13. Alita dan Pria Dalam Mimpinya

2149 Kata
“Lo udah coba ngomong lagi sama Alita Ngga?” tanya Nadine pada Rangga ketika mereka tengah menikmati makan siang di kantin kampus. Mereka sengaja bertemu di kantin kampus sembari menunggu waktu kuliah berikutnya. Beberapa minggu terakhir, mereka memang sudah jarang sekali bertemu. Kalau pun bertemu, mereka hanya berdua tanpa kehadiran Alita. Tentu saja untuk membahas permasalahan yang tengah mereka hadapi. Sejak Alita mengirimkan peas kekecewaannya pada Rangga malam itu, ia menjadi sulit sekali dihubungi. Di kampus pun ia sudah jarang terlihat. Alita benar-benar menunjukkan keseriusannya mengenai isi pesan itu. Jangankan berbicara atau sekedar menyapa, saat tak sengaja bertemu pun, Alita selalu berusaha menghindar. Keadaan itu pun berdampak pula pada hubungannya dengan Nadine. Walaupun sebenarnya mereka baik-baik saja, tapi mereka pun sudah jarang menghabiskan waktu bersama. Dalam tiga minggu itu, mereka hanya bertemu tiga atau empat kali. Itu pun Nadine yang menemui Alita di rumahnya. Tak banyak yang mereka bicarakan karena tiba-tiba saja Alita selalu pergi dengan alasan sudah memiliki janji dengan seseorang. Padahal ia tahu Alita sudah tidak lagi bersama Kenzo, dan ia juga tahu betul selama ini tidak ada orang lain lagi yang sedang dekat dengannya. Mengenal laki-laki lain secepat itu rasanya tidak mungkin bagi Alita yang sulit menjalin kedekatan dengan seseorang. “Belum Nad. Gue telfon berkali-kali juga ngga diangkat. Ya udah lah. Gue ngaku kok emang gue salah,” jawab Rangga lesu. “Ya engga lah. Sebenarnya lo tuh ngga salah. Lo kan cuma ngasih tahu bokap nyokapnya biar ngga khawatir. Lagian nyokap Alita sendiri kan yang minta. Coba deh lo temuin Alita di rumah. Siapa tau di mau nemuin lo,” bujuk Nadine untuk kesekian kalinya. Rangga menggeleng cepat. Bukan ia tidak ingin menyelesaikan permasalahannya dengan Alita, tapi jika Rangga menemui Alita di rumah, Tante Sarah pasti akan membelanya dan itu akan membuat hubungan Alita dan Tante Sarah akan semakin buruk. Rangga tidak ingin hal itu terjadi. Sebenarnya ia pun tidak ingin mengadukannya pada Tante Sarah, tapi ia tahu betul bagaimana perasaan khawatirnya seorang ibu. Ia tahu karena ia memiliki adik perempuan yang tengah beranjak dewasa. Bagaimana khawatirnya ibu mereka jika adik perempuannya itu tak kunjung pulang ke rumah. “Sorry ya Ngga. Sebenernya gue juga ikut andil soal marahnya Alita ke elo. Gue jadi ngrasa bersalah Ngga,” ucap Nadine dengan mimik wajah sedih. Nadine memang tidak bohong saat mengatakan sepupunya datang dari Bandung, tapi ia berbohong ketika mengatakan bahwa ia akan ikut ke Bandung dan menginap beberapa hari di sana. Kedatangan sepupunya itu ia jadikan alasan agar Alita pulang ke rumahnya. Kata Rangga, Tante Sarah terus menerus menanyakan kabar Alita kepadanya. “Udah lah, itu ngga usah dibahas. Lo janji ya sama gue, ngga usah bilang apa-apa sama Alita. Ntar dia marah juga lagi sama lo,” pesan Rangga. Paling tidak, Nadine bisa menemani Alita untuk saat ini, di saat ia masih kehilangan sebagian ingatannya. “Iya Ngga… lo sabar ya Ngga.” Kali ini Nadine berada di posisi yang sulit. Kedua sahabatnya kini tak bisa lagi bersama. Entah sampai kapan Alita akan memaafkan Rangga. Tapi dengan kondisi Alita yang tak bisa mengingat Rangga, tentu akan semakin sulit membangun kepercayaan Alita kembali terhadap Rangga. “Iya santai aja… lebay banget sih lo! Gue itu ngga selemah lo. Dasar cewek!” “Eh, ngga boleh gitu lo. Inget, emak sama adek lo juga cewe!” tukas Nadine sambil melotot. “Eh, iya juga ya…” sahut Rangga sambil terbahak. Nadine hanya melirik sebal ke arah Rangga sambil mengangkat ujung bibirmya, lalu kembali fokus menghabiskan satu mangkuk baksonya. Memikirkan kuliahnya saja sudah menguras otak dan tenaganya, apalagi ditambah dengan masalah Alita dan Rangga. “Hustt!” Tiba-tiba Rangga memanggil Nadine yang tengah sibuk mengunyah sambil menyingkirkan potongan daun bawang dari dalam mangkuk baksonya. Reflek Nadine menoleh ke arah Rangga yang terlihat tengah memperhatikan seseorang. Nadine pun mengikuti arah pandangan mata Rangga. Ia menoleh ke belakang. Rupanya Alita dengan tergesa-gesa melintas tas di deoan kantin, tak jauh dari tempat mereka duduk. Uhukk!! Hampir saja Nadine tersedak. Ia pun langsung berdiri dan meraih shoulder bag-nya yang ia letakkan di atas bangku panjang. “Mau ke mana lo??” tanya Rangga panik. Ia takut Nadine akan berbuat macam-macam. Dengan cepat Nadine menyeruput habis es tehnya yang tinggal setengah. “Gue cabut dulu, tolong ya bayarin, gue buru-buru,” ucap Nadine seenaknya. Tanpa menunggu jawaban Rangga, Nadine pun langsung “ngacir” meninggalkan Rangga yang protes. “Tenang aja. Kapan-kapan gue traktir!” teriak Nadine untuk membungkam mulut Rangga yang terdengar masih mengomel. *** “Ta! Tunggu Ta!” teriak Nadine sambil terus berlari mengejar Alita yang berjalan dengan cepat keluar dari area kampus. “Alita!!” teriak Nadine sekali lagi karena Alita sama sekali tak menoleh. Kali ini dengan nada suara yang lebih keras hingga mahasiswa lain yang lalu lalang menoleh ke arahnya. Mendengar namanya dipanggil, Alita segera menghentikan langkah kakinya sambil menoleh ke belakang. Ia sudah begitu mengenal suara yang memanggil namanya itu. “Stop dulu dong Ta! Lo jalannya cepet banget sih. Lo kebelet?” canda Nadine yang tinggal beberapa langkah lagi sampai di hadapan Alita. “Lagian sapa juga yang suruh ngejar gue?!?” “Aduh Ta! Asli nih kalo begini terus bisa-bisa gue cepet kurus,” keluh Nadine sembari membungkuk sambil memegang kedua lututnya, seperti posisi ruku dalam sholat. Napasnya terlihat ngos-ngosan. “Makanya olah raga. Gitu aja udah mau pingsan!” sahut Alita. “Kenapa? Buruan. Gue lagi buru-buru.” Nadine kembali menegakkan tubuhnya. “Emang lo mau kemana? Lo ada janji lagi sama orang?” tuduh Nadine. Alita hanya mengangguk. “Yahh… lo kenapa sih Ta! Kayaknya sejak……. “ Nadine tak melanjutkan ucapannya. “Ayo dong Ta. Kita kan udah lama ngga jalan bareng. Temenin gue ke toko accessories dong. Ayo dong Ta,” rengek Nadine. “Duh, gue ngga bisa sekarang Nad. Lain kali ya…” “Yaaahh, Ta. Please… kali ini aja,” ucap Nadine memohon sambil mengatupkan tangannya di depan d**a. “Bener deh Nad… lain kali deh, gue janji, gue pasti temenin lo.” “Sebenernya lo mau ketemu siapa sih? Cowok?? Lo udah punya cowok lagi? Dan lo ngga cerita sama gue??” protes Nadine. “Kapan-kapan pasti gue ceritain. Udah dulu ya Nad, gue bener-bener buru-buru,” ucap Alita sambil melirik ke arah jam di tangannya, lalu pergi begitu saja meninggalkan Nadine yang terus memanggil namanya. *** Rangga terbahak begitu melihat Nadine berjalan lesu kembali ke arahnya. “Apa lo?? Seneng banget liat gue susah!” bentak Nadine sambil membanting shoulder bag-nya ke atas meja hingga gerdengar suara yang cukup keras. “Oke, oke… maaf… makanya jadi orang jangan kepedean lo. Malu kan kalo ditolak,” ucap Rangga yang berusaha menahan tawanya. “Emangnya kenapa lagi? Doi sibuk?” Nadine mengangkat kedua bahunya bersamaan. “Tau tuh. Eh, lama-lama gue jadi penasaran deh. Sebenernya Alita ketemuan sama siapa sih? Tapi gue yakin sih dia cowok! Lo tau?” “Hah? Maksud lo??” “Jadi gini. Berapa hari ini, Alita tuh lagi sering ketemuan sama orang. Dan gue yakin dia tuh cowok!” terang Nadine. “Ooohhh, gue tau! Jangan-jangan Alita balikan lagi sama Kenzo!” ucap Nadine tiba-tiba. “Pantesan aja dia ngga mau cerita sama gue. Bener nih, jangan-jangan Alita jadi orang ketiga lagi di rumah tangga Kenzo sama… duh siapa ya namanya gue lupa,” cerocos Nadine sambil mengingat-ingat nama perempuan yang dijodohkan dengan Kenzo. “Heh, heehh… sembarangan lo kalo ngomong. Kaya ngga kenal Alita aja lo,” bela Rangga sambil mengenakan jaket jeansnya. “Lho, lho, mau kemana?” sekarang giliran Nadine yang bertanya. “Ada deh, gue ada perlu…” ucap Rangga pelan sambil mendekatkan wajahnya ke wajah Nadine. “Bye… eh tolong ya, bayarin makanan gue. Tadi lo kan janji mau traktir gue,” ucap Rangga sambil beranjak pergi. “Eh, eh, Ngga! Lha, kenapa jadi gue yang bayar sih?” gerutu Nadine. *** Alita mengedarkan pandangannya begitu masuk ke dalam cafe. Saat itu cafe cukup ramai karena bersamaan dengan jam makan siang. Setelah memastikan seseorang yang dicatinya tak ada di salah satu pengunjung, ia pun langsung duduk dan memesan sesuatu untuk mengganjal perutnya yang sudah minta diisi. Ia memilih duduk di dekat dinding kaca yang terlibat dari luar cafe agar mudah ditemukan. Ia pun juga bisa melihat jika orang yang ditunggunya sudah datang. Sambil menunggu, Alita mulai menikmati pesanannya yang sudah datang sambil memainkan ponselnya. Sesekali ia menoleh ke arah luar dan melihat ke arah pintu masuk. “Sorry ya telat. Lo udah lama?” Alita mendongakkan kepalanya dan menoleh kembali ke arah luar dan pintu masuk cafe. “Lo baru dateng? Kok gue ngga liat sih?” Alita balik bertanya. “Ya gimana lo mau liat? Lo aja main hape mulu.” Alita mengerutkan dahinya karena alasan yang dilontarkan pria di hadapannya itu sepertinya kurang tepat. Alita yakin, baru sekitar berapa detik yang lalu ia memandang ke arah pintu tapi ia tak melihatnya datang. Padahal jarak tempatnya duduk lumayan jauh dari pintu masuk. Rasanya mustahil jika tiba-tiba pria itu sudah berdiri di hadapannya, dan sekarang sudah duduk tepat di depannya. Ah, mungkin memang Bima sudah ada di dalam dan ia tidak melihatnya. Begitu sampai, Bima langsung menuju ke toilet mungkin? Itu kan sesuatu yang sering dilakukan pengunjung cafe, pikir Alita. “Hei, malah bengong lagi.” “Eh iya. Gue minta nomor hape lo dong. Biar gue ngga nunggu kelamaan. Iya kalo lo dateng, nah kalo lo ngga dateng trus gue harus nungguin sampe cafenya tutup? Gue jadi bisa hubungin lo kapan aja.” “Dateng, gue pasti dateng kok. Ngga usah khawatir. Lagian selama ini juga ngga masalah kan. Udah, gini aja. Ntar kalo lo tau nomor gue, lo nelfon-nelfon gue mulu lagi, enakan kan gini, langsung ketemu.” “Hmm…” “Gue kan juga kerja. Kerjaan gue sibuk. Ngga sempet pegang handphone. Ntar lo marah lagi kalo gue ngga balas atau angkat telfon lo,” lanjut Bima. Selama ini mereka sering bertemu karena sebelumnya mereka selalu membuat janji untuk pertemuan berikutnya. Terkadang mereka pun tak sengaja bertemu di komplek perumahan, walaupun Alita tidak pernah tahu di mana rumah Bima. “Iya, iya. Lo mau pesen apa?” tanya Alita. “Ngga ah, gue udah makan. Masih kenyang. Gimana kuliahnya? Lo masih marah sama temen lo?” tanya Bima sambil melipat kedua tangannya di atas meja. “Lebih tepatnya sih, gue kecewa. Tau deh… gue sih udah ngga ngarepin temenan sama dia.” “Ya kamu juga harus dengerin penjelasannya dulu dong, itu namanya fair.” Alita tak menjawab. Ia kembali menikmati nasi goreng seafoodnya. “Masa cuma gara-gara itu doang, lo mengorbankan persahabatan lo yang udah bertahun-tahun,” lanjut Bima berusaha membujuk Alita untuk memperbaiki persahabatannya. “Ralat ya… bukan bergahun-tahun. Tapi cuma tiga tahun! Udah deh ngga usah ngomongin dia,” ucap Alita yang mulai kesal jika mengingat penghianatannya. Alita meletakkan sendok dan garpu yang dipegangnya, lalu melipat tangannya di atas meja sambil menatap mata Bima. “Gue masih penasaran deh. Kenapa ya lo ada di mimpi-mimpi gue?” tanya Alita serius, untuk kesekian kalinya. Bima menggeleng, lalu mengangkat kedua bahunya. “Mungkin karena lo ngefans sama gue?” sahut Bima asal. Membuat Alita menyungging senyumnya. “Jawaban lo sama sekali ngga masuk akal.” Hari ini adalah pertemuan Alita dan Bima untuk yang kesekian kalinya. Berawal dari pertemuannya di konplek perumahan itulah akhirnya mereka berteman. Nyatanya, Bima bukanlah sosok yang menakutkan seperti apa yang dibayangkan sebelumnya, ia sosok pria yang lembut, ceria dan perhatian. Ia juga terlihat sangat dewasa. Itulah yang membuat Alita merasa nyaman berada di samping Bima. Sekaligus memiliki teman bicara untuk membunuh rasa kesepiannya setelah hubungannya dengan sahabatnya memburuk. Karena rasa nyaman itu, bahkan Alita pun juga menceritakan semua permasalahannya dengan Bima. Mumgkin karena sosok Bima yang selalu hadir di mimpi-mimpinya saat itu, Alita merasa sudah lama mengenalnya. Alita sengaja tidak menceritakan mengenai Bima kepada Nadine karena Alita tau, sejak awal Nadine tidak terlalu mempercayai perkataannya mengenai sosok pria yang ada dalam mimpinya itu. “Liat deh… kenapa sih orang-orang selalu liatin kita terus? Emang kita aneh?” tanya Alita sambil menatap balik mereka yang sedari tadi menoleh ke arah mereka. “Iya… emang lo aneh.” Lagi-lagi Bima asal menjawab sambil tertawa. *** Di luar cafe, Rangga telihat memperhatikan Alita yang tengah duduk sendiri di dalam cafe melalui dinding kaca. Ia penasaran sekaligus khawatir dengan seseorang yang diceritakan Nadine di kantin kampus tadi. Sama seperti Nadine, Rangga pun tau bahwa Alita tidak mudah dekat dengan seseorang, apalagi sampai sengaja bertemu di cafe. Pasti orang itu sudah sangat dekat dengan Alita. Tapi sampai Alita keluar dari dalam cafe, Rangga sama sekali tidak melihat seseorang yang bersama Alita. Bahkan ia sampai mendekat untuk benar-benar memastikan. Rangga hanya takut jika orang itu berniat buruk pada Alita. Ia takut ada yang memanfaatkan Alita di saat ia kehilangan ingatannya. Jika selama ini Alita berbohong, apa alasannya? Apa Alita sengaja berbohong untuk menghindari dirinya dan juga Nadine? Apakah persahabatan mereka sudah benar-benar berakhir?
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN