Ada seringaian di wajah Park Yiseo saat ia menatap wajahnya di depan cermin. Di sinilah ia berada. Di dalam ruangan tersepi di seantero lantai lima.
Konon katanya, tempat ini disebut tempat eksekusi. Bukannya Park Yiseo tidak tahu. Gadis Park itu telah mencari tahu seluk beluk sekolah barunya di internet. Ada sebuah artikel yang sempat membuat Park Yiseo tertarik di mana ia menemukan berita tentang lima orang siswa yang meninggal di sekolah ini. Tanpa sebab. Tanpa alasan yang lebih masuk akal. Dan kasus itu ditutup begitu saja. Anehnya, tiga di antara para korban yang meninggal adalah murid pindahan.
“Interesting,” gumam Yiseo.
Salah satu yang mendorong Park Yiseo untuk memilih Golden Smart School adalah rasa penasarannya tentang semua rumor yang beredar. Tentang siapa dalang dari pembunuhan itu. Mengapa mereka membunuh para siswa? Apa salah mereka dan mengapa kasusnya ditutup tanpa penyelesaian lebih. Maka Park Yiseo membuat asumsinya sendiri.
“Di sini kau rupanya.”
Sudut bibir Park Yiseo makin naik membentuk seringaian. Ia menunduk. Meneruskan aktivitasnya yang sedang membilas tangan. Sementara tiga orang gadis yang baru saja masuk itu berjalan dengan langkah begitu pelan. Bak kawanan macan betina yang sedang mengintai mangsa. Sementara sang mangsa tampak begitu santai. Tak ada kecemasan apalagi rasa takut.
“Ya. Aku,” kata Park Yiseo santai. Dia menunggu waktu yang untuk memutar tubuh. Dan timing-nya sangat tepat sewaktu Lucy mengedikkan kepala. Menyuruh Cardi untuk menutup pintu rapat-rapat kemudian menguncinya. Sehingga tak ada lagi yang bisa menyelamatkan Park Yiseo. Begitu pikir mereka.
Park Yiseo kembali mengangkat wajahnya. Menatap cermin sehingga ia bisa menyaksikan raut wajah Lucy. Sepasang mata milik gadis blonde itu seakan berkilat oleh amarah. Dan Park Yiseo makin menyukai semua ini.
“Kau mencariku, Lucy?” tanya Park Yiseo santai.
Ada sesuatu dalam tatapan Park Yiseo yang membuat alam bawah sadar Lucy merinding. Sehingga membuat keberaniannya sedikit tergoyah. Ini yang pertama kalinya. Belum pernah Lucy Bennett merasa ragu saat hendak menghabisi seseorang.
Namun, Lucy mencoba untuk mengalahkan setitik rasa takut itu dengan mengambil napas panjang. Bola matanya berputar. Memberikan isyarat pada dua orang gadis di sampingnya. Cardi dan Jase langsung maju. Mengurung Park Yiseo dan dengan cepat menyergap kedua lengannya. Sementara gadis itu terkekeh. Tampak meremehkan situasi.
“Kau yakin ingin menghabisi-“
PLAK
Ucapan Park Yiseo terhenti ketika Lucy mengayunkan tangannya. Memberikan tamparan keras di pipi kanan Yiseo sehingga wajah gadis itu terlempar. Mulut Yiseo terbuka. Ia tertawa sinis kemudian memutar wajahnya lambat-lambat.
“Lumayan,” kata Yiseo.
PLAK
Sekali lagi Lucy mengayunkan tangan. Kali ini menampar pipi kiri Yiseo dengan punggung tangannya. Kali ini Park Yiseo tertawa. Ia mendongakkan wajah dan mulutnya terbuka besar. Melepaskan gelak tawanya. Cardi dan Jase mengernyit. Memperhatikan tingkah gadis yang tengah mendapat perlakuan buruk itu. Sementara Lucy mendecih sinis.
“Bersiaplah untuk mati,” ucap Lucy.
Gadis itu memberikan isyarat pada Cardi dan Jase untuk segera mengapit tubuh Park Yiseo sehingga mereka bisa segera membawanya untuk disiksa di dalam toilet. Keduanya pun mengangguk. Bersiap untuk menyeret tubuh Yiseo. Namun, sejurus kemudian Cardi dan Jase pun mengerutkan dahi.
Hening, tak ada yang bicara. Park Yiseo pun telah berhenti tertawa. Perlahan ia mulai menurunkan wajah. Kembali pada posisi semula dan raut wajahnya terlihat datar. Atau lebih tepatnya dingin. Seketika atmosfer dalam ruangan ini pun berubah.
Mendadak Lucy bagai melihat seekor anaconda sedang mematuk dan perlahan-lahan menegakkan badannya sehingga mengisi seantero ruangan. Seketika Lucy bergidik ngeri.
“Ada apa?”
Suara Park Yiseo terdengar sangat tenang. Setenang tatapan matanya, tetapi entah mengapa. Baik Lucy, Cardi dan Jase, ketiganya dilanda ketakutan. Terdengar embusan napas panjang dari gadis berambut sebahu itu. Suasana berubah mencekam ketika tak ada yang mampu mengangkat tubuh Park Yiseo yang tergolong mungil. Gadis Park itu menggerakkan wajahnya. Menoleh ke kiri dan kanan.
“Kenapa diam saja, hah?” tanyanya. Santai. Bagai menanyakan Sesuatu yang begitu sederhana.
“Apa yang terjadi pada kalian, hah?” Lucy mendesis. Ia memberikan tatapan tajam pada dua temannya itu.
Cardi dan Jase pun mengerjap. Mencoba untuk kembali mengangkat tubuh Park Yiseo, tetapi mereka masih belum berhasil.
“s**t!” desis Jase. Matanya melebar. Memberikan tatapan nyalang pada Park Yiseo sementara gadis itu sendiri sedang tersenyum miring. Memandang Lucy dengan tatapan mengolok.
“You have two lousy maids, Lucy.” Park Yiseo menutup ucapannya dengan seringaian.
“Banyak omong!” desis Lucy. Tangannya kembali terayun dan siap memukul wajah Park Yiseo, tetapi dengan cepat gadis itu menangkalnya. Bahkan satu gerakan tangannya sanggup mengunci gerakan Lucy.
Lucy Bennett mengencangkan rahangnya saat Park Yiseo mencengkram pergelangan tangannya dengan kuat. Napas Lucy berembus kasar. Matanya membulat memberikan tatapan nyalang kepada Cardi dan Jase, tetapi keduanya pun tak bisa bergerak.
Park Yiseo kembali menyeringai. Situasinya benar-benar menyenangkan. Cardi dan Jase menahan kedua tangannya, tetapi ia sendiri mencengkram tangan Lucy. Sehingga membuat Cardi bertanya-tanya bagaimana gadis itu bisa dengan mudah mengangkat tangannya padahal Cardi telah memegangnya dengan kuat.
“You girls very much entertain me. I appreciate it,” kata Yiseo.
“Bia’dap!” desis Lucy. Dia kembali mengayunkan tangannya yang lain, tetapi Yiseo dengan mudah menebak arah pukulan Lucy sehingga dengan cepat pula ia mencengkram pergelangan tangan Lucy.
Lucy berdecak kesal. Ia mendengkus dan melempar tatapan sinis pada dua temannya. “Apa yang kalian tunggu, cepat pukul dia. Sialan!” titahnya.
Cardi mengangguk. Memberikan isyarat pada Jase untuk segera melepas tubuh Yiseo dan segera memukulnya. Keduanya melakukan persis seperti apa yang mereka pikirkan. Namun, perhitungan mereka sangat salah. Park Yiseo mendorong tubuh Lucy ke arah Jase, sehingga mereka pun terlempar.
“Argh!” Jase mengerang kesakitan saat punggungnya menabrak dinding bersama tubuh Lucy yang menabrak tubuhnya dari depan. Dan Lucy meringis karena lengannya kesakitan.
Sementara Cardi hendak menyerang. Ingin memukul kepala Park Yiseo dan dia pikir dia akan berhasil. Namun, dengan cepat Park Yiseo mengangkat tangannya. Instingnya begitu peka. Mengetahui jika serangan akan datang dalam hitungan detik. Park Yiseo langsung bisa menangkisnya. Dengan cepat ia memutar tubuh Cardi lalu membantingnya.
Mulut Lucy dan Jase menganga. Bagaimana bisa. Tubuh Cardi lebih besar dan berisi daripada tubuh mungil Yiseo. Bagaimana dia bisa dengan mudah membanting tubuh Cardi. Bahkan mereka menyaksikan sendiri bagaimana tubuh Cardi melayang sebelum akhirnya mendarat kasar di atas lantai.
“Aarrgghh!” Cardi masih mencoba menahan erangannya. Ia pun membuka mata dan hendak melayangkan pukulan dengan tangan kanannya yang terbebas dari sergapan Yiseo, tetapi dengan cepat Park Yiseo memutar tubuh Cardi.
“Aahh!” Cardi kembali mendesis saat Yiseo mengangkat lalu memutar tangannya hingga ke belakang tubuh. Sementara telapak tangan gadis itu menempel di tengkuk Cardi dan mencengkramnya dari belakang. Cardi tak bisa apa-apa karena Park Yiseo telah mengunci seluruh gerakannya.
“One straight, one push.” Park Yiseo menyeringai. Masih dengan tubuh yang membungkuk, ia pun mendongak. Memberikan tatapan pada Lucy dan Jase.
“Say good bye to your fu’cking arms, Nigga!” desis Yiseo santai.
Cardi masih berusaha memproses maksud perkataan Park Yiseo barusan, akan tetapi semua itu terlambat saat Yiseo mengangkat kaki kanannya lantas menyerang lengan Cardi dengan lututnya.
“AAAAAA ….” Cardi berteriak. Merasakan sakit luar biasa di lengan kanannya yang baru saja dipatahkan Yiseo. Gadis itu menangis ketika Park Yiseo melepas tangannya dengan kasar.
Lucy dan Jase tidak ingin tinggal diam mereka berdiri dan hendak menyerang bersamaan, tetapi Park Yiseo bergerak dengan sangat gesit. Ia menghindari serangan Lucy dan dengan cepat memutar tubuh.
Detik seperti melambat pada bagian Jase saat ia melihat manik hitam Yiseo melintas di depannya dan senyum iblisnya membuat bulu kuduk Jase berdiri tegak. Ketika iris hitam itu menghilang, Jase merasakan tekanan yang hebat di tengkuknya. Mengendalikannya dan memutar tubuhnya. Dirasakan Jase ada dorongan kuat di tengkuknya lalu dalam perpindahan detik yang begitu cepat, Jase merasakan sakit yang hebat di dahinya.
BUK
Park Yiseo mengunci tengkuk Jase dengan telapak tangannya. Menarik dan mendorong dengan cepat.
BUK
Membenturkan dahi gadis itu ke wastafel. Dan dia melakukannya berkali-kali sampai dahi Jase berdarah. Tak peduli seberapa keras gadis itu berteriak. Semakin dia berteriak. Semakin darah Park Yiseo terpompa mengirimkan adrenalin padanya. Park Yiseo menyeringai. Menatap wajahnya di cermin sementara tangannya masih aktif memberikan pukulan pada Jase.
“Inilah sebabnya kau tidak boleh menyentuh seekor ular, Jase. Kau tidak akan pernah tahu seberapa mengerikannya saat seekor ular menyerang dengan kekuatan penuh.”
BRAK
Gerakan Park Yiseo terhenti saat merasakan hantaman yang kuat di kepalanya. Ia menghela napas sembari menegakkan badannya. Ditatap Yiseo bayangan di depannya. Di mana seorang gadis sedang berdiri di belakangnya sambil memegang kain pel. Yiseo kembali menunggingkan senyum iblisnya ketika mendengar deru napas Lucy diikuti ekspresi wajahnya yang terlihat ketakutan.
“Why lil’ Lucy?” tanya Yiseo. Memasang tampang ibah. “You afraid with this, Barbie beast, hah?”
Detik itu juga Lucy Bennett menyadari jika gadis di depannya adalah kata lain dari gila dan tak bermoral. Ia pun melempar kain pel dan bersiap untuk meninggalkan tempat itu. Namun, dia lupa pada satu hal.
Lucy meracau kesal. “HELP …,” teriaknya.
Park Yiseo memutar pandangannya pada Lucy. Perlahan-lahan ia mulai melonggarkan cengkraman tangannya pada tengkuk Jase. Gadis itu telah lemah. Banyak darah keluar dari dahinya yang retak sehingga ia ambruk di lantai. Di samping Cardi yang masih menangis kesakitan.
“Help …,” lirih Cardi di sela-sela tangisannya.
“Ck, ck, ck …,” gumam Yiseo.
Seketika manik Lucy Banett melebar saat bulu romanya berdiri tegap ketika rungunya menangkap langkah kaki Yiseo.
“HELP!” Lucy menjerit sambil memukul-mukul pintu di depannya.
Sementara Park Yiseo dengan santai melipat kedua tangan di da’da. Dan sambil memanyunkan bibirnya, ia memasang tampang iba. Sampai di samping tubuh Lucy. Dan ia dengan santai menyandarkan punggungnya ke dinding. Tepat lima senti di samping Lucy.
“Kenapa Lucy? Bukankah kau yang menyuruh temanmu untuk mengunci pintu itu?” Park Yiseo tertawa renyah. Melihat mata Lucy kini melebar. “Kenapa sekarang kamu ketakutan, Lucy?”
Lucy memutar pandangannya. Mulutnya menekan garis lurus. “Kau benar-benar gila!” desisnya.
Park Yiseo kembali tertawa. Ia memutar wajah. Sedikit mendongak. Melepaskan gelak tawa.
“Gila nama tengahku, Lucy.”
Mata Lucy melebar sempurna. Memberikan tatapan penuh teror kepada Park Yiseo, tetapi berbeda dengan degup jantungnya yang menggila. Hingga tekanannya terasa sampai ke tulang rusuk.
“Kuperingatkan agar kau tidak menyakiti aku. Aku bersumpah kau akan menderita saat menyakitiku. Ayahku tak akan melepaskanmu,” ujar Lucy.
Park Yiseo menanggapinya dengan gelak tawa. “Hei, bisakah kau buat ancaman yang lebih baik. I mean, kau mau main rumah-rumahan?”
Lucy mengernyit. “Kau pikir aku main-main? Kau tidak tahu siapa ayahku. Dia kepala sekolah di sini.”
“Lalu?” tanya Yiseo santai. “Ayahku seorang Kedubes, tapi apa pengaruh mereka, hah?” Park Yiseo menarik tubuhnya dari dinding. Mengubah posisi. Menyandarkan setengah tubuhnya dan memberikan tatapan serius pada Lucy.
“Ini antara kau dan aku,” kata Park Yiseo.
“Kau tidak bisa menyakitiku,” kata Lucy.
“Siapa bilang?” tantang Yiseo. “Aku akan membunuhmu.”
Seketika bola mata Lucy melebar. Park Yiseo menghela napasnya. Melepas tangannya dari depan da’da. Memanjangkan tangan dan hendak meraih wajah Lucy. Tentu saja gadis itu menepis tangan Yiseo dengan kasar.
“Well … aku hanya ingin memperingatkanmu,” kata Yiseo. Ia menjeda ucapannya. Memberikan tatapan tenang namun mematikan itu pada Lucy. “jangan ganggu aku dan aku tidak akan mengganggumu. Hari ini kedua temanmu menanggung hukuman atas dirimu. Aku tidak ingin melukaimu, bukan karena kau anak kepala sekolah. Ketahuilah Lucy, aku sama sekali tidak peduli apakah kau anak kepala sekolah atau tidak. Bahkan aku bisa dengan gampang membuat posisi ayahmu tergantikan.”
Dengan cepat Lucy memberikan tatapan nyalang pada Yiseo. “Hah!” Gadis itu terkekeh. Ia menelengkan wajah ke samping lalu kembali dengan nada tajam. “Kau pikir kau siapa, hah?”
“Park Yiseo,” ucapnya santai. “dan kau tidak tahu apa saja yang bisa kuperbuat. Dengar Lucy, mungkin kau pernah menghabisi orang lain dengan mudah dan gampang.”
Mata Lucy makin melebar dan seketika jantungnya seperti berhenti berdetak. Dilihatnya Park Yiseo kembali menarik bibirnya ke atas.
“Kau pikir aku tidak tahu misteri yang terjadi di sekolah ini, hah? Beberapa orang siswa mati mendadak saat mereka baru pindah di sekolah ini, tetapi alasan kematian mereka selalu sama. As .. ma!” Park Yiseo menyeringai. “Aku tidak sebodoh itu, Lucy. Aku bisa menyimpulkan jika salah satu murid di sekolah ini membunuh mereka,” ujar Yiseo.
Lucy Bennett kembali terkekeh dan memalingkan wajah. Sementara Park Yiseo menghela napas panjang lalu mengembuskannya dengan cepat.
“Well, cukup dengan basa basinya. Hari ini aku tidak melukaimu. Jika pun kau mengadu, maka kau tidak bisa menuduhku. Jika kau berusaha untuk membuatku dikeluarkan di sekolah ini, maka aku punya sejuta cara untuk membunuhmu dengan cara paling sadis dan aku tekankan, Lucy.” Ada jeda pada ucapan Park Yiseo saat ia kembali berdiri tegak. Meraih kerah baju Lucy dan menepuk-nepuk bahunya. Park Yiseo mengulum bibir. Membentuk senyum simpul dan kembali menatap Lucy.
“Aku Park Yiseo. Sejauh ini aku selalu menang. Aku tak suka kalah. Sekali pun kau menyewa seseorang untuk membunuhku, aku akan sangat tahu dan akan segera kualihkan pembunuh itu untuk membunuhmu. Kali ini ku perlihatkan kekuatan fisikku, tapi percayalah kau akan bergidik saat tahu rencanaku sebenarnya. Aku ingin ….” Yiseo mendekat. Membuat Lucy mengambil langkah mundur. Ia menunduk dan tubuhnya mulai merinding.
“Aku ingin memasukkan kepalamu ke dalam toilet agar kau bisa meminum air dari sana. Namun ….”
Lucy menutup mata. Refleks, menaikkan bahunya saat Park Yiseo menaikkan tangan. Meraih rambut blondenya. Park Yiseo kembali menyeringai.
“Akan kulakukan itu nanti. Mungkin saat kau mencoba melaporkan apa yang telah kulakukan pada kedua temanmu,” ucap Yiseo. Ia pun mendorong tubuh Lucy. Menjauh dari pintu. Lantas Yiseo menghela napas. Mencengkram gagang pintu dengan kuat lantas menekannya lalu dengan cepat menariknya.
Lucy kembali terbelalak saat melihat kekuatan Park Yiseo yang dengan mudahnya merusak gagang pintu.
“Tidak mungkin,” gumamnya.
Park Yiseo tersenyum miring. “Ingat kata-kataku, Blonde. Aku tidak akan mengampunimu setelah ini,” ucap Yiseo dan dia pun keluar dari tempat itu.
Sementara Lucy terdiam selama beberapa saat. Ia mendesah dan lututnya lemas seketika. Ia pun membungkuk. Menaruh kedua tangan di depan lutut. Tatapan Lucy terarah pada dua temannya yang masih menjerit kesakitan di atas lantai. Lucy sendiri tak tahu harus bagaimana. Entah dia harus bersyukur bukan tangannya yang dipatahkan Yiseo. Lucy Bennett tak bisa membayangkan bagaimana tangannya jika patah. Tak bisa bermain piano seumur hidup. Atau bagaimana jika dahinya yang dibenturkan pada wastafel. Pasti Lucy akan sangat menderita.
“He- help ….”
Gadis blonde itu hanya bisa berdecak kesal. Mengusap dahinya sambil menahan rasa takut yang kini menguasai seisi kepalanya.
***
Sementara itu ada seseorang yang mendesah panjang saat melihat Park Yiseo. Dia pun berlari menghampiri gadis itu dan Yiseo mengernyit.
“Sial!” desis Yiseo.
“Yiseo-ahh …,” panggilnya. Mulutnya terbuka melepaskan desahan. Ketika ia sampai di depan tubuh Yiseo dan secara spontan menaruh kedua tangannya pada lengan Yiseo. “Kau tidak apa-apa?”
Park Yiseo berdecak kesal lalu melepas kedua tangan pria itu. “Kenapa kau di sini, hah?”
Lelaki itu menelan ludahnya. “Aku mendengar jika Lucy dan teman-temannya akan mencelakaimu. Aku mencari-cari keberadaanmu, tapi aku tak bisa menemukanmu. Apa kau baik-baik saja?”
Kening Park Yiseo makin melengkung ke tengah. Ia pun terkekeh sinis.
“Hei …,” gumam Yiseo. “aku Park Yiseo. Dan kau pikir tiga kecoa itu bisa membunuhku?”
Lelaki di depan Yiseo mengernyit. Menatap senyum di wajah Yiseo yang dingin. Sedingin tatapan matanya.
“Tak ada yang bisa melukai diriku. Dan kau tak perlu merepotkan dirimu sendiri dengan mengkhawatirkan aku,” ucapnya. Ia melangkah meninggalkan sang pria yang telah seharian ini uring-uringan memikirkannya.
Choi Yong Do. Dialah lelaki muda itu. Dia sangat panik saat mendengar teriakan seseorang dan sialnya lantai lima ini seperti labirin. Ada banyak lorong dan setiap lorong punya ruangan. Dia telah mengelilingi semua lorong untuk mencari keberadaan Yiseo. Namun, seketika Choi Yong Do menyesali perbuatannya.
“Aish!” Lelaki muda itu meracau kesal. “Dasar menyebalkan,” gumamnya.
***
Setibanya di ruangan stronghold, Park Yiseo langsung mengambil minuman dalam kaleng milik Nick lalu membuang isinya ke wastafel. Lantas Yiseo mencuci kaleng tersebut hingga bersih. Tak boleh ada yang tahu kalau Yiseo memasukkan obat tidur dosis rendah pada Nick. Ini akan gawat.
Gadis itu menoleh ke bawah. Menatap jam tangan yang melingkari pergelangan tangan kanannya. Masih ada dua menit. Park Yiseo menghela napas dalam-dalam lalu mengembuskannya dengan cepat. Ia pun mengambil tempat pada sofa tunggal.
Tak berselang lama, kelopak mata Nick mulai bergerak. Lantas matanya terbuka. Ia pun menggeram.
“s**t!”
Nick bangkit dan duduk. Ia mengucek mata dan tersenyum menatap gadis yang sedang memandangnya dari seberang.
“Kau sudah bangun?” tanya Yiseo.
Nick berdecak kesal sambil mengacak-acak rambutnya. “Maaf. Aku selalu seperti ini saat begadang. Sial.” Nick memanjangkan tangan meraih minuman di depannya.
Dalam hati Park Yiseo mendesah karena dia datang tepat waktu. Gadis itu tersenyum saat Nick membawa tatapan padanya. Pria itu mendesah panjang setelah menegak habis isi minuman.
Tak berselang lama terdengar bunyi bel panjang. Membuat Nick dan Yiseo mengernyit dan perlahan saling memutar wajah ke sumber suara.
“Well,” ucap Nick. Membuat Park Yiseo menatapnya. “sepertinya tidak ada jam pelajaran terakhir.”
“Apa itu artinya kita bisa pulang?” tanya Yiseo.
Nick memanyunkan bibir lalu mengedikkan setengah bahu. “Ya,” kata lelaki itu.
“Kalau begitu aku duluan,” ucap Park Yiseo. Dia bersiap untuk bangkit dan meninggalkan tempat itu.
“Hei, apa kau akan langsung pulang?” tanya Nick. Membuat Park Yiseo menghentikan langkahnya. Ia pun menoleh. “kita bisa hangout.” Lanjut Nick.
Yiseo tersenyum. “Malam ini aku harus ke Canberra untuk makan malam bersama anggota keluarga Kanselir. Nanti saja. Kita masih punya banyak waktu,” ujar Yiseo.
Nick hanya bisa memberengut dan pasrah. “It’s okay. Hati-hati di jalan,” kata Nick.
“Sampai jumpa, Nick. Dan terima kasih untuk hari ini.”
Nick mengerutkan dahi. “Terima kasih untuk?”
Kali ini Park Yiseo memutar tubuh. Memberikan senyum terbaiknya. “Sudah menjadi temanku,” ucapnya.
Nick membalasnya dengan senyuman. “Aku berharap bisa lebih dari sekedar teman biasa.”
Park Yiseo terkekeh. “Someday,” ucapnya.
Nick kembali merengut dan mengedikkan setengah bahunya. “I will make it as soon as possible,” ujar Nick.
Park Yiseo menanggapinya dengan tawa ringan dan dia kembali memutar tubuh. Namun, raut wajahnya berubah seratus delapan puluh derajat.
‘In your wildest dream,’ gumam Yiseo.
_________________