Theo yang ditinggalkan oleh Kara dan Shion sudah agak tenang. Dia berada di dalam mobil bersama dengan Aira. Ceritanya sedang merajuk karena dilerai. Dia bahkan lupa untuk bertanya apakah Aira sudah menjalankan perintahnya atau belum.
Hanya dengan bertemu Kara sudah begitu memancing emosinya. Kucing angkuh itu selalu menjadi tantangan yang ingin sekali dia taklukkan.
“Sebaiknya kau berhenti Theo. Dia terlihat jauh lebih kuat dari yang kuduga, jangan sampai Kara mengalahkanmu di depan umum.” Aira mencoba mengingatkan Theo. Mumpung perkelahian mereka belum disaksikan terlalu banyak orang.
“Kau pikir aku akan kalah?” Tentu saja Theo tak akan mendengarkan. Dia seekor singa dan Kara hanya kucing rumahan. Bagaimana dia bisa dikalahkan oleh Kara? Omong kosong. Secara alamiah rasnya terlahir lebih unggul dari Kara.
“Kara itu anggora tahu. Dia punya tubuh dan otot yang kuat, biarpun badannya kecil, anggora selalu bisa bertahan hidup dalam kondisi apa pun. Dia juga punya regenerasi lebih baik dari mu. Pahami musuhmu sebelum mengumbar kesombongan.” Aira tidak sependapat dengan Theo.
Menilai tingkat kekuatan hanya dari ras adalah hal bodoh. Ada yang namanya perbandingan presentasi DNA, pengalaman dalam bertarung dan kecerdasan dalam menentukan kemampuan seseorang.
Di mata Aira, Kara lebih unggul. Dia menjadi ‘tuan’ bagi para kriminal selama sepuluh tahun bukan tanpa alasan. Seekor kucing rumahan yang bisa menaklukkan berbagai jenis karnivora bertubuh besar pastilah bukan kucing biasa.
Theo terlalu angkuh untuk mengakui kelebihan Kara, itulah masalahnya.
“Bagaimana kau tahu rasnya apa! Telinga dan ekornya saja tak pernah ditunjukkan!” Theo malah terganggu akan hal itu. Bau tubuh Kara memang seperti kucing, tapi semua ras kucing kecil rata-rata baunya sama. Jadi sulit dibedakan kalau belum melihat sosok Hybrid-nya.
Aira tak habis pikir, memangnya untuk apa Theo menyuruhnya mendekati Shion? Untuk mencari tahu hal seperti ini, kan?
“Ya, dia bahkan tidak perlu menunjukkan bentuk Hybrid untuk mendesakmu dan kau sudah sampai berubah bentuk. Masih belum sadar perbedaan kekuatan kalian?” Dalam bentuk seperti manusia, Hybrid hanya bisa menggunakan 50% kemampuannya. Karena itu, biasanya dalam pertarungan serius, mereka akan mengeluarkan cakar dan taring untuk meningkatkan kemampuan sebanyak 25% lagi. Bentuk terakhir adalah formasi penuh, seluruh tubuh berbentuk binatang buas untuk bisa mengeluarkan kemampuan 100%.
Menurut cerita Shion, Kara tidak pernah menunjukkan perubahan perubahan penuh. Maka bisa dipastikan kalau laki-laki itu belum pernah bertarung serius dengan siapa pun dan sudah bisa menjadi Pemimpin Sektor.
“Huh!” Theo mendengus.
Dia tak mau peduli. Baginya Kara hanya kucing lemah yang perlu menggunakan trik kotor untuk melukainya. Dia bisa menang dalam pertarungan terbuka. Masalah Theo hanya satu, dia tidak tahu apa yang dia inginkan dari menantang dan mengalahkan Kara.
Benarkah rasa bencinya sudah tumbuh sebesar itu? Lalu kenapa dadanya masih saja berdebar keras ketika melihat laki-laki cantik itu tadi?
***
Saat sedang tak ada pekerjaan, Kara akan berkeliling wilayahnya. Dia mencari siapa saja yang kuat, si tukang buat onar yang akan dia kalahkan dan dipaksa patuh pada perintahnya.
Sama seperti hari ini, Kara jalan-jalan dalam kota sendirian. Dia tidak pernah menduga akan bertemu siapa dan berakhir seperti apa harinya. Tentu saja dia juga tidak akan menduga bertemu dengan Theo.
Jarak pria itu masih sekitar sepuluh meter darinya, tapi aura keberadaan Theo sudah bisa Kara rasakan. Aroma kuat yang selalu membuatnya mabuk kembali ia hirup. Membawa rasa rindu yang sulit ia kendalikan.
Kara berhenti melangkah. Dia menelan ludah menatap terpesona pada Theo. Penampakan sang Alpha dengan balutan pakaian santai pun begitu memikat. Bekas gigitan Theo padanya mulai terasa panas, mengingatkan akan adanya ikatan di antara mereka.
Theo menoleh, menemukan Kara di antara keramaian. “Aku menemukanmu.” Dia tersenyum culas saat tahu Kara masih begitu mudah terpengaruh padanya. Feromon Kara yang secara refleks disebar itu memberitahukan pada Theo seberapa Kara menginginkannya.
“Kau rindu padaku, Kara?” Theo sengaja menggoda, ingin tahu seperti apa reaksi Kara.
Kara sama sekali tidak bisa tersenyum, dia menunjukkan kemarahan. “Beraninya kau menginjakkan kaki di wilayahku. Di sini tak ada Shion yang akan menghentikanku. Siap-siaplah tercabik-cabik.” Perkataannya yang terdengar bagai tantangan itu menarik begitu banyak perhatian.
Jalan yang begitu ramai penuh dengan orang berlalu-lalang langsung terbuka. Orang-orang itu memberi ruang, tertarik untuk menonton pertarungan Kara. Duel Kara selalu menyenangkan untuk dilihat, apalagi kali ini lawannya merupakan sesama Pemimpin Sektor.
“Itulah yang kuinginkan,” balas Theo.
“Aku tak sabar menyeretmu pulang setelah mengalahkanmu.” Dia kembali memprovokasi Kara.
“WHOAAA! KALAHKAN! HANCURKAN!” Penonton langsung berseru penuh semangat. Tak ada alasan bagi Kara untuk menahan diri lagi. Dia yang dikenal tak pernah lari dari pertarungan, tak pernah kalah itu punya harga diri yang harus ia jaga.
“Kulemparkan kembali kata-katamu,” ujar Kara.
Detik berikut, Kara dan Theo mengeluarkan cakar dan taring mereka. Keduanya berlari dengan kecepatan tinggi saling berhadapan. Tubuh mereka berbenturan dengan keras, cakar-cakar runcing itu saling mencabik tanpa ampun.
Suara auman Theo menambah ketegangan, mengintimidasi Kara beserta para penonton. Namun, itu saja tidak membuat Kara takut. Kucing pemberani itu malah menerjang Theo dengan brutal, menyobek lengan Theo dengan taringnya.
Theo memukul kepala Kara, melemparkan tubuh Kara hingga terlontar menabrak dinding sebuah bangunan.
Kara bangun lagi, kembali menyerang Theo tanpa kenal ragu. Kali ini Theo bisa membaca arah serangan Kara, dia terlebih dulu memblokirnya. Dia menangkap pinggang Kara dengan cengkeraman cakar yang besar dan tajam. Menusuk hingga ke dalam.
“ARGHHH!”
Crak!
Kara tak bisa dihentikan hanya dengan itu. Saat tangan Theo tertahan padanya, dia memanfaatkan kesempatan untuk mencakar d**a Theo.
“Sial!” Terpaksa Theo melepaskan Kara, dia melompat mundur.
Bagian pinggang Kara yang robek terlihat berasap, mulai menutup dengan cepat hingga terlihat terlalu mengerikan. Theo masih belum terbiasa, tak peduli sudah melihatnya berapa kali pun.
“Kau seperti monster,” komentar Theo.
Mata biru terang Kara seperti berubah warna, menjadi lebih gelap bersama dengan tumbuhnya bulu-bulu hitam di sekitar wajah pria itu. Telinga kucing itu sudah keluar, tapi ekor dan bagian tubuh lain masih berbentuk seperti manusia.
Theo menyeringai, menertawakan perkataan Aira tempo hari. Apanya yang lebih kuat darinya? Hari ini Kara yang lebih dulu menunjukkan sosok Hybrid. Meskipun belum sempurna, tapi sudah pada tahap meningkatkan kemampuan.
“Ya, monster ini akan mengoyakmu!” Bersama dengan balasan itu, Kara melompat ke arah Theo. Begitu cepat hingga tak terlihat, membuat Theo terkaget tak sanggup merespons.
“AHHH!” Giliran Theo yang menjerit. Cakar Kara telah merobek perutnya dengan kejam.
Kesombongan Theo menamparnya, membuatnya terpaksa menarik omongan sendiri dan berubah wujud.
“KARAAA! AKAN KUGIGIT KAKIMU!” Theo kehilangan kendali diri.
Seekor singa raksasa kini berlarian secara acak di sepanjang jalan, mengejar Kara seperti memburu binatang kecil tak berdaya.
“Cih!” Kara berdecak kesal. Dia sepenuhnya terintimidasi. Terpaksa melarikan diri dari Theo. Kucing itu melompat dari satu bangunan ke bangunan lainnya, sambil berusaha menghindari serangan Theo yang brutal.
Pertarungan mereka berpindah ke atap-atap bangunan, membuat orang-orang yang menyaksikan tidak bisa lagi mengikuti perkembangan pertarungan.
Kara menuntun Theo mengikutinya dia area mati. Deretan gedung terlantar yang sudah tidak beroperasi bertahun-tahun lamanya. Dia berniat menjebak Theo di sana, memanfaatkan batu-batu beton di atas gedung untuk mengubur Theo.
Sayangnya Theo terlalu cerdas untuk dijebak. Bahkan saat dalam keadaan lepas kontrol, Theo tetap bisa membaca situasi. Dia berhenti mengejar, tak membiarkan Kara membawanya ke bawah gedung.
Refleks Kara ikut berhenti. Dia berdiri di atas gedung berjarak lima meter dari Theo.
Mereka kembali saling bertatapan, saling pandang dengan tatapan yang sulit diartikan. Untuk sesaat mereka berhenti saling menyerang. Seorang pemuda yang berhasil menyusul mereka berhenti tak jauh dari sana, tapi sepertinya baik Kara maupun Theo tidak menyadari keberadaannya.
Dia mengerutkan kening tak paham. Kenapa Kara dan Theo berhenti secara tiba-tiba. Pemuda bernama Kori itu mengendus sebuah kejanggalan. Dia segera bersembunyi sebelum mereka menyadari kedatangannya.
“Akui saja, Kara. Kau mencintaiku, kenapa masih begitu keras menyangkalnya?” Kori terkejut mendengar perkataan Theo. Dia tidak pernah mendengar ada Alpha yang jatuh cinta kepada Alpha lain.
Terutama orang itu Kara, sosok yang selalu dia hormati. Seekor kucing penyendiri penuh dengan pengalaman pahit dan kebencian dalam hati hingga mustahil bisa membuka diri pada siapa pun.
“Heh! Bukannya kau yang jatuh cinta padaku? Begitu putus asanya kutolak sampai mencariku ke sini?” Apa kata Kara tadi? Jadi perasaan itu saling berbalas?
“Putus asa? JANGAN BERCANDA! AKU KEMARI UNTUK MEMBALAS PENGHINAAN SEBELUMNYA!” Ocehan Kara kembali memancing emosi Theo. Tiba-tiba saja dia menerjang Kara, menggigit kaki Kara dengan taringnya yang besar dan kuat.
“ARGHHH! LEPASKAN AKU!” Kara tak sempat mengelak, dia berteriak kesakitan sembari mencakar-cakar Theo dengan putus asa. Kakinya sakit sekali, terkoyak hingga ke tulang-tulang seakan-akan nyaris terputus.
Cakaran Kara mengenai kelopak mata Theo, membuat gigitannya terlepas. Memanfaatkan kesempatan, Kara segera melarikan diri. Sedangkan Theo terjatuh dari gedung, melukai punggungnya lebih parah daripada luka di mata.
Kori yang menyaksikan itu segera mengejar Kara. Dia meninggalkan Theo tanpa mau peduli sedikit pun. Kara dia temukan di tepian laut, dalam gua dekat karang-karang terjang. Tempat yang tidak pernah didatangi oleh siapa pun.
Kakinya mulai memulih, tapi lebih lambat dari biasanya. Tubuh kurus itu sedikit gemetaran dengan napas tersendat-sendat. Namun, tatapan mata penuh keberanian dan aura binatang buas itu tetap ada.
Perlahan Kori mendekat, tetap menjaga jarak aman agar Kara tidak merasa terancam. “Bos baik-baik saja?” tanya Kori hati-hati.
“Kau melihatnya?” Kara menginterogasi. Dia bukannya tak sadar akan keberadaan Kori. Bau manis dari laki-laki ini sedikit samar dia endus dari tadi. Theo sepertinya tak sadar, tapi penciuman Kara tak bisa ditipu.
“Semuanya,” Kori mengaku. Tak ada alasan berbohong pada Kara. Dia adalah salah satu bawahan paling loyal. Orang yang tahu balas budi setelah ditolong oleh Kara beberapa tahun lalu.
“Bagaimana keadaan Theo?” Kara tahu Kori tidak akan menghakiminya, jadi dia juga tak berniat menyembunyikan sesuatu.
“Dia terjatuh dari gedung dan terluka, tapi sepertinya masih bisa bangun. Mungkin tak lama lagi akan segera mengejar. Aroma feromon Bos sangat kuat, dia akan bisa langsung menemukan tempat ini.” Ini saja Kara tahu. Dari tadi tubuhnya selalu menyebar bau itu untuk menggoda Theo. Reaksi alami yang dikeluarkan karena gigitan dari Theo di tubuhnya.
Kara benci akan hal itu, tapi dia tak berbuat banyak untuk menghentikannya. Kalau pun bisa melakukan sesuatu, dia harus menutupi baunya dengan bau yang lebih kuat. Untungnya solusi itu ada. Seorang Omega muda yang berada dalam puncak pubertas. Pemilik feromon yang lebih kuat daripada aroma feromon seorang Alpha sekalipun.
“Kemari!” perintah Kara.
Kori langsung patuh. Sudah tahu apa yang Kara inginkan darinya. Si bos ingin menguatkan baunya, menyuruhnya pergi untuk menutupi jejak dan mengacaukan penciuman Theo.
Caranya sangat mudah, hanya perlu merangsangnya dengan sebuah ciuman dan beberapa sentuhan ringan. Kara tak perlu merasa sungkan, dia tak peduli pada siapa pun yang sentuh. Hubungan fisik tak lebih dari insting alami seorang Alpha yang terpikat pada kecantikan Omega.
Hubungan hati yang dia permasalahkan. Sebuah kutukan yang hingga saat ini masih menjeratnya. Sesuatu yang dia sebut sebagai cinta terlarang.
***
Kehilangan jejak Kara, Theo terpaksa pulang dengan tangan kosong. Untung saja luka di matanya hanya di bagian kelopak luar saja, tapi punggungnya lumayan parah. Theo sampai yakin dia akan mendekap di rumah sakit selama berhari-hari sebelum bisa kembali untuk mengejar Kara lagi.
Kalau ditanya apa sudah jera atau belum? Jawabannya jelas belum.
Seorang Theo tidak kenal kata jera. Dia akan mendapatkan apa maunya tak peduli seberapa sulit dan lama usahanya. Termasuk untuk menaklukkan Kara, orang yang sudah melukainya sampai dua kali.
Oke kali ini Kara berhasil lolos, tapi mau sampai kapan? Semakin dia sering muncul di Sektor Empat, semakin juga Kara tak bisa menghindari pertempuran dengannya.
Theo ingin melihat Kara bagaimana pun situasinya. Sekali pun mereka hanya saling serang, itu jauh lebih baik daripada mencoba melupakan Kara dan berhenti memikirkannya.
Astaga ... Theo kangen sekali aroma segar bunga dari tubuh Kara. Seakan memang terlahir untuknya. Sebuah buah manis beracun penuh duri yang harus dia miliki meskipun harus menghancurkan pohonnya.
Selesai berkhayal, Theo baru menghubungi Aira. Nampaknya sadar diri juga, kalau fisiknya punya batas dan butuh yang namanya perawatan.
Tentu saja, saat Aira sampai ... perempuan itu akan menghujaninya dengan ocehan panjang lebar. Memarahinya karena sengaja mencari perkara dengan Kara tanpa memikirkan dengan serius akibat yang didapat setelahnya.
“Kau tak tahu yang namanya menahan diri dan menunggu? Paling tidak cari tahu dengan detail kelemahannya baru pergi menyerang. Lihat akibatnya kalau menantang binatang buas tanpa persiapan!” Aira sudah putus asa menyuruh Theo berhenti. Paling tidak dia akan menyuruh Theo mengendalikan diri. Minimal menunggunya selesai mencari kelemahan Kara dan baru pergi menantang pria itu.
“Aku juga binatang buas dan Kara terluka lebih parah. Aku menggigit kakinya, dia pasti tak akan bisa jalan untuk sementara.”
“Kau lupa! Regenerasinya lebih baik dari mu, dia akan sembuh total sebelum kau sembuh!”
Fakta ini membuat Theo kesal. Karena dia tahu itu benar. Kara memang tak bisa diremehkan sepenuhnya. Semangat hidup dan nyali Kara sungguh tak biasa, tapi Theo tetap yakin kalau dia lebih kuat dari Kara.
“Tak masalah. Aku hanya perlu mencarinya setelah lukaku sembuh.” Kara tak biasa keluar dari wilayahnya sendiri. Jika bukan dia yang mencari, Theo yakin Kara akan mengabaikan keberadaannya.
Sakit hati memang, tapi apa boleh buat. Orang yang dia cintai memang berhati dingin. Tak ada bentuk perasaan apa pun yang bisa melelehkan hati itu, bahkan cinta yang jelas-jelas mereka rasakan bersama sekalipun.
“Terserah kau sajalah. Memangnya siapa yang bisa menghentikanmu!” Aira sudah muak. Dia memutuskan untuk segera pulang setelah merawat Theo. Percuma juga menyuruhnya ke rumah sakit, paling nanti kabur lagi.
“Mau ke mana kau!” Namun, Theo lebih dulu menahan tangan Aira. Rupanya dia masih punya urusan lain.
“Apalagi sih!” Aira tak akan bersikap manis. Dia menepis tangan Theo dengan kasar.
“Yang kusuruh kemarin bagaimana? Kau ketemuan dengan Shion berkali-kali, tapi kau tidak melaporkan apa pun padaku.” Theo tak peduli, dia tetap saja mengucapkan apa pun yang mau dia ucapkan.
Aira terdiam beberapa detik. Gelagatnya membuat Theo memicing curiga. “Kau melakukan perintahku atau tidak?” Dia bertanya ulang, meragukan pekerjaan Aira.
“Kan waktu itu aku sudah melaporkan ras dan kemampuan regenerasinya. Mencari info soal Kara itu susah, Shion tahunya menceritakan masa lalu mereka saja. Dia selalu memuji Kara, tapi jarang menyinggung kelemahannya.” Aira langsung membantah dengan panik, cari alasan yang banyak.
“Itulah kenapa aku menyuruhmu menggodanya! Gunakan alkohol atau tubuhmu sekalian. Buat Shion lengah dan kau tanyakan sendiri. Jangan tunggu dia yang cerita!” Aira tak percaya dengan apa yang dia dengar. Menggoda sedikit dan menemani Shion kencan tak masalah, tapi bila sampai bertindak sejauh itu ... dia tak mau.
Plak!
“Kau pikir aku w************n! Aku ini calon istrimu! Kau malah mau menjualku demi informasi. Mati saja kau kucing besar sialan!” Aira murka. Dia memaki dan menampar Theo. Sudah hilang kesabaran meladeni keegoisan tak masuk akal pria itu.
“Kau juga kucing besar, Aira!”
“Diam! Aku tak akan membantumu lagi!’
“Kembali Aira! Aku belum selesai berbicara!”
Theo segera mengejar Aira, dia masih ada perlu dan Aira malah pergi terburu-buru. Kadang Theo terlalu tumpul untuk menyadari perasaan seseorang. Dia bahkan tak tahu diri, masih saja mau meminta sesuatu pada orang yang tidak bisa dia perlakukan dengan baik.
“Lepaskan aku! Dasar Alpha tak berguna! Tak mampu mengalahkan kucing kecil dan bergantung pada cara kotor.” Aira tak mau lagi menjaga perasaan Theo. Dia bahkan mengeluarkan cakarnya ke depan muka sang tunangan.
“Aku sudah muak melihat mukamu.” Selanjutnya, Aira menendang kaki Theo.
Theo terjatuh, mengutuk Aira berkali-kali saat wanita itu pergi meninggalkannya begitu saja. Kalau saja dia tidak dalam kondisi terluka, Theo pasti tidak akan selengah itu membiarkan Aira memperlakukannya seperti ini.
Kadang menghadapi teman masa kecil itu sulit. Theo bisa semena-mena, tapi ada batas di mana dia bisa tegaan pada Aira.