17. Pertemuan Kembali

1947 Kata
“Lo nyari gue?” Tiba-tiba sebuah suara mengagetkannya. Alita tersentak kaget dan langsung berbalik badan. Seketika ia memejamkan matanya rapat-rapat dan mundur beberapa langkah. Ia sudah hafal betul suara seseorang yang saat ini berada dihadapannya itu. Suara yang selama ini sudah begitu akrab di telinganya dan telah banyak menemani waktu kesepiannya. Suara itu pula yang selalu menenangkannya di saat ia merasakan marah, gelisah, juga yang selalu menasehatinya di saat ia melakukan hal-hal yang diluar batas. Ini adalah pertama kalinya Alita bertemu kembali dengan bima setelah ia mengetahui siapa sebenarnya Bima. Selama tiga hari ini ia berusaha menenangkan dirinya. Mengingat kembali seluruh kejadian yang menimpanya sejak kecelakaannya saat itu membuat kepalanya terasa sakit, amat sakit. Tiga hari itu pula Alita tidak pergi ke kampus. Setiap harinya banyak ia habiskan di dalam kamar. Keluar kamar pun hanya untuk mengambil makan atau sekedar mencari udara segar di teras belakang. Selain karena kondisi tubuhnya yang memang sedang tidak baik, ia pun sengaja mengurung dirinya di rumah karena ia masih belum siap jika tiba-tiba bertemu dengan Bima. Keberaniannya belum cukup banyak. Di saat berada di rumah itu, Alita banyak mencari informasi mengenai seseorang yang sudah meninggal di beberapa artikel, juga pengajian beberapa ulama yang berisi tentang bagaimana kehidupan manusia setelah kematian. Dan benar kata Nadine saat itu bahwa manusia yang sudah meninggal maka akan ditempatkan di alam barzah atau alam kubur. Di mana alam barzah adalah sekat antara kehidupan dunia dan akhirat, tempat persinggahan sementara orang-orang yang sudah meninggal sebelum dibangkitkan kembali di saat hari kiamat tiba. Walaupun Alita sudah sangat familiar dengan kata alam barzah tapi ia belum begitu memahami, lebih tepatnya ia melupakan pelajaran agama islam saat masih di bangku sekolah dulu. Dalam hal agama, Alita memang sangat kurang. Bukan karena kurangnya pendidikan agama yang diberikan oleh kedua orangtuanya, tapi setiap kali Hardjono mengundang guru ngaji ke rumah mereka, Alita selalu saja beralasan dan tidak pernah mengikutinya. Dari pencarian informasi di internet itu, Alita mulai belajar kembali mengenai kehidupan manusia setelah kematian. Banyak ulama yang mengatakan bahwa manusia yang sudah meninggal tidak mungkin lagi berada di dunia, apalagi berkomunikasi dengan makhluk yang masih hidup. Kalaupun ada dari beberapa orang yang bisa melihat sosok manusia yang sudah meninggall, itu bukanlah roh manusia itu sendiri tapi dia adalah jin yang menyerupai. Oke, dari sini Alita bisa mengambil kesimpulan bahwa sosok yang selama ini ia temui dan berkomunikasi dengannya itu adalah jin yang menyerupai Bima. Dan sore ini ia sudah sangat yakin untuk menemui Bima. Siapa pun dia, Alita hanya ingin tahu alasan apa yang membuat sosok Bima itu selalu mengikutinya sejak ia masih berada di rumah sakit hingga saat ini. Alita pun baru teringat mengenai kejadian di restoran ayam goreng siap saji beberapa waktu lalu. Di situ jelas-jelas Bima bisa menampakkan dirinya di depan banyak orang. Bagaimana bisa?? Sebenarnya apa yang dilakukan Bima? Siapa sebenarnya dia? Dan Alita membutuhkan jawabannya. Seperti biasa Alita menunggu Bima di depan rumahnya. Ia sudah sangat siap dengan keberanian yang sudah ia kumpulkan, tapi nyatanya perasaan takut itu pun masih tetap ada saat berhadapan dengan Bima. Ngga! gue enggak boleh takut. Ayo Ta, please. Lo berani. Lo itu kan selama ini ngga pernah takut dengan apa pun, batin Alita. Ia berusaha menumbuhkan keberanian dan rasa percaya dirinya. Lagi pula selama ini ia mengenal Bima adalah sosok yang baik dan begitu lemah lembut. Tidak ada alasan bagi Alita untuk takut kepadanya. Perlahan Alita membuka matanya. Dilihatnya Bima sudah berada tepat di hadapannya, hanya berjarak dua meter dari tempatnya berdiri. Tidak ada yang berubah dari sosok Bima. Wajahnya masih tetap tampan dan kharismatik. Senyumnya pun masih tetap bersarang di bibirnya yang pucat. Walaupun tidak menggerakan ujung bibirnya saja, wajah Bima sudah terlihat seperti tersenyum. Alita kembali mundur beberapa langkah. “Bima Haryanto, lo itu sebenarnya siapa?” tanya Alita sedikit takut. “Jadi... lo udah dateng ke rumah sakit itu?” Bima balik bertanya. Ia tetap berdiri di posisinya. “Tolong jawab pertanyaan gue.” Ucap Alita lantang. Bima tertunduk. Ia terdiam cukup lama, lalu menghela napasnya perlahan. “Apa yang pihak rumah sakit sampaikan itu bener. Gue, gue udah meninggal... tepat di hari kecelakaan itu. Hari di mana lo juga mengalami hal sama. Tapi bedamya, Tuhan masih kasih lo kesempatan untuk hidup, untuk bisa berbuat baik sama orang, juga masih bisa berkumpul dan menyayangi keluarga lo,” Kali ini Bima menatap tajam ke arah Alita yang terdiam memahami setiap kata yang keluar dari mulut Bima. “Maafin gue ya, gue ngga jujur sama lo.” Bima kembali tertunduk. “Trus? Lo itu apa? Jin?” tuduh Alita dengan tatapan menghakimi. Bima menggeleng pelan. “Lalu apa?” “Gue pun ngga tau harus menyebut diri gue apa.” “Trus apa alasan lo ngikutin gue selama ini?? Gue tau, sejak gue mengalami koma di rumah sakit, lo selalu dateng nemuin gue. Kenapa?? Kenapa harus gue??” “Maafin gue Al... Gue ngga ada maksud apa-apa. Waktu itu, gue cuma mau kasih support ke elo biar lo kuat, biar lo tetep hidup. Tapi sepertinya lo menolak untuk berjuang. Lo terlalu pasrah dengan keadaan lo sampai lo ngga perduliin keberadaan gue.” Bima tersenyum. “Tapi gue seneng, akhirnya lo sadar, lo survive... dan liat sekarang, lo baik-baik aja. Walaupun dulu gue ngga kenal siapa lo, tapi gue bangga sama lo! Lo hebat di mata gue.” Bima menjelaskan dengan begitu tenang, dan menceritakannya begitu runut. Membuat Alita seolah terbius dengan ucapan Bima. Selalu seperti itu, sejak Alita mengenalnya. “Gue tau gue salah. Gue minta maaf kalo selama ini bikin lo ngga nyaman. Gue... gue cuma butuh temen. Dan cuma lo yang bisa liat gue,” lanjut Bima. “Lo bohong!” Dengan cepat Alita menampik perkataan Bima sambil menunjuk ke arahnya. “Lo lupa lo udah marah-marah ke pelayan resto waktu itu?!? Hah?? Trus sekarang dengan percaya diri lo bilang cume gue yang bisa liat lo?? Lo sadar ngga sih apa yang baru aja lo omongin?” Alita terlihat sangat emosi. Sekarang ia sudah tidak perduli lagi pria yang di hadapannya itu manusia, hantu, jin, atau sejenisnya. Ia hanya ingin meluapkan apa yang ia rasakan. Sesungguhnya ia merasa sudah lelah dengan semua kejadian yang menimpanya akhir-akhir ini. “Ini yang mau gue bilang juga ke elo. Gue bener-bener ngga habis pikir sama sikap lo! Hanya karna masalah kecil lo marah-marah ngga jelas, membabi buta. Demi apa? Demi kepuasan? Demi harga diri lo?? Setelahnya, apa yang lo dapet?” Bima hanya diam, seolah membiarkan Alita meluapkan apa yang selama ini dipendam dalam hatinya. “Gue juga tau, saat itu lo liat gue, tapi kenapa lo pergi gitu aja? Tiba-tiba lo jadi orang yang angkuh, kasar, sombong, belagu! Tapi sekarang liat, lo begitu ramah dan ngga ada amarah di mata lo. Bener kan apa yang gue bilang, kalo lo itu punya kepribadian ganda? Jawab gue!” Lagi-lagi Bima hanya tersenyum. “Udah marah-marahnya?” Alita semakin menunjukkan kemarahan di wajahnya, dahinya pun semakin berkerut melihat tanggapan Bima yang sama sekali tidak terpancing dengan siikapnya. “Sejujurnya gue ngga ngerti apa yang sedang lo omongin. Tapi seperti ya gue tau siapa yang lo liat saat itu, sampe lo nuduh gue.” Bima kembali menghela napasnya. “Dia kembaran gue, namanya Bisma, terserah lo mau percaya sama gue atau ngga. Entah kenapa sejak gue meninggal, sikapnya berubah. Dulu dia sama sekali ngga kasar. Bunuh semut pun mungkin dia ngga akan tega,” jawab Bima. Jelas sekali kesedihan yang terlihat di raut wajahnya. Perlahan, emosi Alita mulai menurun, tanpa sedetik pun mengalihkan pandangannya dari sosok Bima. Ia tidak perduli dengan orang-orang yang kerap lalu lalang melihat ke arah mereka. “Kalo lo pengen gue pergi dari kehidupan lo, gue akan pergi kok. Gue cuma mau bilang makasih sama lo. Selama ini lo udah nemenin kesepian gue, udah jadi temen bicara gue.....” “Kalo lo bukan jin, kenapa lo masih di sini? Bukannya lo harusnya udah ngga ada di dunia?” Sepertinya Bima belum selesai bicara, tapi Alita sudah memotong pembicaraannya. Kali ini nada bicaranya sudah lebih datar, tanpa emosi. “Gue ngga tau. Itu yang gue masih belum nemuin jawabannya sampai sekarang. Gue pikir itu karna kesedihan yang dirasain nyokap gue, yang mungkin belum menerima kepergian gue. Tapi gue rasa bukan itu alasannya.” “Trus?” Bima menggeleng. “Ya udah, gue ngga tau. Mungkin akan selamanya gue di sini.” Alita mendekat ke arah Bima beberapa langkah. Ada kesedihan di mata Alita mendengar pengakuan Bima. Dulu ia pernah merasakan koma, di mana tubuhnya sama sekali tak bisa digerakkan, seolah jiwanya terpisah dengan raganya. Ia sangat tahu bagaimana rasanya seperti hidup sendiri di dunia yang terasa asing. Bahkan tak seorang pun yang bisa ia ajak bicara. Alita tau apa yang Bima rasakan saat ini. Pasti selama ini ja begitu tersiksa dengan keadaannya. “Maafin gue ya...” hanya itu yang jeluar dari mulut Alita. Bima tertawa. “Ngapain lo minta maaf? Lo nih ada-ada aja.” “Lo sedih?” gue tau lo tersiksa dengan keadaan lo.” “Yaaa... gue jalanin aja apa yang terjadi sama gue. Makanya, lo hargai hidup yang lo jalanin sekarang. Jangan lo sia-siain. Lakuin apa yang harus lo lakuin sebelum akhirnya lo menyesal.” Alita mengangguk mantap. “Tapi satu hal yang gue ngga bisa, yang gue ngga kuat kalo gue harus liat nyokap gue terus-terusan meratapi kepergian gue.” “Nyokap lo?” Bima mengangguk. “Selama ini gue tinggal bertiga sama nyokap, sama Bisma, kembaran gue. Otomatis kalo gue pergi, nyokap gue pasti bakal kesepian. Belum lagi sekarang sikap Bisma berubah. Pasti nyokap gue sedih banget.” Bima tertunduk. Sementara Alita hanya bisa terdiam. Dari cerita Bima, Alita bisa menyimpulkan pasti ia begitu dekat dengan ibunya. Berbeda dengan dirinya. Bahkan pergi berdua ke salon, atau ke mall seperti seorang ibu dengan anak gadisnya saja mereka tidak pernah. Alita terlalu sibuk dengan dunianya. Alita bisa merasakan kesedihan Bima yang begitu mendalam. Saat ia kehilangan Kenzo saja dunianya serasa runtuh. Padahal Kenzo sama sekali tak memiliki hubungan darah dengannya. Alita sedikit menarik ujung bibirnya, benar-benar konyol. Ia akhirnya menyadari kebodohannya sendiri. Alita menoleh ke sisi kanan, dilihatnya dari jauh mobil bokapnya melaju ke arah mereka. “Bim, ada bokap gue...” seru Alita sambil berlari ke sisi rumahnya yang bersebelahan dengan tanah kosong. Ia bersembunyi agar Hardjono tidak melihatnya tengah bersama seorang pria. “Hustt!” Alita kembali memangil Bima yang tidak bergemimg dari tempatnya untuk ikut bersembunyi. Pasti Hardjono akan berpikir macam-macam jika melihat Bima berdiri di depan rumahnya, lalu mengusirnya. “Aduh, ngapain sih dia,” gumam Alita pelan sambil terus bersembunyi dan mengintip dari balik tembok. Sementara Bima dengan santainya justru memandang ke arah Hardjono hingga ia masuk ke halaman rumah. Alita bisa bernapas lega setelah Pak Jupri menutup pintu gerbang. Ia pun melangkah kembali mendekat ke arah Bima dan memandang aneh ke arahnya. Tiba-tiba Alita berjalan ke tengah jalan dan menyetop seorang pengendara sepeda motor laki-laki. “Mas-mas, bisa tolongin temen temen saya ngga? Tadi dia muntah-muntah...” ucap Alita dengan acting yang terlihat panik sambil menunjuk me arah Bima. Pengendara sepeda motor itu mengernyitkan dahinya. “Temen yang mana Mba?” tanyanya heran. Padahal jelas-jelas Bima berdiri di hadalannya. Alita tersenyum. “Ngga papa Mas. Saya cuma lagi belajar acting buat pementasan drama besok. Maaf ya Mas...” ucap Alita sambil mengatupkan kedua telepak tangannya ke d**a. Pengendara sepeda motor itu terlihat kesal dan langsung pergi meninggalkan Alita. Sementara Bima tertawa sambil menggelengkan kepalanya. “Lo masih ngga yakin sama gue?” tanya Bima sambil bersedekap. “Ya gue mau mastiin aja kalo lo beneran......” Alita tak melanjutkan kalimatnya. “Hantu??” lanjut Bima. Seketika Alita memasang wajah serius. Gue janji bakal bantu lo!” ucap Alita mantap.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN