45. Irrational Feeling

2878 Kata
Claver Rose Luxury Apartment Sunday 10.23 am _______________ Terdengar suara mendengkus. Beberapa kali sebelum akhirnya tergantikan dengan suara geraman. Choi Yong Do menekan kelopak matanya yang tertutup semakin ke dalam. Kepalanya berdengung dan mendadak terasa pening. ‘Drink something for make you be a man.’ ‘What? I don’t want to drink this s**t! Not anymore!’ ‘Dude, ini bukan sekedar alkohol. Ini pembuktian kalau kau sekarang telah menjadi seorang pria. Lagi pula ini hanya martini. Ayolah!’ Lelaki muda Choi itu kembali menggeram. Pening terganti menjadi rasa nyeri yang luar biasa. Perlahan-lahan, kesadarannya mulai terkumpul. Tampak kening Yong Do mengerut saat merasakan sesuatu yang berat berada di atas perutnya. Dalam keadaan setengah sadar, Choi Yong Do merasa seperti ditindih sesuatu yang berat. Sambil menggeram, dia berusaha membuka kedua mata. Saat kedua matanya telah terbuka, Choi Yong Do mendengkus. Penasaran dengan sesuatu yang menindih perutnya, ia pun membuka selimut. Seketika kesadaran Choi Yong Do datang dan membuatnya tersentak. Refleks, Choi Yong Do menoleh ke samping. Tepat saat itu juga terdengar geraman yang sama datangnya dari seseorang yang tengah berbaring di sebelah Choi Yong Do. Untuk beberapa saat Choi Yong Do memilih untuk terdiam. Seakan-akan membiarkan otaknya untuk mengelolah kejadian ini. Berharap ini sekadar mimpi sebab ia pernah terjebak situasi seperti ini sebelumnya. Namun, saat bulu mata itu bergerak dan kemudian menampakan sepasang manik hitam, di detik itu juga jantung Choi Yong Do berhenti berdetak. “Good morning!” Choi Yong Do kembali membulatkan matanya saat mendengar suara barusan. Sama seperti si gadis yang baru sepersekian detik tersadarkan. Spontan, gadis itu mendorong tubuhnya sampai terduduk di depan Choi Yong Do. Mereka bertatapan dengan mata terbelalak. “AAAAAAA ….” Teriakan itu menggema, membuat seseorang yang berdiri di ambang pintu harus menyumbat kedua telinganya. “Oh … crap!” gumam wanita itu. Ia mendelikkan matanya ke atas sambil melepaskan napas kasar dari mulutnya. Sedetik kemudian, dia kembali menatap dua orang di depannya. Sekali lagi wanita itu mendengkus. “Oke! kids, did you guys could tell me what the hell happened in here?” tanya wanita tersebut, lantas melipat kedua tangan di depan da’da. Menunggu balasan dari pertanyaannya. Kontan, kedua remaja itu kembali menoleh ke arah pintu. “AAAAA ….” Teriakan kembali menggema. Dua kali lebih keras dari sebelumnya. Goo Hae Young sampai harus menutup mata rapat-rapat. Kedua bahunya terangkat hingga menyentuh rahang. Di detik itu juga, telinganya berdengung pening. Teriakan kedua remaja itu berlangsung selama beberapa detik dan berhenti bersamaan. Goo Hae Young memberanikan diri untuk membuka kedua matanya. “Kalian puas?” Dua remaja yang masih saling menatap di atas tempat tidur itu tampak mengembuskan napas kasar. Sejurus kemudian keduanya kompak melompat dari ranjang. Salah satu dari mereka mengerutkan dahi saat melihat penampilannya. Park Yiseo menatap tubuhnya dari bawah hingga ke atas. “What the ….” Kening Yiseo makin melengkung ke tengah, akan tetapi kesadaran cepat mengentaknya. Membuat gadis itu bergerak meraih selimut di atas ranjang lalu dengan gerakan cepat dia melilitkan selimut itu ke tubuh agar dia bisa menyembunyikan tubuhnya yang nyaris telanjang. Sementara hal yang sama terjadi pada Choi Yong Do. Tampak lelaki itu mengerutkan keningnya. Merasa sangat bingung dengan situasi yang sedang terjadi. Perlahan-lahan, pria itu mulai menurunkan tatapan. Seketika matanya melebar. “Oh my God!” Choi Yong Do mencari pertolongan untuk menutupi tubuhnya. Ia mendongak. Hendak meraih selimut, tetapi pria itu terlambat. Ditatapnya si gadis yang tengah memeluk tubuh sambil mempertahankan selimut Yong Do di da’danya. Bola mata bulat dengan manik berwarna cokelat itu memberikan tatapan membunuh pada si gadis yang masih berdiri di samping ranjangnya. “Berikan itu!” desisnya. Rahang Choi Yong Do mengencang saat melihat Park Yiseo menggeleng dan mempererat pelukan di da’danya. Choi Yong Do berdecak kesal dan mendengkus. “Ehem!” Sontak, atensi kedua remaja itu teralihkan pada wanita yang sedari tadi memperhatikan mereka di ambang pintu. Wajah Goo Hae Young terlihat agak kesal, tetapi reaksinya terlihat begitu tenang. Wanita itu bergeming. Membuka kedua tangan yang tadinya terlipat di depan da’da dan dia mengedikkan kedua bahu. “Oke.” Hanya satu kata itu yang keluar dari bibir Goo Hae Young dan itu pun disertai embusan napas panjang. Wanita itu menyimpan kedua tangan di dalam saku celana, lantas mengangkat kedua bahu sambil membawa tatapannya kembali kepada dua remaja di depannya. “Kalian berhutang penjelasan padaku,” ucap Hae Young. Kembali mengeluarkan tangan kanan, lalu melayangkannya ke udara. Entah bagaimana wanita itu sangat sulit untuk berucap kali ini. Tak seperti sebelumnya. Ya. Semenit yang lalu Goo Hae Young merasa seperti mengalami déjà vu, tetapi ini sedikit berbeda karena kondisi dua remaja itu … oh, astaga! Goo Hae Young bahkan tidak mau menyebutkannya di dalam hati. Akhirnya wanita itu hanya bisa mengembuskan napas panjang dari mulutnya sambil menggelengkan kepala. “Lima menit,” kata Hae Young sambil memalingkan wajah. “Aku tunggu kalian di bawah.” Lanjutnya. Goo Hae Young mendelikkan keningnya. Matanya ikut melebar sewaktu dia kembali menggelengkan kepala. “Fyuuhhh ….” Dan embusan napas panjang yang kesekian kalinya masih terdengar sebelum wanita itu benar-benar memutar tubuhnya dan meninggalkan kamar Choi Yong Do. Dua remaja yang sejak tadi memusatkan atensi mereka pada Goo Hae Young kini kembali saling menatap. “What the hell are you doing here?!” Pertanyaan itu keluar dari mulut Choi Yong Do disertai dengan tatapan nyalang. “Me?!” Park Yiseo memekik. “Ya, kau!” bentak Yong Do. Seketika Park Yiseo terdiam. Tampak keningnya kembali mengerucut ke tengah. Lipatan di dahi itu terlalu menggambarkan bagaimana Park Yiseo tengah berpikir keras sekarang ini. ‘One shoot.’ ‘Nick, aku tidak mau minum lagi.’ ‘Hei, ayolah. Ini hanya vodka.’ ‘Ya, tapi itu tetap beralkohol. Aku tidak mau minum alkohol terlalu banyak.’ ‘Ayolah … satu tegukan saja.’ ‘Satu tegukan? Setelah ini kau akan mencari minuman lain dan memaksaku menenggaknya.’ ‘No. I promise. This is the last one.’ Bola mata sipit dengan manik hitam itu sekarang melebar. Sementara membiarkan otaknya terus mengumpulkan memori yang terjadi padanya semalam. ‘Aku tidak bisa membuka mataku. Sial! Aku mabuk.’ ‘Not yet, Honey. Sekarang akan kuantar kau ke atas.’ ‘Hey!’ “Arghhh!” Park Yiseo meremas kepalanya yang mendadak terasa sakit. Nyerinya terasa hingga ke da’da, membuat napasnya terhenti. Sementara di depannya, Choi Yong Do juga terdiam. Atau lebih tepatnya dia termangu-mangu. Memori kembali menerbangkannya pada kejadian semalam. ‘Dude, you alright?’ ‘Y-ya. Pete, bisakah kau mengantarku pulang. Sial! Aku tidak bisa menatap jalan dengan benar.’ ‘It’s okay. Itu tandanya kau telah dewasa.’ ‘Stop saying your freaking words! Kedua orang tuaku akan membunuhku jika tahu aku mabuk. Argh!’ ‘Oh, man … tidak ada orang tua di Australia yang melarang anak mereka mabuk.’ ‘Pete, just bring me back home. Please.’ ‘Oke, oke. We’re going home now. Oh ya, di mana harus ku kembalikan dirimu, hah?’ ‘Claver Rose. Claver Rose apartemen.’ ‘Wow! You’re crazy rich, hah!’ ‘Pete, berhenti basa-basi. Perutku terasa mual.’ ‘Damn it! Jangan sampai kau muntah di mobilku.’ ‘Pete!’ ‘Oke, oke!’ “Oh crap!” Choi Yong Do mendesis, lantas meremas dahinya dengan kuat. Kejadian demi kejadian yang terjadi semalam mulai berdatangan. Namun, entah mengapa. Dari semua kejadian itu, malah terbesit begitu saja situasi semalam di mana mereka terjebak di dalam bilik kecil bersama. Dan itu membuat Choi Yong Do dan Park Yiseo secara bersamaan melempar tatapan. Kedua remaja Asia itu terdiam. Saling menatap dengan irama jantung yang sama. Berdetak sedikit lebih cepat dengan tekanan kuat. Rungu mereka mulai mendengar suara erangan dan desahan. Bahkan dalam tatapan hening itu, hati mereka seolah sahut menyahut. Memberitahu apa yang telah mereka alami di frat party. “HEI!” Keduanya tersentak bersamaan. Refleks, melempar tatapan ke samping. Napas Goo Hae Young berembus kasar. Bagai serigala yang tengah memandang mangsa. Tatapan mata Goo Hae Young menyipit. Serasa menikam. Membuat kedua remaja itu bergidik. “TURUN!” Sekali lagi mereka tersentak dan spontan menutup mata saat Goo Hae Young kembali melengkingkan suaranya, meneriaki dua remaja itu. “Kalian dengar aku? Turun sekarang juga!” “Oke, oke!” Choi Yong Do mengangkat kedua tangannya ke udara, tanda menyerah. Pria itu bergerak. Bukan hanya dia saja. Park Yiseo juga bergerak. Dua remaja itu terlihat panik mencari-cari pakaian mereka. Sementara Goo Hae Young mulai kehilangan kesabaran. Da’danya naik turun dengan cepat. Sementara hidungnya kembang-kempis. Melepaskan napas gusar. Degup jantung Park Yiseo semakin bertalu dengan kencang, tetapi di sisi lain dia masih mengira-ngira bagaimana dia bisa berada di dalam kamar Choi Yong Do dengan keadaan … tidak manusiawi. ‘Sial! Kenapa aku tidak bisa mengingat apa pun, hah? Apa aku masuk seperti waktu itu?’ batin Yiseo. Gadis itu bergumam dalam hati sambil mencari-cari pakaiannya. ‘Sial! Tidak mungkin aku melakukannya dengan pria itu, kan? Pasti ada sesuatu yang bisa menjelaskan situasi gila ini. Sialan. Aku ingin mati sekarang juga.’ “All right. All right, kids, listen up!” Goo Hae Young berucap, tetapi tak ada satu pun dari mereka yang mau mendengar. Keduanya sibuk mencari-cari pakaian mereka. Keduanya terlalu sibuk sampai tidak memerhatikan gerakan mereka dan …. “Awh!” Park Yiseo dan Choi Yong Do mendesis sambil memegang kepala mereka. Gerakan kedua remaja Korea Selatan itu sama persis dan tangan yang memegang dahi juga tangan sama. Mereka menggunakan tangan kanan. Cara mereka menghela napas dan mengembuskannya, membuat Goo Hae Young menatap penuh keheranan. “Oh my God! You not to be kidding me,” gumam wanita itu. Dia kembali mendengkus dan melayangkan kedua tangan ke udara. Merasa jengah, Goo Hae Young akhirnya memutar lutut dan kembali meninggalkan kamar putranya. Sementara di samping ranjang, entah apa yang membuat kedua remaja itu malah saling menatap. Menyadari sesuatu, mereka pun secara alamiah memalingkan wajah. “I’m sorry,” ucap mereka bersamaan. Seketika keduanya kembali saling menatap. Terdiam lagi dan kemudian mereka terkekeh. “Sorry.” Kalimat tersebut kembali terucap bersamaan. Dan entah mengapa keduanya jadi gemar tertawa bersama. “Aku tidak bisa menemukan pakaianku,” kata Yiseo. Ia menunduk. Mengangkat sprei dan menunduk lebih ke bawah. “Ck!” Park Yiseo kembali menegakkan badannya. “Di sini juga tidak ada,” ucapnya. Choi Yong Do menjadi panik. Dia juga tidak tahu di mana pakaiannya berada. Akhirnya pria itu berinisiatif untuk mengambil pakaian yang baru dari dalam lemari. Dia juga berpikir untuk mencari pakaian yang baru untuk Park Yiseo. Sejujurnya sekarang dia hanya memakai kolor pendek dan Park Yiseo hanya memakai underwear-nya sewaktu tersadar lima menit yang lalu. “Ba-bagaimana ini?” Park Yiseo mulai panik. Untuk pertama kalinya ia tak bisa mengatasi situasi. Di mana perginya pendiriannya yang confidence. Saat ini dia tak bisa memikirkan apa pun. Apalagi alasan tepat yang harus dia gunakan untuk menjawab pertanyaan Goo Hae Young nanti. Itu mungkin bisa diatasi, tetapi bagaimana cara Park Yiseo mencari pakaian untuk menutupi tubuhnya? Dan bagaimana kalau ayahnya sampai tahu? ‘Kau bangun di atas ranjang seorang pria dalam keadaan nyaris telanjang, kau pikir apa yang akan dipikirkan Park Yibeom, hah? Jika dia tahu kau ke frat party, kau pikir kau akan lolos dari hukuman?’ “Tidak,” gumam Yiseo. Mendadak jantungnya berdetak sangat cepat. Bersamaan dengan itu, mulai terdengar suara-suara di kepalanya. Menggema dengan kalimat rancu. Seperti saling bertabrakan. Membuat Park Yiseo menutup mata dan menyumbat telinga dengan kedua tangannya. ‘Kau pikir kau siapa, hah?! Sudah kubilang jangan berulah. Kau mau aku dipindahkan berapa kali karena kelakuanmu, hah?!’ “Aku tidak tahu. Aku tidak melakukan apa pun.” Choi Yong Do yang sedari tadi telah berdiri di depan lemari, sontak memutar tubuhnya. Dia mengerutkan dahi saat melihat tingkah Yiseo. Sambil memegang sepasang sweat suits, Choi Yong Do pun menghampiri Park Yiseo. “Yiseo-ssi?” panggilnya. Kali ini memakai bahasa Korea. Namun, Park Yiseo masih tidak mendengar. Gadis itu memeluk kedua lengannya di depan da’da. Dia menggelengkan kepala. Bibirnya bergetar dan tatapannya berubah kosong. Ekspresi Park Yiseo membuat Choi Yong Do bingung, tetapi di saat bersamaan, dia seperti merasakan apa yang sedang dirasakan oleh Park Yiseo. “Ti- tidak, ak-aku tidak melakukan apa pun. Ak- aku … Abeoji.” Park Yiseo makin kehilangan kesadaran. Ia mulai menyatukan kedua tangan di depan da’da dan sambil menekuk lutut, Park Yiseo menggesekkan telapak tangannya dengan cepat. Pandangannya berubah kosong. Choi Yong Do langsung melempar pakaian di tangannya ke ranjang dan menjatuhkan tubuhnya di depan tubuh Yiseo. “Hei, Yiseo.” Pria itu berusaha memanggil Park Yiseo. Namun, sebanyak apa pun dia memanggil-manggil nama Yiseo masih tak dapat menarik gadis itu kembali. “Ayah, maafkan aku. Maafkan aku, ayah. Kumohon jangan lakukan itu padaku.” Park Yiseo berucap dengan bahasa Korea yang jelas dimengerti artinya oleh Choi Yong Do. Lipatan di dahi Choi Yong Do semakin kentara sewaktu mendengar Park Yiseo mengigau padahal dia tidak sedang tidur. Jelas dia tahu persis apa yang sedang dialami oleh gadis di depannya. ‘Jangan lakukan itu. Kumohon, jangan lakukan itu padaku. Aku tidak bersalah. Mengapa kalian terus memukul aku.’ ‘Karena kau pantas dipukul, dasar jelek!’ Choi Yong Do menggoyangkan kepala. Mengusir sekelebat bayangan masa lalu yang tiba-tiba saja datang dan menghantuinya. Sudah lama dia tidak mendengar suara itu, akan tetapi saat melihat kondisi Park Yiseo, malah membuat Choi Yong Do mengingat trauma yang pernah dia alami. Hal itu membuat tangan Yong Do bergetar. Seketika jantungnya berdetak kencang dan wajahnya membesar bagai balon. “Ti-tidak,” gumam Yong Do. Di saat Choi Yong Do hendak menatap Park Yiseo, mendadak tatapannya menjadi buram sehingga ia harus mengerjap. “No ….” Choi Yong Do kembali bergumam. ‘Bukan saat yang tepat untuk mengalami panik attack. Come on Yong Do, you can handle this,’ batinnya. Mencoba untuk mendorong kesadaran. Choi Yong Do menghela napas, lalu menahannya selama mungkin. Saat napas terhenti, maka degup jantungnya akan melambat dan itu akan membuat pikirannya secara perlahan menjadi kosong. Di saat bersamaan, perasaan panik yang semenit yang lalu menyerangnya akan memudar perlahan-lahan. “Fyuhhh ….” Berhasil. Choi Yong Do kembali mendapatkan fokusnya. Ia langsung menghampiri Park Yiseo, lalu membungkus kedua tangannya yang terkatup di depan da’da. Pria itu bisa merasakan kedinginan di tangan Yiseo yang gemetar. Perlahan-lahan Park Yiseo mulai bisa menggerakkan bola mata. Gadis itu menatap Choi Yong Do, tetapi pandangannya masih kosong. “It’s okay,” kata Choi Yong Do. “Dengarkan aku,” ucapnya lagi. Choi Yong Do perlu menelan ludah untuk membasahi kerongkongannya yang terasa kering. Sambil membungkus tangan Park Yiseo lebihi erat, Choi Yong Do kembali menatap Park Yiseo dan kali ini dia menatap gadis itu lekat-lekat. “Dia tidak di sini. Dia tidak akan tahu dan dia tidak akan menghukummu,” ucap Yong Do. Sekarang dia memang tidak mengerti apa yang baru saja diucapkannya. Choi Yong Do hanya merasa jika dia perlu mengucapkan kalimat tersebut. Ada selapis cairan bening yang mulai menutupi iris hitam milik Park Yiseo. Bibirnya bergetar dan dia tak dapat menahan sebulir cairan berwarna putih yang jatuh ke pipinya. Melihat hal itu, membuat hati Yong Do serasa diremas. Didorong oleh instingnya, pria itu menarik tubuh Yiseo ke dalam pelukannya. Saat wajahnya mendarat di da’da Yong Do, entah mengapa Park Yiseo merasa jika dia bisa mengeluarkan rasa sakit irasional yang tiba-tiba datang seperti menyayat hatinya. Ia tak pernah seperti ini sebelumnya. Ya. Park Yiseo yang kuat. Park Yiseo yang selalu punya sejuta cara untuk mengalahkan rasa takut. Park Yiseo yang tak kenal kalah. Untuk pertama kali dalam hidupnya, Park Yiseo merasa sangat tidak berdaya padahal masalah yang dia hadapi tidak terlalu besar. Dia mungkin bisa mencari alasan logis untuk semua ini dan menyalahkan Choi Yong Do atas situasi tidak jelas yang sedang terjadi. Park Yiseo yakin kalau dia bisa, tetapi entah bagaimana. Gadis itu membiarkan emosionalnya bekerja dan mengalahkan kecerdasannya. Seperti ada sesuatu yang jauh lebih baik kalau dia mengatakannya dengan air mata. Situasi yang benar-benar di luar kendali. Dan yang bisa dilakukannya saat ini hanyalah menangis dan itu serasa melegakan di satu sisi. Tangannya seperti bergerak tanpa diperintah. Mempererat tangannya. Mencengkram lengan Choi Yong Do. Begitupun dengan Choi Yong Do. Ada sesuatu dalam dirinya yang serasa ingin melindungi gadis ini. Sebuah perasaan tidak masuk akal mengingat jika sebelum ini dia sangat membenci si gadis bernama Park Yiseo. Namun, tiba-tiba saja perasaan benci itu lenyap. Apa pun yang pernah dilakukan Park Yiseo padanya seakan tak berarti saat mendengar jeritan tertahan dan derai air mata milik sang gadis. “Kids, kurasa kalian sudah cukup main-mainnya, sekarang tu-“ Seruan Goo Hae Young terhenti saat ia tiba di depan kamar Choi Yong Do. “Oh my God!” gumam Hae Young. Mulutnya terbuka. Dia ikut tersentak saat mendengar suara tangisan. Lebih mengejutkan lagi saat dia melihat pemandangan di depannya. Mendengar suara ibunya, membuat Choi Yong Do memutar wajah ke arah pintu. Choi Yong Do menggelengkan kepala. Dengan tatapan itu, dia memohon agar ibunya tetap diam di tempat. Mulut Goo Hae Young masih terbuka, tetapi tak ada sepatah kata lagi yang keluar dari mulutnya. Perlahan-lahan dagunya terangkat. Bersama keningnya yang mulai melengkung ke atas. Dia sendiri bingung harus bagaimana, lalu akhirnya Goo Hae Young memilih untuk mengangguk dan perlahan-lahan mulai memutar tubuhnya. Wanita itu bergeming. “Oh my God,” gumamnya sekali lagi. Desahan kasar kembali meluncur dari mulutnya. Ia pun membolakan mata menatap kamar sang putra. Namun, sejurus kemudian Goo Hae Young tersenyum. Namun, wanita itu pura-pura menutupinya dengan cara memberengut. Goo Hae Young mengedikkan kedua bahu. “Putraku sudah dewasa,” gumamnya. ______________
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN