"Majalah Fisha memutuskan menghentikan kontrak kerjasama dan majalah yang akan beredar bulan ini sampulnya diganti dengan model lain," Ujar Oliv, manager yang selama ini membantu segala hal yang berhubungan dengan Irna.
"Hah? Gimana sih? Kontrak gue jadi model mereka tuh masih tiga bulan lagi. Enak aja main berhentiin gitu aja!"
"Jangan salahkan mereka. Abang lo biang kerok-nya."
"Sialan Bang Dior itu!" Irna menggebrak meja di depannya. Amarah sudah sampai ubun-ubun dan Irna sangat ingin sekali mengumpati Abangnya sekarang, jika tidak mengingat ia sekarang sedang berada di kantor agensi yang menaunginya.
"Ada lagi.." Ujar Oliv yang sepertinya masih perlu membicarakan beberapa hal yang lain.
"Abang lo membayar penalti untuk mengeluarkan lo dari agensi ini. Surat keputusannya akan keluar nanti siang."
"Anjing! Jangan bercanda deh!" Umpat Irna penuh emosi, lalu diiringi dengan tawanya yang membahana di sepenjuru ruang meeting yang hanya berisi mereka berdua. Dia yakin Abangnya tidak akan seserius ini menjadikannya pengangguran.
"Tanyakan langsung saja ke Abang lo. Gue serius kali ini."
"Sialan!” Segala umpatan keluar dari mulut Irna, dia terlalu marah kali ini dan berencana akan melabrak Abangnya yang suka sekali mengatur kehidupannya. Irna memutuskan beranjak, dia melangkah dengan langkah kaki yang lebar untuk keluar dari calon mantan kantor agensinya.
Irna tidak peduli dengan sopan santun, ketika ada orang yang sedikit saja menyenggolnya, Irna akan senggol balik orang itu dan menghabisinya dengan kata – katanya yang kasar. Meskipun orang yang akan ia senggol balik itu kakak kandungnya sendiri. Ia masa bodo.
Dior kali ini sudah sangat keterlaluan. Beraninya dia membuat Irna menjadi seorang pengangguran. Irna tak peduli ketika beberapa orang yang berada di ruang kerja Dior menatapnya dengan pandangan tidak suka. Tapi, Persetan dengan tatapan tajam yang diberikan Abangnya, Irna kali ini menghampiri Abangnya dengan berkacak pinggang, "Gue mau bicara sama lo!”
Beberapa rekan kerja Dior yang mayoritas berjenis kelamin laki – laki bersikap biasa saja; seperti kejadian hari ini sudah sering mereka lihat sebelum-sebelumnya. "Abang meeting. Tunggu 30 menit lagi oke?"
"Enggak!" Sentak Irna yang sudah tidak bisa menahan amarahnya.
Dior pamit sebentar kepada rekan kerjanya dan berjalan keluar, dia memasuki salah satu ruangan yang kosong di lantai yang sama dengan ruang kerjanya. "Ada apa?"
"Abang b******n ya? Belum puas Abang hancurin Irna?"
"Kamu ngomong apa sih, Dek?"
Mata Irna berkaca-kaca, tubuhnya mundur satu langkah. "Please, Bang. Jangan ikut campur sama pekerjaanku lagi!"
"Pekerjaan kamu nggak sehat, Dek. Abang hanya ingin yang terbaik buat kamu."
"Abang tau apa tentang aku?" Satu lelehan airmata menggenang dipelupuk mata Irna. Dia sudah menahannya sejak tadi, namun ketika melihat sikap biasa yang ditunjukkan Dior entah kenapa membuatnya sakit hati.
Dior yang melihat airmata adiknya sedikit terkesiap, pasalnya ia jarang melihat adiknya menangis, terakhir waktu kematian kedua orang tua mereka, namun sekarang ia melihat airmata itu menggenang dipelupuk mata adiknya lagi.
"Abang tentu sangat tau apa yang terbaik buat kamu. Kamu pintar. Kamu cerdas. Daripada bekerja seperti itu, lebih baik kamu membantu Abang di kantor, Dek.”
"Aku tanya sekarang. Abang tau apa tentang aku?" Langkah kaki Irna mundur selangkah ke belakang lagi. Dia memberi jarak pada Dior.
Biarlah, hatinya terlalu sakit kali ini. Dia sudah hancur dan semakin hancur kala mengingat acuhnya Dior selama ini kepadanya. "Irrina, Abang tau semuanya tentang kamu."
"Oh ya?" Irna tertawa. Sangat keras sampai airmatanya menetes tanpa bisa dia cegah. "Sekarang aku tanya, apa Abang tau aku pernah di perkosa? Ckck tentu saja Abang nggak tahu, karena Abang sibuk dengan dunia Abang!"
Jantung Dior seketika terasa berhenti berdetak mendengar perkataan adiknya. "P—perkosa?" Tanya pria itu yang masih tak percaya dengan pendengarannya. "Abang juga nggak tau kan aku pernah hamil dan keguguran? Abang nggak tau apa-apa tentang aku, tapi Abang begitu suka mencampuri urusanku. Bahkan Abang dengan seenaknya menjodohkanku. Memangnya pilihan Abang itu mau menerimaku yang sudah nggak perawan dan pernah mengandung ini?"
Dior tak bisa merangkai kata-katanya. Tulangnya seperti dilolosi dari tubuhnya. Bahkan Dior harus berpegangan pada meja yang ada disana karena tidak bisa menjaga keseimbangan tubuhnya. "Kenapa? Terkejut Bang?"
"Siapa dia Irna?" Desis Dior penuh amarah.
Irna tertawa, menatap kelumpuhan dan ketidakberdaya Abangnya. "Dia sudah mati, percuma Abang mau menghajarnya sekarang."
"Kenapa kamu nggak bilang ke Abang?"
Irna mendongak, dia menatap mata sayu Abangnya. "Buat apa?"
"Abang sibuk dengan dunia Abang, yang dipikiran Abang kerja-kerja dan kerja; dan bagaimana caranya Abang bisa hidupin aku tanpa peduli tentang kondisiku. Ingat?"
Dior lagi-lagi merasa ditampar oleh kenyataan yang menyakitkan. Dia seorang kakak yang gagal menjaga adiknya, dia malu kepada kedua orangtuanya, dia malu kepada Tuhan-Nya.
"Jadi Bang.. Irna minta jangan pernah ikut campur pekerjaan dan hidup Irna. Irna sudah biasa tanpa Abang, apalagi setelah kehilangan bayi Irna. Bisa kan Bang?"
Tujuh tahun lalu adalah waktu dimana perubahan dalam hidup Irna terjadi, terlebih setelah kehilangan kedua orangtuanya juga ketidakpedulian Dior kepadanya. Irna masih teringat sangat jelas, hari itu, hari dimana petaka mulai menggelayuti hidupnya.
Irna menggigil ketakutan, menunggu Dior yang berjanji akan menjemputnya di sekolah, namun sampai larut petang kakak lelakinya itu tak kunjung menjemputnya. Beberapa kali Irna mencoba menghubungi nomor ponsel Abangnya, berdering tapi tidak diangkat. Semakin beranjak waktu, hari sudah petang dan sore itu rintik hujan membasahi Jakarta dan Irna masih setia menunggu Dior di depan gerbang sekolah, sampai gerbang sekolah di tutup karena tidak ada lagi orang yang berada disana kecuali para penjaga sekolah.
Hujan pun semakin deras, seragamnya sudah basah kusup dan dia hanya bisa berteduh di bawah pohon. Beberapa kali Irna mengusap lengannya yang ia lipat di depan d**a untuk mengurangi hawa dingin yang menerpa sampai ke tulangnya. Irna masih bersabar menunggu kakaknya sampai dua jam kemudian, setelahnya, Irna merasakan tubuhnya semakin menggigil kedinginan, bibirnya sudah sangat pucat dan dia harus segera sampai rumah untuk menghangatkan tubuhnya.
Irna memutuskan berjalan sedikit ke jalanan besar, untuk sampai ke pangkalan ojek. Namun, sesampainya ia disana tidak ada satupun tukang ojek di pangkalan. Irna mendesah frustrasi, uangnya tidak cukup untuk menaiki taksi dan ia tidak ingin menambah beban Dior dengan mengeluarkan uang lebih untuknya.
Jadi Irna memutuskan jalan kaki di tengah hawa dingin Jakarta setelah di guyur hujan. Namun, saat ia jalan kaki di pertokoan yang sepi, ia dikejutkan dengan segerombolan siswa yang berseragam sama dengannya tengah menyulut rokok. Irna mempercepat langkahnya, namun saat ia berjalan melewati gerombolan itu, ia melihat salah seorang teman dekatnya berada ditengah-tengah sana, tengah dipaksa menyesap rokok.
Amarah Irna tersulut, dia mendekati gerombolan itu bermaksud membubarkannya. "Kahfi pulang!" Teriak Irna membuat semua gerombolan itu menatap kearahnya. "Wah wah wah... Ada Si Cupu datang." Itu suara Keenan; pentolan grup remaja nakal yang cukup populer di sekolah mereka.
"Lepasin temen gue Keenan!"
"Kalau gue nggak mau. Lo mau apa?" Remaja tujuh belas tahun itu tertawa. Dia membuang rokoknya dan menginjaknya dengan ujung sepatu. "Lo cantik ya nggak pake kacamata?" Ujar cowok itu.
"Pulang, Na! Please, jangan peduliin gue." Ujar Kahfi pada temannya. Irna mentap nanar Kahfi yang sedang di kerumuni tiga cowok berseragam sekolah yang sama, beberapa kali Irna melihat dengan mata kepalanya sendiri Kahfi terbatuk setelah menghirup asap rokok tersebut, membuat Irna ketakutan.
"Lepasin temen gue, Keenan. Please, dia sakit."
Keenan tertawa, cowok itu memasukkan kedua tangannya disaku celana, "Oke. Gue lepasin dia asal lo ikut gue."
Serta merta Irna yang polos langsung mengangguk. Keenan memberi perintah kepada temannya yang lain untuk pergi bersama Kahfi. "Nggak, gue nggak mau pergi!" Ujar Kahfi memaksa, Irna tersenyum tipis lalu menggeleng. "Lo pulang aja, atau langsung ke rumah sakit oke? Nanti gue susul elo, tinggal lo sms tempat lo berada,"
"NGGAK!" Jerit Kahfi mencoba lepas dari cengkeraman teman - temannya dan menghampiri Irna namun ditahan ketiga cowok yang mengerumunginya.
"Ikut gue. Gue pastiin temen-temen gue nganterin Kahfi sampai rumahnya."
Lesu Irna menatap Kahfi yang diseret menjauh bersama teman-teman Keenan, lalu memberi anggukan dan senyum tipis; mengatakan dalam hati bahwa ia akan baik-baik saja. Dia pun mengekori Keenan memasuki pertokoan kosong yang tidak terpakai. Sedikit terkejut melihat di dalamnya ternyata banyak sekali botol minuman keras yang tergeletak dan berserakan di mana - mana.
Ketakutan mulai mengerjap saat Irna tau gedung itu gelap dan pengap, hanya ada satu sofa panjang di sana yang sudah usang. “K—kenapa lo bawa gue ke sini?" Tanya Irna pada Keenan yang berdiri sekitar dua langkah didepannya.
Remaja itu menyeringai, membuat Irna ketakutan, "Bersenang – senang."
"Gue mau pulang. Abang gue pasti lagi nyari gue." Irna ingin berbalik, namun Keenan lebih dulu mencengkeram pergelangan tangannya dan menarik tangannya sehingga tubuh Irna jatuh di pelukan Keenan.
"Gue penasaran sama lo." Ujar Keenan yang berjarak beberapa senti dari wajahnya, tangan remaja itu menyentuh rahangnya dan mengusapnya pelan. "Lo cantik banget nggak pakai kacamata sialan itu."
"Lepasin gue Keenan.." Desis Irna ketakutan.
Detik selanjutnya, Irna berteriak meminta tolong berharap ada seseorang yang akan membantunya. Namun percuma saja. Tidak ada yang mendengar teriakannya. Irna hanya bisa menangis. Menangisi hidupnya karena pada detik-detik berikutnya Irna tau, dunianya hancur bersama dengan masa depannya.