Episode 2

1230 Kata
Episode 2 #Hujan, Ajarkan Aku Lupa Topeng yang terbuka Nadine terbangun dengan kepala berat dan pening. Tidur gadis itu terusik karena ponselnya yang sejak tadi berdering. Dengan malas, Nadine mengangkat telepon. "Astaga! Kau kemana saja Nad? Dari tadi aku sudah menghubungimu, kita punya janji jam 9 ini." Di ujung telepon, Billy berteriak frustasi saat Nadine mengangkat panggilannya. Sekilas, Nadine melirik ke arah jam dinding. Gadis itu menepuk kening saat melihat waktu sudah menunjukkan pukul 08.30 pagi. Artinya Nadine hanya punya waktu setengah jam untuk sampai ke tempat yang sudah disepakati. "Dengarkan aku Bil, tolong ulur waktu selama yang kau bisa. Aku akan datang secepatnya." perintah Nadine. Nadine mematikan telepon setelah Billy menyanggupi permintaannya. Gadis itu buru-buru ke kamar mandi dan membersihkan diri secepat yang dia bisa. Selesai mandi dan bersiap-siap, Nadine berangkat ke Hotel Grand Mahesa tempat dimana dia dan Billy berjanji untuk bertemu klien. Karena bangun kesiangan akibat mabuk semalam, Nadine terlambat 1 jam dari waktu yang sudah ditentukan. Billy langsung menghampiri Nadine begitu gadis itu sampai. "Untunglah mereka setuju untuk melihat Wedding Hall terlebih dahulu. Jika tidak, dapat dipastikan kalau hari ini kita akan kehilangan klien penting. Jadi apa yang membuatmu sangat terlambat, Nad? Tidak biasanya kau bertindak tidak kompeten seperti ini." omel Billy. Nadine mengatur napas dan meminum air yang di sodorkan Billy sebelum mengemukakan alasannya. "Sorry, aku ketiduran." ucap Nadine tanpa berniat mengatakan alasan kenapa dia bangun kesiangan. Billy mendelik. "Jangan-jangan kau juga lupa kalau hari ini kita punya janji?" selidik laki-laki itu. "Aku benar-benar cuma ketiduran, Bil. Mana mungkin aku melupakan janji penting seperti ini. Ngomong-ngomong sudah berapa lama mereka melihat-lihat wedding hall?" tanya Nadine. "Sekitar setengah jam yang lalu." jawab Billy. "Kalau begitu kau berjaga disini. Aku akan ke lantai dasar untuk membeli cemilan pengganjal perut. Karena terburu-buru, aku belum sempat sarapan." ucap Nadine sambil menepuk pundak Billy. Mau tidak mau Billy mengangguk dan membiarkan wanita itu pergi. Setelah sampai di lobby hotel, tidak sengaja mata Nadine menangkap sosok laki-laki yang sangat dikenalinya. Laki-laki itu tengah duduk sambil merangkul seorang wanita. "Marcel? Apa yang dia lakukan disini?" gumam Nadine pada dirinya sendiri. Merasa penasaran, Nadine mendekat. Kebetulan, posisi Marcel tengah membelakangi Nadine. Jadi, dengan mudah Nadine mengambil tempat duduk yang bisa mendengar langsung pembicaraan mereka. Karena terlalu fokus, Nadine tidak sadar kalau seseorang menatap heran ke arahnya. Dia Devan, laki-laki diseberang meja yang sudah lebih dulu duduk di sana. "Apa yang sedang kau lakukan?" tanya Devan dingin. Menyadari ada orang yang mengajaknya bicara, Nadine menoleh. Saat itulah pandangan mereka bertemu. Devan tersenyum sinis saat mengenali siapa Nadine. Sedang Nadine, dia sama sekali tidak ingat kalau Devan adalah laki-laki yang ditemuinya di club tadi malam. Sebelum Devan angkat bicara, Nadine mengetik sesuatu di ponsel dan menyodorkannya ke arah laki-laki itu. Aku tau tidak seharusnya aku duduk disini, tapi ada hal mendesak yang ingin ku ketahui. Ku harap kau akan berbaik hati dengan membiarkanku. Devan membacanya sekilas dan kembali memperhatikan Nadine. "Baiklah, tapi apa yang akan ku dapatkan dengan membiarkanmu?" tanya Devan. Nadine tak langsung menanggapi. Telinganya sedang sibuk menguping pembicaraan Marcel dan wanita yang tidak Nadine kenal. Dari tempatnya duduk, Devan juga bisa mendengar apa yang mereka bicarakan. "Ros, ku mohon. Ini bukan saat yang tepat untuk mengakhirinya. Keluarga Nadine sedang bangkrut." ucap Marcel. "Tapi ini sangat membosankan, sayang. Bagaimana jika kondisi keuangan mereka tidak kunjung membaik? Apa kau tetap akan bertahan?" tanya Rose. Marcel mengelus kepala Rose untuk menenangkan gadis itu. Devan bisa melihatnya karena posisi Devan menghadap langsung ke arah mereka. Berbeda dengan Nadine, wanita itu hanya bisa mendengar tanpa bisa melihat apa yang sedang terjadi. "Saat kami tunangan, ayah Nadine memberikan 10% saham miliknya sebagai tanda terima kasih. Sekarang, beliau menjanjikan 30% sahamnya jika aku bersedia menikahi putri dari selingkuhannya itu. Jadi, please Ros. Ini tidak akan lama. Setelah kami menikah, aku berjanji akan menceraikan Nadine secepatnya. Begitu 30% saham sudah jadi milikku, maka aku bisa meninggalkan Nadine kapan saja." janji Marcel. Rose masih cemberut dan melipat tangannya di d**a. "Kau tidak sedang mengulur waktu kan? Jangan-jangan kau sudah menyukai wanita itu?" Marcel terkekeh. "Apa kau bercanda? Aku tidak mungkin menyukai Nadine, Ros. Jika bukan karena ayahnya dan saham yang beliau tawarkan, mendekati gadis itu saja aku tidak sudi." Nadine tidak memperlihatkan ekspresi apapun di hadapan Devan. Meski sangat malu dan marah, Nadine masih bisa bersikap tenang. Devan menyeruput kopi sambil menunggu apa yang akan dilakukan Nadine. Jika melihat perangai gadis itu semalam, Devan yakin Nadine bukanlah wanita yang lemah. "Tapi Nadine itu cantik, aku takut suatu hari kau akan meninggalkanku setelah menikah dengannya." rengek Rose. Marcel kembali terkekeh. "Astaga, kau cemburu? Aku cuma mencintaimu Rose. Nadine atau siapapun itu, mereka tidak pantas bersaing denganmu." Marcel melayangkan kecupan singkat di kening Rose. Devan yang menyaksikan pemandangan itu, merasa jijik melihatnya. Saat Devan menatap ke arah Nadine, gadis itu masih memperlihatkan aura yang sama. Tenang, namun menyimpan banyak misteri. Sekali lagi, Nadine menulis sesuatu di ponselnya. Sambil cengar-cengir, Nadine menyodorkan ponsel itu ke arah Devan. Aku belum sarapan, jadi tidak apakan kalau sarapannya kita bagi dua? Kasihanilah gadis yang tengah patah hati ini. Nadine menatap Devan dengan wajah memelas. Setelah membaca apa yang Nadine tulis, Devan mengerutkan kening sembari melipat tangan di d**a. "Reaksi macam apa itu? Cih, permainan ini jadi tidak menarik." sindir Devan. Nadine tak menanggapi, buru-buru diraihnya sandwich milik Devan dan menyeruput kopi yang tadi diminum laki-laki itu. Tak lama, ponsel Nadine berdering. Billy mengabarkan kalau klien mereka sudah menunggu. Dengan tergesa Nadine melahap habis sandwich milik Devan. "Astaga, jadi ini yang kau maksud dengan berbagi?" ejek Devan. Nadine tersenyum kikuk. Tak ingin berdebat, gadis itu meninggalkan kartu nama dan berbisik di telinga Devan. "Kirim saja nomor rekening, aku akan mengganti uang sandwich dan kopinya." Devan melongo. Saat ingin protes, Nadine sudah menghilang di balik dinding. Devan meraih kartu nama yang ditinggalkan Nadine dan membacanya. "Nadine Alexandria, seorang desainer? Pantas saja dia tau harga jas dan jam tanganku. Wanita yang menarik. Karena hari ini dia dalam kondisi yang tidak baik, maka aku akan melupakan soal janjiku semalam." gumam Devan. *** "Akhirnya beres juga." ucap Nadine lega. "Apanya yang beres? Kita baru merancang gambar mentahnya, Nad. Kita harus mencari kain, mengukur, memotong, ... " "Kita bahas itu nanti." potong Nadine. Wanita itu bergegas membereskan barang-barang sebelum pamit pada Billy. Billy menggerutu kesal karena lagi-lagi Nadine meninggalkannya. Setelah mengetahui apa tujuan Marcel, Nadine berencana membongkar keburukan Marcel di hadapan sang ayah. Selama ini Nadine terus mencari alasan untuk membatalkan pertunangan yang tidak diinginkannya itu. Tapi sang ayah bersikeras ingin segera menikahkan Nadine. Ayahnya bilang, sulit menemukan laki-laki baik dan rajin seperti Marcel. Karena menghormati sang ayah, Nadine terpaksa menerimanya. Tapi diam-diam, gadis itu merasa sedikit kecewa. Dia tidak menyangka ayahnya rela memberikan  10% saham hanya untuk laki-laki tidak berguna seperti Marcel. Sekarang Nadine tinggal memikirkan bagaimana cara bicara pada sang ayah. Karena berjalan sambil berpikir serius, Nadine tidak sengaja menabrak tubuh seseorang. "Maaf maaf." ucap Nadine sambil menunduk. "Wah sepertinya kita berjodoh, Nona. Apa kau tidak merasa kalau kebetulan seperti ini jarang terjadi? Atau kau memang sengaja menabrakkan diri agar bisa menyentuh tubuhku?" ujar Devan narsis. Nadine mengangkat wajah. Gadis itu melongo karena tidak menyangka laki-laki yang dia tabrak adalah laki-laki yang dia temui di lobby pagi tadi. Sesaat kemudian, Nadine tersenyum mengejek. "Astaga, kau terlalu percaya diri Tuan. Kecelakaan seperti ini bisa terjadi dimana saja." ucap Nadine kesal sambil berjalan meninggalkan Devan. Anak buah Devan sudah bersiap menghentikan Nadine, tapi Devan mengisyaratkan pada mereka untuk membiarkan Nadine pergi. "Jika Bos menginginkan wanita itu, akan ku cari tau informasi tentangnya." tawar Carlos pada Devan. "Tidak perlu." ujar Devan singkat. Carlos geleng-geleng kepala. Dia pikir Devan menginginkan Nadine. Sebab, Carlos melihat sendiri bagaimana Devan sengaja menabrakkan diri ke arah wanita itu. To be continue...
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN