“Kamu makan lagi ya buburnya? Kamu kan denger sendiri Dokter bilang apa. Kamu harus mulai makan pelan-pelan. Satu suap lagi aja ya?” bujuk Sarah, karena baru dua sendok saja Alita sudah tidak mau memakan buburnya lagi.
“Udah Mah,” jawab Alita pelan. Minum air putih saja masih terasa aneh di tenggorokannya. Nafsu makannya hampir tidak ada sama sekali. Sudah lebih dari satu bulan Alita mendapatkan asupan makanan dari selang PEG (Percutaneous Endoscopic Gastronomy) yaitu selang makanan permanen yang dimasukkan dari kulit perut langsung ke dalam perut pasien. Lewat selang ini makanan buatan akan dimasukkan langsung ke dalam lambung untuk dicerna oleh pasien. Sekalipun dalam kondisi tidak sadar, pasien, tetap membutuhkan asupan makanan dan minuman supaya fungsi organ tubuhnya tetap berjalan dengan baik. Sekaramg, waktunya Alita mulai belajar makan kembali melalui mulutnya.
Kondisi Alita kini sudah semakin membaik. Ia sudah mulai mendapatkan kesadarannya secara bertahap. Dokter pun sudah mengecek respon gerakan terhadap perintah dan hasilnya semakin baik. Gips yang terpasang di kedua kakinya yang patah untuk mencegah kontraksi otot dan anggota tubuh pun sudah dilepas. Sementara luka jahitan di kepalanya masih diperban, tapi terlihat sudah mulai mengering.
“Ya udah, tapi nanti dimakan lagi ya? Kamu kan juga butuh tenaga biar kamu cepet sehat, cepet pulang ke rumah. Kevin udah nanyain kamu terus tuh,” kata Sarah sambil meletakkan mangkok buburnya di kemeja kecil di samping ranjang, lalu mengambil beberapa obat untuk diberikan kepada Alita. Diantaranya obat untuk pereda rasa nyeri, obat untuk peradangan, antibiotik, dan sebagainya
Alita hanya tersenyum. Sejak terbangun pagi tadi, ia memang tak banyak bicara.
Setelah memberikan obat-obatan itu kepada Alita, Sarah pun kembali duduk di samping ranjang Alita. Sarah tersenyum sambil menatap Alita. Sekarang ia sudah benar-benar merasa tenang karena Alita sudah mulai merespon ucapannya. Saat ini kondisinya terlihat baik-baik saja walaupun tubuhnya masih terlihat lemas dan tidak banyak bicara. Tapi dari dulu pun Alita memang tidak dekat dengan kedua orang tuanya. Hubungan mereka sepertinya hanya sebatas hubungan antara ibu dan anak, tanpa memiliki kedekatan batin. Mereka hampir tidak pernah menghabiskan waktu bersama untuk sekedar ngobrol atau saling bertukar cerita tentang kesibukan masing-masing.
“Gimana, kamu udah jauh lebih enakan kan sekarang? Masih sakit kepalanya?” tanya Sarah karena sejak ia sadar dari komanya, Aliya kerap kali mengeluhkan sakit di kepalanya.
“Udah mendingan Mah,” jawab Alita singkat. Masih jelas sekali dalam ingatannya bagaimana malam itu melajukan mobilnya dengan kencang dan menabrak pembatas jalan. Setelah itu ia tidak ingat apa-apa lagi, hingga ia berada di rumah sakit saat ini. Ia pun masih ingat betul pertengkarannya dengan kedua orangtuanya. Bahkan tamparan ibunya masih begitu terasa di pipinya. Rasanya kejadian itu baru kemaren ia rasakan, tapi kata Sarah, ia sudah koma lebih dari satu bulan berlalu. Dan yang terakhir, yang tidak akan pernah bisa Alita lupakan seumur hidupnya, dengan mudahnya Kenzo mengucapkan kata perpisahan. Kemarahan, kesedihan, dan rasa kecewa pun masih sangat jelas terasa dan membekas di kepalanya. Mungkin itulah salah satu faktor yang membuatnya tertidur cukup lama, seolah tidak ada keinginannya untuk bangkit. Semangat hidupnya menghilang bersamaan dengan perginya Kenzo dari kehidupannya. Entah apa yang akan ia katakan kepada Hardjono dan Sarah bahwa laki-laki yang selama ini ia bela mati-matian dan menjadi penyebab pertengkaran mereka selama ini justru begitu saja meninggalkannya.
Sarah mengelus dengan lembut tangan Alita yang masih terpasang selang infus. “Kamu dari kemarin cari siapa sih sayang?” tanya Sarah yang baru sempat bertanya karena sejak kemarin Alita seperti mencari seseorang. Begitu pun tadi pagi saat ia baru membuka matanya.
Alita langsung menatap kearah Sarah, seolah pertanyaan itu begitu menarik perhatiannya. Mungkin ia pun ingin menanyakan hal itu tapi ia aku masih belum yakin dengan apa yang ia lihat.
“Siapa laki-laki yang suka ke sini Mah?” tanya Alita yang terlihat begitu penasaran dan tidak melepaskan pandangannya dari Sarah.
“Laki-laki? Maksud kamu Papah?” tanya Sarah sambil mengerutkan dahinya. Saat terakhir Alita bertemu Hadjono kemarin, ia memang belum mendapatkan kesadarannya penuh. Jadi wajar saja jika Alita mengira Hardjono adalah orang lain. Lagi pula selama ini hanya Hardjono yang selalu menemani Alita di ruangan itu selain Dokter yang memeriksanya. Bahkan perawat yang seringkali masuk ke dalam ruangan untuk mengecek keadaan Alita secara berkala, semua berjenis kelamin perempuan.
Alita menggeleng. “Bukan Mah,” jawab Alita membuat Sarah semakin tidak mengerti dengan apa yang Alita maksud.
Tiba-tiba pikiran Sarah tertuju pada Kenzo. Apa mungkin Kenzo seringkali datang menjenguk Alita secara diam-diam? tapi rasanya tidak mungkin. Ia tidak mau berpikir terlalu jauh. Lagipula selama ini ia tidak pernah meninggalkan Alita terlalu lama. Jika ia terpaksa meninggalkan Alita, pasti ia akan menitipkannya pada suster jaga dan sudah pasti tidak bisa sembarangan orang bisa masuk.
“Mah?” panggil Alita sekali lagi karena Sarah terlihat masih bergelut dengan pikirannya.
“Oh... Ngga ada Sayang. Kan Mamah selalu di sini nungguin kamu. Kalo ada orang lain, pasti Mamah tahu dong,” jawab Sarah tenang. Ia memang tidak menyembunyikan apa pun dari Alita. “Mungkin kamu cuma mimpi...” imbuhnya. Menurut Sarah, ini adalah jawaban yang paling masuk akal, karena sejak kemarin saat Alita membuka mata, ia belum bertemu siapa pun kecuali dirinya dan Hardjono.
Alita mengangguk. Berusaha menerima jawaban Sarah, walaupun sepertinya ia belum terlalu yakin. Apa mungkin itu hanya mimpi? Apa mungkin seseorang akan mendapatkan mimpi yang sama berulang-ulang? Yaa, mungkin memang benar ia cuma mimpi, batin Alita. Dalam mimpinya itu ia kerap didatangi oleh seorang pria berpostur tinggi, berkulit putih, sedikit pucat, dan memiliki luka di keningnya. Wajahnya terlihat sangat jelas. Bahkan ia pun bisa menggambarkannya dalam sebuah kanvas jika ia pandai melukis. Pria itu selalu datang menemuinya, tapi tak sepatah kata pun terucap dari mulutnya. Ia hanya datang melihatnya beberapa saat kemudian pergi begitu saja.
“Ya uda, ngga usah dipikirin ya... Mamah yakin kamu cuma mimpi kok” ucap Sarah dengan yakin.
“Handphone aku mana Mah?”
“Ada, Mamah simpan kok. Waktu itu polisi yang nemuin, masih di dalam mobil kamu. Trus dikasihin ke Papah,” jawab Sarah.
“Mana Mah... aku mau liat.”
“Nanti ya... kamu kan masih harus banyak istirahat.”
“Mana Mahh...” desak Alita.
Sarah menghela napasnya, lalu mengambil ponsel Alita yang ia letakkan di dalam laci lemari kecil tak jauh dari tempat tidur Alita. Ia tak bisa melarangnya, seperti yang selama ini kerap terjadi. Di saat seperti ini rasanya ia pun tidak mungkin memulai perdebatan. Alita baru saja sadar dari komanya, hal yang selama ini ia nantikan. Ia harus tetap menjaga pikiran dan mental Alita untuk menghindari sesuatu yang tidak diinginkan. Begitu Dokter berpesan padanya. Saat ini ia hanya butuh dukungan moril dengan kesembuhannya. Walaupun begitu, dokter yang menangani Alita menilai Alita adalah gadis yang tangguh, dengan kondisinya yang semakin cepat membaik dan dan kesadarannya yang semakin cepat pulih belum lagi kondisi patah tulang kedua kakinya yang sudah pasti memerlukan waktu yang cukup lama untuk proses penyembuhannya juga terapi fisik yang harus dijalani tapi sepertinya Alita tidak terbebani dengan semua itu
Anita langsung mengaktifkan iphone 13 mininya ketika sarah memberikannya. Alita sudah bisa menebak saat ia tidak sadarkan diri, sudah pasti berdua orang tuanya telah membuka-buka isi ponselnya. Beruntung saat malam sebelum kecelakaan itu, ia sudah menghapus semua foto-fotonya bersama Kenzo. Pesan-pesan singkatnya pun sudah dihapus tanpa meninggalkan jejak.
Beberapa notifikasi pesan masuk dan panggilan tak terjawab pun muncul di layar ponselnya begitu dinyalakan. Ia cek satu per satu siapa yang menghubunginya selama kurang lebih satu bulan ini. Tapi tidak ada nama Kenzo di sana. Kenzo sama sekali tidak pernah menghubunginya sama sekali sejak malam itu. Walaupun saat ini ia marah dan kecewa, bahkan benci padanya, tapi tidak semudah itu melupakan laki-laki yang dicintainya itu.
Alita membuka akun sosial media miliknya, untuk mencari tahu kabar mengenai Kenzo. Betapa kagetnya Alita ketika melihat foto pernikahan Kenzo di dalam sebuah gereja, terpampang di feed instagramnya. Terlebih pose yang ditampilkan sangat membuat hati Alita terasa sakit. Sambil berdiri di depan dekorasi penuh dengan bunga mawar putih, Kenzo mendaratkan kecupan nya di bibir seorang gadis yang ia tahu betul itu adalah Sandra gadis pilihan orang tua Kenzo. Dari foto itu saja Alita sudah bisa menilai bahwa Kenzo begitu menikmati pernikahannya dengan perempuan itu. Padahal saat di depannya, ia menolak mati-matian perjodohan itu dengan alasan ia hanya mencintainya.
Kenzo emang b******k!, batin Alita. Ingin rasanya ia melepar ponselnya ke dinding jika Sarah tidak berada di hadapannya. Di saat ia sedang tak berdaya di ranjng rumah sakit dengan keadaan yang menyedihkan seperti ini, Kenzo justru sedang menikmati kebahagiaan, bulan madu, dan semua kemewahan milik orangtuanya. s**t!
“Kenapa Ta?” tanya Sarah melihat ekspresi Alita.
“Ngga papa,” jawab Alita datar.
Tok! Tok!
Krek!
Terdengar pintu kamar dibuka dari luar, membuat Sarah dan Alita menoleh ke arah pintu.
“Tante...” sapa Nadine pelan.
“Eh Nadine... sini, sini masuk aja, ngga papa kok. Alita udah........” Sarah tak melanjutkan kalimatnya.
“Alitaaa....” Nadine seperti mendapatkan surprise melihat kondisi Alita yang jauh lebih baik dibandingkan kemarin. Rona bahagia pun terpancar di wajahnya, begitu pula di wajah Alita. Nadine pun langsung mendekat ke arah mereka.
Sarah langsung berdiri dari tempat duduknya dan mundur beberapa langkah setelah Nadine manyalaminya, seprti memberi kesempatan dua sahabat itu untuk meluapkan rasa rindunya.
“Apa kabar lo Ta? Lo udah baik-baik aja kan?” tanya Nadine tidak sabar dan langsung duduk di tepi ranjang Alita.
“Lo mau menghina gue? Gue ngga bisa jalan lo bilang baik-baik aja?” sungut Talita.
“Yeee.... bukan itu maksud gue. Sabar Ta, lo pasti bisa balik lagi kaya dulu. Cuma begini doang mah kecil! Mobil udah ringsek aja lo masih hidup,” seloroh Nadine sambil tertawa. Diikuti tawa Alita. Mereka memang selalu berbicara ceplas ceplos. Sarah pun ikut tersenyum mendengar pembicaraan mereka yang terlihat begitu dekat. Alita sudah bisa tersenyum, bahkan dengan kehadiran sahabatnya itu. Sangat berbanding terbalik saat bersamanya.
“Ya ampun Ta... gue kangen banget sama lo!” ucap Nadine. Ia sedikit membungkuk dan memeluk tubuh sahabatnya itu.
Reflek, Alita pun menyambut pelukan Nadine, lalu menepuk-nepuk punggungnya dengan telapak tangan. “Tenang aja gue ngga bakal kenapa-napa Kok. Lo kan belom bayar janji lo buat traktir gue sepuasnya di Neoz cafe,” kelakar Alita.
“Ah, sialan lo! Udh tidur lama banget masih inget aja lo,” gerutu Nadine. Sebelum Alita mengalami kecelakaan, mereka sempat bertaruh siapa yang akan terpilih menjadi ketua BEM (Badan Eksekutif Mahasiswa) di kampus mereka. Dan ternyata tebakan Alita benar. Nadine pun harus bersedia merogoh koceknya untuk mentraktir Alita sesuai perjanjian. “Ya udah, mending lotidur aja lagi deh...”
Tiba-tiba mereka dikejutkan dengan bunyi ponsel Nadine di dalam shoulder bag-nya. Ia buru-buru mengambilnya. “Pasti Rangga nih,” celetuk Nadine. Tebakannya tepat sekali setelah ia melihat layar ponselnya.
“Ya Ngga! Masuk aja...” ucap Nadine tanpa banyak basa basi.
Ia pun kembali memasukkan pknselnya ke dalam tas, bersamaan dengan Rangga yang membuka pintu.
“Assalamualaikum... Tante...” sapa Rangga sambil mengangukkan kepalanya.
“Sini masuk Ngga... baru selesai kuliah? Tuh, Nadine udah di sini.”
“Iya Tante... tadi agak molor kuliahnya jadinya jam segini baru kelar.”
Rangga pun segera mendekat ke arah Alita yang menatapnya sejak berdiri di pintu masuk.
“Apa kabar Ta?” sapa Rangga sambil tersenyum.
“Baik...” jawab Alita dengan semyum simpulnya. Lalu menoleh ke arah Nadine. “Cowok lo Nad?”
Raut wajah Nadine berubah seketika mendengar pertanyaan Alita. Ia membulatkan bola matanya dengan mulut sedikit terbuka. Begitu pula dengan ekspresi wajah Rangga dan Sarah yang duduk di sofa ruangan itu.
“Lo becanda Ta??” tanya Nadine.
“Hah?” kini justru pertanyaan Nadine membuat Alita bingung.
“Ini Rangga Ta! El Rangga Pratama!” tukas Nadine. Tapi sepertinya Alita masih memandang Rangga seperti orang lain.
Sarah yang sedari tadi memperhatikan mereka, segera mendekat ke arah Alita. Sarah merasa ada sesuatu yang tidak beres dengan putrinya itu.
“Sayang... ini Rangga,” ucap Sarah sambil menoleh sepintas ke arah Rangga. “Kamu sering lho ajak Rangga sama Nadine ke rumah. Mereka sahabat kamu...” Sarah berusaha menjelaskan pada Alita. Walaupun tak ada reaksi apa pun.
Sarah pun membiarkan Alita beberapa saat untuk memberinya waktu untuk mengingat.
“Kamu udah inget sekarang?” tanya Sarah.
Alita menggeleng. Sekarang justru ia memegangi kepalanya yang sepertinya terasa sakit sambil meringis.
“Kamu ngga papa Sayang?” tanya Sarah panik.
“Sakit Mah...” sahut Alita pelan.
Tanpa banyak berkata lagi, Sarah pun segera menekan tombol untuk memanggil suster untuk menanyakan kindisi Alita.