15. Siapa sebenarnya Bima

2047 Kata
Jarum jam sudah menunjukkan pukul dua pagi, tapi Alita sama sekali belum bisa memejamkan matanya. Beberapa kali Alita berusaha untuk tidur, tapi beberapa kali pula ia kembali membuka matanya ketika mendengar suara-suara aneh dari lantai bawah. Suasana malam yang hening membuat suara-suara yang pelan terdengar cukup keras di telinga Alita. Padahal mungkin itu hanya suara Bi Minah yang sering terbangun tengah malam, atau suara Hardjono yang sedang menonton siaran bola. Kitty si kucing anggora turki milik Kevin pun sering kali berkeliaran di dalam rumah saat malam hari dan menimbulkan suara berisik. Kejadian sore tadi yang hampir mendekati waktu magrib itu masih terekam dengan jelas di kepala Alita. Membayangkan saja sudah membuat bulu kuduknya kembali berdiri. Sejak ia kehilangan sebagian ingatannya dan mulai mengalami hal-hal aneh, ia menjadi sulit membedakan mana kejadian nyata dan mana kejadian di alam bawah sadarnya. Begitulah kira-kira kesimpulan yang dikatakan dokter Steven, dokter yang menangani Alita ketika Sarah membawanya untuk berkonsultasi. Dan semakin berjalannya waktu, Alita mulai mempercayai apa yang dikatakan Sarah bahwa ia sering kali berhalusinasi. Terlebih saat mendapati Bima benar-benar hadir di kehidupan nyatanya saat ini. Tapi apa yang baru saja terjadi sore tadi sangat tidak masuk akal. Apakah saat itu ia juga tengah berhalusinasi? Ah, semua ini benar-benar membuat Alita bingung. Semakin memikirkannya membuat kepala Alita terasa sakit. Beberapa kali ia mencoba menampar pipinya sendiri untuk memastikan bahwa ini semua benar-benar nyata, bukan sekedar halusinasi. Dan… ia merasakan pipinya sakit, juga sedikit memerah saat ia melihatnya menggunakan kamera depan ponselnya. Alita yakin kali ini ia tidak berhalusinasi. Krasak! Terdengar kembali suara aneh yang sepertinya berasal dari area tangga. Alita tersentak kaget dan langsung mengedarkan pandangannya ke sekeliling ruang kamar. Tidak ada yang aneh, hanya sebuah mainan robot hulk berukuran besar yang diletakkan di atas meja belajar yang membuatnya sedikit bergidik. Mata merahnya seperti menatap tajam ke arah Alita dengan ekspresi marah dan memperlihatkan gigi-giginya yang besar. Belum lagi tubuhnya yang sangat besar dan kuat seperti hendak menerkamnya. Alita segera menarik selimutnya hingga sebatas leher, lalu menoleh ke arah Kevin yang sudah sangat terlelap di sampingnya dengan mulut yang sedikit terbuka. Ia kembali mencoba memejamkan matanya sebelum hal yang tidak diinginkan terjadi. Malam ini, Alita memilih tidur di kamar Kevin. Walaupun ranjang dengan karakter batman itu terasa sempit jika ditempati berdua, paling tidak Alita merasa jauh lebih tenang. Ia beralasan ingin sesekali menemaninya tidur saat Kevin menanyakannya. Tentu saja Kevin sangat senang, karena sejak usianya empat tahun, Hardjono dan Sarah sudah mengharuskannya tidur di kamarnya sendiri. Padahal saat itu ia masih belum begitu berani. *** Krek! Pintu kamar dibuka dari luar. Alita terbangun dengan mata yang masih terasa berat. Ia menguceknya beberapa kali sebelum akhirnya benar-benar terbuka lebar. “Aduh, maaf Non. Bibi ngga tau kalo Non Lita tidur di sini,” ucap Bi Minah yang menyadari bahwa kehadirannya telah membangunkan nona mudanya itu. Ia pun mengurungkan niatnya untuk membersihkan kamar Kevin dan mengambil kembali ember pel yang sudah ia letakkan di dalam Alita meraba-raba ponselnya yang ia letakkan di bawah bantal. “Ini jam berapa sih Bi?” tanya Alita yang masih setengah sadar. Sementara Kevin sudah tidak ada di sampingnya. Bi Minah menghentikan langkah kakinya dan langsung menoleh ke arah jam dinding. “Jam setengah sembilan Non,” jawab Bi Minah, berbarengan dengan Alita yang melihat sendiri di layar ponselnya. “Hah??” Alita kaget dan langsung terbangun dengan posisi duduk. “Kok alarm gue ngga bunyi sih??” tanya Alita kesal pada dirinya sendiri. Padahal ia sudah memasang alarm di ponselnya pukul lima pagi. Atau ia tanpa sadar mematikan sendiri alarmnya seperti biasa? “Ah, mampus!” gumam Alita sambil menepuk dahinya dengan telapak tangan. Alita lupa, pagi ini jam delapan adalah jadwal kuliah Pak Hilman, dosen Fakultas Ekonomi yang terkenal galak dan banyak aturan. Ia sudah bisa membayangkan apa jadinya jika Pak Hilman mendapati ada mahasiswanya yang datang terlambat, sudah pasti sampai jam kuliahnya berakhir, ia akan selalu dicecar dengan pertanyaan-pertanyaan seputar materi yang tengah dibahas. Daripada ia menjadi bulan-bulanan Pak Hilman, lebih baik ia memutuskan untuk membolos saja kuliah pagi ini, dan ia sudah siap dengan segudang tugas yang akan diberikan Pak Hilman untuk mahasiswanya yang membolos tanpa alasan yang jelas. “Ngga papa Bi… kalo mau beresin kamar Kevin ngga papa kok,” ucap Alita. “Oh, iya Non.” “Papah sama Mamah udah berangkat Bi?” “Udah Non…” “Heumh…” lenguh Alita sambil merebahkan kembali tubuhnya di atas tempat tidur, lalu memainkan gawainya. Sejak bisnis restoran kedua orangtuanya bersama Om Fery dan Tante Vita sudah mulai berjalan, Sarah terlihat lebih sibuk dari biasanya. Terkadang ia pun tak bisa menjemput Kevin dan akhirnya menyuruh Pak Jupri untuk menjemputnya. Baru saja bersantai sejenak sambil membuka sosial media miliknya, tiba-tiba saja ia teringat pada perkataan Bima. Awalnya Alita ingin mengabaikan semua yang terjadi sore itu, tapi entah kenapa rasa penasarannya terlalu besar. Ia ingin membuktikan sendiri siapa sebenarnya Bima. Pria yang hanya ada dalam halusinasinya atau ia benar-benar nyata di dunia ini. Alita menoleh ke arah jam dinding batman yang terpasang di salah satu sisi tembok. Ia menghitung-hitung masih ada kurang lebih tiga jam lagi sebelum jadwal kuliah selanjutnya. Masih ada waktu jika ia pergi ke rumah sakit di mana dulu ia dirawat. Dengan cepat ia beranjak dari tempat tidurnya. Sepintas ia melirik ke arah robot hulk di atas meja belajar. Langkahnya langsung terhenti sambil memandang kembali robot hulk itu. “Bi, liat deh Bi… ini robotnya emang begini Bi?” tanya Alita pada Bi Minah yang sedang mengepel sudut kamar. “Maksudnya Non?” “Ma-matanya hitam Bi? Bukan merah?” “Iya Non, hitam,” jawab Bi Minah singkat. “Kalo malem ngga berubah warna Bi?” tanya Alita lagi karena ia masih penasaran. Bukannya langsung menjawab, Bi Minah malah tertawa. “Ya engga lah Non, bagian matanya kan cuma dicat biasa, bukan lampu,” jawab Bi Minah sembari mendekat ke arah robot hulk dengan tinggi sekitar lima puluh sentimeter itu. Ia mengambilnya lalu menunjukkannya pada Alita. Tanpa melihatnya dari dekat pun Bi Minah sudah tahu karena setiap hari ia masuk ke kamar Kevin untuk membersihkannya. Ia pun sampai hafal semua mainan milik Kevin karena ia juga yang membereskannya. “Memangnya kenapa ya Non?” sekarang justru Bi Minah yang penasaran. “Oh, ngga papa Bi. Ya udah aku mau mandi dulu ya Bi.” “Oh iya Non…” Ah, mungkin itu hanya perasaan Alita saja. Mungkin saja mata robot hulk itu terlihat merah karena pantulan cahaya lampu di kamar Kevin, pikir Alita sambil terus melangkah menuju ke kamarnya. Yang tidak Alita sadari, bahwa di kamar Kevin tidak ada barang apa pun yang berwarna merah, apalagi bola lampu berwarna merah. *** Semakin memasuki tempat parkir rumah sakit, Alita memperlambat laju mobilnya. Rasa takut dan ragu mulai menghantui pikirannya. Rasanya ingin berbalik arah dan mengubur dalam semua rasa penasarannya, tapi magnet di tempat itu terlalu besar. Apalagi sudah cukup jauh ia berkendara. Alita menghentikan laju mobilnya tepat di samping sebuah mobil fortuner hitam yang terparkir di bawah pohon besar di sudut tanah lapang, cukup jauh dari pintu masuk rumah sakit. Ia terdiam beberapa saat, lalu menoleh ke arah pemilik mobil itu yang masih duduk diam di kursi kemudi. Seorang pria bertubuh besar dengan jambang yang cukup lebat sehingga wajahnya terlihat garang. Buru-buru Alita mengalihkan pandangannya ketika pria itu menoleh ke arahnya. Rupanya ia menyadari jika sedari tadi Alita memperhatikannya. Buru-buru Alita meraih ponselnya yang ia letakkan di jok samping, lalu bergegas keluar dari dalam mobil. Ia berjalan cepat menuju pintu masuk sambil sesekali menoleh ke belakang, memastikan tidak ada yang mengikutinya. Sengaja ia meninggalkan tas ranselnya di dalam mobil karena hanya berisi buku-buku kuliahnya untuk siang nanti. Sampai di pintu rumah sakit, Alita terlihat bingung. Ia menoleh ke kanan dan ke kiri. Entah siapa yang ia cari. Ia benar-benar tidak tahu harus melakukan apa. Harus dari mana ia mencari informasi mengenai Bima. Bima sama sekali tidak memberinya petunjuk apa pun. Alita meremas pangkal rambutnya sambil terus mengedarkan pandangannya ke sekeliling ruangan. “Astaga!” Alita menepuk dahinya, menyadari kebodohannya. Mungkin karena terlalu tegang ia tidak tahu harus melakukan apa. Ia segera melangkahkan kakinya menuju security yang berdiri di depan pintu masuk. “Permisi Pak…” “Iya Mba, ada yang bisa dibantu?” “Ini Pak, saya mau tanya. Yang bekerja di sini ada yang bernama Bima ngga ya Pak? Dokter mungkin? Atau perawat?” tanya Alita pada security itu. Sebagai security pasti ia mengenal banyak pegawai di rumah sakit itu, karena setiap saat ia mengetahui siapa saja dan bagaimana rupa pegawai yang masuk maupun yang keluar. “Bima… Bima…” Security itu menyebut nama Bima beberapa kali sambil mengingat-ingat. “Waduh… saya kurang paham Mba. Seinget saya ngga ada yang namanya Bima. Atau mungkin Bima itu nama panggilannya. Boleh saya tahu nama lengkapnya?” “Saya ngga tahu pak,” jawab Alita yang sedikit kecewa karena tidak tahu nama lengkap Bima. “Ooh… ini Pak. Kalo orangnya, dia tinggi, putih, badannya tegap. Trus ada bekas luka di bagian sini. Cukup keliatan kok Pak,” ucap Alita sambil menunjuk ke bagian dahinya,” tanya Alita lagi. Pasti dengan menyebutkan ciri-ciri fisiknya, Bapak security itu bisa dengan mudah mengenalinya. Alita dengan sabar menunggu Bapak security itu mengingatnya. Tapi sepertinya ia harus kembali menelan kecewa ketika bapak itu menggelengkan kepalanya. “Di sini ada Mba yang ciri-cirinya sama seperti yang disebutkan Mba-nya tadi, tapi setau saya ngga ada bekas luka di kening,” jawab Security itu. “Lagi pula namanya bukan Bima, tapi Ardiansyah.” “Oh, ya udah. Makasih ya Pak…” sahut Alita lesu. Tadinya ia pikir Bima adalah pegawai di rumah sakit itu. Lalu apa lagi yang mesti ia lakukan saat ini? Alita kembali mengingat perkataan Bima saat itu. Kalo lo mau tau siapa gue? Lo dateng aja ke rumah sakit di mana dulu lo di rawat. “Atau dia juga seorang pasien?” gumam Alita. Ia pun berjalan menuju ruang informasi. Siapa tahu ia bisa mengetahui jawabannya di sana. “Permisi Mba. Boleh saya tanya sesuatu?” tanya Alita pada seorang perempuan yang berjaga di ruang informasi. “Oh, iya Mba… silahkan duduk.” Pegawai itu terlihat ramah sambil mempersilahkan Alita untuk duduk di hadapannya, hanya dibatasi sebuah meja counter. “Ada yang bisa saya bantu?” tanya pegawai itu setelah Alita duduk di hadapannya. “Ini Mba… saya mau tanya sekitar enam bulan yang lalu, apa ada pasien yang bernama Bima yang di rawat di sini?” “Mohon maaf Mba, kami tidak bisa memberikan informasi mengenai hal itu. Untuk data pasien itu sifatnya privacy dan kami dilarang untuk memberitahukan kepada orang lain,” jawab pegawai itu. “Saya minta tolong sekali Mba. Saya ngga ada maksud apa-apa. Saya cuma pengen tau aja. Saya juga cuma butuh jawaban iya atau tidak. Cuma itu Mba. Saya mohon Mba… kali inii aja,” ucap Alita dengan sangat memohon. Melihat raut wajah Alita yang terlihat bingung dengan tatapan mata kosong, pegawai rumah sakit itu pun akhirnya memberikan informasi yang Alita minta. Ia terlihat menoleh ke kanan dan ke kiri untuk memastikan tidak ada pegawai lain yang melihatnya. Ia takut karena itu adalah suatu bentuk pelanggaran. Ia hanya tidak tega melihat gadis di depannya itu. “Tapi sekali ini saja ya Mba… dan Mba janji untuk tidak memberitahu siapa pun mengenai informasi yang saya berikan,” ucap pegawai itu sambil berbisik. “Iya, iya saya janji Mba…” sahut Alita bersemangat. “Enam bulan lalu berarti sekitar bulan Mei ya Mba?” tanya pegawai itu memastikan. “Iya, iya betul Mba.” Cukup lama pegawai itu membuka data melalui komputer yang ada di hadapannya hingga ia kembali menatap Alita. “Ada Mba, nama yang Mba sebut tadi. Namanya Bima Haryanto. Betul Mba?” “Untuk nama lengkapnya saya ngga tau Mba.” “Tapi dari data yang saya lihat, nama Bima cuma ini Mba. Dia dirawat disini tanggal lima belas mei.” “Oh, mungkin betul itu namanya Mba,” sahut Alita sangat yakin. Ia masih ingat betul, di tanggal itu juga ia mengalami kecelakaan yang membuat kakinya patah dan koma selama satu bulan. “Jadi memang dia pernah dirawat di sini ya Mba?” “Iya betul Mba… Tapi,… pasien ini sudah meninggal. Kemungkinan dia meninggal sebelum sampai di rumah sakit.” Seketika wajah Alita pucat pasi dan mematung beberapa saat.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN