Theo baru saja membuka matanya. Pemandangan serba putih dan kuatnya bau obat-obatan yang menyambut. Kara tidak berbohong, dia sungguh memanggil ambulans saat pergi. Itulah kenapa Theo bisa terbangun saat ini.
Sebab, ingatan terakhir Theo adalah punggung Kara yang meninggalkan kamar hotel tersebut. Setelah itu kabur, kesadarannya lenyap dan baru bangun saat ini. Beberapa hari telah terlewatkan. Theo mengetahuinya dari tanggal yang tertera di kalender meja samping tempat tidurnya.
“Ouch,” Theo meringis memegangi lehernya, tempat luka itu berada.
Theo bagus dalam bertarung, tapi dia punya kelemahan fatal. Regenerasi Theo tergolong lebih lambat dibandingkan dengan spesies karnivora lainnya. Itulah kenapa dia selalu menghindari pertarungan. Terutama bila lawannya mempunyai kemampuan regenerasi luar biasa seperti Kara.
Theo akan kalah jika sampai dia terluka. Inilah yang selalu dia hindari dan akhirnya malah dia alami karena kelengahan sesaat. Mengingatnya saja sudah membuat Theo geram. Rasanya tak percaya, dia dengan mudah dipermainkan oleh seekor kucing kecil seperti itu.
“Kamu sudah sadar? Sebenarnya apa yang terjadi sampai kau terluka separah itu, Theo?”
Theo mengangkat kepalanya, mencari asal suara tersebut. Dia menghela napas saat menemukan Aira duduk di kursi yang tersedia dekat pintu. Wanita itu adalah tunangannya, seorang Omega yang dipilihkan oleh keluarga Theo untuk dijadikan mate-nya.
Namun, baik Theo maupun Aira tidak merasakan getaran apa pun pada perasaan mereka. Mungkin karena mereka tumbuh bersama seperti saudara, sehingga ketika dewasa, tak ada apa pun lagi yang bisa membuat d**a mereka berdebar satu sama lainnya.
“Cerewet sekali. Kau bukan ibuku, Aira. Tak perlu mengurusi urusanku.” Bukannya menjawab, Theo malah mengeluh.
“Kau pikir aku mau repot-repot menjagamu? Aku juga terpaksa berada di sini. Kudengar kau berkelahi dengan Pemimpin Sektor Empat, apa dia yang melukaimu?”
Aira berdiri, berjalan mendekati Theo, duduk di sampingnya untuk bertanya. Dia memang tidak mencintai Theo, tapi rasa peduli tetap saja ada. Soalnya laki-laki satu ini terkadang suka bertindak lewatan batas, tak tahu kapan harus berhenti sampai terluka seperti ini.
“Dengar dari mana?” Lagi-lagi Theo melemparkan pertanyaan tanpa menjawab.
Aira jadi kesal. Ingin rasanya dia menampar muka Theo. Sejak dulu Theo selalu saja menjengkelkan. Tak pernah mau mendengarkan orang lain, tetapi ingin dijadikan prioritas. Kesombongan itulah yang menyebabkannya terbaring di sini dan masih saja, Theo banyak tingkah.
“Semua orang membicarakannya.” Aira tak mau lagi bertanya, dia merasa bodoh mencoba berbicara dengan Theo. Biarkan saja apa maunya, kalau celaka biar ditanggung sendiri.
Jadi begitu, batin Theo. Dia berpikir sejenak, sama sekali tidak merespons ketika Aira memeriksa keadaannya.
Aira merupakan seorang dokter, maka dari itu Theo percaya saja pada urusan perawatan padanya. Rumah sakit ini juga merupakan milik keluarga Aira. Berbasis di Sektor Dua yang merupakan wilayah Shion.
“Aku ingin balas dendam.” Tiba-tiba saja Theo memutuskan, caranya berbicara seperti akan menyuruh-nyuruh. Aira sudah terlalu kenal kepribadian Theo hingga sanggup membaca isi pikirannya.
“Jangan melibatkanku,” balas Aira.
Theo menyeringai. Tunangannya memang peka, tahu saja akan dimanfaatkan demi urusan pribadinya. Namun, penolakan singkat saja tak bisa menghentikan Theo. Bila Aira tak mau, dia hanya perlu memaksa wanita itu agar setuju.
Theo lantas menarik tangan Aira. Dan dengan tangan yang bebas dia mencengkeram leher Aira. “Memangnya kau bisa menolakku?” Dia tidak segan menggunakan kekuatannya sebagai Alpha untuk menekan Aira.
“Pergilah dekati Shion, Pemimpin Sektor Dua. Goda dia, buat dia membeberkan kelemahan Kara padaku.” Ada tekanan di tiap kata yang keluar dari mulut Theo, kekuatan yang memaksa untuk tunduk.
Aira menggeretakkan giginya, bersusah-payah menolak tekanan dari feromon Theo. Dia menggeleng dengan pelan, berusaha mendorong tubuh Theo menjauh.
“Jangan menggunakanku!” teriak Aira.
Bruk!
Kemudian Theo mendorongnya hingga jatuh terlentang. Laki-laki itu semakin mendekatkan bibirnya pada telinga Aira. Tangannya yang mencengkeram leher Aira menekan semakin kuat bersama dengan besarnya feromon yang terlepas.
“Dengarkan aku, Aira. Sebaiknya kau berhenti melawan dan lakukan saja perintahku. Jika tidak, aku mungkin akan menggigitmu.” Theo mengancam. Dia tahu kalau Aira tidak ingin terikat padanya, tidak sudi membiarkan gigitan Theo berada padanya.
Aira mungkin sudah pasrah menerima keinginan keluarganya untuk menikah dengan Theo, tapi dia tidak ingin memberikan kebebasannya. Dan bagi seorang Omega sepertinya, sebuah gigitan dari sang Alpha yang merupakan tanda mating adalah sebuah rantai pengekang kebebasannya.
“Kau memang selalu menjadi b******n!” Aira mengumpat. Sekali lagi dia hanya bisa patuh pada keegoisan Theo. Biarpun demikian, Theo tidak peduli. Seperti yang Aira katakan, dia memang selalu menjadi b******n egois.
“Itu bukan jawaban, Aira.” Kalimat bernada riang itu terdengar memuakkan di telinga Aira. Dia menyesal sempat cemas dan mau merawat Theo. Harusnya dari awal saja dia abaikan tunangan tak tahu diri itu.
“Akan kulakukan! Puas kau!”
“Itu jawaban yang kuinginkan.”
Begitu Aira menyetujui, barulah Theo melepaskannya. Refleks Aira langsung menjauh sebisa mungkin. Dia tak ingin sisa-sisa tekanan feromon Theo mempengaruhinya lagi.
“Ngomong-ngomong kapan aku boleh keluar rumah sakit?” Dan si b******n masih saja mengajaknya berbincang seakan tidak habis mengancamnya. Aira tak percaya, betapa sanggupnya dia tumbuh dewasa bersama dengan orang seperti Theo.
“Kapan saja terserah, tapi kalau kau mati di jalan jangan melibatkanku.” Aira langsung keluar, membanting pintu sekalian. Dia tak mau mengurus Theo lagi. Baik sebagai tunangan atau dokter. Nanti saja dia oper Theo ke rekan kerjanya.
“Kau sebut dirimu dokter? Mana kepedulianmu pada pasien? Hei, Aira! Aku sedang bicara denganmu!” Aira tak mau mendengar. Dia menutup telinganya dari teriakan Theo.
***
Malam harinya Aira pergi ke pusat kota. Dia berkeliling mencari keberadaan Shion. Sudah menjadi pengetahuan umum kalau Shion merupakan orang yang sangat aktif bersosialisasi. Dia kerap terlihat di berbagai pusat hiburan malam, arena permainan atau turnamen olahraga apa pun yang digelar dalam wilayahnya.
Wajah Shion terlihat galak, tapi pembawaannya lebih santai dari penampilannya. Selain itu Shion juga pandai bertarung dan suka mengurusi orang lain. Aira juga bukannya sama sekali tidak kenal dengan Shion. Terkadang mereka bertemu di acara amal atau sebuah pesta saat dia datang sebagai pendamping Theo.
Tak butuh lama, Aira sudah bisa menemukan Theo. Laki-laki itu berada di sebuah area permainan. Dia terlihat gagah dikelilingi oleh para atlet. Dengan rambut pendek yang rapi, pakaian kasual yang menonjolkan otot-otot seksi dan senyuman hangat di wajahnya yang begitu menarik.
Namun, yang paling menarik adalah warna matanya, cokelat keemasan dengan bentuk yang tajam. Bahkan aroma tubuhnya begitu kuat, dengan mudah membuat wanita mana pun terpikat olehnya. Termasuk di Aira sendiri.
Aira berjalan mendekati Shion. Dia tidak langsung menyapa, masih bingung harus mengatakan apa untuk memulai obrolan. Mereka tidak dekat, hanya kenalan sepintas lalu. Biarpun demikian, kedatangannya saja sudah cukup untuk mencuri perhatian Shion. Tepat ketika tatapan mata mereka bertemu, Shion memberinya sebuah senyuman.
Aira tersipu. Refleks ia menunduk ketika Shion meninggalkan teman-temannya dan datang menghampirinya. “Aira, kan? Hari ini sendirian?” Suara Shion begitu halus, terasa menenangkannya. Itu buruk untuk Aira. Laki-laki ini terlalu baik untuk dimanfaatkan.
Terkutuklah Theo dan ambisi gilanya. Ingin rasanya Aira berteriak mengumpat pada Theo, berkata kalau dia tidak bisa melakukannya, tapi apa daya. Menolak Theo adalah sesuatu yang mustahil dia lakukan.
“Aku datang dengan teman, tapi seseorang membawanya pergi,” bohong Aira.
“Kalau begitu mau kutemani?” Shion terlalu ramah, pendekatan ini terlalu mudah hingga membuat Aira tak nyaman.
“Bagaimana dengan teman-temanmu? Kau terlihat sibuk dengan mereka tadi.” Berkali-kali dia melirik pada kumpulan teman-teman Shion tak jauh dari mereka.
“Aku hanya menyapa mereka tadi, bukannya datang dengan mereka. Ayo naik ke atas, di sini berisik. Kita bisa mengobrol santai di sana.” Atas yang Shion maksudkan adalah area kafe yang lebih tenang bila dibandingkan dengan area permainan di sini.
Orang-orang berombongan, bermain biliar atau bertaruh pada para petarung di atas arena pertempuran yang tersedia. Sebagian hanya mabuk-mabukan, saling menggoda mencari pasangan.
“Kalau begitu baiklah.” Aira setuju, dia membiarkan Shion menuntunnya ke arah tangga.
“Shion, kau mau meninggalkanku untuk seorang wanita?” Tepat di depan tangga, seseorang memanggil Shion.
Shion dan Aira berbalik. Mereka menemukan Kara di sana. Kara tengah bersedekap, terlihat kesal dengan pakaian berantakan berhias cipratan darah seseorang. Karena Aira tidak mengenali wajah Kara, dia merasa takut. Kesan yang Kara tunjukkan terlalu kuat untuk dia terima.
“Kukira kau masih mau bertarung. Hubungan kami bukan seperti itu. Wanita ini anak dari rekan bisnisku. Kembalilah ke arena, akan kutemani kau minum habis ini.” Shion menyahut Kara, menyepelekan kekesalan Kara yang dia ajak berkumpul malah berakhir bertarung dari tadi. Sekali dia dapat teman mengobrol, malah muncul sambil marah tak jelas.
Kini Kara malah mendekati mereka dengan cepat. Hidungnya sibuk mengendus pada Aira, tak peduli jika sikapnya membuat Aira bersembunyi di balik punggung Shion.
“Baumu bercampur dengan baunya. Singa sialan itu,” kata Kara.
Aira segera sadar, singa yang dimaksudkan adalah Theo. “Aku dokter yang merawat!” Dia menjawab dengan cepat, tapi tidak menjelaskan dengan tepat hubungan mereka yang sebenarnya.
“Dokter? Kau sedekat itu dengan pasien sampai baunya menempel sekuat ini?” Sekarang Kara malah mulai mendesak tak masuk akal, menginterogasi orang yang baru pertama kali ditemui.
“Hentikan Kara, ada apa denganmu? Masih mau lanjut cari ribut?” Karena Aira mulai gemetaran, Shion menarik Kara menjauh. Mereka kemudian berdebat kecil di sana, berjarak tak terlalu jauh dari Aira hingga dia bisa mendengar semuanya.
Akhirnya Aira tahu. Laki-laki inilah yang telah melukai Theo separah itu. Tubuhnya yang ramping dan wajah cantik itu ternyata hanyalah kamuflase. Sebaliknya, Kara yang di hadapan Aira saat ini jauh lebih menakutkan daripada yang dia bayangkan sebelumnya.
“Kami juga teman masa kecil, jadi agak dekat.” Aira menaikkan suaranya, dia memberikan penjelasan padahal sebenarnya tak perlu.
Teriakan Aira menarik perhatian Kara. Dia mengabaikan Shion dan kembali mendekati Aira.
“Jadi bagaimana keadaannya?” tanya Kara kemudian.
“Theo baik-baik saja. Lukanya sudah menutup.” Aira menjawab dengan gugup. Dia sedikit berbohong. Kenyataannya luka Theo belum kering. Aira hanya tak ingin Kara tahu betapa lambatnya masa penyembuhan Theo. Dia melihat Kara sebagai musuh. Sosok berbahaya yang mungkin saja akan kembali menyerang Theo kalau tahu lawannya tidak dalam kondisi baik.
“Baguslah.” Reaksi Kara membuat Aira bingung. Dia ingin bertanya kenapa Kara terlihat lega saat mendengar musuhnya telah membaik.
Aira hanya tak punya nyali untuk bertanya dan Kara sendiri main pergi saja tanpa memedulikan mereka. Shion berkali-kali memanggilnya, tapi Kara masih saja berjalan lurus naik ke atas arena menantang seseorang bertarung.
“Ada apanya,” keluh Shion. Bingung dengan tindakan Kara. Temannya memang selalu seenaknya, tapi rasanya tidak sekurang ajar ini.
“Oh maaf, tak perlu takut. Kara memang selalu seperti ini.” Detik berikutnya Shion tertawa, mencoba menenangkan Aira yang terlihat pucat.
“Dia yang melukai Theo, kan?” Ketika Aira mengangkat kepalanya, dia bertanya.
Shion menggeleng. Dia memang mendengar kabar Theo terluka dilarikan ke rumah sakit, tapi itu terjadi setelah berpisah dengan Kara. Jadi Shion pikir luka itu tak ada kaitan dengan Kara. Mereka hanya bertengkar saja, tidak sampai saling melukai dengan serius.
“Mereka bertengkar di pesta, tapi sudah kulerai. Bukan Kara pelakunya, jangan terlalu percaya pada gosip yang beredar.” Shion lalu mengklarifikasi.
Mereka meninggalkan lantai dasar, naik ke lantai dua seperti rencana awal. Selama berjalan, Aira tak membalas Shion. Dia tengah berpikir, menebak-nebak apa yang sebenarnya terjadi.
“Itu bukan gosip. Saat dasar, Theo berkata kalau Kara yang melukainya.” Setelah sekian lama, Aira memutuskan untuk memberi tahu Shion untuk memastikan reaksinya.
Shion terkaget. Dia diam menutup mulutnya. Aira tidak terlihat berbohong dan Theo yang dia kenal bukan orang yang akan mengatakan kebohongan juga untuk menyulut masalah. Tingkah Kara juga aneh tadi. Bertanya keadaan Theo seakan dia peduli padahal mereka hanya bertemu sekali. Sulit dipercaya, tapi memang ada kemungkinan Theo dan Kara bertemu kembali setelah dia pisahkan saat itu.
“Separah apa lukanya?” Akhirnya Shion memutuskan untuk bertanya, dia perlu info jelas untuk berjaga-jaga.
“Cakaran di sepanjang pembuluh darah dan gigitan di lehernya.” Aira rasa kalau hanya ini tak perlu disembunyikan. Pertarungan antara para Hybrid memang sudah biasa melibatkan cakar dan gigi.
“Masalah ini tidak akan menjadi pertikaian antara sektor, kan?” Aira kembali bertanya, membuat Shion salah paham mengira Aira mencarinya karena mencemaskan hal itu. Berhubung Sektor Dua berbatasan langsung dengan Sektor Satu dan Sektor Empat. Wilayahnya mungkin ikut terkena dampaknya.
“Jadi itu yang kau cemaskan? Tak perlu cemas, Aira. Kara tak ada niat untuk membawa hal itu ke urusan wilayah. Dia sendiri masih berperang dengan Sektor Tiga, tak ada untungnya menantang Sektor Satu.” Shion positif hal itu tak akan terjadi sih. Karena dia kenal betul dengan Kara. Kalau memang Kara niat mencari masalah, temannya itu akan langsung mengumumkan tantangan. Kara tak akan bermain-main di atas arena, berkelahi menghabiskan waktu luang seperti tak punya masalah hidup.
“Kalau begitu baguslah.” Aira merasa lega. Dia tak mau sampai terlibat masalah seberat itu. Kalau hanya balas dendam pribadi antara sesama pria tak masalah. Jangan sampai menggunakan status mereka sebagai Pemimpin Sektor untuk menyulut pertikaian besar.
Dia masih harus mencari kelemahan Kara sih, sesuatu yang membuatnya begitu putus asa hanya karena mengingatnya saja. Aira terbiasa bertemu dengan Alpha yang memiliki gen kuat, tapi dia bisa memastikan kalau Kara jauh lebih kuat dari yang biasa dia temui.
***
Kara turun dari arena. Dia dilarang ikut bertarung lagi setelah lima kali kemenangan berturut-turut. Karena telah luang, dia pergi ke lantai atas untuk mengecek apakah Shion sudah selesai beramah-tamah dengan perempuan yang katanya teman masa kecil Theo.
Namun, dia tidak mendekati mereka saat sadar suasana di antara kedua orang itu telah berubah. Bukan seperti tengah menemani kolega, melainkan lebih seperti temannya tengah saling menggoda dengan Aira.
Kara berbalik turun lagi. Dia merasa kesal sendiri. Bukan karena Shion mengabaikannya setelah mengajaknya datang. Melainkan karena aroma Theo yang menempel pada Aira mengganggunya.
Biasanya orang tak akan langsung sadar dan mengenali bau seorang Alpha yang telah menempel pada tubuh seorang Omega. Apalagi jika Omega itu mempunyai gen yang kuat dan aroma yang terlalu manis seperti Aira.
Kepekaan Kara pada bau Theo membuatnya gusar. Kepeduliannya untuk tahu akan keadaan Theo sepeti menjilat ludahnya sendiri untuk tidak akan pernah bertemu dengan Theo lagi. Baru beberapa hari saja pikirannya sudah penuh oleh laki-laki itu, seperti sebuah hukuman yang terus menghantuinya.
Dia pun meninggalkan tempat itu dengan kesal, berjalan cepat tanpa melihat ke sekeliling. Akibatnya, Kara menjadi lengah. Dia terlalu sibuk mengumpat untuk mempertahankan kerja inderanya.
“Kita bertemu lagi.” Ketika fungsi penciumannya kembali bekerja, jalannya telah dihadang oleh Theo.
Theo tak betah di rumah sakit. Dia datang untuk bermain tanpa tahu kalau Shion dan Aira ada di sini. Tentu juga tak mengira kalau akan bertemu dengan Kara. Dia pikir harus pergi ke Sektor Empat untuk menyapa kucing kecil yang telah mencakarnya.
Pria itu menyeringai penuh semangat. Pertemuan ini memang tidak terduga, tapi membuatnya senang. Seperti mangsanya datang padanya untuk dihancurkan.
Sebaliknya, Kara mengutuk dalam hati. Dia tak menginginkan pertemuan ini. Tidak ingin lagi melihat wajah laki-laki yang telah mencuri hatinya. Kara masih menolak keras untuk membiarkan dirinya terpengaruh pada Theo.
“Belum kapok kucakar?” Sebaik mungkin Kara menyembunyikan perasaannya, dia hanya menunjukkan sikap sinis dan keangkuhan untuk menutup loncatan-loncatan kecil dalam dadanya.
Tatapan Theo yang tertuju padanya membuat hati sesak, rindu akan hangatnya d**a bidang itu. Kara mungkin selalu bersikap menantang sok hebat, tapi sebenarnya dia merupakan orang yang mudah merasa kesepian. Begitu tak diperhatikan malah kepribadiannya jadi kasar.
“Temperamenmu terlalu buruk untuk hitungan kucing rumahan.” Sikap santai Theo membuatnya makin terganggu.
Langkah kaki Theo yang semakin mendekat seakan mencuri udara di sekitarnya. Kara menahan napas, tak ingin menghirup aroma kuat yang dapat membuatnya teperdaya. Dia menepis tangan Theo saat lelaki itu mencoba menyentuh wajahnya.
“Tak perlu berbasa-basi. Terus terang saja apa yang kau inginkan!”
“Kau sungguh tak tahu diri!”
Theo berubah agresif tiba-tiba. Cakar-cakar runcing tumbuh di ujung jarinya, diarahkan pada Kara sebagai bentuk serangan tiba-tiba. Refleks Kara melompat mundur. Tubuhnya sudah terlatih menerima serangan dadakan, jadi tak sulit membaca arah serangan Theo.
Matanya memicing tajam, ikut menumbuhkan cakarnya saat Theo melesat ke arahnya. Dia menyerang dari arah depan, merobek baju Theo. Beruntung, Theo sempat memutar badannya ke samping untuk mengelaki sehingga lukanya hanya berupa goresan dangkal.
Tentu saja Kara tidak selesai sampai di sana. Dia segera berbalik, melancarkan serangan dadakan yang diarahkan pada wajah Theo. Tangan Kara ditangkap oleh Theo. Kemudian ditarik ke arahnya hingga tubuh Kara terhempas menabrak tubuh Theo. Di saat itulah, Theo merobek leher Kara dengan giginya.
“Aaah!” Kara menjerit.
BAM!
Selanjutnya Kara memukul tengkorak Theo dengan sikunya. Cengkeraman itu terlepas. Baik Theo maupun Kara sama-sama melompat menjauh menjaga jarak. Tangan Kara berada di lehernya, meraba bagian yang sobek dan tengah meneteskan darah segar. Theo sendiri juga memegangi kepalanya, mencoba mengumpulkan kembali kendali diri merasakan sakit yang hampir menghancurkan tengkoraknya.
Mereka saling tatap dengan sinis, seakan cinta yang manis tidak pernah ada di antara mereka. Perasaan mereka yang terlihat sepenuhnya adalah kemarahan. Luapan murka yang timbul sebagai reaksi dari perasaan yang dilukai.
Perkelahian itu menarik perhatian. Orang-orang mulai berkumpul, termasuk Shion dan Aira yang melihat pertarungan mereka dari lantai atas. Kedua orang itu segera berlari memecah kerumunan, menahan tubuh Theo dan Kara agar tidak kembali menyerang satu sama lainnya.
“Kau memang i***t. Siapa yang memberi izin keluar dari rumah sakit dan langsung bertarung!” marah Aira.
Theo tak mendengarkan, malah mengeram pada Kara. Kara pun demikian, masih saja meronta saat ditahan oleh Shion.
“Lepaskan aku, Shion!” bentak Kara.
“Hentikan, kalian tiap ketemu selalu saling serang.” Shion mempererat cengkeramannya. Sembari menarik Kara menjauh.
“Jangan lari kalian!” Theo jadi marah. Baginya Kara saat ini tengah mencoba kabur darinya.
“Theo, hentikan!” Aira harus bersusah-payah menahan Theo. Setengah tubuhnya sudah berubah wujud.
“Akan kubawa Kara pulang, kau bawalah Theo,” kata Shion. Mereka berdua menyeret Kara dan Theo, memisahkan mereka sebelum pertarungan kembali menjadi gosip panas.
Sesaat sebelum dibawa pergi, Kara masih sempat menoleh ke belakang. Tatapan tajam Theo yang tak terima akan kepergiannya sedikit membuatnya senang. Isi kepala Kara memang kacau, dibenci malah membuatnya merasa puas.
Ketika akhirnya Kara dan Shion telah berpindah tempat, barulah Shion melepaskan Kara. Dia menghempaskan tubuh Kara ke tembok, mencengkeram kerah bajunya. “Ada apa denganmu! Biasanya kau tak seagresif itu menyerang orang. Siapa saja tak masalah, tapi jangan mencari masalah dengan Pemimpin Sektor! Masalah lama saja belum selesai!” Shion memarahi Kara, mengingatkan kembali akan pertikaian di masa lalu dengan Pemimpin Sektor Tiga yang sampai sekarang belum usai.
Kara membuang muka, berpura-pura terlihat kesal. “Sikapnya memuakkan.” Dia mencoba membuat Shion percaya kalau masalahnya dengan Theo hanya karena ego sesaat.
“Iya, sombong seperti mu!” Shion melepaskan Kara dengan kasar, lelah sendiri melihat teman tak tahu diri seperti Kara.
“Aku tak memintamu memisahkan kami.”
“Sadarilah posisimu Kara! Setiap perbuatanmu akan dinilai sebagai keputusan wilayah. Masih belum mengerti juga?”
“Tak ada yang menilaiku seperti itu. Semua orang tahu, Sektor Empat adalah taman bermain kriminal. Orang-orang hanya akan berpikir aku menyerang Theo secara acak.” Shion memijat keningnya pusing. Kara dikasih tahu malah menjawab seperti anak kecil. Masa bodoh dan tak mau tahu.
“Oke, kalau begitu kau jangan keluar dari wilayahmu. Untuk sementara kau kularang masuk ke wilayahku!” Shion terpaksa bersikap tegas, menarik izin masuk temannya sendiri.
“Aku juga tak mau datang. Kau yang selalu memaksaku menemanimu,” jawab Kara. Dia yang paling tidak ingin keluar dari wilayahnya. Karena setiap sektor memiliki penampakan yang sangat berbeda satu sama lainnya. Bermain keluar seperti memaksanya pergi ke tempat yang benar-benar asing dan Kara tidak pernah menyukainya.