“Oke mungkin sekian dulu kuliah kita hari ini. Untuk pembahasannya kita lanjutkan lagi minggu depan. Kalian juga bisa pelajari dulu bab selanjutnya… kalau ada pertanyaan bisa ditanyakan minggu depan,” ucap Bu Zahra, dosen statistika ekonomi sambil mematikan layar proyektor. “Silahkan… boleh keluar,” lanjutnya sembari mempersilahkan dengan gerakan tangannya, lalu merapikan beberapa buku materi kuliah yang ia letakkan di atas meja.
Bu Zahra mengedarkarkan pandangannya ke setiap sudut ruang kelas, mencari seseorang di antara sekian banyak mahasiswa yang mengikuti kuliahnya hari ini. Hingga tatapannya tertuju pada gadis yang duduk di bagian tengah, yang tengah sibuk dengan ponselnya.
“Alita!” panggil Bu Zahra dengan suara lantang, namun masih terdengar lembut. Seketika Alita mendongak ketika namanya dipanggil.
“Ya Bu?”
“Setelah ini ke ruangan saya ya…” pinta Bu Zahra.
“Ya Bu,” jawab Alita, lalu ia kembali sibuk dengan layar ponselnya. Ia sudah bisa menebak apa yang akan Bu zahra bicarakan. Saat itu Alita adalah seorang assisten dosen, namun sejak kecelakaan yang mengakibatkan ia mengalami amnesia, Alita mengajukan cuti selama satu semester, dan tentu saja jabatannya sebagai assisten dosen juga dihentikan untuk sementara. Walaupun begitu, Alita sudah berniat untuk mengundurkan diri jabatannya itu. Ia tidak ingin terbebani lagi dengan kehidupan kampus. Kehidupan kampus yang dulu sangat lekat dengannya, kini begitu terasa asing.
Menduduki salah satu jabatan prestisius di kalangan mahasiswa, membuat Alita cukup dikenal di kalangan mahasiswa satu angkatannya maupun adik kelasnya yang sudah sangat akrab dengan cara mengajarnya yang sangat lugas. Walaupun cara mengajarnya terkesan galak, tapi sangat mudah dipahami, karena memang seperti itu karakter Alita dalam mengajar, tegas tapi lembut.
Beberapa kali Alita harus berpura-pura mengenal mereka yang tiba-tiba menyapanya di kampus. Ia benar-benar melupakan ingatan beberapa dari mereka. Bahkan teman satu angkatannya pun tidak semua ia ingat. Ia tidak bisa memilih memori mana yang ia lupakan, semua teracak di dalam otaknya, seperti kepingan puzzle yang menghilang dari susunannya secara acak.
“Ati-ati Bu… nanti ngamuk lagi di ruang dosen,” celetuk Jessy, salah satu mahasiswa yang paling berani sekaligus centil di kelas, yang langsung disambut tawa teman-teman yang lain.
Tanpa menoleh pun Alita sudah bisa mengenal suara itu. Suara yang begitu memuakkan di telinganya. Entah sampai kapan Jessy berhenti membuat masalah dengannya, yang seolah tidak akan pernah ada habisnya sebelum salah satu dari mereka lulus dari kampus. Alita hanya terdiam tanpa moleh ke arahnya. Ia diam bukan berati takut, tapi ia masih menghormati Bu Zahra yang masih berada di meja dosen.
Ok! Saat itu Alita memang sempat berteriak-teriak histeris di dalam toilet kampusnya hingga mengundang perhatian banyak mahasiswa yang lain, termasuk Jessy. Dan itu terjadi beberapa kali, dari keajadian di toilet, hingga di perpustakaan kampus. Saat itu, Alita baru beberapa hari kembali ke kampus setelah masa cutinya selesai.
Saat di dalam toilet itu, Alita melihat sosok yang begitu mengerikan yang belum pernah ia lihat sebelumnya, bahkan mungkin seumur hidupnya. Karena keadaan Alita yang takut, kaget, dan syok, ia hanya terduduk di pojok toilet sambil memegangi kepalanya, tanpa berusaha pergi. Kakinya rasanya tidak kuat untuk menopang berat tubuhnya hingga ia baru berhenti berteriak setelah Karin dan Elsa, dua orang teman satu angkatannya datang menghampiri. Itu pun Alita sempat menepis tangan Elsa yang berusaha membantunya. Ia mendorong Elsa dengan kuat hingga Elsa jatuh terduduk tak jauh darinya.
Setelah keluar dari dalam toilet, Alita yang masih bingung dan ketakutan memilih untuk pergi meninggalkan kerumunan itu tanpa memberikan penjelasan. Ia tidak menceritakan sedikit pun apa yang baru saja dialaminya itu. Biarlah mereka berspekulasi sendiri apa yang terjadi di dalam toilet itu.
Alita melirik ke arah Jessy yang sepertinya hendak keluar dari dalam ruang kelas bersama genk-nya, buru-buru Alita menghampirinya setelah memastikan Bu Zahra sudah tidak ada di tempatnya. Ia tarik bahu Jessy dengan kasar agar tubuhnya memutar menghadap ke arahnya, hingga Jessy terlihat meringis kesakitan.
“Aww!” pekik Jessy sambil memegangi bahunya. Wajahnya seketika berkerut, menahan sakit dan marah.
“Heh, maksud lo apa ngomong kaya gitu ke Bu Zahra??” teriak Alita tak kalah keras. Sejak ia mulai masuk kembali ke kampus. Ia sudah berusaha mengabaikan semua sikap buruk Jessy padanya. Tapi kali ini sepertinya ia sudah kehilangan kesabarannya.
“Ya emang lo aneh! Trus gue harus sebut lo apa? Gila??” ucap Jessy tepat di hadapan wajah Alita.
Alita terdiam beberapa saat. Walaupun beberapa kali ia berteriak-teriak seperti orang gila, tapi bukan berarti Jessy bisa seenaknya menuduh seperti itu. Hanya Alita sendiri yang tahu apa yang sebenarnya terjadi, dan ia tidak gila!
Kalau saja mereka tidak berada di area kampus, pasti Alita sudah berhasil menggampar wajahnya, menjambak rambutnya, bahkan mencabik-cabik tubuhnya. Tapi ia masih bisa menahannya untuk tidak melakukan hal konyol hanya untuk sesuatu yang menurutnya tidak penting ia tidak ingin mempertaruhkan nama baiknya di kampus sebagai Aassisten dosen, sorry, tapi lebih tepatnya mantan assisten dosen. Ia pun tidak ingin membuat masalah lagi dengan orangtuanya jika kejadian itu sampai di telinga mereka.
“Kenapa? Bener kan omongan gue?” lanjut Jessy, masih di hadapan wajah Alita dengan songongnya.
“Masih mending gue gila, ngga ngrugiin siapa-siapa! Dari pada lo, ngambil barang orang! Klepto lo!” teriak Alita dengan nada emosi.
Perkataan Alita bukan tanpa alasan. Sekitar satu tahun yang lalu di kampusnya sempat beredar bahwa Jessy pernah kepergok mencuri ponsel temannya yang lain. Tapi semua berita itu menguap begitu saja karena tidak adanya bukti. Lagi pula hidup Jessy juga tidak kekurangan dengan gaya hidupnya yang mewah. Ia adalah putri tunggal dari pengusaha kaya di bidang garmen. Sangat tidak mungkin ia mencuri ponsel orang lain. Tapi di lain waktu Alita pernah memergoki Jessy melakukan hal serupa di dalam perpustakaan kampusnya. Kali ini Alita benar-benar melihatnya dengan mata kepala sendiri. Rupanya rumor yang senpat beredar itu benar, tapi Alita memilih untuk diam karena itu bukan urusannya. Ia pun juga tidak ingin membuat keributan di dalam perpustakaan. Alita yakin Jessy tidak butuh ponsel itu. Ya! Jessy sakit!
“Mana buktinya kalo gue klepto?? Hah?!? Gue laporin lo tentang pencemaran nama baik!” tanyang Jessy. “Yuk, cabut yuk!” ajak Jessy kepada genk-nya yang juga menatap sinis pada Alita.
Alita meremas kedua telapak tangannya dengan gemas sambil memekik tertahan.
Dari kejauhan terlihat Rangga mendekat ke arah mereka. Dengan centilnya Jessy memperbaiki rambutnya yang sedikit berantakan dan langsung menghampirinya.
“Hai Ngga… kebetulan banget nih, gue baruu aja selesai kuliah. Tuh kan gue bilang apa, jangan-jangan kita jodoh,” ucap Jessy sembari bergelayut manja di bahu Rangga dan melingkarkan tangan di lengannya.
Rangga pun hanya tersenyum paksa sambil berusaha menyingkirkan tangan Jessy. “Iya, iya, ngga usah gini juga dong. Kan ngga enak di tempat umum.”
“Jadi kalo di tempat sepi lo mau?!?” goda Jessy.
Rangga langsung kehilangan kata-kata.
Sudah sejak awal masuk ke kampus, Jessy memang begitu terobsesi dengan Rangga. Bahkan ia terang-terangan menunjukkan ketertarikannya pada Rangga, walaupun Rangga tak pernah menanggapinya. Tapi tetap saja Jessy selalu mencari kesempatan untuk selalu dekat dengannya, seolah sudah putus urat malu.
Dengan cepat Alita pun langsung berlari menghampiri Rangga dan langsung menarik lengannya.
“Heh, cowok gue nih! Seenaknya aja lo pegang-pegang!” bentak Alita sambil menatap Jessy dengan bola mata membara. “Ayo Sayang!” Alita segera menarik tangan Rangga menjauh dari Nenek Sihir itu.
Rangga pun hanya bisa pasrah sambil mengikuti langkah kecil Alita sambil menatap heran ke arahnya.
Dari jauh, Alita masih bisa mendengar Jessy mengumpat dan mengatakan hal buruk soal dirinya, tapi Alita terus saja melangkah tanpa memperdulikan celotehan Jessy.
“Lo udah bisa inget Ta??” tanya Rangga menyadari sesuatu setelah Alita melepaskan pegangan tangannya di depan kampus mereka.
Alita menatap tajam mata Rangga, lalu terdiam beberapa saat.
“Ma-maksud lo? Lo—beneran cowok gue?” tanya Alita ragu-ragu.
Rangga tersenyum sambil menutup kedua matanya dengan telapak tangan. Mungkin ia yang terlalu berharap lebih untuk kesembuhan Alita. Rangga pikir Alita sudah bisa mengingat semuanya dengan sikap Alita yang tiba-tiba mengaku sebagai pacarnya di hadapan Jessy. Itulah yang sering Alita lakukan untuk menyelamatkan Rangga dari “cemgkeraman” Jessy sebelum Alita mengalami lupa ingatan. Tapi rupanya itu hanya sebuah kebetulan belaka atau mungkin Alita sudah mulai menyadari kebiasaan yang sering ia lakukan.
“Ya jelas bukan lah! Ada-ada aja pertanyaan lo. Lo itu sahabat gue!” sahut Rangga sambil mengacak-acak rambut Alita seperti biasanya.
“Sorry ya tadi gue tarik lo pergi. Gue ngga suka liat Jessy kecentilan begitu sama lo. Lo kan bukan cowoknya.”
Oke fix! Jawaban itu sama persis dengan jawaban Alita dulu saat Rangga menanyakan alasan Alita “menyelamatkan” Rangga dari Jessy.
“Iya, gue tau. Ya udah, gue mau balik nih. Lo udah kelar kan? Mau gue anter?”
“Ngga usah, gue masih ada kelas satu jam lagi. Lo balik aja.”
“Ta!” panggil Nadine dari kejauhan sambil berlari tergesa-gesa menghampiri mereka. Alita dan Rangga pun langsung menoleh ke arah Nadine. “Kebetulan lo di sini. Habis ini gue mau ke Bandung. Sorry Ta, mendadak. Gue juga ngga tau kalo sepupu gue jemput hari ini,” ucap Nadine setelah berada di hadapan Alita.
“Lo mau ke Bandung? Nginep? Trus gue gimana dong?”
“Iya Ta. Tuh, sepupu gue udah nungguin,” sahut Nadine sambil menunjuk ke seorang gadis di dalam mobil yang melabaikan tangan ke arahnya. “Lo kalo masih mau di rumah gue ngga papa kok. Gue udah bilang kok sama oramg rumah. Udah ya Ta, Ngga, gue cabut dulu.” Tanpa menunggu jawaban Alita dan Rangga, Nadine pun bergegas menuju ke mobil sepupunya itu.
“Yaahh... Nad...” ratap Alita sambil terus memandang ke arah Nadine hingga mobil yang dinaikinya mengilang di balik pagar kampus.
“Lo kalo mau nginep di rumah gue juga ngga papa kok,” canda Rangga.
***
“Pak! Pak! Berenti di sini aja Pak!” teriak Alita tiba-tiba, membuat sopir taksi yang sudah berusia paruh baya itu menghentikan laju taksinya seketika, hingga terdengar suara berderit ban mobil yang beradu dengan aspal. Padahal posisi runahnya masih beberapa meter lagi.
Alita buru-buru merogoh uang dari dalam tas ranselnya untuk membayar sejumlah nominal yang tertera dalam argo sambil sesekali menoleh ke belakang.
“Ini Pak…” ucap Alita sambil menyerahkan uangnya.
“Oh, iya, makasih Neng.”
Alita kembali menoleh ke belakang untuk memastikan pria berwajah pucat itu masih ia lihat walaupun pria itu berjalan semakin menjauh. Di tempat itu pula ia terakhir kali melihatnya saat itu.
Alita menarik napasnya dalam, dan menghembuskannya perlahan. Ia berusaha menaklukkan rasa takutnya. Mau sampai kapan ia akan terus dihantui rasa penasarannya. Mungkin ini waktu yang tepat untuk mencari tahu siapa sebenarnya pria yang selalu hadir dalam mimpinya itu. Lagi pula hari masih sore, tidak ada alasan untuk takut.
Setelah meyakinkan dirinya, Alita langsung turun dari mobil sebelum ia kehilangan jejaknya. Alita merasa detak jantungnya terasa semakin cepat, tapi berusaha tidak ia hiraukan. Alita berlari kecil untuk menyusul pria itu, tapi sepertinya langkah pria itu lebih lebar hingga Alita tak mampu menjangkaunya. Napasnya semakin tersengal.
“Hei!” pekik Alita berusaha memanggil pria itu, bertepatan dengan adzan magrib yang berkumandang dari masjid komplek perumahan.
#Bersambung