7. Raibnya Sebuah Ponsel

2051 Kata
Tiga bulan telah berlalu sejak Alita sudah diperbolehkan pulang dari rumah sakit. Walaupun begitu, ia tetap harus menjalani rawat jalan dan terapi untuk kesembuhan kedua kakinya. Menurut Dokter yang memeriksanya, setelah dilakukan pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang, seperti tes darah, tes fungsi kognitif, serta MRI atau CT scan kepala, Dokter menyimpulkan bahwa benturan keras yang dialami Alita melukai otaknya dan menyebabkan hilang ingatan atau amnesia. Amnesia adalah kondisi di mana seseorang kesulitan mengingat kejadian atau pengalaman masa lalunya, baik itu memori dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Hilang ingayan ini dapat berupa hilang ingatan sebagian atau seluruhnya. Umumnya penderita amnesia masih dapat mengingat identitas dirinya, hanya saja ia akan kesulitan untuk mengingat hal baru atau kejadian di masa lalu. Sementara hilang ingatan yang dialami Alita merupakan hilang ingatan sebagian. Di mana ia tidak bisa mengingat beberapa orang yang dikenalnya, walaupun dulu hubungan mereka cukup dekat, di antaranya Rangga, sahabatnya sendiri. Bagaimanapun usaha Alita untuk mengingat seseorang di masa lalunya tetap saja ia tidak bisa mengingatnya. Justru membuat kepalanya terasa semakin sakit. Tak hanya Rangga yang ia “lupakan”, tapi juga beberapa kerabat, teman kuliah, termasuk Bi Minah, assisten rumah tangganya sendiri. Itulah alasan Hardjono meminta Alita untuk mengajukan cuti kuliahnya untuk satu semester. Ia berharap kondisi Alita cepat segera pulih dan bisa mengingat semua masa lalunya agar ia bisa kembali melanjutkan kuliahnya. Dokter yang menangani Alita mengatakan untuk tidak terlalu khawatir dengan apa yang dialami Alita, karena ingatannya akan kembali secara bertahap dari waktu ke waktu. Dokter pun berpesan untuk tidak terlalu memaksakan kepada Alita untuk mengingat semua masa lalunya, serta menghindari hal-hal yang bisa menimbulkan cedera berulang karena dapat memperparah kondisinya. Kini kondisi kaki Alita sudah semakin membaik. Ia sudah dapat melangkahkan kakinya walaupun masih tertatih. Alita pun belum diiizinkan untuk beratifitas terlalu berat. Semua yang ia butuhkan, semua sudah disiapkan oleh Bi Minah. Kevin, adiknya lah yang sering menemani Alita di kamarnya setelah ia pulang sekolah atau di hari libur. Walaupun hubungan Alita dengan Hasdjono dan Sarah tidak terlalu dekat, tapi ia begitu dekat dengan Kevin. Awalnya, kehadiran Kevin lah yang membuat Alita merasa tidak diharapkan oleh tuanya hingga membuatnya menjadi berani dan pembangkang. Apa yang ia suka, selalu ia lakukan tanpa memikirkan orang lain. Sejak kehadiran Kevin, ia merasa Hardjono dan Sarah lebih memperhatikan Kevin yang usianya terpaut cukup jauh dengannya. Apalagi ia tahu, kedua orangtuanya begitu mengharapkan kehadiran anak laki-laki di keluarga mereka. Semakin bertambah besar, justru Kevin lah yang selalu mendekati Alita dan selalu ingin berada di dekatnya. Ia terlihat begitu mengidolakan kakak perempuannya itu. Hingga perlahan Kevin bisa mengambil hati Alita dengan kepolosan dan kelucuannya. Seperti siang itu, Kevin langsung naik ke lantai dua menuju kamar Alita ketika baru saja sampai di rumah. Bahkan ia pun belum mengganti baju seragam sekolahnya. “Kaaaa...!” panggil Kevin mengagetkan Alita yang tengah duduk di tepi tempat tidurnya, memandang ke arah luar melalui jendela kaca. “Adee! Ngagetin aja. Kebiasaan deh kamu. Sana ganti bajunya dulu.” “Nanti ah... aku kan mau di sini dulu,” sahut Kevin sambil menjatuhkan tubuhnya ke atas kasur yang empuk. Sejak pagi tadi berkutat dengan banyak pelajaran sekolah yang menurutnya sulit, begitu membuatnya lelah. Maklum, Kevin tidak terlalu pandai dalam hal akademik. Karena itu Sarah dan Hardjono mendaftarkannya banyak les privat setelah pulang sekolah, membuat Kevin merasa jenuh dan tak banyak memiliki waktu bermain. Berbeda dengan Alita, walaupun ia jarang menghabiskan waktunya untuk belajar dan lebih sering keluyuran tidak jelas, prestasi akademiknya terbilang cukup baik. Tapi Alita merasa apa pun yang ia capai tidak pernah mendapatkan apresiasi dari kedua orangtuanya. Itulah yang membuat Alita semakin cuek dan masa bodoh. “Nanti dimarahin Mamah loh...” ucap Alita. Ah! Ia lupa. Kevin kan selalu dimanja dan disayang. Mana mungkin akan dimarahi. Seumur hidupnya, mungkin hanya sekali saja ia melihat Sarah memarahi Kevin, yaitu saat Kevin yang tak sengaja menjatuhkan pajangan kristal kesayangannya yang dibelinya dari luar negeri, hingga pecah berkeping-keping. Itu pun hanya sebentar, setelah itu Sarah begitu merasa bersalah dan langsung menghujaninya dengan mainan-mainan mahal untuk menghiburnya. Kevin yang perasa dan sensitif. “Ah biarin aja... orang Mamah juga lagi pergi. Lagian aku juga ngga pernah diurusin,” ucap Kevin dengan polosnya. Alita mengerutkan dahinya, lalu tersenyum. Dari mana bocah sembilan tahun ini dapat kata-kata seperti itu. “Kenapa ngomong gitu De?” tanya Alita penasaran dengan jawabannya. “Ya itu... waktu Kak Lita di rumah sakit kan Mamah ngga pernah pulang. Ngga pernah ngurusin aku. Tiap hari aku cuma sama Bi Minah. Pagi, siang, sore ketemunya Bi Minahhh terus. Belajar juga sama Bi Minah. Mana Bi Minah ngerti, Bi Minah kan ngga sekolah,” cerocos Kevin sambil memanyunkan bibirnya. “Emangnya Mamah ke mana?” “Ya nungguin Kak Lita laaah... Mamah kalo pulang cuma mandi sama ambil baju ganti. Kan aku kesepian, aku rindu Mamah.” Melihat ekspresi Kevin membuat Alita tak bisa menahan tawanya. Anak ini emang bahasanya selalu lucu. Bisa menjadi hiburan tersendiri untuk Alita. Bayangkan saja, ia harus menghabiskan waktunya di rumah, di dalam kamarnya sekitar empat sampai enam bulan untuk memulihkan kondisi kakinya yang patah. Bagi Alita yang tidak pernah merasa betah tinggal di rumah, rasanya ini seperti penjara untuknya, dan sudah tentu akan sangat membosankan. Jika tidak ada Kevin, pasti hidupnya akan terasa sangat hampa dan kosong, tubuhnya akan ditumbuhi banyak jamur, sarang laba-laba, dan.... ah, sepertinya ini terlalu berlebihan. Tunggu! Mamah sampe ngga pulang karna nungguin gue di rumah sakit?, batin Alita. Tak hanya itu, nyokapnya pun sampe menjual mobil pribadinya untuk membayar semua biaya rumah sakit dengan fasilitas kamar dan perawatan terbaik. Alita tahu itu saat ia menanyakan keberadaan mobil itu di dalam garasi kepada ayahnya. Apa itu artinya kedua orangtuanya perduli dan takut terjadi sesuatu padanya? Atau hanya sebuah kewajiban sebagai orangtua? Alita rasa jawabannya ada di pilihan kedua. “Yaahh... Kak Lita malah nglamun...” “Yee... sapa juga yang nglamun... udah ah, sana... sana... ganti baju kek, makan kek... udah jam berapa sekarang, bentar lagi Kak Wemby dateng tuh,” usir Alita. Wemby adalah les matematika Kevin, seorang mahasiswa semester akhir. Sekilas Kevin melirik ke arah jam dinding yang tergantung di salah satu dinding kamar. Tersisa tiga puluh menit lagi untuknya bersiap dan kembali berkutat dengan angka-angka yang begitu membosankan untuknya. “Iyaaa...” “Dengan malas, Kevin pun beranjak dari tempat tidur dan segera berjalan malas keluar dari dalam kamar. Bersamaan dengan Bi Minah yang hendak masuk ke dalam kamar dengan membawa nampan berisi makan siang untuk Nona mudanya itu, lengkap dengan segelas air putih dan satu piring kecil buah-buahan. “Permisi Non...” salam Bi Minah sopan dengan sedikit membungkuk. “Masuk aja Bi...” sahut Alita tak kalah ramah. “Eh, ada anak ganteng... baru pulang sekolah?” sapa Nadine yang sempat berpapasan dengan Kevin di depan kamar. Rupannya di luar juga ada Nadine yang baru datang dan berjalan di belakang Bi Minah. “Iya Ka...” jawab Kevin cengengesan. Ia terlihat malu-malu di depan Nadine karena Nadine kerap kali menggodanya jika bertemu. Kevin memang cukup tampan untuk anak laki-laki seusianya. Wajah baby face nya selalu menjadi daya tarik. “Eh, adek gue masih kecil, jangan dirusak... masa depannya masih panjang...” celetuk Alita yang masih duduk di tempat tidurnya. “Bisa kali...” canda Nadine sambil cekikikan sembari masuk ke dalam kamar. “Ih, ogah amat gue jadi kakak ipar lo.” Bi Minah yang tengah meletakkan nampan itu di atas meja belajar Alita ikut tersenyum mendengar candaan dua sahabat itu. Braakkk!! Pranggg!! Semua yang dibawa Bi Minah dalam nampannya jatuh dan pecah berserakan di atas lantai karena tak sengaja tersenggol saat ia berbalik badan hendak keluar dari kamar. “Ma-maaf Non, Bibi bener-bener ngga sengaja,” ucap Bi Minah sedikit gemetar. Bi Minah terlihat sangat panik dan langsung membungkuk di lantai sambil memunguti satu per satu pecahan piring itu. “Ta,Ta, sabar Ta.” Nadine pun tak kalah panik sambil menoleh dan mendekat ke arah Alita. Ia takut Alita akan mengamuk seperti biasa jika Bi Minah berbuat salah, apalagi sampai membuat kamarnya kotor dan berantakan seperti ini. Sudah bisa dibayangkan bagaimana reaksi Alita. “Ngga papa Bi...” sahut Alita sambil tersenyum. Ia berusaha berdiri dan berjalan tertatih beberapa langkah, lalu duduk di samping Bi Minah, ikut memunguti pecahan-pecahan piring dan gelas, juga makanannya. “Eh, eh... ngga usah Non, biar Bibi aja...” larang Bi Minah yang merasa tidak enak. Apalagi kondisi Nona mudanya itu belum pulih benar. Untuk berjalan saja masih sulit, apalagi duduk di lantai. “Ngga papa Bi... biar cepet selesai. Liat, berantakan banget ke mana-mana,” sahut Alita sambil terus memunguti tanpan menoleh ke arah Bi Minah. Nadine yang sedari tadi memperhatikan, hanya bisa terbengong melihat reaksi Alita yang jauh dari apa yang ia bayangkan. Ia terus memperhatikan Alita sambil terus melangkah ke tempat tidur dan duduk di sana. Ia tak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya. Seperti bukan Alita yang ia kenal. Nadine pun hanya terdiam hingga Bi Minah keluar dan kembali lagi dengan peralatan pelnya. “Maaf ya Non, nanti Bibi ambilin lagi makannya...” ucap Bi Minah yang masih merasa bersalah. “Iya Bi. Tapi nanti aja deh... lagian saya juga belum laper kok.” Hah? Saya?? Sejak kapan Alita nyebut ‘saya’ ke Bi Minah?? Biasanya ‘gue-gue’ mulu, batin Nadine. Bener-bener ada yang ngga beres nih. “Baik Non,” jawab Bi Minah. “Mari Mba Nadine...” “Eh, iya Bi. Lama lho ngga liat Bibi, makin berisi aja Bi,” ucap Nadine basa basi. Sejak Alita pulang dari rumah sakit dan beberapa kali Nadine datang ke rumahnya, ia memang tidak pernah bertemu dengan Bi Minah. Enatah bi Minah sedang sibuk di dapur, atau sedang berbelanja ke pasar jika ia datang pagi-pagi sekali sebelum berangkat kuliah. Bi Minah hanya tertawa dan langsung meninggalkan kamar sambil menutup pintunya dari luar. “Ta?? Lo ngga kenapa-napa Ta? Gue ngga salah liat?” “Maksud lo??” tanya Alita yang baru saja kembali duduk di tempat tidurnya. Kali ini ia menyandarkan tubuhnya di sandaran tempat tidur. “Lo baik banget lho tadi sama Bi Minah?!? Biasanya lho kan selalu marah-marah sama Bibi?” ucap Nadine yang masih begitu heran dengan perubahan sikap Alita. Kali ini justru Alita yang dibuat kaget. “Yang bener lo Nad?? Duh, gue ngga inget,” sahut Alita sambil memegangi kepalanya, lalu meremas pangkal rambutnya. “Jadi lo juga lupa sama Bi Minah?” Alita tak menjawab. Ia kembali berusaha mengingat Bi Minah. “Ya udah, stop! Stop!” seru Nadine. “Udah Ta... ngga usah dipaksa. Oke, oke, gue ngerti sekarang!” Mereka terdiam beberapa saat, agar kondisi Alita lebih tenang. “Sejahat itu gue sama Bi Minah Nad?” “Enggaa... engga kok, gue asal ngomong. Udah ngga usah dipikirin...” Nadine berusaha mengalihkan perhatian Alita. “Eh, gue mau beli sepatu nih. Menurut lo bagus yang mana? Tuh, gue kirim ke handphone lo.” Alita meraih ponselnya yang tadi ia letakkan di atas bantal, lalu melihat foto-foto yang dikirimkan kepadanya. “Nih bagus ni Nad, gue suka,” ucap Alita sambil menunjukkan sebuah sepatu kets berwarna putih dengan garis-garis merah di bagian sampingnya. “Nah, gue juga tadinya mau pilih ini.” “Ah, kebiasaan lo,” “Eh, liat nih Ta...” Nadine menunjukkan foto salah satu teman kampus mereka dari media sosial. “Itu Vony??” tanya Alita memastikan sambil mendekat ke arah Nadine dan meletakkan ponselnya. “Iya... gila kan? Ngga sekalian dibuka aja tuh bajunya. Body bagus kagak?!” cibir Nadine. “Lagian emang body lo bagus??” “Yaa... engga sih...” jawab Nadine cengengesan. “Lho Nad, handphone gue mana?” tanya Alita ketika ia hendak mengambil ponselnya kembali. “Lhah, mana gue tau? Kan barusan lo yang pegang.” “Serius Nad, ngga ada!” seru Alita sambil menggeledah semua yang ada di atas tempat tidurnya. Alita pun berdiri dan memastikan semua sudut tempat tidurnya hingga ke kolong, siapa tahu ponsel Alita terjatuh. Tetap tidak ada. “Kenapa sih akhir-akhir ini barang-barang gue suka ngilang gitu aja. Lo liat sendiri kan gue tadi ngga ke mana-mana??” ucap Alita serius. “I-iya Ta. Lo ngga bercanda kan? Aduh Ta... lo jangan bikin gue takut dong,” ucap Nadine dengan raut wajah ketakutan. Ia tahu betul Alita meletakkan ponsel itu di sampingnya, dan sekarang menghilang begitu saja. Suasana seketika hening.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN