Ini masih pagi dan kehebohan terjadi. Beberapa siswi berlari tergopoh menghampiri Miko yang baru saja memarkirkan motor kesayangannya. Pria itu mengerutkan dahi melihat tiga siswi yang sekarang berdiri di depannya tampak heboh dengan senyum lebar. "Ada cewek yang nyariin Bapak, tuh!"
Miko mengeryit bingung. "Siapa?" Dia melepas sarung tangannya juga masker yang membelit wajahnya.
"Lagi di ruang BK, bapak lihat aja. Gilaa, cantik banget ceweknya. Bening gitu kayak artis. Apa memang artis ya?"
"Ada – ada saja kamu, Lintang.” Miko tersenyum tipis, “Ya sudah. Saya ke sana dulu."
Miko berjalan menjauhi parkiran motor khusus guru dan berjalan menuju ruang BK berada. Dalam perjalanannya Miko beranggapan bahwa yang mencarinya adalah salah seorang Wali Siswa. Miko baru ingat bahwa kemarin salah seorang anak didiknya membuat masalah, mungkin sekarang orang tua anak itu datang. Namun, yang Miko tak habis pikir, memang harus sepagi ini? Seingat Miko janji temunya dengan Wali Siswa anak didiknya adalah jam 10 pagi ini.
Di tengah kemelut pikirannya karena efek kejadian seminggu yang lalu, Miko segera mempercepat langkahnya, tak ingin membuat Wali Siswa-nya menunggu terlalu lama.
"Pak Miko," Panggil Pak Susno, penjaga sekolah yang sudah puluhan tahun bekerja di sini.
Miko menghentikan langkahnya, dan melihat Pak Susno sedang membawa alat pel-juga ember. "Iya, Pak?"
"Ada yang cari Pak Miko di ruang BK."
"Iya ini saya mau kesana. Saya duluan ya Pak?"
Miko kembali melanjutkan langkahnya yang sempat tertunda. Pria itu memasuki ruang BK dan sedikit terkejut melihat seorang wanita yang diketahuinya, namun tidak terlalu di kenalnya duduk di sofa yang tersedia di ruang BK tersebut.
"Kamu?" Miko mendekatinya. Sedikit meringis menatap pakaian Irna. Wanita itu memakai blouse tanpa lengan dan rok span yang panjangnya diatas lutut.
"Gue nggak tau rumah lo, jadi gue mampir kesini."
Ingatan Miko berputar, pada kejadian tumpahnya minuman Rafi. Tidak mungkin jika tidak karena kejadian itu Irna tau tempatnya mengajar, bisa saja Irna menanyai Dior. Tapi Miko yakin bahwa Irna memiliki harga diri tinggi dan tidak mungkin menurunkannya hanya demi sebuah alamat Miko. Bisa saja jika Irna menanyai alamat Miko, pasti Dior akan memberi tahu dimana tempat Miko tinggal. Bukan sekolah tempatnya bekerja.
"Maaf sebelumnya." Miko memberikan jaketnya pada Irna yang hanya dilirik wanita itu saja.
"Di sini sekolah. Bisa kamu memakai jaket ini?"
Irna mendengus, melipat tangannya. "Memang lo yang punya sekolah ini?"
Pertanyaan Irna tak bisa di jawab Miko. Miko lebih memilih memasangkan jaketnya di bahu Irna, walau perempuan itu sempat menolak, tetapi Miko memaksanya, lalu duduk di sofa berhadapan dengan Irna. "Kamu masih ingat cafe yang dekat sini? Bisa kita membicarakan masalah pribadi ini nanti sore saja? Ini di lingkungan sekolah." Ujar Miko mencoba mendapat pengertian dari wanita keras kepala di depannya.
Irna menatap jam yang melingkar di pergelangan tangannya sebelum beranjak dari duduknya. "Baik. Nanti jam 4 aku tunggu."
Miko mengangguk, Irna lebih dulu keluar dari ruang BK itu dan betapa terkejutnya Irna saat melihat beberapa pasang mata berdiri di depan pintu. "Apa – apaan ini?"
Kerumunan itu dengan cepat berpencar dari sana. Irna mendengkus, menganggap murid-murid disana norak. Dia pun melewati anak-anak yang masih sigap berdiri di koridor itu tanpa memperdulikan mereka.
Miko yang menatap punggung itu menjauh menghela napas lega. Namun, kelegaannya berganti dengan raut wajah beberapa siswa-siswi yang melingkarinya. "Siapa tuh Pak? Bening banget."
"Kayaknya pernah ketemu deh.."
"Kayaknya pernah lihat. Dimana ya?"
“Sweet banget sih, Pak. Jaketnya tadi itu loh! Kayak di drama korea yang sering aku lihat.”
"Walinya siapa tadi Pak?"
Pertanyaan-pertanyaan mereka tidak ada satupun yang dijawab Miko. Pria itu segera berlalu dan masuk ke ruang guru yang lagi, disana beberapa guru yang sudah datang mulai mengintrogasinya. "Walinya anak bapak yang mana ini?"
"Atau jangan – jangan tadi itu kekasihnya Pak Miko? Yah guru perempuan yang masih lajang langsung patah hati ini Pak.”
Dan Miko, rasanya tertimpa tangga di pagi hari yang cerah ini.
Miko sudah menunggu hampir dua puluh menit lamanya dan Irna belum juga menampakkan batang hidungnya. Suasana cafe di sore ini cukup ramai. Mungkin karena letak cafe ini yang strategis sehingga banyak sekali pengunjung. Miko kembali menyesap kopi pahit yang dipesannya untuk ke dua kali. Pria itu sebenarnya terlampau bosan, pekerjaan di bengkel harus segera ia pantau, namun dia masih bersabar menunggu. Mungkin sepuluh menit lagi ia akan bersedia menunggu sebelum ia memutuskan untuk pulang.
"Sorry banget telat. Emang sengaja." Seseorang dengan wangi vanilla membaui indra penciumannya. Seseorang itu; Irna yang kini tengah duduk saling berhadapan dengannya.
Sedikit mendengkus, mendengar kata terakhir yang dilontarkan wanita itu. "To the point aja kali ya?"
"Oke."
Sebenarnya Miko juga tidak ingin berbasa-basi. "Nikahi gue. Bisa?"
Miko mengulum senyumnya, sudah ia duga. Namun, Miko berusaha bersikap tenang. "Gue bisa saja nolak, ketika Abang lo minta gue nikahi lo."
"Terus kenapa lo datang ke rumah?"
"Buat lihat adik kesayangannya yang di sebut Cilla; anjing galak."
"Sialan!" Irna melotot. Bersumpah setelah ini jika ia bertemu Cilla ia akan mencekik kuat – kuat leher tunangan Abangnya itu.
"Dan benar; lo galak!"
"b*****t ya lo!" Irna menggebrak meja, membuat seisi penjuru cafe melihat kearahnya, terutama manager yang sejak kedatangan Irna mencuri pandang kearahnya; takut jika Irna membuat masalah seperti kejadian belum lama ini dan benar saja, ketakutannya terjadi, wanita bertampilan sexy itu kini marah – marah lagi.
"Tenang kali, Non. Lagi PMS ya?" Miko sedikit menggoda. Hanya sedikit. "Lo yakin mau nikah sama gue yang miskin ini?" Lanjut Miko.
"Gue guru, dan lo tau gaji gue nggak banyak kan sebagai guru honorer?"
"Gue tau. Nggak masalah, lagipula gue kerja."
"Kerja apa? Jadi model majalah dewasa?" Irna mengiyakan dengan anggukan. "Gue akan nikahi lo kalau lo berhenti. Hubungi gue, kalau lo sudah setuju."
Miko beranjak berdiri dari sana. Tanpa mendengar protes Irna, pria itu membayar pesanannya, dan memesan minum untuk Irna. Tanpa menoleh lagi pria itu keluar dari cafe itu dan berharap Irna tidak mengejarnya. Dan benar saja, ketika ia sampai di parkiran, ia tidak melihat Irna mengejarnya. Miko mendesah lega. Berharap Irna mendadak berubah pikiran karena bagaimana pun juga kesan Miko saat bertemu Irna untuk yang kedua kali adalah wanita itu tidak akan sanggup di ajak hidup susah.
Memikirkan itu membuat Miko terkekeh geli sebelum memakai helm-nya dan menaiki motor lawas miliknya yang akan membawanya membelah jalanan Jakarta yang macet di jam-jam sore hari seperti ini.