Bab. 4.

1653 Kata
“Beginilah rasanya, punya suami dan anak kaya, tinggal foto dan bilang beli, pasti di bolehin. Jangan sampai menantuku itu berubah pintar, bisa-bisa aku kalah gaya dengan dia. Apalagi wajahnya itu sangat cantik, tanpa perawatan saja wajahnya mulus dan terlihat halus. Ah, sialan, aku semakin benci padanya.” Setelah bosan dengan handphonenya, Nyonya Inggrid keluar kamar. Melihat rumahnya yang sepi, membuat Nyonya Inggrid mengeryit. Langkah kakinya mulai masuk ke dapur, mencari menantunya. Tetapi sesampainya di dapur, tidak ada siapapun. Terpaksa Nyonya Inggrid memanggil Sri, salah satu ART di rumahnya. “Sri, tolong buatkan aku teh hijau ya!” “Iya Nyah!” Nyonya Inggrid mendudukkan bobotnya pada sofa di ruang tengah. Sambil menonton siaran tv, yang tidak ada satu pun acara yang menarik. “Biasa pergi, kalau nggak pergi sehari terasa bosan. Mana sepi sekali rumah ini,” ucap Nyonya Inggrid sambil memandang sekeliling rumahnya. Tak lama berselang, teh pesanan Nyonya Inggrid datang, “Ini Nyah, tehnya!” “Mmm ...” Nyonya Inggrid hanya memberi gumaman, setelah ART berlalu, Nyonya Inggrid mulai menyesap tehnya. Tetapi rasa penasaran menggelitik wanita paruh baya itu. Tentang kemana perginya menantunya yang tak juga terlihat batang hidungnya. Nyonya Inggrid berjalan ke samping rumah, dimana ada kolam renang di sana, tetapi Bunga tidak ada di sana. Lalu wanita itu melanjutkan langkah ke taman belakang, juga tidak ada. “Kemana perginya Bunga? Tumben sekali dia tidak ada?” tanya Nyonya Inggrid sambil berkacak pinggang. Pandangan matanya tertuju pada jam dinding, waktu baru menunjukkan pukul sebelas siang, harusnya tugas Bunga masak buat makan siang, tetapi Bunga malah tidak terlihat di manapun. “Coba aku tanya Sri, siapa tahu perempuan itu tahu kemana perginya Bunga.” Setelah sampai di dapur, Nyonya Inggrid mulai bertanya kemana perginya Bunga. “Sri, apa kau tahu kemana perginya Bunga?” “Dia sedang belanja ke pasar dengan Bu Yuli Nyah. Semua bahan makanan habis, hanya ada daging dan telur saja. Makanya tadi saya sempat dengar, Nona menelfon Tuan Muda minta ijin belanja.” Sri tidak berani menatap wajah Nyonya besarnya itu, karena dari nada bicara saja, Sri tahu jika Nyoya-nya sedang marah. Tanpa mengucapkan terimakasih, Nyonya Inggrid mulai meninggalkan Sri yang berdiri ketakutan. “Kurang ajar si Bunga itu, aku kalah cepat mencari perhatian Reski.” Satu jam berlalu dari penantian Nyonya Inggrid, akhirnya Bunga pulang dari supermarket. Di kedua tangan Bunga terdapat beberapa kantong plastik yang berisi belanjaan. Di belakang Bunga, Bi Yuli juga melakukan hal sama. “Dari mana kamu sampai jam segini baru pulang?” tanya Nyinya Inggrid di ruang makan memasang wajah garang. Bunga menatap ibu mertuanya itu sekilas, lalu melanjutkan langkah melewati ibu mertuanya, “Aku habis belanja untuk keperluan sehari-hari Bu. Sebelum pergi, aku sudah meminta ijin kepada Mas Reski.” “Biarkan Bi Siti yang menata belanjaannya, kamu buat makan siang secepatnya. Aku nggak mau kalau makan siangnya terlambat,” ucap Nyonya Inggrid dengan nada ketus. Bunga hanya mengangguk, lalu meletakkan belanjaan di meja dapur. Sedangkan Nyonya Inggrid menghentakkan kakinya meninggalkan dapur. “Ada orang belanja bukannya seneng nggak di mintai duwit, ini malah marah, dasar Nyonya besar aneh,” gerutu Bi Yuli. “Sudahlah Bi, bukankah memang watak ibu mertuaku seperti itu?” tanya Bunga dengan senyum manis. Bunga mengambil bahan makanan untuk makan siang. Menu yang akan di buat Bunga hanya menu sederhana sup tahu dan pakcoy lalu menggoreng ikan nila dengan sambal matah. “Nona, siapin tahu dan bumbu lainnya saja, biar Bibi yang membersihkan ikan ini. Mumpung Nyonya nggak ada!” Bunga tak ingin mendebat Bi Yuli, dengan cepat Bunga menggeser tubuhnya, lalu menyiapkan bahan lainnya dan juga bumbu. Selang tiga puluh menit hidangan sudah siap, tinggal menata di meja makan. Setelah siap, Bunga memanggil ibu mertuanya untuk makan siang. Wanita paruh baya itu dengan langkah angkuh menuju meja makan. Saat Bunga akan beranjak, Nyonya Inggrid memanggil Bunga dengan raut kesal seperti biasanya. “Bunga, mau kemana kamu?” “Aku ingin mandi dulu Bu, gerah sekali, aku juga takut kalau aku menganggu ibu makan,” jawab Bunga sambil menatap Nyonya Inggrid. “Ya sudah sana. Jangan lama-lama, aku nggak mau makan siang sendiri. Jadi, jangan pancing kemarahanku!” Bunga mengangguk patuh, lalu berjalan cepat menuju lantai atas, dimana kamarnya berada. Bunga dengan cepat membersihkan diri, lalu berganti baju. Hanya waktu lima belas menit, Bunga telah siap, dengan dress rumahan. Rambutnya ia ikat dan tanpa menggunakan makeup seperti biasa. Keduanya lantas makan siang bersama, tanpa ada pembicaraan. Bunga terlalu lelah untuk bersuara. Bunga lebih baik menghindari pembicaraan dari ibu mertuanya. Daripada harus mendengar setiap kata pedas yang terucap dari mulut wanita paruh baya ini. * Sore harinya, Reski pulang dari kantor sekitar pukul lima sore. Seperti janjinya yang ingin pulang cepat, lalu menghabiskan waktu degan istri tercinta. Bunga menyambut hangat suaminya dengan senyum manis di bibirnya. Sedangkan di tempat tak jauh dari Bunga dan Rezki berdiri, Nyonya Inggrid menatap kesal ke arah keduanya. Wanita paruh baya itu sampai mengikuti langkah keduanya hingga Bunga dan Rezki hilang di balik pintu kamarnya. “Wangi sekali, apa kamu sudah mandi?” tahya Reski sambil memeluk Bunga dari belakang. “Mmmm ....” Hanya gumaman yang keluar dari mulut Bunga. Bunga terlalu menikmati rengkuhan suaminya. Entah sejak kapan terakhir kali Reski melakukan ini setiap pulang kerja. Bunga pun tak mengingatnya, karena sudah sangat lama, tidak ada interaksi manis atau pun kebutuhan batin yang sering pasangan suami istri itu lakukan. Bunga menarik kembali pikirannya, dari kisahnya yang lalu. Lalu bertanya kepada Reski apakah suaminya membutuhkan sesuatu. “Apa kau mau kopi? Atau mandi dulu, biar aku siapkan air hangat dan handuknya.” “Tidak. Aku tidak perlu itu, sekarang aku ingin kamu seperti ini saja. Aku merindukanmu Sayang, maafkan aku, sudah lama aku tidak memperdulikan mu,” jawab Reski penuh sesal. Bunga hanya mengulum senyum sambil mengelus punggung Reski. Tidak ada yang bisa keluar dari mulut Bunga. Karena Bunga tidak pernah menuntut apapun kecuali cinta. Selagi Reski berbuat baik padanya, masih menganggap sebagai seorang istri, Bunga pun tak masalah jika seluruh waktu Reski habis untuk bekerja. Meski tak jarang, Bunga sangat merindukan suaminya itu. “Aku sangat merindukanmu, tetapi aku tidak bisa meminta seluruh waktumu kan?” tanya Bunga lirih. Reski melepaskan rengkuhannya dari tubuh langsing sang istri. Reski menatap lekat wajah bunga yang lebih tirus dari sebelumnya. “Apa kau tertekan tinggal di rumah ini?” tanya Reski penasaran ingin segera tahu jawaban dari Bunga. “A-apa ma-maksudmu?” tanya Bunga balik bertanya. “Lihatlah kau lebih kurus dari beberapa bulan yang lalu. Kalau kau merasa tidak nyaman aku akan membeli rumah untukmu,” jawab Reski. “Tidak. Aku nyaman di sini, hanya saja aku mulai takut dengan omongan ibu waktu itu,” ucap Bunga menunduk sedih. “Ayo kita buktikan ke mama kalau aku dan kamu baik-baik saja!” Reski mulai mencium bibir Bunga dengan liar, ludah Reski tidak cukup hanya mencecap bibir istrinya. Lama kelamaan ciuman Reski menuntut, Reski menekan tengkuk Bunga agar ciuman mereka lebih dalam. Sedangkan Bunga merasakan debaran jantung yang menggila. Aliran darahnya mulai terasa panas, pikirannya melayang seolah terbang ke awan, meninggalkan segala beban dan pekerjaan rumah yang setiap hari seolah mencekik dirinya. Rasanya Bunga tidak ingin kembali ke dunia nyata, merasakan melayang seperti sekarang membuat Bunga nyaman. Hingga saat tangan Reski mulai menari di kedua bukit indahnya, hingga desahan lolos dari mulut Bunga membuat Reski semakin liar dan menjadi. “Mmmm ....” Entah bagaimana awalnya busana yang mereka kenakan sudah teronggok tak berdaya di lantai kamar. Reski yang sudah lama tidak memberikan kepuasan batin kepada Bunga semakin merasa panas, kala melihat tubuh kurus istrinya ternyata masih terlihat indah saat tak menggunakan sehelai benang pun. Reski mel*mat kasar bibir Bunga yang berwarna pink, lalu c**man itu pindah pada belakang telinga dan leher Bunga. D*s*han terus keluar dari bibir Bunga, bahkan Bunga sampai memejamkan mata, bersamaan seluruh tubuhnya yang mulai gelisah dan terasa menggigil. C**man Reski mulai turun ke perut rata sang istri, lalu Reski membisikkan sesuatu di depan perut istrinya. “Semoga yang menjadi impian kita menjadi nyata dan hidup dalam rahimmu.” Bunga membuka mata, lalu tersenyum hangat, wajahnya nampak bersemu merah saat suaminya berbicara di depan perut ratanya. Reski mulai turun dan bermain di surga nirwana Bunga yang ternyata sudah basah. Membuat Reski semakin semangat memberikan sentuhan dan kecupan hangat di dalam sana. Hanya sebentar Reski bermain di area itu. Membuat Bunga seakan merasa kehilangan. Lalu Reski mulai memposisikan dirinya untuk menghujam milik Bunga yang telah lama tidak ia jamah. Bunga meringis kesakitan saat beda pusaka milik Reski menerobos masuk ke dalam dirinya. “Mas Reski ....” Reski menghentikan aktivitasnya untuk untuk beberapa detik. Milik istrinya ini masih sangat sempit, dan mer*m*s kuat mil*knya membuat Reski bergetar menahan gejolak yang kian tak tertahankan. “Milikmu sangat masih sangat s*mp*t,” bisik Reski tepat di telinga Bunga. “Aku lanjutkan ya,” ucap Reski lagi. Bunga hanya mengangguk pasrah di bawah Kungkungan sang suami. Reski mulai bergerak lincah menciptakan keindahan dan kebahagiaan yang tak terkira untuk Bunga. Sebagai seorang istri Bunga sempat takut jika suaminya main di luar karena bosan dengan dirinya. Tetapi pembicaraan ayah mertuanya beberapa saat lalu membuat Bunga lega, jika suaminya tak akan mengkhianatinya. Suaminya hanya menyelesaikan masalah kantor yang katanya sedang kurang baik. Bunga mulai mencengkram kuat punggung Reski saat dirinya merasakan sesuatu akan meledak. “A-aku akan sam-sampai Mas,” ucap Bunga terbata. “Ayo bersama Sayang,” jawab Reski dengan membungkam mulut istrinya dengan c*uman dan remasan lembut pada dua puncak kenikmatan milik Bunga. Keduanya mend*s*h secara bersamaan, hingga Reski mendekap erat tubuh Bunga. “Terima kasih sayang!” Sedangkan di ruang tengah, Nyonya Inggrid merasa kesal, karena putranya pulang lebih awal. Wanita paruh baya itu tidak bisa menyuruh menantunya untuk ini dan itu. “Kurang ajar, kalau Reski semakin dekat dengan wanita kampung itu, rencanaku bakal gagal total ini. Aku harus mencari cara agar Reski tak peduli lagi dengan wanita kampung itu,” ucap Nyonya Inggrid dengan wajah merah padam menahan marah.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN