18. Perjuangan yang Sia-Sia

1896 Kata
Pagi-pagi sekali Alita langsung bangun begitu alarm yang ia stel di ponselnya berbunyi. Ia segera beranjak dari tempat tidurnya dan bergegas turun ke lantai bawah. Suasana rumah masih begitu sepi. Pukul empat pagi tentu saja Kevin belum bangun. Biasanya ia bangun pukul enam pagi dan langsung bersiap untuk ke sekolah. Sementara Hardjono dan Sarah, biasanya ia sudah bangun tapi masih berada di kamarnya dan akan keluar saat Bi Minah sudah menyiapkan sarapan pagi sekaligus menemani Kevin sarapan. Alita sendiri biasanya sarapan agak siang sebelum berangkat ke kampus karena jadwal kuliahnya tidak sepagi mereka yang berangkat ke sekolah atau ke kantor. “Bi Minah ke mana sih?” gumam Alita sambil mencari-cari keberadaan Bi Minah. Ia tengok di kamarnya tidak ada, di taman belakang pun tidak ada. Biasanya jam segini Bi Minah sedang berkutat di dapur. Entah mencuci perlengkapan dapur yang kotor atau memasak untuk sarapan jika sesekali Sarah memintanya untuk memasak makanan berat. Kebetulan sekali, tujuan Alita bangun pagi hari ini kan memang ingin membuat sarapan untuk orang-orang di rumah. Tidak ada salahnya jika ia mulai memperbaiki hubungan dengan kedua orangtuanya. Masih terngiang dengan jelas di telinganya mengenai perkataan Bima waktu itu. Bagaimana keluarga menjadi tempat ternyaman untuknya, bagaimana keluarga menjadi tempatnya untuk pulang. Memang begitulah seharusnya hubungan antar keluarga, khususnya antara anak dengan kedua orangtuanya. Sementara untuk Alita? Keluarga hanya sebatas status, tanpa kedekatan batin. Alita berpikir, mungkin ia yang kurang bisa mendekatkan diri dengan orangtuanya. Ia terlalu berpikir buruk mengenai kedua orangtuanya itu. Oke, sekarang waktunya Alita menurunkan egonya dan mulai menjadi anak yang baik dan manis di depan kedua orangtuanya. Ia ingat pesan Bima untuk selalu melakukan yang terbaik untuk keluarga sebelum ia menyesalinya. Bagaimana pun juga keluarga lah yang selalu ada di saat kita susah. Seperti saat ia tergolek tak berdaya di ranjang rumah sakit. Alita melangkahkan kakinya menuju ke dapur. Disingsingkannya lengan baju tidur panjangnya sebatas siku, lalu menuju ke lemari es di sudut dapur. Beruntung semua yang ia butuhkan tersedia di dalam. Dua butir telur, sosis, udang, dan brokoli. Ia letakkan bahan-bahan itu di meja kitchen set. Pandangannya mulai menjelajah ke lemari perlengkapan memasak. Dicarinya panci dan wajan untuk menyulap bahan-bahan itu menjadi hidangan yang lezat dan menarik. Cukup lama Alita mencarinya karena ia sama sekali tak tahu di mana letak barang-barang itu. Jangankan memasak, mungkin bisa dihitung menggunakan jari berapa kali Alita menuju ke dapur dalam sebulan, satu tangannya saja tidak habis untuk menghitungnya. “Oke, semua siap…” ucap Alita dengan penuh semangat setelah semua siap di atas meja. Alita memang tak pandai memasak, membuat mie instan yang sederhana saja ia tak bisa. Tapi demi misinya itu ia mencari-cari beberapa resep menu sarapan pagi di internet, hingga akhirnya ia menemukan menu sarapa yang pasti kedua orangtuanya suka. Entah bagaimana hasilnya nanti, yang penting ia sudah berusaha mencobanya. Alita mulai menyalakan kompor dan menggoreng telur mata sapi setengah matang, untuk pertama kali dalam dua puluh tahun hidupnya. Itu pun beberapa kali ia gagal memecah telurnya karena bagian kuning telurnya selalu robek dan mejadi tidak bagus. Ia coba kembali beberapa kali sampai hasilnya benar-benar bagus dan sesuai dengan ekspektasinya. Semua ia lakukan dengan cepat dan berpacu dengan waktu sebelum Hardjono dan Sarah keluar dari dalam kamar mereka. Satu setengah jam berlalu, akhirnya menu sarapan pun sudah selesai ditata dengan cantik di atas piring. Satu telur mata sapi, dua buah sosis yang disayat spiral, udang berukuran besar yang sudah dibumbui dengan beberapa pucuk brokoli kukus. Terakhir ia taburi oregano agar terlihat lebih cantik. Tak lupa ia juga siapkan sereal dalam mangkuk dengan s**u yang belum ia tuangkan di dalam gelas untuk sarapan Kevin seperti biasa. Alita mengelap keringat yang membasahi dahinya dengan tisu. Satu setengah jam berada di depan tungku membuat bajunya sedikit basah karena keringat. Memang waktu yang lama untuk ukuran menu sesimple itu. Ia melirik ke arah jam duduk kecil yang tergeletak di bagian rak dapur, sudah menunjukkan pukul setengah enam. Rasanya ia sudah tidak sabar melihat reaksi kedua oramgtuanya. Alita sangat berharap dengan usahanya ini, Hardjono dan Sarah menyukainya dan bisa perlahan memperbaiki hubungan mereka. Sebelumnya Alita sudah mencicinya terlebih dahulu. Menurutnya tidak terlalu buruk untuk seorang gadis yang baru pertama kalinya menginjakkan dapur. “Non?!” Alita tersentak sambil memegang bagian dadanya. “ Ya ampun Bi… bikin kaget aja.” “Duh, maaf Non. Habisnya ngga biasa-biasanya Non Lita di dapur, apalagi ini masih pagi banget Non,” sahut Bi Minah. “Iya Bi, iseng…” jawab Alita sambil merapikan tatanan brokoli yang sedikit kurang rapi. “Non Lita habis masak?” tanya Bi Minah setelah melihat ke sekeliling dapur. Terlihat sangat berantakan. “Iya Bi… iseng aja. Pengen sekali-kali bikinin sarapan buat Mamah sama Papah. Jadi Bibi pagi ini ngga usah masak. Maaf ya Bi, jadi bikin dapurnya berantakan. “Iya ngga papa Non. Nanti biar Bibi aja yang beresin. Tapi…” Bi Minah bingung bagaimana mengatakannya. Ia terlihat ragu. Ia tidak ingin membuat kecewa majikan mudanya itu. Apalagi ini pertama kalinya ia melakukannya. “Tapi apa Bi?” tanya Alita sambil meletakkan dua piring itu di atas nampan untuk dibawanya ke meja makan. “Mmm… Bapak sama Ibu… sudah berangkat Non tadi, pagi-pagi sekali.” Alita mengerutkan keningnya. “Berangkat ke mana Bi?” tanya Alita heran. “Itu Non, semalam katanya Bapak dapat telpon katanya temannya meninggal, jadi tadi pagi-pagi banget Bapak sama Ibu berangkat ke Sukabumi. Jam tiga pagi. Ibu sih udah pesen ke Bibi, katanya nanti kasih tau Non Alita sama Den Kevin. Begitu Non.” “Sukabumi? Kenapa ngga bilang langsung sama aku Bi?” Nada bicara Alita mulai berubah. Sudah pasti ada rasa kecewa. “Itu Non, tadinya sih mau bangunin Non, tapi katanya kasian. Jadi nitip pesen aja ke Bibi. Trus kata Ibu, mungkin pulangnya lusa, sekalian nengok eyang,” ucap Bi Minah. Kebetulan orangtua Sarah tinggal di Sukabumi sekalian saja mereka menjenguknya. Dari raut wajahnya, Bi Minah terlihat sedih dan kasihan pada Alita. “Oh.” Hanya itu yang keluar dari mulut Alita. Ungkapan singkat yang menunjukkan rasa kecewa, tapi tak bisa berbuat banyak. Ia pandangi dua piring menu sarapan pagi dan semangkuk sereal yang terasa istimewa untuknya, tapi kini sudah tidak lagi. “Non?” panggil Bi Minah pelan. Alita tak menjawab. Ia letakkan nampan itu kembali ke meja kitchen set dengan sedikit kasar, lalu berjalan cepat menuju ke kamarnya. *** Alita memundurkan mobilnya dari garasi rumah. Sejak sepagian tadi ia hanya mendekam di kamarnya sambil menonton drama korea hingga beberapa episode. Untungnya hari ini jadwal mata kuliah Bu Amel di ganti ke lain hari karena beliau harus mengikuti sebuah seminar di salah satu universitas, sehingga hari ini ia bebas melakukan apa pun. Tadi pagi pun ia tak menemani Kevin sarapan dengan alasan kurang enak badan. Pagi hari diawali dengan rasa kecewa membuat Alita tak bersemangat. Sebenarnya tidak ada yang salah dalam hal ini. Saat kembali ke kamarnya pagi tadi dan mengecek ponselnya, ternyata Sarah sudah mengirimkan pesan singkat mengenai kepergian mereka ke Sukabumi. Alita lihat pesan itu dikirim pukul setengah empat sore, tepat setengah jam setelah mereka berangkat, tapi Alita melewatkannya. Ia memang seringkali tidak membaca pesan singkat yang masuk ke ponselnya. Jika sudah mengenal Alita, pasti mereka akan lebih memilih untuk meneleponnya. Mungkin saja Sarah mengirimkan pesan singkat karena tidak ingin membangunkan Alita yang biasanya masih terlelap. Buktinya dua jam kemudian Sarah meneleponnya, tapi Alita mengabaikannya. Beruntung ucapan terima kasih Kevin sebelum berangkat sekolah pagi tadi sedikit mengobati rasa kecewanya. Hanya membuatkan sereal yang sangat mudah saja sudah membuat Kevin berkali-kali mengucapkan terimakasih pada Alita sambil memeluknya. Ah, Kevin! Sepertinya tidak akan ada seorang pun yang tega memarahinya jika sikapnya begitu. Baru saja keluar dari pintu gerbang rumahnya, Alita melihat Bima sudah menunggunya di depan gerbang. Ia menyandarkan tubuhnya di tembok yang menyangga pagar besi dengan menekuk satu kakinya ke belakang. Sementara kedua tangannya ia masukkan ke kantong celana. Melihat Alita keluar, Bima pun mendekat ke arahnya. Mereka memang sudah membuat janji untuk bertemu siang ini. Alita akan mulai menepati janjinya untuk menolong Bima. Entah bagaimana caranya, ia pun sebenarnya tidak tahu. Tapi paling tidak ia harus mencari tahu informasi mengenai Bima semasa hidupnya atau setelah Bima tiada. Semalam tadi ia sudah berusaha menelepon Bisma, saudara kembar Bima dengan mengaku sebagai teman Bima, tapi tak mendapat tangapan yang positif dari Bisma. Tentu saja ia mendapatkan nomor telepon Bisma dari Bima. Mungkin Bisma menyadari kalau ia berbohong karena pasti Bisma sudah hafal betul siapa saja teman-teman Bima karena semasa hidup Bima, mereka sangat dekat. Bisa saja Alita langsung menghubungi Ibu Bima, tapi ia tak sampai hati karena Bima mengatakan Ibunya masih sangat syok dengan kepergiannya. Bima pun juga tidak mungkin mengizinkannya. Ia tidak ingin menambah kesedihan wanita yang sangat istimewa di hatinya itu. Mungkin Alita harus mencoba cara lain untuk masuk ke dalam kehidupan Bisma. Alita terdiam mematung beberapa saat dengan mulut ternganga. “Hei!” Bima menepuk tangannya tepat di hadapan mata Alita. Seketika Alita mengedipkan mata seolah tersadar dari sesuatu yang menyihirnya. “Lo?!?” Sepertinya baru saja Alita melihat Bima mendekat ke arah mobilnya, tapi kini ia sudah duduk di sampingnya. “Gimana lo nglakuinnya?” tanya Alita heran. Mungkin terlihat sangat wajar karena memang ia bukan manusia. Tapi ini adalah untuk pertama kalinya Alita melihatnya secara langsung kejadian yang di luar nalar pikirannya. Ia masih belum terbiasa dengan hal-hal semacam itu. Bima hanya mengangkat bahunya. “Lo mau liat yang lebih dari ini?” tantang Bima. Tiba-tiba Alita menutup bagian dadanya dengan menyilangkan kedua tangannya. Pandangan matanya melotot ke arah Bima. “Lo ngga macem-macem kan sama gue?!?” Bima terkekeh. “Alita… Alita… Ngga usah mikir sejauh itu. Gue ngga bakal ngintipin lo, tenang aja. Kalo ngga bisa nambah pahala, paling ngga jangan nambah dosa,” sahut Bima bijak. Oke, Alita percaya seorang Bima tak mungkin macam-macam. Alita mulai memacu mobilnya menuju sebuah perumahan di daerah Jakarta Utara, tempat di mana Bima tinggal saat ia masih hidup. Saat ini jalanan cukup lengang. Mungkin karena hari ini adalah hari kerja. Tanpa sadar Alita menginjak pedal gas cukup dalam hingga lajunya melebihi kecepatan yang dianjurkan. “Hei, hei… emangnya lo ngga kapok sebulan di rumah sakit??” tegur Bima agar Alita memelankan laju mobilnya. “Iya, iya… ini juga pelan kok,” bantah Alita. “Lagian kenapa sih lo ngotot banget pengen ke rumah nyokap gue?” “Ya namanya juga usaha, siapa tau ada informasi yang bisa kita dapet. Emang lo mau terus-terusan di sini?? Lagian emang lo ngga pengen ketemu nyokap lo?” Bima menghela napasnya. “Dulu gue sering ke sini, hampir tiap hari untuk liat nyokap gue. Gue seneng masih bisa liat nyokap, memastikan beliau baik-baik aja. Tapi ternyata ngga begitu yang nyokap rasain. Nyokap selalu sedih setiap liat foto-foto gue, setiap ada yang dateng dan nanyain gue. Itu yang bikin gue ngrasa tersiksa. Entah kenapa nyokap selalu ngerasain kehadiran gue. Beliau selalu bicara seolah-olah liat gue, padahal engga. Di situ hati gue sakit dan gue berniat ngga akan pernah ke sini lagi.” “Sorry…” ucap Alita sambil menatap sedih ke arah Bima. Ia tau, keputusan Bima untuk menjauh dari nyokapnya pasti sangat menyakitkan. Bukan semakin melupakan, tapi justru semakin membuatnya tersiksa. “Iya ngga papa… gue hargai usaha lo untuk nolongin gue.” *** Alita memarkirkan mobilnya tak jauh dari rumah Bima. Cukup lama mereka berdiam di sana tapi rumah itu terasa sangat sepi. Tidak ada informasi yang Alita dapat. Akhirmya ia pun memutuskan untuk pulang.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN