“Somebody help!” teriak Peter.
Tampak dua orang berseragam biru muda berdiri dari tempat duduk mereka.
“Oh, my God!” gumam salah seorang dari mereka.
Seorang pria langsung meninggalkan kubikelnya dan menyambut tiga orang remaja yang sedang menuju ke arah mereka. Atensi pria itu tertuju pada lelaki yang berada di tengah dengan darah yang terus mengucur dari hidungnya.
“This way,” kata petugas medis itu. Dia menjulurkan tangan menunjuk sebuah ruangan yang terletak di depan kubikelnya.
Park Yiseo menggeram. Mulutnya megap-megap. Tidak mudah membopong tubuh seorang pria sejauh lima ratus meter. Gadis itu bukan seseorang yang punya kekuatan super. Dia masih manusia dan dia sangat lelah.
“Oh damn!” Peter ikut bergumam dan melepaskan napas panjang setelah berhasil menaruh tubuh Choi Yong Do ke atas bangsal. Sementara pria Asia itu terus meracau. Keringat dan darah menyatu dan terus bercucuran dari wajahnya.
“It’s okay,” kata Yiseo. Entah apa yang membuatnya menjadi sangat resah sampai jantungnya terus bertalu dengan kencang. Terlebih saat Choi Yong Do sengaja menutup matanya. Wajah pria itu terlihat gelisah, takut dan tentatif.
“Don’t touch me, please don’t!” Choi Yong Do menggerakkan tangannya ke udara. Bagai menangkis sebuah pukulan, tetapi tidak ada seorang pun yang sedang atau berusaha memukulnya.
“It’s okay,” ucap petugas medis itu. Dia menoleh ke samping menatap dua remaja itu dan berkata, “siapa namanya?”
“Yong Do,” jawab Pete dan Park Yiseo bersamaan.
“Oke,” kata si petugas klinik. “Yong Do, listen up. Aku Theo. Aku salah satu perawat di sini. Aku tidak akan menyakitimu. Aku ingin mengobatimu. Jadi biarkan aku melihat lukamu.”
“DON’T!”
Tiga orang itu tersentak mendengar teriakan Choi Yong Do. Bibirnya manyun. Wajahnya tampak menahan tangis, sementara matanya terus ditutup. Sejurus kemudian, pria itu menarik tengkuk lalu mengubur wajahnya di sana. Choi Yong Do mulai menangis.
“Kumohon, jangan lukai aku. Aku tidak bersalah. Aku hanya ingin sekolah. Aku … aku hanya sedikit berbeda. Mengapa kalian mempermasalahkannya? Aku … aku ….” Ucapan Choi Yong Do terhenti. Terganti dengan tangisan.
Petugas medis bernama Theo itu memutar wajahnya lambat-lambat. Ditatap pria itu dua orang remaja yang sedari tadi berdiri di sampingnya. Pete menggeleng sambil mengedikkan kedua bahu, lantas Theo memandang si gadis Asia yang kini tampak termangu dengan pandangan kosong.
“Yiseo?” panggil Theo. Setelah membaca papan nama yang tersemat di da’da kanan Yiseo. “Kau tahu sesuatu?” Lanjutnya. Kemampuan psikologis yang dimiliki Theo mampu membuatnya menangkap sesuatu dari ekspresi Park Yiseo.
“Yiseo?” panggilnya sekali lagi.
Bola mata bulat dengan manik hitam itu mulai bergerak. Sementara bibirnya tampak bergetar. Park Yiseo memandang Theo.
“Di- dia … dia punya trauma,” kata Yiseo. Kegelisahannya tadi kini terganti dengan perasaan takut. Sehingga, tanpa dia sadari, kedua tangannya tengah mengepal sampai kuku-kukunya menancap ke dalam telapak tangan dan mulai melukai dirinya. Namun, semua itu tidak berarti. Selain perasaan aneh yang mulai menudungi hatinya. Gadis itu menundukkan kepala. Otaknya berusaha menjelaskan perasaanya, tetapi sejauh apa pun dia berpikir, tetap saja tidak ada yang bisa Park Yiseo ucapkan untuk menggambarkan apa yang dirasakannya. Atau pun yang dirasakan oleh Choi Yong Do.
“Yiseo, if you know something, kumohon beritahu aku,” kata Theo.
Untuk sekelebat, Park Yiseo masih terdiam. Da’danya mulai naik turun dengan napas yang terputus-putus. Semakin lama, semakin dia merasakan sesuatu yang aneh di dalam dirinya. Perlahan-lahan, gadis itu mulai mengangkat pandangannya.
“Dia … dia pernah dilukai. Aku tidak tahu persis, tetapi mungkin ada hubungannya dengan ….” Park Yiseo tidak dapat meneruskan ucapannya. Ia menggeleng. Benar-benar tidak sanggup. Entah emosi apa yang sedang dia rasakan.
Ada sesuatu yang serasa sangat mengerikan. Sehingga tubuhnya mulai bergetar dan ada sesuatu seperti meremas da’danya dari dalam. Semakin lama, semakin kuat. Tanpa sadar, Park Yiseo menggigit bibir bawahnya. Seakan-akan berusaha melawan rasa sakit irasional yang muncul tiba-tiba.
Peter mengernyit, tetapi didorong oleh nalurinya, pria itu pun berani mengambil langkah dan mendekat. “Hei.” Tepat pada waktunya. Peter berhasil meraih tubuh Park Yiseo yang mendadak terhuyung. Terdengar desahan kecil dari mulut Yiseo sebelum ia kembali membuka matanya.
“You okay?” tanya Peter.
Park Yiseo mengangguk. “Aku baik-baik saja,” kata gadis itu. Dia kembali membawa pandangannya kepada pria yang masih menekuk lutut. Cairan kental merah terus menetes di atas permukaan ranjang.
Gadis Asia itu menoleh pada Peter lalu menganggukan kepalanya. Sehingga Peter mendorong tubuh Yiseo perlahan-lahan sampai tubuh gadis itu kembali berdiri tegak. Park Yiseo mulai mengambil langkah. Seketika tubuhnya terasa lemas, tetapi dia berhasil menggapai ujung ranjang sebelum kedua kakinya benar-benar kehasbian tenaga.
Dengan tangan yang bergetar itu, Park Yiseo berusaha menjangkau lengang Choi Yong Do yang terlipat di atas lututnya.
“He- hei ….”
Ada getaran pada gelombang suara Yiseo. Membuat Peter dan Theo menoleh satu sama lain. Namun, keduanya juga tidak mengerti dengan apa yang sedang terjadi saat ini.
“Choi Yong Do, dengarkan aku.” Park Yiseo memakai bahasa dari negara asalnya. Dalam hati, dia berasumsi mungkin saja pria itu akan merasa sedikit lebih aman jika dia mendengar seseorang yang memiliki Ras yang sama dengannya.
Namun, pada kenyataannya Park Yiseo membutuhkan lebih dari sekadar keberanian. Seseorang yang memiliki trauma tentu seringkali terjebak pada traumanya sendiri. Sulit memanggilnya. Biasanya, hanya orang terdekatlah yang mengerti betul bagaimana cara untuk memulihkan mereka yang terkena gangguan kecemasan.
“Yong Do-ssi, kau mendengar aku dan kau kenal siapa aku,” kata Yiseo. Suaranya terdengar lembut.
Kali ini kedua tangannya yang bergerak memegangi lengan Yong Do yang terasa semakin mengencang. Sementara tubuh pria itu masih bergetar.
“Aku tinggal di sebelah rumahmu. Kita berteman. Ya, walaupun tidak cukup dekat. Ya. Aku akui kita memang baru dekat semenjak dua hari yang lalu. Kau ingat? Ayo, ingatlah kalau tidak kupukul kau.”
Theo mengernyit dan refleks menarik kepalanya ke belakang. Matanya bergerak. Memandang Peter lewat sudut mata, tetapi pria itu ternyata tengah menatapnya.
“Aku tidak tahu apa yang sedang terjadi,” gumam Peter. Keduanya kembali menatap dua orang remaja Asia di depannya.
“Hahhh ….” Park Yiseo mendesah lalu menundukkan kepalanya. Untuk sekelebat, gadis itu merasa sedikit putus asa.
“Kumohon, ingatlah. Aku sudah menganggapmu teman, jangan sampai kau tidak menganggapku temanmu. Aku benci penolakan dan aku tidak suka kalah.”
“What the hell she talking about?” gumam Theo.
“I’m still don’t understand either,” balas Peter sambil menggelengkan kepalanya.
“Yong Do, kumohon ingatlah. Kau pernah bilang padaku jika kau akan melindungi aku dari ayahku,” kata Yiseo. Sejurus kemudian dia mendecih sinis. Gadis itu memalingkan wajahnya. “tetapi, ternyata kau tidak tahu caranya berkelahi. Bagaimana kau mau melindungiku dari Park Yibeom, hah?”
Sekali lagi Park Yiseo terkekeh, tampak meremehkan. Gadis itu menggelengkan kepalanya untuk membuang decihan sinisnya. Namun, sejurus kemudian Park Yiseo menarik napasnya dalam-dalam. Kembali menatap Choi Yong Do.
“Hari ini, aku akan berjanji jika aku akan menjagamu. Tak akan kubiarkan mereka menyakitimu. Akan kuhabisi mereka. Nicholas, Justin, anyone. Siapa saja yang berani menyakitimu. Aku akan menghajar mereka.”
Park Yiseo menghentikan ucapannya. Dia terdiam. Memandang kepala yang tertunduk di depannya, lalu perlahan mulai meraih tangan Choi Yong Do.
Awalnya, pria itu masih mengencangkan lengannya. Namun, Park Yiseo tidak menyerah begitu saja. Menyerah tak pernah ada di kamusnya. Gadis itu tetap mencoba. Membuka kedua tangan yang terlipat itu, tetapi dengan gerakan lembut.
Park Yiseo tahu persis bagaimana rasanya kehilangan kendali atas pikiran sendiri. Bagaimana tersesat di dalam pemikiran sendiri. Bagaimana merasa sangat ketakutan pada sesuatu yang tidak nyata, tetapi sangat nyata. Bagaimana rasanya tak bisa membedakan mana yang nyata dan mana yang khayalan dan semua itu hanya karena pernah mengalami kejadian buruk. Dia tahu persis, karena Park Yiseo pernah mengalaminya. Bahkan baru-baru ini. Dan, saat semua itu terjadi, Park Yiseo merasakan kehangatan di antara kedinginan yang menyelubungi hati dan jiwanya.
Dan sekarang, tangan itu sedang gemetar karena ketakutan yang sama seperti yang pernah dialami oleh Park Yiseo.
“Hey …,” panggilan itu terlalu lirih. Membuat siapa pun yang mendengarnya mampu menangkap getaran khawatir yang terlampau besar.
“Aku di sini,” kata Yong Do.
Sepasang manik cokelat di depannya masih tidak bernyawa. Tersesat dengan pandangan kosong. Bibirnya masih gemetar. Namun, Park Yiseo telah berhasil menggenggam kedua tangan Yong Do. Gadis itu menggenggamnya dengan erat. Seakan-akan terlalu takut untuk kehilangannya.
“Choi Yong Do, aku tahu kamu mendengarkan aku. Ingatlah, tidak ada yang akan menyakitimu. Mereka yang membenci orang-orang Asia tak akan kubiarkan hidup tenang begitu saja. Akan ku lawan mereka. Siapa pun itu. Entah dia Lucy, Cardi, Jase atau pun Nicholas. Aku punya sejuta nyawa untuk bangkit dan melawan mereka. Dan aku tidak akan membiarkan mereka menyakitimu. Orang-orang seperti kita selalu mendapat penindasan saat berada jauh dari rumah. Namun, tidak denganku. Denganmu. Kita akan melawan mereka. Hem?”
Sepasang manik cokelat itu masih tidak merespon. Masih berupaya mencari kesadaran. Terjebak pada warna putih dalam ruang tak bermassa. Sambil terus mendengarkan sebuah suara. Walaupun sayup, tetapi perlahan-lahan alam bawah sadar Yong Do mulai mengenali suara itu.
Melihat masih tak ada respon dari Choi Yong Do, akhirnya Park Yiseo membuat inisiatif sendiri. Didorong oleh sebuah perasaan irasional itu, Park Yiseo pun memeluk tubuh Choi Yong Do sehingga Park Yiseo bisa merasakan kesakitan, penderitaan, kepedihan juga rasa takut yang luar biasa dialami oleh pria itu.
Berada dengan Choi Yong Do tanpa jarak, membuat Park Yiseo dapat merasakan emosi yang dirasakan pria itu. Sangat dekat. Sangat dirasa, hingga ke alam bawah sadarnya. Membuat Park Yiseo mempererat pelukannya.
“You’re not alone. You with me and I promise that I will never let you go. No one can hurt you. I promise.”
Kata-kata dari gadis yang dijuluki psikopat itu benar-benar menyentuh hati dua orang pria yang berdiri di samping bangsal.
“Mereka … punya ikatan,” gumam Theo.
Sementara Peter tak dapat berkata apa-apa. Sebulir air bening jatuh begitu saja tanpa bisa ditahan. Menyadari hal itu, Peter langsung memalingkan wajah. Tangannya memanjat. Menyeka air mata di pipinya.
“Oh God, aku tidak bisa melihat ini,” kata Peter. Pria itu memutar tubuh dan memilih untuk pergi dari sana.
Theo bertahan di sana. Dengan alasan keselamatan, tetapi sebagian dirinya jauh lebih penasaran dengan apa yang akan terjadi selanjutnya.
Tampak tubuh Choi Yong Do mulai bergerak menjauhi tubuh Yiseo. Alam bawah sadarnya berhasil mendorong kesadaran, sehingga Choi Yong Do mendesis, karena merasakan nyeri di hidungnya.
“Ap- apa yang terjadi,” gumam Yong Do.
Dengan mata yang berlapis air bening, Park Yiseo tersenyum dan hatinya lega. “Thank God,” gumam Yiseo. Gadis itu meraih sebelah pipi Yong Do.
Park Yiseo tertawa, tetapi dia tidak cukup pintar untuk menahan air mata yang lolos membasahi wajahnya.
“Argh!” Choi Yong Do kembali mendesis. Membuat Park Yiseo memutar wajah. Theo refleks menganggukkan kepalanya. Pria itu mendekat.
“Yong Do, biarkan aku melihat lukamu,” kata Theo.
Akhirnya Choi Yong Do mendongakan wajahnya. Tampak dahi Theo mengerut.
“Oh God, sepertinya hidungmu patah. Kau harus ke rumah sakit, tetapi aku akan berusaha untuk menghentikan darahnya. Kau bisa menahan rasa sakitnya?”
Tampak wajah Yong Do mengernyit. Untuk beberapa saat dia terdiam, sampai pria itu merasakan sesuatu memberikan kehangatan pada tangannya. Choi Yong Do menggerakkan bola mata. Melihat senyum sendu di wajah Yiseo dan anggukkan kepala gadis itu. Seakan-akan menjadi jimat dan akhirnya membuat Yong Do yakin. Dia pun mengangguk.
“Hem,” gumam Yong Do.
“Good. Sekarang, angkat wajahmu lebih tinggi,” kata Theo. Pria itu memutar tubuhnya ke samping. Mengeluarkan kotak P3K dari dalam laci pada nakas di samping bangsal, lantas menaruhnya di atas ranjang.
Perlahan-lahan, Choi Yong Do mulai mengingat kejadian yang baru saja menimpanya. Satu per satu muncul di dalam ingatannya dan membuat pria itu meringis kesakitan.
“It’s okay, it’s okay,” kata Yiseo. Dia berkata sambil mempererat cengkraman tangannya pada punggung tangan Yong Do.
Dirasa Yiseo jika pria itu juga meremas ujung jari Yiseo. Namun begitu, Choi Yong Do tetap menahan rasa sakit yang dirasakannya.
“Awh!”
“Sorry,” kata Theo. Refleks, pria itu mengangkat kedua tangannya.
“It’s okay,” ucap Yong Do
“Bisa aku teruskan?” tanya Theo. Choi Yong Do mengangguk.
Setelah beberapa saat, Theo selesai membersihkan hidung Yong Do. Darah tak lagi mengucur dari hidung.
“Kau harus segera ke rumah sakit. Akan ku buatkan surat izin dan akan ku kirim ke wali kelasmu. Yang penting saat ini kau harus memulihkan hidungmu,” ujar Theo. Pria itu beranjak menaruh kotak P3K kembali ke dalam laci.
“Akan kutelepon Jang Mi. Kami akan mengantarmu ke rumah sakit,” kata Yiseo.
Choi Yong Do menggeleng. “Tidak apa. Aku sudah sembuh,” ucap pria itu. Namun, sejurus kemudian dia meringis.
Park Yiseo mendengkus. “Tidak usah bawel, lagi pula hidungmu patah. Kau mau hidungmu busuk dan kau tidak bisa mencium apa-apa setelah ini?”
Seketika mata Yong Do melebar. Dia langsung memutar wajah, kembali menghadap Yiseo.
“Benarkah?” tanya pria itu. Seketika wajahnya berubah menjadi kegelisahaan.
“Ya. Kau pikir aku bohong. Tanya saja pada Theo,” kata Yiseo.
Iris cokelat milik Choi Yong Do semakin terbuka lebar. Pria itu memutar wajah lambat-lambat dan menelan ludahnya. Tamat. Hidupnya benar-benar tamat. Jika dia ke rumah sakit, itu artinya dia akan bertemu dengan ibunya dan dia akan diinterogasi, tetapi jika dia mengabaikan hal ini, maka hidungnya akan lebih parah dan Choi Yong Do tidak mau kehilangan penciumannya.
Seketika pria itu merasa begitu frustasi. Dia menghela napas panjang sambil menutup kedua mata lalu melempar tatapan ke bawah.
“Oh, crap …,” gumam Yong Do.
_______________