PROLOG
Shopping—
Party—
Mabuk—
Holiday bersama teman sosialitanya.
Semua itu sudah bisa Irna lakukan hampir di setiap hari sebelum negara api menyerang. Bagaimana tidak menyerang? Dior ; kakaknya dengan begitu kurang ajar membekukan kartu kreditnya. Irna tentu tidak bisa kemana – mana tanpa adanya yang. Uang yang ia miliki dari hasil menjadi model saja telah tandas dan hanya menyisakan dua ratus ribu rupiah di ATM. Mana bisa uang dua ratus ribu digunakan untuk teraktir teman – temannya minum dan bersenang – senang? Sialan memang!
“Bibir tolong kondisikan. Jangan cemberut begitu.”
“Apa – apaan sih Bang? Benci banget gue sama lo.”
Dior menghela napas, lalu menarik kursi dan mendudukinya, “Kamu itu keterlaluan loh Dek. Berapa ratus juta yang kamu habiskan buat liburan ke Eropa? Belanja? Traktir teman – teman kamu di sana. Party? Belum lagi tempat menginap kamu yang permalamnya aja buat Abang elus dada.”
“Biarin aja kali Bang. Uang yang aku pakai juga uang warisan Papa.”
“Astaga Irna. Meski begitu apa baik menghamburkannya? Kamu sudah dewasa loh dek. Kok malah kayak anak kecil?”
“Terserah lah. Malas aku sama Abang.” Gerutu Irna memilih menyudahi makan malamnya dan beranjak dari sana. “Hey, mau ke mana kamu Dek?”
Tapi Irna memilih mengabaikannya dan melangkah cepat keluar rumah. Sesampainya di depan gerbang rumah, sudah ada sebuah mobil suv hitam yang terparkir di bahu jalan, dan tampak seseorang yang tengah menunggu Irna sedang menyenderkan tubuhnya di badan mobil. “Hey, lama ya? Maaf, aku pikir kakakku bakal nggak lagi bekuin credit card punyaku. Tapi ternyata masih.”
“Santai ajalah. Kan ada aku. Aku yang akan traktir kamu malam ini, Darl.”
“Oh,, sungguh?”
“Tentu, dengan catatan, malam ini kamu mau menginap di apartemenku ya?”
“Ya. Tentu.” Ujar Irna semringah sembari memeluk teman dekatnya; Rendi.