53. Dude

1843 Kata
“Hati-hati,” kata Pete. Pria itu masih setia membantu Choi Yong Do. Bahkan memapah tubuh pria Asia itu hingga ke mobil milik Park Yiseo yang telah menunggu mereka sejak lima menit yang lalu. “Peter, right?” Peter memutar tubuhnya menghadap si gadis Asia yang baru saja memanggil namanya. Sambil bergumam, Peter menganggukkan kepalanya. “Terima kasih sudah membantu Yong Do,” kata gadis itu. “Tidak masalah. Lagi pula dia temanku. Dan, sebenarnya kamulah yang sudah membantu Yong Do,” kata Peter. Ada senyum di wajah pria itu sebelum ia kembali melanjutkan, “you awesome.” Park Yiseo terkekeh. “Bukan apa-apa, tapi sebaiknya kau kembali ke kelas, Pete. Kamu juga harus latihan untuk klub paduan suara, kan?” Untuk beberapa detik, Peter terdiam. Bola matanya mulai bergerak ke bawah sementara dahinya tampak mengerucut ke tengah. Sejurus kemudian pria itu kembali mendongak. Sudut bibirnya naik, membentuk senyum simpul. “Hem,” gumam Peter sambil menganggukan kepalanya. “Katakan pada Ms. Thania, aku dan Yong Do tidak bisa latihan untuk hari ini. Beritahu juga jika kami akan mengirim pesan. Aku akan menjelaskan pada Ms. Thania. Kuharap kami bisa video call,” ujar Yiseo. Peter mengangguk. “Baiklah,” kata pria itu. Park Yiseo membalas ucapan Peter dengan anggukkan kepala. Gadis itu memutar tubuh dan naik ke dalam mobil, tetapi sebelum menutup pintu, Park Yiseo merasakan sesuatu yang menepuk tangannya barusan. Ia pun menoleh. Tampak Choi Yong Do memajukan wajahnya. “Pete,” panggil pria Asia itu. Peter mendelikkan matanya. Pria itu mengambil satu langkah, mendekati mobil. “Apa … kau tidak apa-apa? Kau terluka?” tanya Choi Yong Do. Peter tertawa rikuh. “Bukan masalah besar. Kamulah yang terluka di sini. Aku tidak apa-apa,” kata Peter. Kening Yong Do mengerut. “Kau yakin akan kembali ke sekolah? Maksudku, Nick. Apa dia tidak akan menyakitimu?” Peter tersenyum, akan tetapi senyumnya terlihat sendu. “Don’t worry about me. Aku rasa dia hanya dendam padamu. Aku kenal Nick sejak kecil. Dia bukan perundung. Dan kupikir yang dia lakukan padamu hanyalah luapan kekesalan. Trust me, Nick bukanlah orang jahat,” ujar Peter. Choi Yong Do terdiam. Untuk beberapa saat lelaki itu menurunkan tatapannya. Choi Yong Do merasa resah dan dahinya terlipat, tampak sedang berpikir keras. “Dude.” Panggilan itu, kembali membuat Choi Yong Do menolehkan pandangannya. Dilihat Yong Do, senyum di wajah Peter sebelum pria itu kembali berucap, “I will be alright.” Perlahan-lahan, Choi Yong Do mulai menarik ujung bibirnya ke atas sampai membentuk senyum, walaupun hanya bertahan selama dua detik. “Thanks,” kata Yong Do. Pria itu menjeda ucapannya. Namun, saat menimbangnya kembali, Choi Yong Do pun berucap, “Dude.” Sambil tersenyum, Peter kembali menganggukkan kepalanya. Park Yiseo juga memberikan gestur lewat anggukkan kepala kepada Peter, lantas gadis itu menarik pintu mobil. Peter masih di sana. Melambaikan tangannya dan Choi Yong Do tidak bisa menahan senyumnya. Seakan-akan dia melupakan nyeri di hidung dan matanya. “Kau baik-baik saja?” Choi Yong Do mendongak. Menatap Park Yiseo lewat kaca yang terletak di atas dashboard. Pria itu mengangguk. “Hem,” gumamnya. Park Yiseo mendesah. “Oh ya, Ibumu dan ayahmu dokter, kan? Mereka bekerja di mana?” tanya Yiseo. Seketika bola mata Choi Yong Do melebar. Dia memutar wajah, akan tetapi pergerakan tiba-tiba yang dibuatnya malah menimbulkan nyeri pada leher, kepala bagian belakang juga hidung dan matanya. “Awh!” Choi Yong Do meringis. Refleks meremas tengkuknya. “Hei ….” Yiseo bergumam. Tangannya terangkat hendak meraih tubuh Choi Yong Do dari samping, tetapi gadis itu ragu. Dalam hati dia berpikir mungkin saja gerakannya malah akan lebih membuat Choi Yong tersiksa dengan nyerinya. “I’m okay,” gumam Yong Do. Pria itu berusaha meluruskan tatapannya sambil menahan nyeri di bagian tengkuk, kini merambat ke pangkal bahu. “Bisakah kalian membawaku ke rumah sakit lain selain The Royal Theresia?” Ada sesuatu dalam ucapan Choi Yong Do yang membuat Park Yiseo mengerutkan dahinya. “Kenapa?” tanya gadis itu. Choi Yong Do berdecak bibir lalu menjatuhkan tatapannya. “Aku tidak ingin membuat kedua orang tuaku khawatir,” ucap pria itu. Seketika Park Yiseo mendesah kasar. Gadis itu memalingkan wajah ke jendela lalu membanting punggungnya. Untuk beberapa detik, Park Yiseo terdiam. Memilih untuk memandang lalu lintas di jalan raya. “Ya,” ucap Yiseo akhirnya. “aku bisa. Katakan saja di mana aku harus membawamu agar orang tuamu tidak akan mencemaskanmu,” ujar gadis itu. Sejurus kemudian dia memutar wajah ke samping. “Tapi, apakah kamu tidak berpikir jika cepat atau lambat orang tuamu akan mengetahuinya? Kau pikir Nick akan diam saja?” Park Yiseo tergelak sinis. “Dia anak dari pemilik sekolah itu. Mungkin saja sekarang orang tua kita sudah mendapat surat panggilan,” ujar Yiseo. Sepasang manik berwarna cokelat milik Choi Yong Do kembali melebar. Pria itu memutar wajahnya lambat-lambat. Seketika, jantungnya berdetak meningkat. “No,” gumam Yong Do sambil berusaha menggelengkan kepalanya. Park Yiseo kembali melepaskan desahan kasar dari mulut. “Aku tidak peduli dengan diriku, Yong Do. Orang tuaku sudah sering dipanggil menghadap kepala sekolah. Ini sudah biasa bagi mereka, tetapi untukmu?” Gadis itu kembali menjeda ucapannya dan memutar wajahnya, menoleh ke samping. “Ini pertama kalinya kau bersosialisasi. Pertama kalinya kau menjadi siswa di sekolah reguler. Apa yang akan dikatakan orang tuamu?” Choi Yong Do mendesah. Pria itu membawa punggungnya bersandar pada sandaran kursi. Dia menutup mata. Terdengar desisan kecil di antara bibirnya. Choi Yong Do menutup mata. Menahan rasa nyeri yang kembali menyerang. “Lebih baik kita bertemu ibumu dan jelaskan apa yang sebenarnya terjadi. Kita punya Peter. Siswa lain mungkin tidak akan berani bersaksi, tetapi kita punya Peter. Dia pasti akan menjelaskan apa yang terjadi. Lagi pula, kamulah yang terluka di sini. Jika pun ada yang akan disalahkan itu adalah Nick,” ujar Yiseo. Gadis itu kembali meluruskan tatapan kemudian berucap, “dan juga aku.” “Kau membelaku,” kata Yong Do. Sudut bibir Yiseo terangkat membentuk seringaian. Gadis itu menggerakkan bola mata. Menatap Choi Yong Do lewat sudut matanya. “To be honest, aku memang ingin memukul wajahnya sejak lama,” ucap Yiseo. “yang kulakukan pada Nicholas sebenarnya untuk diriku sendiri juga. Hanya saja, aku mungkin punya alasan membela diri karena dia duluan memukulmu dan kau tidak bisa melawan. Dia juga melakukan rasis. Aku benci orang-orang yang melakukan rasis. Untuk itu ….” Ada jeda pada ucapan Park Yiseo sewaktu dia kembali menggerakkan wajahnya. Menatap Choi Yong Do. Pria itu melihat bagaimana seringaian yang telah lama tak dilihatnya. Senyum licik yang hanya dimiliki oleh Park Yiseo. “Aku tidak menyesal melakukannya.” Lanjut Yiseo. Biasanya Choi Yong Do akan kesal. Pasti akan ada sumpah serapah yang dia gumamkan di dalam hati untuk merutuki gadis di sampingnya. Namun, hari ini, ada sesuatu di dalam diri Choi Yong Do yang malah menyoraki ucapan Park Yiseo barusan. Lalu, perlahan-lahan hatinya bergumam jika Park Yiseo itu …. “Daebak,” gumam Yong Do. Dia bergumam dengan bahasa Korea Selatan. Sebagai bentuk pujiannya atas kehebatan Park Yiseo. Bibirnya tersenyum menatap wajah arogan di sampingnya. *** The Royal Theresia Hospital. Melbourne – Australia 03.01 pm ________ Mobil berhenti dan Jang Mi turun terburu-buru. Dia langsung menuju sisi kanan mobil. Membuka pintu mobil lalu dengan gerakan luwes mengangkat tubuh Choi Yong Do. Sontak, pria muda Choi itu terbelalak. “Hei, apa-apaan kau!” protes pria itu. “Sudah tidak usah banyak omong, bawa saja dia.” Ucapan Park Yiseo langsung direspon dengan anggukkan kepala oleh Kim Jang Mi. Pria itu mengambil langkah panjang menuju ke pintu masuk rumah sakit. “Astaga!” Choi Yong Do berdecak kesal. Pria itu memberikan tatapan tidak bersahabat pada pria kekar yang kini tengah menggendongnya. “Hey, literally, wajahku yang terluka. Aku tidak lumpuh dan kakiku masih bisa berjalan. Bahkan lari maraton,” ujar Yong Do. Tidak ada sesuatu dari ucapan Choi Yong Do yang bisa membuat Kim Jang Mi bergeming. Pria itu berubah bak sebuah robot yang hanya mendengar perintah majikannya. “HELP!” Choi Yong Do mendelik. “Hei!” pekiknya. “Apa-apaan, kau!” Park Yiseo mendesah. “Demi Tuhan, kamu tidak perlu berteriak, Jang Mi.” Kim Jang Mi memutar tubuhnya pada sang majikan, lantas menunduk dan bahkan membungkuk. Membuat Choi Yong Do ketakutan. “Wow, wow!” gumam Yong Do. Refleks, pria itu mengalungkan tangannya ke leher Jang Mi. “Maafkan saya, Nona Park,” kata Jang Mi. Park Yiseo memanyunkan bibir sambil memutar bola mata. Gadis itu tidak menggubris dan langsung menghampiri kubikel tempat di mana ada seorang staff rumah sakit sedang duduk. “Hei,” sapa Yiseo dengan santai. Wanita di belakang kubikel itu mendongak. “Selamat sore, ada yang bisa saya bantu?” tanya wanita itu. Bola matanya bergerak, menatap si pria muda di dalam pelukan Kim Jang Mi. Sejurus kemudian, mata wanita itu terbelalak. “Tuan muda, Choi?” Park Yiseo mengernyit, refleks menarik kepalanya. “Apa kau bilang?” tanya Yiseo. Sekilas staf rumah sakit itu menatap Park Yiseo, lalu kembali membawa atensinya pada si pria yang dia panggil tuan muda Choi barusan. Gadis itu langsung meninggalkan kubikelnya. Meraih kursi roda yang terletak di samping lemari di belakang kursi kerjanya lalu membawa benda itu pada Yong Do. Otomatis, Kim Jang Mi menaruh tubuh Yong Do di kursi roda. “Oh ya, bisa tolong panggilkan dokter Choi atau dokter Goo?” tanya Yiseo. Gadis itu mencoba untuk mengabaikan apa pun panggilan dari staf rumah sakit tersebut dan berusaha fokus pada Yong Do. Wanita itu menegakkan badannya. “Dokter Choi sedang melakukan operasi besar dan dokter Goo sedang melakukan room visit,” ujar wanita itu. Terlihat Park Yiseo menghela napas, lalu mengembuskannya sambil mendelikkan matanya ke atas. “For the love of God, panggilkan salah satu dari mereka untuk mengobati pria ini,” ucap Yiseo sambil menunjuk wajah Choi Yong Do. “Baik, aku akan menghubungi dokter Goo Hae Young,” kata wanita itu. Sambil mendengkus, Park Yiseo menunduk lalu menjulurkan tangan menunjuk kubikel tempat wanita itu bekerja. Si petugas rumah sakit tersebut tidak menunggu waktu lama. Dia segera menghubungi ibunya Yong Do. “Maaf menyela jadwal berkunjung Anda, dokter Goo,” ucap wanita itu. Dia memandang Choi Yong Do dengan ekspresi getir. “ada pasien yang butuh pertolongan Anda.” Tampak wanita itu menggigit bibir bawahnya dan pandangannya semakin terlihat getir. “Tidak. Tidak. Ini bukan pasien sembarangan. Dia … Tuan muda Choi.” “Apa?!” Teriakan dari seberang sambungan telepon itu menggema dan terdengar hingga ke rungu Park Yiseo, Jang Mi dan bahkan Choi Yong Do. Wanita yang bertugas itu sampai menutup mata dan memperkuat gigitan di bibir bawahnya. “Baiklah. Aku segera ke sana.” Suara Goo Hae Young masih menggema dari balik gagang telepon. Dalam hitungan milidetik, sambungan telepon dimatikan. Wanita itu menaruh gagang kembali ke tempatnya. “Dokter Goo sedang dalam perjalanan menuju ke mari,” ucap wanita itu. Park Yiseo memanyunkan bibirnya dan mengangguk santai, sementara Choi Yong Do mendesah berat. Seketika jantungnya berdetak sangat cepat. Pria itu menundukkan kepala. “Oh, crap …,” gumam Yong Do. ______________
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN