Belum juga Theo pergi jauh, anak buah Kara sudah menghadangnya. “Jangan pikir kau bisa berkeliaran semaumu di sini.” Ternyata mereka masih mengenalinya. Ini gawat, bisa repot kalau Kara ikut menyadari keberadaannya. Theo tak tahu saja, Kara yang lebih dulu menemukannya di antara kerumunan.
“Sebaiknya kalian mundur saja. Gunakan otak kalian, pikirkan baik-baik sebelum berlagak. Apa yang bisa kucing kecil seperti kalian lakukan padaku?” Well, kadang Theo tak sadar diri kalau dirinya yang lebih suka berlagak hebat. Bicara sombong seakan begitu mudah mengalahkan puluhan kucing itu.
“Mengalahkan bos kami saja tak bisa!” Theo jadi kesal saat salah satu dari mereka mengungkit soal perkelahiannya dengan Kara. Dia tidak kalah, Kara yang melarikan diri. Tahu apa mereka!
Karena kesal, Theo tak lagi banyak berbicara. Dia langsung mengeluarkan cakarnya, mengubah kakinya menjadi kaki singa. Dia langsung berlari menerjang mereka, mengelaki tiap serangan yang datang dengan begitu sempurna.
Sembari mengelak, Theo juga melakukan serangan balik. Cakarnya merobek dengan buas, mengingatkan kembali pada mereka siapa raja hutan yang sebenarnya. Anak buah Kara mulai gentar, beberapa dari mereka telah melarikan diri.
“JANGAN KABUR KALIAN! BOS MEMERINTAHKAN UNTUK MEMBURUNYA! KALIAN MAU DIHABISI OLEH BOS?” Salah satunya mulai marah, berteriak pada rekannya sendiri. Bukan rekan-rekannya yang mendengarkan, melainkan Theo.
Theo tak percaya, Kara yang memerintahkan mereka menyerangnya. Maka dari itu, Theo ingin diberi tahu sejelas-jelasnya. Dia menangkap pria yang berteriak, melemparkannya hingga menabrak dinding.
“Coba ulangi, siapa yang menyuruh kalian menyerangku.” Setelah itu Theo mendekatinya, bertanya dengan nada memerintah tak sabaran.
“Kau dengar sendiri, Kara yang memerintahkan kami! Jangan pikir kau bisa bertingkah seenaknya di sini. Kembali ke sektormu! Ini wilayah Kara!” Orang itu masih begitu berani menjawab dengan lantang. Dia tak takut pada Theo, baginya kemarahan Kara jauh lebih menakutkan.
“Kalau begitu aku hanya perlu menundukkan bosmu,” ujar Theo.
BRAK!
Pukulan keras yang didapat setelahnya. Pria itu pun kehilangan kesadaran dan rekan-rekannya segera kabur ketakutan. Theo berubah pikiran. Dia tak akan pulang, melainkan memberikan Kara pembalasan.
Rasanya sakit hati. Kebaikannya malah dibalas seperti ini. Cara Kara mencintainya sama sekali tak manis. Mau sesabar apa pun Theo, selalu ada batas untuk memaklumi.
***
Selesai mengerjakan pekerjaannya, Kara berjalan sendirian kembali ke kediamannya. Di sanalah dia bertemu dengan Theo. Pria itu sengaja menunggunya di sana. Cara Theo menatapnya sirat akan kemarahan. Seketika itu juga, Kara telah memahami situasinya.
“Kau ingin menghajarku?” tanya Kara.
Theo mendengus. Rupanya Kara sadar apa yang membuatnya semarah ini. “Menghajarmu tak akan membuatku puas. Begitu caramu berterima kasih, hah? Kabur dari rumahku seolah-olah aku menculikmu dan memerintahkan anak buahmu untuk menyerangku.”
“Bukannya memang begitu? Kau memanfaatkan situasi saat aku terluka untuk meniduriku.” Apa katanya? Jadi seperti itu Kara melihatnya?
“Kaulah yang menggodaku, Kara.” Theo mengeram. Giginya menggeretak menahan emosi. Kara sungguh pandai memutarbalikkan perkataan. Sebentar begitu manis dan di lain waktu bertingkah seperti b******n.
“Aku tidak pernah melakukannya.” Kara menyangkal.
“Baiklah. Kalau begitu lihat apa yang akan tubuhmu katakan.” Habis sudah sisa kesabaran Theo. Akan dia bungkam mulut sialan satu itu.
Detik berikutnya Theo berubah bentuk. Dia mengambil bentuk binatang buas, langsung menerjang Kara tanpa memberi kesempatan kucing kecil itu untuk kabur. Kara sendiri terkaget, Theo tak pernah langsung menyerangnya dengan begitu brutal.
Kelengahannya membuat Kara tak sempat mengelak. Gigi Theo menancap di pundaknya. “HUAAA! HENTIKAN, THEO!” Taring besar dan tajam itu begitu menyakitkan, mengoyak kulitnya meninggalkan rasa sakit luar biasa.
Berat tubuh Theo dalam bentuk singa sulit dia tahan, berakhir Kara jatuh terlentang di atas tanah. Theo segera menahan tubuh Kara agar tak bisa bangun. Dia menekannya dengan kedua tangannya. Sementara giginya sibuk menggigiti bagian lain dari tubuh yang sempat dia puja.
Kara mati-matian meronta. Dia mencakar Theo dengan putus asa, tapi tak peduli dicakar seperti apa pun, Theo masih kukuh tak ingin melepaskan Kara.
Kara tak suka ini. Theo terlihat menakutkan. Dirinya yang tak berdaya begitu menyedihkan. Air mata yang coba dia tahan mulai menetes mengkhianati gengsinya. “Kau curang sekali, Kara.” Dan dari semua bentuk perlawanannya, air mata sialan itulah yang membuat Theo melepaskannya.
Theo berpindah ke samping, menggigit perut Kara tak terlalu kuat. Dia lalu membawa Kara bersama dengannya, berlari melintasi jalanan yang gelap.
Kara masih sadar, tapi dia tak punya semangat untuk melawan. Pikirannya hanya begitu kacau. Dia bisa dan selalu berbuat jahat pada Theo, tapi sekali Theo yang menjahatinya, dia merasa sakit hati dan terluka.
Theo membawa Kara ke vilanya. Terletak di dekat perbatasan antara kedua sektor. Bangunan dari kayu itu sudah lama tak dipakai, suasana di sana begitu dingin dan sepi. Sama seperti perasaan mereka saat ini.
Setelah Kara diletakkan di sebuah kamar, Theo berubah bentuk kembali. Sosoknya itu membuat Kara memalingkan muka.
“Kau masih bisa bertingkah malu-malu begitu? Menggelikan,” komentar Theo. Dia membuka lemari, mengambil pakaiannya yang tersimpan di sana dan memakainya. Setelah itu dia mengambil sepasang lagi dan sebuah handuk untuk Kara.
“Gantilah, bajumu kotor sekali,” perintah Theo kemudian.
Kara tampak merajuk. Duduk diam tak mau melakukan apa pun. Lukanya sudah menutup semua, hanya meninggalkan bercak darah yang mulai mengering. Berapa kali pun dilihat, tingkah penyembuhan Kara begitu mengerikan.
“Kenapa diam? Kau berubah pikiran lagi? Di depan umum sok bertingkah memusuhiku, sekali di kasur bertingkah begini jalangnya.” Theo mengangkat dagu Kara, menundukkan badan untuk bisa melihat lebih jelas ekspresi di wajah cantik itu.
Kara melotot, menepis tangan Theo dengan kasar. “Kau tak jadi menghajarku?” tanyanya dengan nada sinis.
Theo meraup wajah Kara dengan kedua telapak tangannya, menarik tubuh ramping itu mendekat padanya. “Aku bilang ingin mengingatkan tubuhmu apa yang sebenarnya kau inginkan, kucing angkuh. Akan kubuat kau mendesah manja memanggil namaku.” Segala serangan tadi bukan untuk menyakiti, tapi hanya untuk membawa Kara kemari.
Lelaki itu tak akan mau mendengarkan kalau tak dipaksa. Tak akan bisa jujur jika berada di tempat terbuka. Theo sudah bisa membaca pola pikir Kara yang satu ini. Dia begitu percaya diri bisa mengubah pemikiran Kara dengan membawanya kemari dan menghabiskan waktu berdua saja.
Bukan hanya bentuk cinta Kara yang mengerikan, tetapi juga bentuk cinta Theo yang masih saja berharap Kara mau membuka hatinya setelah diperlakukan secara tidak adil.
“Aku tak akan melakukannya,” balas Kara.
Sekali lagi Kara membuang muka, mengucapkan kalimat yang akan dia jilat kembali nanti.
“Susah sekali menjadi pacarmu.” Theo lantas melepaskan Kara. Kalau mendesak tak berhasil, dia akan memberi ruang.
“Siapa yang kau sebut pacar!” Begitu merasa tak terancam, Kara mulai berani berteriak pada Theo.
“Setelah semua yang kita lakukan, kau masih tak menganggapku pacar?” Saat bilang begitu, Theo menunjukkan bekas gigitannya di leher Kara. Tanda mating sama saja dengan pernikahan atau kekasih. Memangnya kalau bukan dianggap salah satunya, Kara mau menganggap hubungan mereka seperti apa?
“Aku sudah punya pacar.” Tak bisa menjawab, Kara memanfaatkan hubungannya dengan Laine.
“Aku tahu dan aku juga punya tunangan.” Sekali Theo memberitahukan akan ada sosok seorang tunangan, Kara begitu cemburu. Dalam benaknya bertanya-tanya, untuk apa Theo bilang mereka pacaran kalau dia sudah punya tunangan?
“Kau mau menjadikanku simpanmu?” Kara marah, ada rasa dengki yang keluar bersama dengan pertanyaan itu.
“Bukannya itu yang kau lakukan padaku? Kau menginginkanku untuk dirimu sendiri, tapi di depan umum kau menyangkal perasaanmu dan memperlakukan seolah kau membenciku.” Sekali lagi ucapan Theo menikam Kara. Kenyataan kalau dirinya yang lebih buruk membuatnya tak punya hak untuk menghakimi Theo.
Akan tetapi, keegoisannya membuat semua logika dan akal sehat sirna. Oke, tak apa kalau Theo berniat menjadikan dia simpanan, tapi akan Kara pastikan kalau keberadaannya tidak hanya dibalik bayang saja. Akan Kara tinggalkan tanda yang tak akan bisa disembunyikan Theo di depan tunangan yang bahkan tak dia kenal. Dengan begitu, siapa pun itu si tunangan akan sadar siapa yang lebih mencintai dan dicintai oleh Theo.
“Aku benar-benar membencimu. Kau dan pesonamu yang tak bisa kuabaikan.”
“Begitu lagi – huaaa!” Theo tersentak kaget. Kara tiba-tiba berubah seperti orang lain. Dia menarik Theo hingga jatuh di atas tubuhnya. Sebelum Theo sempat bereaksi, Kara mulai mencumbuinya dengan rakut.
Saat Theo sadar dia telah terlentang di atas tempat tidur. Kara duduk di atasnya, sibuk melepaskan pakaiannya sendiri. Bukan lagi menggoda, tapi sudah menyerang secara terang-terangan.
Emosi dan mood Kara begitu tak stabil, membuat Theo begitu frustrasi mengimbanginya. Dia pikir mereka sedang bertengkar, dan Kara malah mengajaknya bercinta. Biarpun begitu, Theo malah meladeni nafsu membara Kara.
Kedua pria itu mulai saling mencumbu satu sama lainnya. Menjilat, menggigit dan mengisap tiap inci tubuh pasangannya. Ciuman-ciuman panjang saling menyahut seakan tak pernah puas.
Jemari tangan Theo bergerak begitu sensual meraba area sensitif Kara, membangkitkan gairah yang tertahan. “Aaah ... lagi, sentuh lebih lagi ....” Desahan manja lolos dari bibir sinis itu, seperti mimpi indah yang akan segera hilang di mata Theo.
“Suara yang c***l. Ini yang katanya benci padaku, hah?” Theo memang berucap dengan sarkastis, tapi itu hanyalah caranya menunjukkan rasa senang akan reaksi Kara.
“Itu bohong. Sebenarnya aku sangat mencintaimu.” Secara tak terduga, Kara memeluk Theo, membisikkan kata cinta dengan suara yang manis. Kara tak tahu, seberapa besar pengaruh kata-kata yang dia ucapkan hanya karena rasa cemburu sesaat.
“Aku milikmu, Theo,” tapi hanya malam ini.
Pikiran Theo lenyap setelah kalimat satu itu. Dia memasukkan miliknya, mendorongnya begitu keras di dalam Kara.
“Huaaa ... aaah!” Desahan Kara semakin nyaring di tiap hentakkan. Pinggulnya mulai bergerak mengikuti irama permainan Theo. Semakin lama, rasa nikmat mulai menguasai tubuh mereka. Keringat membasahi kulit, memacu deru napas yang mengejar kenikmatan.
Tubuh Kara merengkuh, bergetar saat milik Theo mengesek area sensitifnya. Dia keluar begitu banyak, tapi rasa puas belum juga dia dapat. Miliknya masih berdiri dengan kokoh, menggesek perut Theo yang berada di depannya. Pelukan mereka Kara pererat, sembari berbisik di telinga Theo meminta lebih.
“Keluarkan di dalamku,” kata Kara.
“Baiklah, ini yang kau mau.” Theo membanting Kara kemudian, membuka kakinya dengan lebar, mengagahinya sesuai keinginan Kara.
Senyuman Kara saat membuka kedua tangannya minta dipeluk begitu manis, melelahkan hati Theo dengan panasnya cinta yang dia kira telah dia miliki sepenuhnya. Theo menyambut pelukan itu, mencumbui Kara lebih intens, melepaskan bibit-bibitnya ke dalam.
Theo tidur dalam pelukan Kara, begitu lelap dan lega. Dalam hati Theo percaya, kalau kali ini dia telah berhasil menangkap Kara sepenuhnya. Theo masih begitu naif, masih juga belum belajar dari pengalaman. Bahwa diperlukan kesabaran super ekstra untuk menjinakkan seekor kucing.
“Begitu bodohnya. Pisahkan pikiran dan instingmu, Theo.” Setelah mengatai Theo, Kara menggigit Theo di berapa tempat, lalu pergi meninggalkannya lagi. Tujuannya sudah tercapai, menandai Theo sebagai miliknya. Kalau membiarkan dirinya dimiliki ... jangan harap. Hati Kara tidak selembut itu.