12. Tanya dalam Senja

1624 Kata
Sore itu Alita memutuskan untuk pulang ke rumah setelah dua malam menginap di rumah Nadine karena Nadine tiba-tiba saja harus pergi ke Bandung. Walaupun Nadine sudah mengizinkan untuk tetap menginap di rumahnya tapi rasanya kurang etis jika Nadine sendiri tidak ada di rumah, biarpun mereka sudah bersahabat cukup lama. Setelah pulang kuliah sore itu, ia kembali ke rumah Nadine hanya untuk mengambil baju, buku kuliah dan beberapa barang miliknya. Tak banyak, karena selama ini ia banyak meminjam baju-baju Nadine, termasuk sepatu, tas, bahkan handuk untuk ia mandi. Tanpa disangka, beberapa meter sebelum sampai di rumahnya, ia kembali melihat pria yang selama ini hadir dalam mimpinya. Sambil berlari cepat menggendong tas ransel yang cukup berat di punggungnya, Alita berusaha mengejar pria itu. “Hei!” Alita berusaha menghentikan langkah panjang pria misterius itu. Dan usahanya berhasil. Pria itu seketika menghentikan langkahnya, lalu terdiam. Begitu pun dengan Alita. Bukan karena lelah, tapi tiba-tiba saja langkahnya terasa berat. Keberanian yang sudah ia bangun dengan susah payah, lenyap begitu saja seperti asap rokok yang mengepul dari rongga mulut. Keringat dingin kembali membasahi telapak tangannya. Perasaan ragu itu mulai muncul, apalagi matahari dengan cepat kembali ke peraduannya, membuat suasana semakin gelap. Ingin rasanya berbalik arah dan menghentikan kenekatannya, tapi ia sudah terlanjur melangkah sejauh ini, rasanya hati kecilnya menolak untuk kembali. Kumandang adzan baru saja selesai. Kini suasana begitu sunyi. Hanya beberapa orang saja yang terlihat melintas dengan mengenakan mukena. Itu pun jauh di ujung jalan. Perlahan, pria itu menoleh ke arah Alita. Degup jantung ia rasakan semakin keras, seakan meronta hendak keluar dari tempatnya. Alita memejamkan matanya rapat-rapat sambil menggenggam erat tali ransel yang tersangkut di kedua bahunya. Ia sudah pasrah dengan apa yang akan terjadi di hadapannya. “Lo manggil gue??” Tiba-tiba terdengar suara seorang pria dengan nada tinggi. Sepertinya ia merasa terganggu dengan panggilan Alita yang sangat tidak sopan. Bukannya merasa bersalah, Alita justru menghela napasnya lega. Sangat terlihat dari otot wajahnya yang mengendur. Apa yangbia takutkan nyatanya tidak terbukti. Laki-laki itu benar-benar manusia, pikir Alita. “I-iya… maaf,” ucap Alita terbata. Walaupun ia bisa sedikit bernapas lega, tapi ia tetap saja harus menjaga diri. Siapa tahu pria di hadapannya itu adalah orang jahat. Perlahan Alita mulai mendekat. Ia lepas satu tali tas ranselnya di bahu sebelah kanan, lalu ia putar dan dipeluknya tas itu untuk menutupi bagian d**a. “Ada perlu sama gue?” tanya pria itu lagi dengan ketus. “I-iya.” Kini pria itu sudah benar-benar berada di hadapan Alita, hanya berjarak kurang lebih satu meter darinya. Tinggi, putih, tampan, d**a bidang, perut six-pack, terlihat jauh lebih tampan dari yang ia lihat dalam mimpinya, tapi…. Ah, sudahlah, mungkin itu hanya perasaannya saja. “Lo takut sama gue? Lo takut gue apa-apain? Kalo takut, ngapain lo panggil gue??” Sekarang pria itu terlihat kesal, dan langsung berbalik arah hendak melajutkan langkahnya. “Eh, engga-engga, tunggu!” cegah Alita. Ia kembali mengaitkan tas ramselnya di belakang punggung. “Oke, gue ngga takut sama lo. Gue cuma…” Alita terdiam beberapa saat. Jujur ia bingung bagaimana harus berbicara pada pria itu. Apalagi untuk sesuatu yang sebenarnya tidak masuk akal. Mana mungkin ia mempercayainya. Apalagi mereka sama sekali tidak saling mengenal. “Gue pengen kenal sama lo!” ucap Alita cepat ketika pria itu sepertinya kembali berubah pikiran dan hendak meninggalkan Alita. Usahanya kembali berhasil, pria itu berbalik dan menatapnya. “Gue ngga kenal siapa lo. Tapi wajah lo bener-bener ngga asing buat gue.” “Trus??” “Karena itu gue pengen kenal sama lo. Entah kenapa gue yakin pertemuan kita bukan suatu kebetulan. Nama gue Alita.” Dengan cepat Alita mengulurkan tangannya. Tapi pria itu hanya terdiam dan memperhatikan tangan Alita, seolah ia ragu, dan membuat Alita segera menarik tangannya kembali. Alita pikir pria itu menolak untuk berkenalan dengannya, tapi perlahan senyumnya mulai mengembang. Terlihat sangat manis dan tidak semenakutkan sebelumnya. “Gue Bima…” ucapnya ramah. Kali ini nada bicaranya sangat berbeda, begitu lembut dan sopan. “Sorry ya, kalo gue bikin lo takut dan kasar sama lo.” Mendapat tanggapan yang tak terduga, membuat Alita pun ikut mengumbar senyumnya. Kali ini justru ia yang kehilangan kata-kata. Ia tak menyangka, ternyata Bima tidak semenakutkan seperti apa yang ia bayangkan sebelumnya. “Lo tinggal di mana?” tanya Bima. Alita menoleh ke arah belakang dan menunjuk salah satu rumah bercat biru muda di ujung jalan. Rupanya tadi ia cukup jauh berlari mengejar Bima. “Lo… lo tinggal di sini juga?” tanya Alita, karena sudah dua kali Alita melihatnya di sekitar rumahnya. Pria itu mengangguk. “Mmm… lo sakit?” tanya Alita lagi, karena melihat wajah Bima terlihat pucat. Karena itulah Alita pikir Bima adalah hantu atau sejenisnya. Bima mengerutkan dahinya begitu mendengar pertanyaan Alita. “Oh, maaf… maksud gue, lo mau ke mana?” tanya Alita buru-buru meralat pertanyaannya begitu melihat respon Bima yang sepertinya kurang suka dengan pertanyaan yang dilontarkannya. Mungkin memang begitu wajahnya. Pertanyaannya memang terdengar bodoh. “Ya mau balik lah. Gue habis dari rumah Om gue, tuh rumahnya di sana, deket rumah lo,” jawab Bima sambil menunjuk persimpangan jalan. “Ooh…” Pantes aja udah dua kali gue liat dia di sekitar rumah, batinnya. “Ya uda, udah gelap nih. Sana pulang, ntar dicariin lagi sama bokap nyokap lo” “Tapiii… lo mau kan temenan sama gue?” tanya Alita yang begitu berharap. Bima tersenyum, lalu mengangguk. “Ya udah, gue balik dulu ya…” ucap Alita. “Iya… sampe ketemu lagi. Rumah kita deket kok, pasti juga bakal sering ketemu. Lagian gue sering ke runah Om gue kok.” Alita mengangguk mantap. Ia mundur beberapa langkah sebelum akhirnya berbalik. Rasanya ia belum puas untuk berbicara dengannya. Masih begitu banyak pertanyaan yang ingin ia temukan jawabannya, tapi sepertinya waktunya memang tidak pas. Alita pun berharap ia bisa bertemu lagi dengan Bima. Sambil melangkah pulang ke rumahnya, beberapa kali Alita pun menoleh ke belakang, dan ia masih melihat Bima menatapnya. Mungkin Bima ingin memastikan ia masuk ke rumah dengan selamat. Benar-benar menunjukkan laki-laki yang baik dan bertanggung jawab, walaupun mereka baru saling mengenal. *** Perlahan Alita membuka gerbang besi rumahnya, dan kembali menutupnya dengan sangat hati-hati agar tidak menimbulkan bunyi. Dengan mengendap-endap ia masuk melalui pintu belakang. Berharap Bi Minah yang membukakannya. “Biii…” bisik Alita pelan sambil mengetuk pelan pintu kayu itu. Alita lega karena tak berapa lama, Bi Minah melongok dari balik gorden, tepat di samping pintu. Buru-buru Bi Minah membuka kunci dan menarik handle pintunya. “Non? Alhamdulillah akhirnya Non Alita pulang juga.” Terlihat raut wajah lega di wajah Bi Minah. Karena tak biasanya Nona mudanya itu pergi tanpa pamit seperti itu. “Husstttt!” Alita mendekatkan telunjuk di ujung bibirnya agar Bi Minah mengurangi volume suaranya. “I-iya Non,” ucap Bi Minah yang langsung mengerti. Ia pun menoleh ke dalam untuk memastikan kedua majikannya itu tak mendengar suaranya. “Papah sama Mamah mana Bi?” tanya Alita masih sambil berbisik. “Kayaknya sih ada di dalam kamar Non.” “Jangan bilang-bilang kalo saya udah pulang ya Bi…” pesan Alita pada Bi Minah. Alita masuk ke dalam rumah dengan menjinjing sepatunya, lalu perlahan melangkahkan kakinya masuk. Ia meoleh ke kanan dan ke kiri untuk memastikan kedua orangtuanya tidak berada di ruang tamu. Aman, pikir Alita. Tapi tiba-tiba saja langkahnya terhenti begitu sampai di depan kamar utama. Ia mendengar Sarah menyebut namanya. Kebetulan pintu kamar itu sedikit terbuka sehingga Alita masih bisa mendengar dengan jelas pembicaraan kedua orangtuanya. Alita melangkah mendekati pintu dan mendekatkan telinganya. Udah lah Mah… jangan terlalu keras sama Alita. Wajarlah dia begitu. Alita kan masih muda, masih labil. Ya kalo ngga dikerasin justru dia lebih seenaknya sendiri dong Pah. Coba sekarang, dia malah kabur dari rumah! Mau jadi apa? Kalo ketemuan sama anak itu gimana coba? Kalo terjadi apa-apa gimana coba? Kenzo maksudnya?? Ya siapa lagi?? Tenang aja Mah. Alita kan di rumah Nadine. Papah percaya kok Alita ngga bakal macem-macem. Seketika Alita memelototkan matanya. Dari mana orangtuanya tahu kalau selama ini ia berada di rumah Nadine? Atau jangan-jangan Nadine yang memberi tahu mereka? Udah Mamah tenang aja. Ngga usah berpikiran macem-macem. Kalo ada apa-apa kan Rangga juga bakal kasih tau kita. Praaankkk! Alita hendak menuju ke kamarnya ketika tak sengaja ia menyenggol guci yang terletak di atas meja kecil di samping pintu kamar hingga pecah berserakan di atas lantai. Cepat-cepat Alita berlari menaiki tangga menuju ke kamarnya di lantai dua sebelum Hardjono dan Sarah melihatnya. Sampai di kamar, Alita langsung melemparkan tas ranselnya di lantai setelah mengambil ponselnya. Alita benar-benar kecewa kepada Rangga. Walaupun Alita sama sekali belum bisa mengingat Rangga, tapi ia berusaha mempercayainya. Tapi apa yang Rangga lakukan? Ia justru mengadukan keberadaannya kepada kedua orangtuanya. Rangga benar-benar merusak kepercayaan yang baru ia bangun. Alita menjatuhkan tubuhnya di atas tempat tidur. Ditatapnya ponsel miliknya dengan sorot mata mata marah dan kecewa. Ia terlihat mengetikkan sesuatu di layarnya. [Gue udah tau semuanya Ngga! Gue bener-bener kecewa sama lo! Lo kan yang kasih tau bokap nyokap gue di mana keberadaan gue. Lo bener-bener ngga bisa dipercaya! Ternyata lo yang sebenarnya musuh dalam selimut. Pantes aja gue ngga inget sama lo! Nyesel gue pernah kenal sama lo! Dan gue juga berharap semoga selamanya gue ngga akan pernah inget masa lalu kita! Kalo emang dulu kita bersahabat. Gue rasa cukup sampe di sini!] Tak berapa lama telepon Alita berdering. Rupanya Rangga tak membalas pesan singkatnya. Ia memilih untuk langsung menelpon Alita. Tapi Alita sama sekali tak menggubrisnya. Ia justru menolak panggilannya. Hingga sebuah pesan masuk ke ponselnya. Dengan malas Alita membuka pesan itu. [Oke Ta, kalo lo ngga mau angkat telepon dari gue. Gue bisa jelasin sama lo. Ini tuh ngga ……………] Belum juga selesai Alita membacanya, ia lempar begutu saja ponselnya ke atas tempat tidur.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN