduk iya. Saya Om Surya, adiknya Mbak Lastri; ibunya suamimu ini.”
“Ah iya Om..” Irna mengangguk dan kembali tersenyum. “Ayo masuk – masuk. Mobilnya seadanya aja ya Nduk?”
Irna lagi – lagi hanya mengangguk dan duduk di jok belakang, sedangkan Miko di jok depan menemani Om Surya yang menyetir. “Piye usahamu nang Jakarta Le?”
“Baik Om. Lancar. Perkebunan di sini lancar juga kan Om?”
“Sesuai laporan yang di kirim Ari setiap bulan ke kamu, Le.”
Irna yang memang duduk di belakang hanya sesekali mendengar pembicaraan dua orang pria beda generasi yang duduk di depan. Dia sudah terlampau mengantuk sebenarnya, sampai tanpa sadar dia sudah terlelap. Tau – tau saat ia bangun, ia sudah ada di ranjang berukuran kecil di sebuah kamar yang minimalis. Tentu saja membuat Irna langsung beranjak bangun karena masih tidak menyadari keberadaannya sekarang. Namun, tak lama pintu kamar itu terbuka menampakkan Miko dengan rambutnya yang basah khas baru selesai mandi. “Sudah bangun?”
“Jam berapa sekarang?”
“Mau jam sebelas. Cukup lama kamu tidur, hampir empat jam.”
Irna meringis di buatnya dan memandang Miko ragu. “Ehmm—ibu sama adik l—kamu?”
“Mereka lagi keluar ke rumah Uwak aku di desa sebelah. Kamu mau mandi dulu sebelum menyapa mereka kalau mereka sudah pulang?”
Irna mengangguk dan Miko menunjukkan letak kamar mandi berada.
Setelah mandi dan berganti baju. Irna mengamati rumah orang tua Miko yang terkesan minimalis dan sederhana. Rumah ini memiliki halaman depan yang cukup luas, di halaman belakang ada beberapa pohon rambutan, pohon alpukat dan juga pohon kelapa. “Duduk aja di sini,” Ujar Miko dan menunjuk amben; tempat duduk yang terbuat dari bambu pada Irna.
“Mau ngapain?”
“Ambilin kamu rambutan. Suka rambutan?”
Irna mengangguk. Miko mengambil galah yang terbuat dari bambu yang ibunya letakkan di samping rumah. Miko dengan terampil memetik buah rambutan dengan galah itu. “Jangan banyak – banyak,”
“Oh oke..”
Miko mengumpulkan buah rambutan yang ia dapat dan memberinya pada Irna, “Mau alpukat juga nggak?”
“Ada yang sudah matang memangnya?”
“Belum sih, kalau sekarang di panen mungkin lusa bisa di makan.”
“Terserah lo—kamu aja.”
Miko tertawa kecil mendengar Irna yang masih kesulitan beraku – kamu dengannya. Sembari menunggu Miko mengunduh buah alpukat, Irna memilih mengupas rambutan dan memakannya. “Di sini kayaknya jauh dari tetangga ya?” Tanya Irna ketika Miko kembali dengan alpukat di tangannya.
“Nggak juga. Buktinya di samping rumah ada rumah tuh, coba deh lihat.”
Irna mengamati Miko yang mengembalikan galah ke tempat asalnya, lalu pria itu kembali dan duduk di depannya seraya mengupas buah rambutan sebelum memakannya. “Ibu kamu hanya bertiga tinggal di sini sama adikmu?”
“Berdua aja sama Disa. Fara kan kuliahnya di Malang.”
“Ehmm—Papa lo—eh kamu di mana?”
“Bapak?”
Miko menatapnya, bukan tatapan intimidasi sebenarnya namun entah mengapa ada kelembutan di dalamnya dan berakhir membuat kerja jantung Irna jumpalitan. “Bapak sudah nggak ada waktu Disa dalam kandungan. Sudah lama banget sebenarnya. Lima belas tahun mungkin?”
Kasihan juga. Lebih kasihan adik terakhir Miko yang tidak mendapat kasih sayang dari bapaknya. “Jangan melamun nanti kesambet, Neng.”
Bola mata Irna membulat ketika Miko dengan berani mengecup bibirnya dan pria itu hanya terkekeh melihat reaksi yang ditunjukkan Irna yang terlihat masih sangat shock. “Dasar Mesuuuummmm!!!” Pekik wanita itu seraya memukul lengan Miko untuk mengurangi kekesalannya. Namun kesempatan itu di gunakan Miko untuk meraih pergelangan tangannya, menarik tubuh dan menahan tengguknya.
Kejadiannya begitu cepat. Irna tidak mengantisipasi ciuman Miko kali ini dan berakhir dia menikmati ciuman mereka. Saling melumat dan membalas dengan kedua mata terpejam, tak peduli seorang wanita paruh baya yang melihat itu membulatkan matanya.
Gemas, wanita itu mengambil sapu lidi dan memukul punggung putranya. “m***m! m***m! m***m! Kalau mau m***m itu di kamar Mas! Ampunnnn untung adik kamu nggak lihat!”
“Ahh Buukkk... ampun.. iya Mas minta ampun..”
Irna hanya melongo memandang pemandangan di depannya. Wajahnya sudah bersemu merah dan tidak tau harus berbuat apa. Dia tidak bisa membela Miko yang di pukuli ibunya. Dia hanya menunduk tidak berani memandang. “Kalau lagi pengen itu ke kamar Mas! Jangan di sini!”
“Iya iya iya.. ampun Mas minta ampun..”
Lalu pandangan Lastri; ibu Miko tertuju pada anak menantunya yang menunduk. Lastri pun segera melempar sapu lidi di tangannya dan mendekati anak menantunya. “Kamu nggak apa – apa kan Nduk? Anak ibu nggak kasar kan sama kamu?”
Irna memberanikan diri memandang lekat ibu dari suaminya itu dan menggeleng pelan, “Tidak Ibu. Mi—mas Miko baik kok, Bu.”
Irna melirik Miko yang masih meringis kesakitan, sebelum memusatkan perhatiannya pada Ibu yang menatap anak menantunya sendu. “Yah, ibu kenapa nangis?”
“Nggak apa – apa. Ibu senang Miko ajak menantu ibu main ke sini.”
Terenyuh, Irna menggenggam tangan wanita tua itu dan memeluknya. Tak lama setelahnya Irna melepas pelukannya, dia meraih tangan Lastri dan mencium punggung tangannya. “Irna sekarang anak Ibu juga. Baik – baik sama Miko ya Nduk?”
Irna tersenyum dan mengangguk. Lalu pandangannya terarah pada Miko yang juga menatapnya. Pria itu tersenyum tipis padanya sebelum masuk ke dalam rumah.