19. Worries

1801 Kata
“Itu dia,” kata Cardi. Lucy menyeringai. Namun, Jase malah mengernyit di sampingnya. “Dari mana dia?” tanya Jase. “Who’s fu’cking care!” desis Cardi. Seketika kedua temannya memalingkan wajah ke arah Cardi. “Easy, Cardi.” Lucy mencoba menenangkan temannya. Gadis blonde itu kembali memutar pandangan. Menatap si gadis berambut hitam sebahu yang baru saja keluar dari lorong. Manik Lucy menyipit. “Apa dia dari stronghold?” gumam Jase. Seketika bibir Lucy mengatup membentuk garis lurus. Tangan yang sebelumnya terlipat santai di depan da’da, kini mengencang pada kedua sisi tubuhnya. Sementara Jase terkekeh di samping Lucy. “Yang benar saja. Gadis bekas oprasi plastik itu bisa masuk ke stronghold?” “Ini pasti perbuatan Nick!” Lucy berucap di antara kedua giginya yang mengatup. Kepalan tangannya semakin mengencang pada kedua sisi tubuhnya. Kaki kiri mengentak dengan kuat mengambil langkah. “Let’s kill that bit’ch!” desis Lucy. Sudut bibir Jase naik membentuk seringaian. Ia memutar pandangan pada Cardi, lantas mendelikkan kepala menunjuk ke arah Lucy yang telah mendahului mereka. Gadis berkulit hitam itu tersenyum. Melangkah mengekori Lucy. Ketiganya kompak mengepalkan tangan. Makin tak sabar ingin menghajar si gadis berambut hitam sebahu yang sudah berani menampakan taringnya di sekolah ini. “Tidak tahu malu!” Lucy terus bergumam. Sementara di lorong sekolah yang begitu sepi, tepatnya di lantai lima. Satu lantai yang dikhususkan bagi para siswa elit. Di mana tak ada satu pun CCTV di sini. Sama sekali tidak ada. Semua ini untuk memberikan privasi pada murid-murid yang tergolong dalam kawanan kaum elit. Park Yiseo berdiri di lorong tersepi itu. Memandang halaman yang membentang dengan luas di bawah sana. Memerhatikan para siswa dan siswi yang sedang asik berinteraksi satu dengan yang lain. Gadis Korea Selatan itu memeluk tubuhnya. Perlahan-lahan sudut bibirnya mulai naik, ketika rungunya menangkap ketukan sepatu pantofel menggema dari ujung lorong. Derap langkah cepat itu membuat iblis batin Yiseo tersenyum. ‘Yes, darling. Come to me,’ batin Yiseo. Wajahnya sedikit bergerak. Lewat sudut matanya, ia menatap tiga orang gadis yang sedang berjalan cepat ke arahnya. Park Yiseo semakin menarik sudut bibirnya ke atas. Sambil memeluk dirinya, ia pun memutar lutut. Berjalan menuju tujuan utamanya. “Hei!” seru Lucy. Hidungnya kembang kempis mengembuskan napas kasar. Mereka semakin mempercepat langkah. Berbelok dan Cardi menyeringai ketika melihat si gadis yang menjadi target mereka memasuki satu-satunya area terlarang untuk orang asing di tempat ini. “Dia pergi ke tempat eksekusi. Gadis malang,” bisik Jase. Lucy terkekeh sarkas. “Ya. Dia akan mati di sini,” ucapnya. Emosi Lucy telah membakar gadis itu dari dalam dirinya. Sehingga yang ada dalam pikirannya hanyalah menyelenyapkan Park Yiseo. Benar-benar lenyap dalam artian ma’ti. “No room for the beast in this area,” gumam Cardi. Mereka bergegas memasuki pintu di mana Park Yiseo menghilang lima detik yang lalu dan insting membunuh telah membara di dalam diri ketiga gadis itu, tanpa tahu sebenarnya siapa yang akan terkena bahaya itu nantinya. *** [–Lima belas menit sebelumnya–] Golden Smart School 13.45 pm _________ Seseorang menjadi sangat gelisah semenjak mendengar pengumuman di pengeras suara jika jam pelajaran ditunda karena rapat para guru dan rikesi. Namun, sebenarnya bukan itu masalah utamanya. Dia tampak cemas. Entahlah. Sesuatu mengganggunya saat melihat kedekatan antara Park Yiseo dengan Nicholas Hamilton. Sekali pun dia tidak tahu sifat Nick sebenarnya, tetapi lelaki itu cukup yakin kalau Nick bukan pria baik-baik. Ia sudah bisa memperhitungkan dari senyum miring yang selalu diperlihatkan Nicholas. Namun, untuk apa juga dia memikirkan semua itu? Mengapa dia harus secemas ini? “s**t!” Dan mengapa dengan mulutnya yang tidak bisa berhenti mengumpat. “What am I thinking about!” desisnya sembari memukul dahi dengan kepalan tangannya. Lelaki itu mengunci kedua tangan di belakang kepala. Mendongak dan membiarkan kakinya bergerak. Mondar-mandir tanpa arah di koridor lantai satu. Lelaki muda itu dilanda perasaan cemas saat melihat Park Yiseo mengikuti Nick. Mereka masuk ke lift yang hanya boleh digunakan oleh para siswa eksekutif. Hanya mereka yang memiliki akses khusus. Bahkan para guru pun tak bisa memakai lift itu. Entah apa maksud Nick membawa Yiseo ke sana. Lelaki itu hanya berharap jika Nick tak akan melukai Yiseo. “Kau pikir apa yang akan dilakukan Nick pada gadis itu, hah?” Langkah Choi Yong Do terhenti saat mendengar suara itu. Ia pun langsung memutar pandangan. Namun, sejurus kemudian Choi Yong Do berlagak tenang. Menyandarkan punggungnya ke tiang dekat tangga lalu melipat kedua tangan di depan da’da. “Entahlah. Sudah pasti Nick akan menggunakan keahliannya.” “Hahaha. Lagi pula ruangan itu sudah seperti hotel bagi Nick.” “Ya. Kita sampai disuruh untuk menjaga situasi di bawah dan tak boleh ada yang ke atas tanpa seizin Nick.” “Fu’cking slut Nicky!” Seketika bola mata Choi Yong Do melebar saat mendengar perkataan Justin dan teman-temannya yang baru saja lewat. “Sialan!” desis Yong Do. Lelaki itu memutar pandangan. Menatap punggung Justin dan juga beberapa siswa lelaki yang kini sedang tergelak. Membuat lelucon soal Nick dan Yiseo. Entah mengapa dia menjadi begitu kesal mendengar lelucon itu. Serasa ada sesuatu yang menggedor-gedor dirinya dari dalam. Menyuruh lelaki Choi itu untuk segera menyusul mereka. Dan dengan bodohnya dia membiarkan rasa penasaran itu menang. Bahkan sangat bodoh saat dia tahu jika dia harus menggunakan tangga darurat untuk bisa ke lantai lima. Choi Yong Do mendongk. Menatap anak tangga yang melingkar hingga ke lantai lima. “Are you mother fu’cka!” Lelaki itu kembali menunduk. Menarik napas dalam-dalam dan menimbang kembali tindakannya. ‘Apakah aku harus melakukan ini? Untuk apa? Mengapa aku harus selalu terlibat dengan gadis itu? Ada apa denganku, hah? Aku membencinya. Aku Choi Yong Do dan gadis bernama Park Yiseo itu sudah menginjak harga diriku habis-habisan. Untuk apa aku menghawatirkannya? Lagi pula dia sendiri yang mau ikut dengan pria itu.’ “Ya!” tegas Yong Do lengkap dengan anggukkan kepala. Napasnya berembus kasar ketika rahangnya mengencang sembari mengepalkan tangan pada kedua sisi tubuhnya. Ia mengentakkan kaki dan keluar dari tempat itu, akan tetapi saat dia telah berhasil melewati pintu darurat, Choi Yong Do merasakan sesuatu yang meremas da’danya dengan kuat. Choi Yong Do menggeram sementara giginya mengencang membuat lekuk di rahangnya makin kentara. “s**t!” makinya. Lelaki muda Choi itu langsung memutar lututnya dan sambil mengepalkan kedua tangan, dia pun berlari menaiki satu per satu anak tangga. “Dasar wanita sialan. Wanita pembawa masalah. Wanita gila. Dasar wanita sinting. Wanita angkuh. Tidak bermoral. Sombong. Tamak. Gila!” Sepanjang perjalanannya menuju lantai lima, Choi Yong Do tidak berhenti mengumpat Park Yiseo dengan mulutnya. “Arrrgggghhh! Fu’ck!” Sekali lagi memaki. Choi Yong Do pun mengendus. Mempercepat langkah kakinya dan dia mendesah saat tiba di lantai lima. Lelaki itu membungkuk sambil menaruh kedua tangan di depan lutut. Mulutnya megap-megap melepaskan napas tak beraturan dari mulutnya. Da’da Yong Do terasa sedikit sesak. Entah kapan terakhir kali dia berlari di atas treadmill. Choi Yong Do memerlukan sedikit waktu. Ia menelan ludah lantas mengusap da’danya. “Damn it!” umpatnya berulang kali. Setelah merasa cukup dan setelah membetulkan napasnya, Choi Yong Do pun membawa tubuhnya kembali berdiri tegap. Sekali lagi mengembuskan napas panjang dari mulut, akhirnya Choi Yong Do berhasil mengembalikan napasnya pada fungsi normal. Ia pun memanjangkan tangan menekan gagang pintu. Choi Yong Do memanjangkan langkah mencari-cari letak keberadaan Park Yiseo. “That exactly what I mean.” Choi Yong Do menyembunyikan tubuhnya di antara pilar bangunan saat mendengar suara seseorang. Kemudian muncul presensi tiga orang gadis yang baru saja keluar dari dalam lift. “Tapi kita harus membuat rencana yang bagus. I mean, siapa yang akan mengeluarkan mayatnya?” Seketika bola mata Choi Yong Do melebar. Jantungnya bertalu dengan kencang saat langkah kaki tiga orang gadis itu semakin mendekat. “s**t!” gumam Yong Do. Akhirnya ia merayap. Menghampiri pintu kecil dekat pilar yang menjadi tempat sandarannya. Pria itu sempat ragu untuk menekan gagang pintu, tetapi dia tidak punya pilihan lain. Akhirnya Choi Yong Do melakukannya. Dan dia berhasil masuk ke dalam ruangan itu. “Oh, thank God.” Choi Yong Do mengusap da’danya. Dia berada dalam ruangan yang tak lebih besar dari dua kali tiga meter dan di sekelilingnya penuh dengan kain pel dan alat sejenisnya. Choi Yong Do menahan napasnya di sana. Mencoba untuk tidak membuat suara, atau dia akan mengacaukan dirinya sendiri. Bisa gawat kalau sampai ada tahu jika siswa yang bukan murid eksekutif berada di lantai lima. “Kau pikir aku sudah senekat ini dan aku tidak membuat rencana matang? Hei, Jase. Perlukah kuingatkan sudah berapa banyak gadis yang kubunuh?” Seketika Choi Yong Do mengernyit saat mendengar suara yang sepertinya familier di telinganya. “Ya, ya. Kau memang jenius dan kadang mengerikan saat ingin membunuh seseorang, tapi aku tidak yakin kalau gadis itu tidak mengetahui rencana kita. I mean, lihat senyumnya. Dia terus menyeringai dan merendahkan kita.” “Oh … come on! Gadis itu hanya menutupi sekelumit perasaan takutnya dengan menyeringai. Dia pikir kita akan melepaskannya apalagi sekarang dia punya Nick,” ujar Lucy. “Ya. Kalau begitu. Ayo kit acari dia,” kata jase. “Itu dia,” kata Cardi. Ia menangkap visual Park Yiseo. “Dari mana dia?” tanya Jase. “Who’s fu’cking care!” desis Cardi. “Apa dia dari stronghold?” gumam Jase. “Yang benar saja. Gadis bekas oprasi plastik itu bisa masuk ke stronghold?” “Ini pasti perbuatan Nick! Let’s kill that bit’ch!” Choi Yong Do mengembuskan napas yang sedari tadi telah ia tahan. Seketika matanya melebar. “Ya Tuhan, apa yang baru saja mereka bicarakan?” gumam Yong Do. Dia butuh beberapa detik untuk menelaah maksud perkataan Lucy dan teman-temannya. Sejurus kemudian wajah Yong Do berubah pucat. “Apa kata mereka? Membunuh? Siapa yang akan mereka bunuh?” Choi Yong Do menoleh ke belakang punggungnya. Lelaki muda itu menelan ludah untuk membasahi kerongkongannya yang terasa kering. “Ini tidak boleh terjadi. Tidak akan kubiarkan,” ucap Yong Do. Sambil menarik napasnya dalam-dalam, Choi Yong Do pun memberanikan dirinya untuk menekan gagang pintu. Perlu waktu untuk mengecek keadaan sekeliling dan di sini benar-benar sangat sepi. “Fyuuuhhh …,” desah Yong Do dan ia mengusap da’danya. Setelah memastikan keadaan di sekelilingnya cukup aman, Choi Yong Do pun memberanikan diri untuk keluar dari dalam tempat itu. Dia berdecak kesal saat tak mendapatkan petunjuk tentang di mana keberadaan para gadis itu. Beberapa pemikiran mulai berkelabat dan bersarang di dalam kepalanya. Membuat jantung Yong Do bertalu dengan kencang. “Tidak, tidak. Jangan sampai mereka melakukannya,” gumam Yong Do. Dia terus berjalan. Menyusuri lorong sepanjang lantai lima sambil menerka-nerka di mana keberadaan Park Yiseo dan berharap jika gadis itu bisa selamat. Suasana menjadi begitu hening sampai suara teriakan seorang gadis terdengar dari ujung lorong. “YISEO!” desis Yong Do. Kakinya memanjang dan berlari menuju lorong sumber suara. ________________
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN