Episode 3

1261 Kata
Episode 3 #Hujan, Ajarkan Aku Lupa Kesialan yang berlanjut Hari sudah petang saat Nadine sampai di rumah. Wanita itu berjalan mengendap-endap agar tidak bertatap muka dengan Fatma. Setiap kali melihat Nadine, Fatma akan mencari alasan untuk marah dan memojokkan Nadine. "Apa kau pencuri?" sindir Gio. Nadine menghela napas kesal. Tidak bertemu Fatma, Nadine malah bertemu Gionino. Laki-laki itu memergoki Nadine yang berjalan membungkuk menaiki tangga. Karena sudah tertangkap basah, Nadine akhirnya menegakkan tubuhnya. "Menurutmu, apa yang bisa ku curi?" balas Nadine. Gio mendengus. "Cih, bukankah ibumu suka mencuri? Siapa tau kau juga memiliki kemampuan seperti wanita itu." Nadine mengepalkan tangan karena marah. Dia benci jika Gio mengungkit tentang kesalahan yang dibuat oleh ibunya. Alih-alih mengamuk, Nadine malah tersenyum ke arah Gio. "Jika aku memiliki kemampuan seperti ibu, maka hal pertama yang ingin ku lakukan adalah mencuri hatimu." ujar Nadine. "Jangan bermimpi terlalu tinggi, Nadine. Kau bukan tipeku." ejek Gio. Nadine melipat tangan di d**a. "Asal kau tau, ibuku dan ibumu adalah dua tipe wanita yang berbeda. Tapi nyatanya, papa tetap tergoda. Bisa jadi kau juga sama seperti papa. Jadi jangan terlalu percaya diri, Gio. Setiap orang bisa melakukan kesalahan, tidak terkecuali kau." Nadine berlalu sembari tersenyum sinis. Saat gadis itu hendak membuka pintu kamar, Gio dengan cepat menghentikannya. "Jangan pernah samakan aku dengan papa. Aku tidak mungkin melakukan kesalahan seperti itu." bentak Gio. Nadine berbalik dan menatap Gio tajam. "Jika kau tidak ingin disamakan seperti papa, jangan lakukan itu padaku. Aku juga tidak suka jika kau terus-menerus menyalahkan ibu. Bagaimanapun, aku ada di dunia karena kesalahan ibu dan papa. Jadi berhentilah memojokkan ibu. Jika kau memang suka menyalahkan, kenapa tidak bicara langsung pada papa? Dia laki-laki yang sudah membuat kekacauan ini." ujar Nadine dingin. Gio ingin membalas, tapi dengan cepat Nadine masuk ke kamar dan menutup pintu tepat di depan muka laki-laki itu. "Katakan apa yang ingin kau katakan, Nadine. Hal itu tidak akan mengubah kenyataan kalau ibumu adalah w************n yang sudah menggoda suami orang." teriak Gio. Karena kesal, laki-laki itu menendang pintu kamar. Ini bukan kali pertama Gio dan Nadine bertengkar. Setiap kali melihat Nadine, Gio dan ibu tirinya selalu menyalahkan wanita itu. Hanya Gloria yang mau menerima kehadiran Nadine. Itupun karena ayahnya selalu memberi uang lebih jika Gloria bersikap baik. *** "Apa papa sibuk?" tanya Nadine takut-takut. Malamnya, Nadine sengaja mendatangi Heru di ruang kerja agar pembicaraan mereka tidak di dengar orang lain. "Tidak juga." ucap Heru sambil menghentikan kegiatannya. Nadine berdiri di belakang Heru dan mulai memijat bahu laki-laki paruh baya itu. "Nadine, ada yang ingin papa sampaikan." ucap Heru membuka obrolan. "Katakan saja, Pa. Nadine juga ingin bicara sesuatu pada papa." ujar Nadine. Heru menghela napas panjang. "Dengarkan papa, sayang. Kondisi hotel kita bisa saja tidak akan pernah membaik. Sebelum kita benar-benar jatuh bangkrut, papa ingin kau segera menikah. Papa tidak bisa menjanjikan apa-apa padamu, Nadine. Tapi papa harap, kau bisa menerima laki-laki pilihan papa." "Tapi ... " "Dengarkan dulu, papa tau kau masih ingin hidup bebas dan meniti karir sebagai desainer. Tapi Nak, jika kita benar-benar sudah bangkrut, akan semakin sulit bagimu untuk menikah. Kau bukan anak yang terlahir dari pernikahan yang sah, jika papa juga bangkrut, siapa lagi yang bisa menerima semua kekuranganmu Nadine. Jadi papa mohon, sebelum itu terjadi, menikahlah dengan Marcel." suara Heru tercekat menahan tangis. Nadine ingin membantah, tapi kali ini dia kehilangan kata-kata. Bukan hanya tidak bisa mengatakan apa yang sudah Marcel rencanakan, Nadine juga tidak bisa menemukan alasan yang tepat agar tidak mengecewakan ayahnya. "Bagaimana hubunganmu dan Jordy? Apa kalian masih sering bertemu?" tanya Heru mengalihkan pembicaraan. "Bertemu sih, tapi tidak sering." jawab Nadine. Heru kembali menghela napas panjang. "Kalau bisa, jangan temui laki-laki itu lagi, Nak. Jordy memang laki-laki yang baik, tapi orang tuanya tidak demikian. Beberapa hari yang lalu ibu Jordy menemui papa, beliau mengancam akan menghancurkan bisnis kita sampai ke akar-akarnya jika kau masih menemui Jordy. Papa tau tidak pantas mengatakan ini, tapi jika kau punya hati pada Jordy, sebaiknya buang jauh-jauh perasaan itu." Kali ini gantian Nadine yang menghela napas panjang. "Apa berteman juga tidak bisa? Nadine dan Jordy tidak punya hubungan apapun, Pa." "Iya papa tau, papa mengerti, sayang. Tapi tidak dengan orang tua Jordy. Orang terpandang seperti mereka tentu tidak akan membiarkan anaknya berteman denganmu. Ah rasanya sangat keterlaluan jika papa bicara seperti ini. Papa yang salah, Nadine. Maaf karena kau harus menanggung kesalahan yang sudah papa perbuat." Heru terisak. Nadine memeluk bahu ayahnya dan ikut menangis. "Jangan bicara seperti itu, Pa. Nadine baik-baik saja. Melihat papa menangis, itu lebih menyakitkan dari pada ucapan mereka." "Papa tau mama dan kakakmu sering bersikap kasar. Tapi papa terlalu pengecut untuk menjadi penengah. Papa sudah memberikan luka untuk istri dan anak-anak papa, jadi bagaimana mungkin papa masih berani omong besar? Karena itu papa membeli apartemen untukmu. Papa ingin kau segera meninggalkan rumah. Dengan begitu, hidupmu akan jauh lebih tenang." Nadine semakin terisak. Setelah ibunya meninggal, Nadine hanya punya ayahnya sebagai keluarga terdekat. "Rumah ini bisa saja ikut terjual untuk menutupi hutang yang papa pinjam, Nadine. Hutang kita tidak sedikit, jadi papa mohon, menikahlah dengan Marcel. Jika kalian sudah menikah, papa akan lebih tenang." Nadine tidak menjawab. Jika mereka bangkrut, bahkan Marcel pun tidak akan sudi menikahinya. "Jangan pikirkan apapun, Pa. Nadine yakin kita bisa melaluinya." Heru mengangguk dan meminta Nadine meninggalkannya sendiri. Nadine menurut. Dengan langkah gontai, Nadine meninggalkan ruang kerja Heru sambil menyeka air mata. *** "Kalau kau masih perawan, kau bisa menjualnya dengan harga mahal." Bisik Roger, bartender tempat dimana Nadine sering menghabiskan waktu jika butuh tempat untuk menenangkan diri. "Apa kau gila?" teriak Nadine. Bukanya marah, Roger malah tertawa. "Bukankah kau butuh uang banyak? Itu cara yang paling mudah, Nadine." Nadine mendengus. Meski sudah sedikit mabuk, Nadine masih bisa berpikir waras. "Pemilik klub ini adalah laki-laki yang doyan wanita, apalagi perawan. Aku yakin, dia bisa memberimu uang berapapun jika kau mau melayaninya." ujar Roger. Nadine terkekeh. "Aku perawan, bahkan perawan ini belum pernah berciuman, kau tau kenapa? Karena perawan ini terlalu takut. Perawan ini tidak ingin mengikuti jejak ibunya dan memiliki anak di luar nikah." Roger merasa bersalah saat mendengar pengakuan Nadine. Tapi saat Roger ingin kembali bicara, Devan datang dan memintanya menjauh. Tentu saja Roger langsung mengikuti perintah Devan. Devan adalah pemilik tempat dimana dia bekerja sekarang. "Kenapa kau pergi? Cih, bahkan seorang bartender pun enggan mengajakku bicara." omel Nadine. Devan yang kini sudah duduk disebelah Nadine, merebut gelas berisi Vodka yang lagi-lagi akan diminum oleh gadis itu. Nadine menoleh dan tersenyum lebar ke arah Devan. "Apa aku juga dilarang minum? Tapi aku masih punya uang untuk membayar." Nadine merengek manja. "Kau sudah terlalu mabuk, Nona. Sebaiknya kau pulang." ujar Devan. Nadine terkekeh. "Siapa bilang aku mabuk? Aku masih sadar, Tuan." Nadine berusaha berdiri. Tapi setiap kali mencoba, gadis itu sempoyongan dan berpegang pada apapun. "Kau lihat? Aku masih bisa berdiri. Artinya aku tidak mabuk, Tuan." Devan mengalah dan membiarkan Nadine minum sepuasnya. Sementara itu, Jordy mondar-mandir dengan gelisah saat Hani, gadis yang bekerja di klub milik Devan, mengabarkan kalau Nadine kembali mabuk. Jordy ingin datang, tapi saat ini Jordy tengah terjebak dalam acara keluarga. Ibu Jordy mengancam, jika dia tidak mengikuti acara sampai selesai, maka beliau akan menikahkan Jordy dengan wanita pilihannya. Mau tidak mau, Jordy menurut. "Perawan? Apa harganya benar-benar mahal? Jika aku menjualnya seharga 1 triliun, apa ada yang mau beli?" Nadine terkekeh sambil bergumam sendiri. Disebelahnya, Devan mendengarkan dengan tangan terlipat di d**a. Sebenarnya, Devan punya janji dengan rekan bisnis dan mengundang mereka ke klub miliknya. Tak disangka, lagi-lagi Devan melihat Nadine. Merasa tertarik, Devan menghampiri gadis itu. "Jika kau mau, aku bisa mengabulkan keinginanmu." tawar Devan. Nadine menoleh, ditatapnya laki-laki itu sebelum berdiri sempoyongan dan berpegang pada pundak Devan. Tidak mau Nadine roboh, Devan memeluk pinggang Nadine. Dengan perlahan, Nadine mendekatkan wajahnya ke arah Devan. "Benarkah? Apa perawan yang belum pernah berciuman ini bisa dijual dengan harga 1 triliun?" bisik Nadine serak sebelum akhirnya tidak sadarkan diri di pelukan Devan. To be continue...
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN