Terjebak dalam keadaan yang membuatnya serba salah tentu hal yang paling tidak mengenakkan, tak terkecuali Alita. Di satu sisi ia tidak ingin dunianya dipenuhi dengan hal-hal yang berbau mistis. Ia hanya ingin hidup tenang dengan menjadi Alita yang dulu, yang tak pernah mengalami kajadian aneh dan melihat sosok lain yang tak kasat mata. Jujur, semua itu membuatnya lelah. Sangat lelah. Tapi di sisi lain, ia ingin membatu Bima untuk mendapatkan kedamaiannya, menuju dunia yang seharusnya. Apalagi saat ini hanya Alita yang mengetahui cerita di balik kematian Bima. Siapa lagi yang akan membantunya kalau bukan Alita? Dan sekarang Alita justru dihadapkan dalam situasi yang menakutkan untuknya. Tiba-tiba saja terbesit dalam pikiranya bahwa mungkin saja Bisma lah yang membunuh Bima. Jika memang begitu, maka keputusannya untuk mencari tahu semuanya melalui Bisma akan sangat mengancam keselamatan nyawanya.
Selama ini Alita tahu bahwa kematian Bima disebabkan karena suatu kecelakaan. Tapi bisa saja kecelakaan itu disebabkan karena kesengajaan yang dibuat oleh beberapa oknum dengan menghilangkan barang bukti. Lagi pula kata Bima, ia sama sekali tidak ingat di malam kejadian itu.
Karena syok dengan spekulasi yang tiba-tiba muncul di kepalanya, Alita sampai menjatuhkan gelas kopi yang baru saja diberikan oleh penjual kedai itu.
“Neng? Eneng ngga papa Neng?” tanya penjual kopi karena tumpahan air kopi panas itu juga mengenai kaki Alita.
“Ng-ngga papa Pak… saya maaf ya Pak. Saya ngga sengaja,” ucap Alita yang merasa tidak enak karena penjual itu pasti repot harus membersihkan pecahan gelas.
“Iya ngga papa kok Neng,” ucap penjual kopi itu sembari mengambil tisu untuk diberikan pada Alita.
“Mkasih ya Pak…” sahut Alita menerima tisu itu. Sepintas ia menoleh ke arah Bisma sembari melangkah menuju bangku di depan warung untuk membersihkan kakinya yang kotor dan sedikit melepuh. Tapi dilihatnya Bisma sudah kembali masuk ke dalam mobil. Tentu saja membuat Alita panik. Ia segera berlari mengambil dompetnya yang ada di dalam mobil untuk membayar segelas kopi dan mengganti gelasnya yang pecah. Dicarinya dompet itu di laci dashboard, tapi tidak ada. Di jok belakang pun tidak ada. Ia melongok ke bawah jok, siapa tahu dompetnya jatuh tanpa ia sadari, dan hasilnya nihil. Dompetnya tidak ia temukan di mana pun, membuatnya semakin panik.
Alita kembali berlari menuju warung ke warung kecil itu.
“Aduh, maaf Pak… dompet saya ketinggalan. Boleh saya bayar pakai ini ngga Pak?” tanya Alita dengan tergesa-gesa sambil melepaskan jam tangan tangan Alexander Crhristie-nya. Dari harganya, sangat lebih dari cukup untuk membayar ganti rugi gelas yang pecah berserta isinya. Dalam keadaan tergesa-gesa, rasanya ia tak memikirkan cara lain agar bisa segera pergi dari tempat itu. Lagi pula ia sama sekali tidak mengenal daerah itu dan sudah pasti sangat jauh dari rumah tinggalnya. Tidak mungkin ia kembali lagi ke warung itu hanya untuk membayar segelas kopi. Alita lupa, di dalam mobilnya selalu ada beberapa pecahan uang yang sengaja ia simpan di kotak untuk membayar parkir atau diberikan pada “Pak Ogah” yang sering berada di persimpangan jalan. Dan rasanya cukup untuk membayar itu semua.
“Ngga papa Neng. Ngga usah. Lain kali aja kalo pas lagi lewat sini,” tolak Bapak pemilik warung karena ia tahu harga jam tangan itu tidak sebanding dengan harga satu gelas kopinya.
“Duh, tolong saya Pak… rumah saya jauh. Saya cuma punya ini,” ucap Alita memohon. Ia kembali menoleh ke arah mobil Bisma yang sudah menjauh dan tidak terlihat lagi.
“I-iya deh Neng ngga papa. Makasih banyak ya Neng,” sahut Bapak penjual itu.
“Saya yang harusnya makasih Pak.”
Alita bergegas masuk ke dalam mobilnnya setelah memberikan jam tangan itu. Ia bisa melihat dengan jelas beberapa orang keluar dari dalam bangunan rumah kosong itu. Tapi tidak begitu ia hiraukan. Alita kembali menginjak pedal gas dengan cepat sebelum ia kehilangan jejak Bisma. Ia penasaran kemana lagi Bisma akan pergi.
Jiwa detektif Alita kembali meronta-ronta. Ia semakin yakin pria-pria bayaran itu terus saja meminta sejumlah uang untuk menutup mulut mereka.
“Ah sial!” pekik Alita ketika sampai di persimpangan. “Ke manaaa… lagi tuh orang.” Alita kesal karena ia benar-benar kehilangan jejak Bisma. Ia tidak tau ke mana perginya Bisma karena mobil Bisma sama sekali sudah tidak terlihat. Alita menoleh ke semua jalan yang ada di persimpangan itu. Jika ia salah memilih jalan yang berbeda, tentu ia tidak akan mungkin menemukan Bisma.
Alita menyalakan ponselnya untuk mecari arah pulang melalui google map. Benar sekali seperti dugaannya. Kenzo berkali-kali menghubunginya kembali. Bahkan ia pun meninggalkan beberapa pesan untuknya. Alita membuka salah satu pesan Kenzo sambil terus memegang kendali mobil menggunakan tangan kanan, sementara tangin kirinya memegang ponsel.
Gue pikir Sandra adalah pilihan terbaik untuk gue. Tapi ternyata gue salah. Sandra ngga lebih baik dari lo Ta… minggu lalu kita udah memutuskan untuk bercerai.
Alita cukup kaget dengan salah satu pesan yang baru saja dibacanya. Ternyata apa yang ia pikir selama ini bahwa kehidupan Kenzo sudah bahagia bersama perempuan lain itu salah. Kira-kira apa yang membuat mereka memutuskan untuk bercerai? Tapi rasanya itu bukan lagi urusannya. Alita pun tak berniat untuk membaca pesan-pesan Kenzo yang lain, apalagi membalasnya.
Oke, sekarang bukan waktunya untuk memikirkan Kenzo. Ada hal lain yang harus ia pikirkan lagi selain masalah Bisma. Ke mana perginya dompet miliknya? Alita tak mungkin lupa, jelas-jelas tadi ia masukkan ke dalam mobil saat hendak pergi. Ketika di mimarket pun ia sudah membawanya karena ia mengambil uang parkir dari dalam dompet.
Saat berhenti di lampu merah, Alita kembali mengedarkan pandangannya ke seluruh sudut mobil. Siapa tahu dompetnya terselip dan tadi ia tidak melihatnya. Tapi tetap tidak ada. Alita hendak kembali fokus ke depan, ketika tiba-tiba pandangannya tertuju pada mobil fortuner merah yang terparkir di halaman sebuah cafe. Ya! Itu mobil Bisma. Rupanya dewi fortuna sedang berpihak padanya. Cepat-cepat Alita berbelok ke halaman cafe yang berada tepat di sudut persimpangan. Sepertinya cafe itu memang cukup dikenal dan ramai dengan beberapa motor dan mobil yang terparkir berjajar.
Alita menggasak kotak tempatnya menyimpan pecahan uang kecil. Walaupun hanya beberapa lembar uang lima ribu dan dua ribuan, paling tidak cukup untuk membeli satu gelas minuman yang harganya tidak terlalu mahal.
Perlahan Alita masuk ke dalam cafe. Di dalam cukup ramai karena hari ini adalah hari libur. Ia harus mengedarkan pandangannya untuk mendapatkan meja yang masih kosong, sekaligus mencari keberadaan Bisma. Yes! I get it! Meja yang masih kosong berada tepat di sisi kanan meja Bisma, hanya berselang satu meja.
Alita menurunkan pet topi yang dikenakannya untuk sedikit menutupi bagian wajahnya agar tidak dikenali.
Ada gunanya juga gue selalu simpen topi di mobil. Detektif emang harus selalu siap di segala situasi, batin Alita. Dengan percaya diri ia melangkah ke meja yang kosong itu dan duduk di sana sambil metanya sesekali melirik ke arah Bisma yang tengah menikmati segelas es kopi dan… entah makanan apa yang tengah dimakannya, Alita tak begitu melihatnya dengan jelas.
“Selamat siang Ka… mau pesan apa?” Seorang waitress menghampiri dan memberikan buku menu kepada Alita.
“Oh, iya Mba?”
Alita menerima buku menu itu dan mulai membolak-balik tiap lembarnya. Bola matanya langsung terbelalak melihat harga minuman yang tertera di sana. Bukan karena harganya yang tidak wajar, tapi karena uang di kantong celananya yang pas-pasan. Belum lagi jika ditambah pajak. Ia sampai menghitung-hitung harga yang harus ia bayar jika memesan satu gelas milkshake coklat menggunakan kalkulator yang ada di ponselnya. Saat ini rasa malu bukan lagi hal yang harus ia pikirkan.
“Saya pesan ini aja Mba… satu,” ucap Alita sambil menunjuk buku menu.
“Ada lagi Kak? Mungkin sekalian pesan makanannya? Ada Hellichick rice bowl menu favorit di sini.”
“Udah Mba, itu aja… saya… lagi nunggu temen dulu,” sahut Alita sambil tersenyum paksa sembari manahan malu.
“Oh, baik Kak, mohon ditunggu pesananya. Kalau ada yang mau dipesan lagi, silahkan panggil kami aja ya Kak,” ucap waitress itu sambil tersenyum ramah. Alita mengangguk.
Hingga beberapa menit berlalu, tidak ada sesuatu yang mencurigakan. Alita pikir Bisma akan bertemu dengan seseorang, tapi rupanya ia ke cafe itu hanya untuk makan siang.
“Mba!”
Terdengar suara Bima memanggil salah satu waiter. Alita pun langsung pasang telinga dan sekilas melirik ke arahnya.
“Iya Kak? Ada yang bisa dibantu?” tanya waiter itu setelah mendekat ke arah Bisma.
“Saya pesan air mineral satu sama hellichick rice bowl-nya satu ya Mba. Tolong antarkan ke meja itu. Tagihannya masukin aja ke bill saya,” ucap Bima.
Alita mengerutkan dahinya. Ia baru menyadari, rupanya di sini ia tengah bersama seseorang. Alita mengedarkan pandangannya. Siapa kira-kira yang dimaksud oleh Bisma. Kenapa mereka tidak duduk bersama saja? Atau mungkin mereka sengaja berpisah untuk mengelabui seseorang? Pikir Alita.
Beberapa menit kemudian, masih dengan banyak spekulasi di kepalanya, tiba-tiba seorang waiter mendekat ke arahnya… dengan membawa semangkuk rice bowl dan sebotol air putih, membuat Alita bingung.
“Maaf Mba… saya ngga pesen,” ucap Alita cepat. Pertama Alita memang tidak memesan makanan itu, yang kedua, ia tahu Bisma memesan makanan itu untuk seseorang yang tengah bersamanya. Tapi kenapa bisa sampai salah ke meja Alita?
Duh, jangan sampai Bisma tau kalau makanannya nyasar ke meja gue! batin Alita. Karena jika Bisma menyadari hal itu, sudah pasti ia akan menoleh ke arahnya. Alita kembali menurunkan pet topinya. Terserah orang-orang memandangnya aneh, yang penting tidaka ada seorang pun yang mengenalinya, terutama Bisma.
Mendapat penolakan, waiter itu terlihat bingung. “Tapi saya disuruh nganter ke meja ini Kak. Meja nomor tiga belas,” ucap waiter itu sambil melihat ke nomor meja yang tergeletak di sana.
“Gue yang pesen!” ucap seorang pria yang saat ini melintas tepat di sampingnya.
Bi-Bisma?? Seketika jantung Alita tiba-tiba berdegup kencang. Bisa-bisanya Bisma memesan makanan untuknya? Jangan-jangan Bisma tahu kalau sedari tadi ia mengikutinya, dan mungkin ini caranya untuk menegur. Padahal sejauh ini Alita sudah sangat berhati-hati. Bagaimana mungkin Bisma tahu? Keringat dingin mulai membasahi tangannya.