“Alita Diandra!” panggil Bu Amel, dosen mata kuliah Manajemen Resiko dengan suara tegas untuk kedua kalinya.
“I-iya Bu…” sahut Alita keget sambil menoleh ke arah dosen berusia empat puluh lima tahun itu.
“Hhuuuu…!” Suara riuh langsung terdengar dari beberapa mahasiswa yang merasa terganggu atau mereka yang memang tukang membuat onar.
“Kamu kalau ngga bisa fokus dengan mata kuliah saya, silahkan keluar,” ucap Bu Amel masih dengan nada tegas, sambil membetulkan letak kaca matanya. Bu Amel bukan dosen galak, tapi ia tegas. Siapa pun mahasiswanya, ia tak segan untuk mengeluarkannya dari dalam kelas jika mahasiswanya itu tidak serius mengikuti mata kuliahnya.
Alita hanya terdiam, lalu tertunduk. Tidak ada pembelaan yang bisa membenarkannya. Alita mengakui hal itu. Belum lagi beberapa temannya yang semakin menyudutkan.
Kuliah siang ini, Alita benar-benar tidak bisa berkonsentrasi. Pernyataan salah satu pegawai rumah sakit bagian informasi pagi tadi begitu membuatnya syok. Bahkan ia sempat hampir menabrak seorang pengendara sepeda motor saat di perjalanan menuju ke kampus karena kurangnya konsentrasi.
Melihat sesuatu yang tak kasat mata memang terasa asing baginya, tapi menurutnya masih sangat masuk akal karena di dunia ini kita memang hidup berdampingan dengan mereka. Beberapa orang yang memiliki kelebihan pun bisa melihat keberadaan mereka. Dan saat ini Alita sudah mulai terbiasa dan beradaptasi dengan dunia barunya itu. Namun tidak dengan kejadian yang dialaminya bersama sosok yang bernama Bima.
“Apa perlu saya panggil nama kamu tiga kali?” tanya Bu Amel dengan nada yang lebih bersahabat, tapi begitu mengena di hati Alita. Alita pun tahu apa yang harus ia lakukan. Ia kemasi buku-buku dan alat tulisnya di atas papan meja yang menyatu dengan tempat duduknya, lalu memasukkannya dengan cepat ke dalam tas ranselnya.
“Maafin saya Bu…” ucap Alita pelan di hadapan Bu Amel saat melangkah keluar. Biasanya beberapa orang akan sangat malu jika mendapat teguran dari guru atau dosen yang tengah mengajarnya, bahkan sampai diminta keluar dari dalam kelas, tapi tidak dengan Alita. Ia terlihat begitu santai dan pasrah tanpa mencoba memberi penjelasan seperti yang biasa ia lakukan. Suara riuh teman satu kelasnya pun kembali terdengar. Alita yang dulu disegani dan populer di kalangan mahasiswa maupun dosen, kini tak lebih dari mahasiswa biasa. Ia sudah tidak aktif lagi dalam setiap kegiatan di kampusnya karena ia merasa sudah tak mampu. Otaknya sudah cukup terkuras dengan apa yang ia alami beberapa bulan terakhir.
“Hust,” bisik Elsa pada Karin yang duduk di sampingnya. “Kenapa sih dia?” tanyanya Elsa begitu Karin menoleh.
“Mana gue tau… dari tadi kayaknya nglamun mulu deh,” jawab Karin.
Walaupun hubungan Elsa dan Karin tidak terlalu dekat dengan Alita, tapi mereka cukup perduli dengan apa yang terjadi pada Alita. Selama ini hubungan mereka sangat baik, apalagi ketiganya sering kali terlibat dalam beberapa kegiatan kampus, dan Alita selalu aktif dan dengan senang hati membantu yang lain. Mereka pun sebenarnya sudah menyadari perubahan sikap Alita sejak ia masuk kembali ke kampus setelah mengambil cuti.
Berbeda dengan Elsa dan Karin, Jessy justru terlihat sangat puas melihat Alita yang ‘diusir ‘ dari kelas oleh Bu Amel. Terlebih, sejak ia mengetahui hubungan Alita dan Rangga yang mulai renggang. Jessy kini bisa lebih leluasa mendekati Rangga kapan pun ia mau tanpa diganggu oleh Alita.
“Rasain! Mampus lo!,” desis Jessy sambil menyeringai.
***
Alita mengaduk-aduk gelas lemon sqush-nya menggunakan sedotan sambil tatapan matanya tertuju pada sebuah tisu yang tergeletak di lantai tak jauh dari tempatnya duduk. Tidak ada yang salah dengan tisu itu, tapi pikiran Alita yang tengah memikirkan sesuatu membuat ia tidak menyadari tatapan matanya terfokus pada benda yang tidak berharga itu, bahkan terkesan menjijikan karena hanya seonggok tisu bekas yang sudah dibuang pemiliknya.
Alita mulai mencermati setiap kejadian demi kejadian yang dialaminya. Ia semakin yakin bahwa apa yang dialaminya selama ini bukan sekedar halusinasi. Dari mulai ia mengalami mimpi-mimpi yang selalu sama di saat ia koma, lalu melihat Bima di kehidupan nyata, dan sekarang ia baru saja mendapatkan informasi mengenai Bima dari data rumah sakit. Semua saling terhubung dan semakin meyakinkan dirinya bahwa sosok Bima itu benar-benar ada. Data yang ia dapat dari rumah sakit tidak mungkin dimanipulasi dan sudah pasti terbukti kebenarannya.
Dan satu hal yang baru Alita yakini adalah kehadiran Bima saat itu bukanlah bagian dari mimpi. Tapi Bima benar-benar datang menemuinya di ruang rawat rumah sakit. Antara sadar dan tidak sadar, ia pun sempat melihat dirinya tergeletak tak berdaya di ranjang besi rumah sakit dengan banyak alat yang menempel di tubuhnya. Tapi ia tidak begitu yakin karena ingatan itu hanya sepintas dan terlihat samar.
Alita kembali bertanya-tanya. Bagaimana mungkin orang yang sudah meninggal jiwanya masih berada di bumi? Bahkan ia bisa berkomunikasi dengannya layaknya pertemanan antara manusia dengan manusia lain. Dan selama ini tidak ada yang aneh dengan Bima. Alita melihatnya sama saja seperti orang lain. Hanya saja… Alita tak bisa menyentuhnya!
Ah, tidak! Alita baru menyadari sesuatu! Selama mereka bertemu, tak pernah sekali pun Alita melihat Bima memesan makanan, bahkan sekedar minuman untuk menemaninya mengobrol. Ia selalu beralasan ia baru saja makan, atau sedang tidak nafsu makan. Ia pun tak pernah memberikan nomor telepon pada Alita. Ya! Itu karena Bima tidak butuh itu. Harusnya Alita menyadatinya sejak lama.
Tapi, apa hanya ia yang bisa melihatnya? Bagaimana dengan orang lain?, pikir Alita.
Di bangku sebelah, Nadine memperhatikan Alita sambil menopang dagunya di atas meja kantin. Satu mangkuk bakso di hadapannya sudah ia lahap habis. Begitu pula dengan satu gelas es teh manis dengan gula tropical. Sementara Alita masih sibuk mengaduk lemon squash-nya yang belum berkurang satu mili pun.
“Coba ada Rangga… pasti gue ngga jamuran,” celetuk Nadine sambil ikut menatap tisu bekas itu.
Pelan, Alita menoleh ke arah Nadine dengan lirikannya yang mematikan. Rupanya Alita mendengar apa yang baru saja diucapkan Nadine walaupun ia terlihat sedang melamun. Nadine pun hanya cengengesan sambil menggaruk kepalanya yang tidak gatal.
Alita masih begitu sensitif jika mendengar nama Rangga, lebih tepatnya El Rangga Pratama. Ia masih kesal dengan pengkhianatan yang dilakukan Rangga, apa pun alasanya. Sebagai seseorang yang pernah dikhianati oleh pasangan, kepercayaan itu harga mati untuk Alita. Entah dalam hal cinta atau pun persahabatan semua sama di matanya. Sekali berkhianat, tidak ada kata maaf untuknya.
“Ngomong apa lo?”
“Ya lagian, lo minta gue nemenin lo, tapi gue dicuekin. Gimana sih? Pantesan aja lo diusir sama Bu Amel,” gerutu Nadine.
Saat keluar dari ruang kelas itu, Alita langsung menuju ke kantin. Ia akhirnya menelepon Nadine untuk menemaninya. Nadine yang hari ini tidak ada kuliah dan tengah menikmati camilan sambil bersantai mendengarkan musik di dalam kamarnya pun terpaksa buru-buru datang ke kampus.
“Nad, lo percaya ngga orang yang masih hidup bisa berkomunikasi dengan orang yang sudah meninggal?” tanya Alita dengan wajah serius sambil menatap ke arah Nadine.
“Ih, apaan sih lo Ta. Aneh-anah aja deh nanyanya.” Dengan cepat Nadine mengambil ponselnya yang tergeletak di atas meja. “Eh, liat deh. Bagus ngga?” tanya Nadine sambil menunjukkan sebuah baju lengan panjang warna hitam dengan gambar bunga di bagian dadanya.
“Gue serius!” ucap Alita sembari merebut ponsel Nadine dan meletakkannya di atas meja dengan sedikit kasar. Ia tau Nadine hanya beralasan untuk mengalihkan pembicaraan. Si penakut itu memang tidak asyik jika membahas hal-hal seperti ini. Coba ada Rangga, pasti ia bakal dapat jawaban yang bisa memenuhi rasa penasarannya, gerutu Alita dalam hati. Ah! Ngga bisa! Ngga ada Rangga lagi dalam kamus gue!, batin Alita menunjukkan raut wajah kesal.
“Iih, pelan-pelan dong Ta. Ntar rusak lagi handphone gue!”
“Lagian gue tau itu bukan model baju yang lo suka. Mana mau lo pake baju begitu!” sahut Alita menaikkan intonasinya. “Jawab pertanyaan gue!” todong Alita.
“Yaaa… kalo menurut gue sih ngga bisa Ta. Kan lo juga belajar pelajaran agama di sekolah dulu. Orang ya udah meninggal itu rohnya ditempatin di alam barzah.”
“Trus, kalo ternyata rohnya masih ada di sini? Apa itu artinya ngga diterima di alam barzah?”
“Ih apaan sih lo Ta?!?” Nadine menggeser duduknya mendekat ke arah Alita, sambil celingak celinguk. Apalagi santer beredar kampus mereka sangat terkenal dengan keangkerannya. Jika malam tiba, di dalam perpustakaan kampus sering kali terdengar suara bangku yang digeser di ruang baca, tak berapa lama seperti suara seseorang tengah membalik-balik halaman buku. Padahal tidak ada siapa pun di dalam sana. Penjaga malam di kampus itu pun beberapa kali sempat terkecoh. Ia langsung mengecek ke dalam perpustakaan. Ia berpikir, siapa tahu ada mahasiswa yang tengah mengerjakan tugas, karena di lingkungan kampus memang kerap mengadakan kegiatan di malam hari. Tapi hasilnya nihil, tidak ada satu pun di dalam ruangan, justru membuat bulu kuduknya berdiri. Belum lagi pohon besar yang berdiri kokoh di belakang bangunan kampus, di samping kantin. Sudah banyak sekali mahasiswa yang pernah melihat penampakan sosok hitam dan besar dengan mata merah di atas pohon besar itu.
Dan kini Alita dan Nadine tengah berada tak jauh dari pohon besar itu. Membuat Nadine semakin bergidik. Padahal saat itu kantin sedang cukup ramai. Sepintas ia melirik ke arah pohon itu. Entah kenapa pohon itu seperti memiliki magnet dan membuat beberapa mahasiswa selalu menjatuhkan pandangan ketika melewatinya.
“Ta… Ja-jangan bilang, L-lo liat Firman di sini?” tanya Nadine dengan nada gemetar. Ia kembali mengedarkan pandangannya ke seluruh arah.
Alita langsung terkekeh begitu mendengar pertanyaan Nadine. Bisa-bisanya Nadine berpikir sekritis itu. Firman adalah salah satu teman kampus mereka yang belum lama ini meninggal saat mendaki gunung cermai. Ia mengalami hipotermia dan akhirnya nyawanya tidak bisa diselamatkan.
“Ati-ati lo ngomong begitu. Tuh dia denger,” ucap Alita yang sengaja menggoda Nadine.
“Taaaaa!!!!” teriak Nadine sambil mencubit lengan Alita.