19. Misteri Uang Dalam amplop

1532 Kata
Alita tersentak mendengar ponselnya yang tiba-tiba berbunyi. Padahal ia yakin sudah mematikan nada deringnya sebelum kelur dari rumah beberapa jam yang lalu. Buru-buru Alita meraba-raba jok samping karena ponselnya ia letakkan di sana, tanpa mengalihkan pandangannya dari seorang perempuan paruh baya yang tengah menyapu halaman rumahnya. “Hallo? Siapa nih?” tanya Alita tanpa basi-basi. Ia sama sekali tidak melihat ke layar, siapa yang meneleponnya. “Ta!! Lo ke mana sih??” teriak Nadine dari ujung telepon. Suara Nadine yang keras dan nyaring mengagetkan Alita hingga ia menjauhkan teleponnya dari daun telinga. “Bisa ngga sih lo ngga teriak? Sakit tau telinga gue,” gerutu Nadine. “Iya, iya sorry. Lagian lo ke mana sih pagi-pagi gini udah ngga ada di rumah? Gue mulai curiga deh sama lo!” ucap Nadine dengan nada menyelidik. “Gue lagi ada urusan. Ngga usah kepo deh.” “Sejak kapan sih lo ngumpet-ngumpet dari gue? Gue udah di rumah lo nih. Trus gimana nasib gue?!?” tanya Nadine yang terus saja menyerocos. “Ta!” teriak Nadine lagi karena tak mendapat jawaban Alita. “Udah dulu ya Nad, ntar gue telpon lagi.” Klik! Tanpa menunggu jawaban Nadine, Alita langsung mematikan sambungan teleponnya, lalu melemparkan kembali ponselnya ke jok samping seenaknya. Baru beberapa detik, ponselnya kembali berdering, membuat Alita sedikit kesal. Terpaksa ia mengambil ponselnya kembali. “Apa lagi sih? Kan gue udah bilang nanti gue telpon lagi!” “Ini gue Ta…” ucap seorang pria dari ujung telepon. Pelan, hingga nyatis tak terdengar. Sepintas, Alita melihat ke layar ponselnya, hanya barisan nomor tanpa nama. Ia mengerutkan keningnya. “Siapa ya?” tanya Alita yang mulai penasaran. Pria itu terdiam beberapa saat sebelum akhirnya mulai bicara. “Ini gue… Kenzo,” ucap pria itu. Tiba-tiba saja jantung Alita rasanya seperti mau lepas dari tempatnya. Ia tak menyangka Kenzo tiba-tiba saja meneleponnya. Sejak kejadian malam itu, di mana Kenzo memutuskan hubungan mereka, Alita sudah menghapus nomor Kenzo dari phonebook-nya. Itu artinya sampai kapan pun ia tidak akan menerima Kenzo lagi dalam kehidupannya. Ah, mungkin Alita yang terlalu berharap dan berpikir terlalu jauh. Mana mungkin? Kenzo sudah menikah, tentu saja tidak mungkin ia kembali mencari dirinya. Ia lupa bahwa banyak pasangan menikah yang akhirmya bercerai karena salah satunya menyimpan perasaaan kepada orang lain atau karena adanya orang ketiga. “Ngapain lo nelfon gue?” tanya Alita sedikit ketus. Alita memang belum bisa melupakan Kenzo, mungkin akan sulit untuknya dan butuh waktu berapa lama. Tapi kekecewaan dan sakit hatinya jauh lebih besar. Mungkin sebagian besar perempuan selalu mengandalkan perasaannya ketika dihadapkan dalam sebuah masalah, tapi tidak dengan Alita. Pola pikirnya seperti laki-laki yang mengandalkan logikanya. Itulah kenapa Alita sama sekali tak meneteskan air mata ketika mengalami kegagalan cinta. “Gue… gue mau minta maaf sama lo Ta… gue……” “Hallo??... Hallo?? Sorry ngga ada suaranya. Hallo??” Klik! Alita sengaja mematikan sambungan teleponnya, lalu menonaktifkan ponselnya. Hari ini ia tidak ingin diganggu. Untuk kedua kalinya Alita melempar ponselnya ke jok samping. Kali ini dengan lebih keras karena ada emosi di sana. Sengaja Alita berpura-pura jaringan teleponnya buruk agar ia bisa menghindari Kenzo. Ia tidak ingin merusak mood-nya hari ini dan… teringat kembali kenangan mereka dulu. Aaaghhh!! Stop Ta! Sekarang bukan waktunya lo mikiran laki-laki b******k itu! Sekejap Alita memejamkan matanya, menghirup udara dari dalam ruang sempit itu, lalu menghembuskan napasnya perlahan untuk mendapatkan kembali konsentrasinya. Masih duduk di balik kemudi, Alita kembali memandangi wanita paruh baya yang masih berada di taman kecil di sudut halaman. Wanita itu telihat sangat kurus dengan wajahnya yang terlihat tidak segar. Kalau Alita boleh menebak, wanita itu terlihat lebih tua dari usia yang seharusnya. Alita bisa memahami, pasti rasa kehilangan salah satu putra kembarnya itu begitu menggores batinya dan menyisakan luka hati yang dalam. Andai saja ada yang bisa ia lakukan untuk menyembuhkan segala rasa itu, pasti akan ia lakukan. Sayangnya ia tidak tahu bagaimana caranya. Duk! “Aawww…!!!” teriak alita sambil memegangi dahinya. Dahi Alita terpentok setir mobil saat ia merunduk dengan cepat, berusaha berlindung saat wanita itu menoleh ke arah mobilnya. Mungkin tak biasanya ia melihat sebuah mobil asing terparkir di seberang rumahnya. Saat Alita menoleh ke arah wanita itu, yang tak lain adalah ibu Bima, beliau sudah tidak lagi berada di tempatnya. Rupanya ia sudah masuk ke dalam rumah. Terlihat dari pintu rumahnya yang sekarang sedikit terbuka. Alita mengelus dahinya sambil meringis kesakitan. Dilihatnya dahinya melalui kaca spion belakang, sampai terlihat garis merah walaupun tidak terlalu tebal. “Oke, ngga papa, gini doang,” ucap Alita menyemangati dirinya sendiri. Lagi pula ia bukan gadis lemah. Semua orang yang mengenalnya juga tahu itu. Paling tidak ia tidak sia-sia menunggu selama dua jam lebih di depan rumah Bima. Akhirnya Alita bisa melihat wajah Ibu Bima, walaupun ia belum mendapatkan informasi apa pun. Hari ini adalah untuk ketiga kalinya Alita mengintai rumah keluarga Bima. Sengaja ia pergi seorang diri tanpa memberitahu Bima karena ia tahu pasti hati Bima sangat sakit jika harus berhadapan langsung dengan keluarga dan semua kenangannya semasa hidup. Saat pertama kali datang bersama Bima saja, Bima lebih banyak terdiam dan memalingkan wajahnya, tidak ingin menatap bangunan rumah yang sudah pasti memiliki banyak kenangan itu. Saat baru datang tadi, Alita pun sempat bertanya pada salah seorang tetangganya yang kebetulan melintas. Ia hanya ingin mengetahui bagaimana perilaku Bima saat masih hidup. Sempat terlintas di pikirannya bahwa Bima masih ada di kehidupan ini karena sikap dan perangainya yang buruk hingga Tuhan tidak bisa menerimanya, atau mungkin ia memiliki banyak hutang hingga membuat jiwanya tidak tenang. Ah, memang terdengar bodoh! Tapi siapa yang tahu? Karena sebelumnya Alita pun tak mengenal Bima sama sekali. Tapi nyatanya dari beberapa orang yang ia tanya, tidak ada yang mengatakan hal buruk mengenai Bima. Mereka bilang Bima selalu ramah pada siapa pun. Bahkan ia adalah salah satu donatur tetap di masjid komplek yang seringkali mengadakan kegiatan pengajian atau santunan untuk fakir miskin. Pekerjaannya pun terbilang bagus. Saat masih hidup, Bima bekerja di perusahaan telekomunikasi dan sudah menduduki jabatan yang bagus. Bahkan Alita sampai mencari melalui internet berapa kisaran gaji yang didapatkan Bima setiap bulannya. Wow, sangat fantastis untuk seseorang yang masih muda seusia Bima. Jadi tidak mungkin arwah Bima tidak tenang dan masih bergentangan dengan alasan ia terlilit hutang. Alita sampai tertawa dengan pemikirannya sendiri. Alita kembali menunggu pergerakan di rumah itu. Siapa tahu Ibunya atau bahkan saudara kembarnya keluar dari dalam rumah. Alita bak detektif yang tengah menguak sebuah kasus. Apalagi berbau mistis seperti ini. Membayangkan saja ia tidak pernah. Ia mengambil minuman kaleng yang sengaja ia bawa dari rumah untuk membasahi kerongkongannya yang sudah mulai kering. Beberapa jam hanya berdiam diri tanpa melakukan apa pun membuat cacing-cacing di perutnya kini sudah mulai menggeliat meminta makan. “Udah ah, balik aja gue,” gumam Alita sambil menoleh ke arah jam tangannya. Lagi pula sudah satu jam lebih tidak ada yang keluar lagi dari dalam rumah. Sepertinya ia memang harus mencari cara lain. Mengintai seperti ini hanya membuatnya lelah. Waktunya pun sudah pasti akan banyak tersita. Sementara ia harus tetap kuliah. Alita menurunkan tuas rem tangan mobil matic-nya, lalu menggeser tuas transmisinya ke huruf D. Baru beberapa meter mobilnya berjalan, dari ujung matanya ia melihat seseorang keluar dari dalam rumah. Seketika Alita mengerem mendadak laju mobilnya. Dilihatnya Bisma masuk ke dalam mobil toyota fortuner warna merahnya, dan dengan cepat melaju ke jalanan. Tanpa pikir panjang, Alita pun mengikuti mobil itu dari belakang. Tak ada sedikit pun rasa takut yang ia rasakan, padahal ia tahu betul bagaimana watak Bima. Habis lah ia jika Bisma tahu kalau ia mengikutinya. Dua puluh menit sudah Alita mengikuti laju mobil Bisma, tapi ia tak kunjung berhenti di suatu tempat. Ke mana sebenarnya Bisma akan pergi? Sejak tadi Alita berusaha menebak-nebak tapi tak kunjung menemukan jawabannya. *** Bima akhirnya berhenti di depan sebuah rumah kosong di salah satu sisi jalan besar, setelah menempuh perjalanan sekitar tiga puluh menit. Sementara Alita menghentikan mobilnya di seberang rumah kosong itu. Kebetulan di depan rumah kosong itu terdapat sebuah warung kecil yang berjualan kopi dan indomie, sehingga Alita yakin Bisma tidak akan curiga. Alita pun turun dan berpura-pura membeli segelas kopi, salah satu minuman yang sebenarnya ia tidak suka. Menghirup aromanya saja membuat kepalanya pening. Dari dalam rumah kosong itu keluar seorang laki-laki berkulit hitam dan perutnya sedikit buncit. Penampilannya pun terlihat sangat berantakan dengan kaos hitam dengan warna yang sudah pudar yang dirangkap dengan jaket jeans lusuh dan juga celana jeans yang robek-robek di bagian lutut. Hampir mirip seperti seorang penjahat atau penculik di sinetron yang pernah Alita tonton. Pertanyaan mulai bermunculan di kepala Alita, apalagi ketika melihat Bisma memberikan sebuah amplop berwarna coklat kepada laki-laki berkulit hitam itu. Walaupun tidak bisa mendengar percakapan mereka, tapi Alita tahu betul apa yang diberikan Bisma dalam amplop itu. Apalagi kalau bukan uang?? Siapa sebenarnya laki-laki itu dan kenapa Bisma memberikan sejumlah uang kepadanya? pasti laki-laki berkulit hitam itu telah melakukan sesuatu untuk Bisma dan uang dalam amplop itu diberikan Bisma sebagai imbalannya. “Astaga!!” pekik Alita sambil reflek menutup mulutnya dengan telepak tangan, hingga gelas kopi yang baru saja diberikan penjual itu jatuh dan pecah berserakan di atas lantai tanah. Tiba-tiba saja Alita langsung berpikir jangan-jangan Bima lah yang telah membunuh Bima, saudara kembarnya sendiri. #Bersambung
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN