46. Please Don't Tell to My Abeoji

1460 Kata
“Pakailah ini. Kau tidak perlu turun. Akan ku jelaskan pada ibuku,” kata Choi Yong Do. Gadis Park di depannya tidak menyahut bahkan tak bisa mengangkat kepala. Dia sendiri tidak menyangka jika dirinya akan menangis seperti tadi. Menangis pada pria yang pernah diolok-olok olehnya. Pada pria yang sering dipanggilnya kecoa. Sungguh. Park Yiseo seperti telah kehilangan sebagian dari dirinya saat memilih untuk mencurahkan air matanya di dalam pelukan seorang Choi Yong Do. Namun, melepas tangisannya pada seseorang seperti Choi Yong Do, nyatanya sanggup membuat Park Yiseo merasa lebih lega. Pelukan pria itu berhasil menariknya dari ketidakwarasan. Seumur hidup, Park Yiseo tak pernah merasa diperlakukan seperti ini oleh orang lain. Bukannya Park Yiseo tak pernah mengalami kejadian seperti yang dia alami pagi ini. Itu termasuk serangan panik. Ya, dia pernah. Dan itu terjadi beberapa kali sewaktu dia masih tinggal di Korea Selatan. Namun, di sana ada seorang wanita yang kerap dipanggilnya bibi Joo. Wanita paruh baya yang telah membesarkan Park Yiseo. Wanita yang mengerti Park Yiseo lebih dari siapa pun. Hanya kepadanya Park Yiseo bebas menjadi dirinya sendiri. Menangis dan bahkan membentak juga kadang kala. Namun, Park Yiseo sangat menghormati wanita itu. Sebab wanita itu tidak pernah sekalipun menyakiti perasaan Park Yiseo. Dia selalu hangat. Memperlakukan Park Yiseo bukan sebagai majikannya, tetapi sebagai putrinya. Yang selalu menyanyikan lagu tidur dan membacakan dongeng di malam hari. Yang setiap pagi selalu menyapa Park Yiseo di saat kedua orang tuanya terlalu sibuk dengan pekerjaan mereka. Yang selalu mempersiapkan seluruh kebutuhan Park Yiseo. Mulai dari sarapan, makan siang dan sampai makan malam. Seluruh keperluan Park Yiseo selalu terpenuhi berkat bibi Joo. Namun, sekarang tak ada bibi Joo lagi. Pagi hari ini, untuk kesekian kalinya, Park Yiseo menyadari jika dirinya benar-benar sendirian. Jika biasanya dia dikelilingi banyak teman, sekarang dia hanya punya Nicholas dan saat bersama pria itu, Park Yiseo selalu merasa jika dia berada di antara orang-orang asing. Di tempat yang asing. Diskotik, bar, dunia malam. Semua itu bukan gaya Park Yiseo. Ya. Dia memang menikmati dunia malam di Seoul, tetapi kehidupan malamnya di Seoul sangat jauh berbeda dengan kehidupan malam Nicholas Hamilton di Australia. Awalnya, Park Yiseo pikir semua ini akan berjalan baik-baik saja. Jauh sebelum semuanya terjadi, Park Yiseo pikir dia akan memiliki banyak teman seperti di Seoul. Namun, ternyata budaya di negara asalnya dan di tempat tinggalnya saat ini sangatlah berbeda. Jika di Seoul, orang-orang akan berbondong-bondong mencari muka padanya. Memohon agar bisa menjadi bagian dari kawanannya. Bahkan beberapa rela melakukan apa saja. Park Yiseo benar-benar menjadi ratu di Dulwich College Seoul. Namun, takdir Park Yiseo ternyata berbanding terbalik saat ia terbang ke Melbourne. Di sini, dia tak pernah dipandang dengan layak. Ada pun teman seperti Nicholas, nyatanya memiliki niat tersendiri saat mendekatinya. Sekarang Park Yiseo sadar jika Nicholas hanya memberikan dampak buruk baginya. Gara-gara pria itu, dia sampai tidak tahu arah dan berakhir dua kali di atas tempat tidur seorang pria. Kaki Park Yiseo bergerak. Berhenti di depan cermin dan dia memandang dirinya. Seakan-akan tersesat sana sewaktu ia memandang dirinya sendiri. ‘Kau benar-benar menjijikan Park Yiseo. Bisa-bisanya kau tampak selemah ini. Cih!’ ‘Ingat. Di dalam tubuhmu mengalir darah Park yang tak kenal takut. Pemberani. Cerdik dan mampu mengendalikan situasi. Park Yiseo, kau tahu aku tidak suka melihatmu dalam situasi tersudut. Kau tahu betapa ayahmu ini sangat menyayangimu, tetapi aku tidak akan pernah mentolerir apabila kamu melakukan sesuatu yang bisa mencemarkan nama baik keluarga Park. Kau tahu konsekuensinya dan kau tahu bagaimana harus berperilaku.’ Sambil menutup matanya, Park Yiseo menarik napasnya dalam-dalam. Untuk sekelebat kedua tangannya mengepal pada kedua sisi tubuh. Wajah cantik itu kembali bergetar. Namun, ada selapis cairan bening yang lolos dari antara kedua pelupuk matanya. Tak ada yang lebih membuat frustasi selain perang batin. ‘Menangislah. Kau tidak perlu menahannya. Aku di sini. Tidak perlu takut. Aku berani bersumpah jika dia tak akan menyakitimu. We’ll keep this secret.’ Seketika mata Park Yiseo kembali terbuka saat suara itu terbesit begitu saja di dalam benaknya. Mulut Yiseo terbuka. Melepaskan napas panjang nan berat. Ia menelengkan wajahnya ke samping. ‘Ini tidak benar. Aku harus ikut bertanggung jawab. Setidaknya dia tak boleh disalahkan seorang diri. Lagi pula ini bukan kejadian yang sebenarnya. Tidak mungkin. Kami bahkan tidak bertemu lagi setelah kejadian di toilet. Aku harus menjelaskannya pada nyonya Choi.’ Park Yiseo membatin. Sekali lagi meraup udara dalam-dalam lalu mengembuskannya perlahan sambil menutup matanya. Park Yiseo pikir dia akan lebih rileks, akan tetapi saat dia mulai mengambil langkah, Park Yiseo merasakan degup jantungnya yang meningkat dengan tekanan kuat. “Mom, itu tidak seperti yang kau bayangkan.” “Then you must explain to me! Ini sudah yang kedua kalinya, Yong Do. Tapi untuk kali ini, kalian benar-benar keterlaluan. Bagaimana kalau orang tuanya tahu. Menurutmu apa yang akan dikatakan pak Kedubes saat tahu putrinya bangun di atas ranjangmu dalam keadaan … oh, my God!” “Mom, kumohon. Percayalah padaku. Kami tidak melakukan apa pun.” “Oh ya?” “Yeah. Sure! One hundred percent.” “Tapi mulutmu masih bau alkohol dan itu sangat menyengat. Apa kamu bisa menjelaskan yang satu itu, hah?! Demi Tuhan, entah apakah aku harus bangga atau kecewa padamu.” “Mom ….” “Mrs. Choi!” Goo Hae Young dan Choi Yong Do kompak memutar pandangannya. Menatap seorang gadis yang masih menuruni anak tangga. Goo Hae Young mendesah panjang. Berkacak pinggang lalu memutar tubuhnya. Sambil mematri tatapan pada Goo Hae Young, Park Yiseo mengambil langkah menuruni satu per satu anak tangga dan saat kakinya tiba di lantai dasar, dia pun bergegas menghampiri Goo Hae Young. Sekilas menatap sepasang manik cokelat milik Choi Yong Do, sebelum akhirnya memusatkan pandangannya pada wanita yang tengah berdiri membelakangi tubuhnya. “Nyonya Choi, ini bukan salah Yong Do,” ucap Yiseo. Berharap akan mendapatkan tanggapan, tapi nyatanya hanya desahan kasar yang terdengar. “Akan kukatakan yang sejujurnya, tapi kumohon biarlah ini menjadi rahasia di antara kita. Kumohon jangan beritahu kedua orang tuaku apalagi ayahku,” ujar Yiseo. Gadis itu menjatuhkan tatapannya. Menyebut nama ayah, seketika wajah tegas tanpa ekspresi Park Yibeom melintas di dalam benaknya. “Please, don’t say anything to him,” kata Yiseo. Suaranya berubah. Nyaris bergumam. Goo Hae Young bisa menangkap rasa takut dan cemas yang teramat besar dari gelombang suara Park Yiseo barusan. Entah mengapa juga Goo Hae Young merasa begitu cemas. Padahal sebelumnya, dia pernah berharap kalau putranya suatu saat akan hubungan lebih dari sekadar persahabatan biasa dengan gadis manis yang datang dari negara asal mereka. Namun, nalurinya sebagai seorang ibu tiba-tiba membuatnya menjadi sangat khawatir. Apalagi saat mencium bau alkohol yang menyengat pada napas dua remaja di depannya. Tentu saja. Orang tua mana yang tidak akan khawatir, akan tetapi mendengar bagaimana Park Yiseo bermohon dengan nada hampir lirih itu membuat Goo Hae Young mencoba untuk mengesampingkan emosinya. “Oke,” kata wanita itu. Dia pun memutar tubuh. “sekarang katakan padaku. Aku ingin kalian menceritakan semuanya. Sedetail mungkin. Aku ingin kejadian yang sebenar-benarnya. Tidak ditutup-tupi. Bisakah kalian melakukannya?” Masih menundukkan kepalanya, Park Yiseo mencoba memandang Choi Yong Do lewat sudut matanya. “Tidak ada persekongkolan,” kata Goo Hae Young. Mempertegas ucapan sebelumnya. Seketika Park Yiseo mengangguk lalu menjawab dengan lantang, “Ya!” Mata Goo Hae Young menyipit. “Sure?” “Yeah, sure. Aku akan berucap sejujur-jujurnya,” kata Yiseo. Goo Hae Young mengangguk. “Oke,” kata wanita itu. Dia berjalan melewati dua remaja tersebut. Choi Yong Do dan Yiseo saling menatap sebelum memutuskan untuk mengambil langkah bersama. Sekejap, jantung Yong Do berdetak meningkat. ‘Apa yang akan dia katakan? Apa dia mengingat semuanya? Secara detail?’ batin Yong Do. Seketika dia dilanda kegelisahan. Sementara Park Yiseo tampak lebih tenang. Jauh lebih tenang dari sebelumnya. Namun, gadis itu juga tak bisa bohong kalau dia juga diterpa perasaan gugup. Namun, gadis itu mencoba mengatasi rasa gugup dengan meremas ibu jarinya dengan kuat. Seakan-akan mendapatkan firasat, Choi Yong Do menunduk. Ditatapnya tangan Park Yiseo dan refleks, pria itu meraih tangan Yiseo dan membungkus tangan yang mengepal itu dengan tangannya. Apa yang dilakukan Choi Yong Do saat ini, membuat Park Yiseo mendongak menatapnya. Tak ada kalimat yang keluar dari bibir Yong Do. Hanya anggukan kepala, tetapi itu cukup untuk mengatakan jika pria itu akan selalu berada di samping Yiseo. Entah mereka sadar atau tidak, barusan mereka menghela napas dan mengembuskannya bersama. Sambil berpegangan tangan, Park Yiseo dan Choi Yong Do duduk di sofa persegi panjang. Menyadari tatapan tidak menyenangkan yang terarah padanya, membuat Park Yiseo menarik tangannya dari dalam genggaman Choi Yong Do. “Baiklah, sekarang ceritakan padaku.” Ekspresi Goo Hae Young berubah total. Wajahnya terlihat tegas dengan tatapan sinis memandang satu per satu remaja di depannya. Park Yiseo butuh tarikan napas panjang. Sambil memaksa otaknya untuk mengingat kejadian yang mereka alami di malam itu. _______________
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN