Sesampainya di kamar, Bunga membekap mulutnya, Bunga mulai terisak, untungnya, suaminya belum bangun, lalu Bunga sedikit tergesa menuju kamar mandi. Menutup rapat pintu kamar mandi dan menguncinya.
Tubuh Bunga luruh jatuh ke lantai, kepalanya ia sembunyikan pada selah-selah kakinya yang ia tekuk. Karena Reski masih ada di kamar, Bunga sebisa mungkin meredam tangisnya.
“Sampai kapan aku bisa bertahan dengan kelakuan ibu mertuaku ya Allah, untungnya Mas Reski masih sangat mempercayaiku, bagaimana jika kelak suamiku itu terhasut oleh ibunya, dan meninggalkan aku?”
Bunga bertanya dalam isak tangisnya, setiap tanya yang keluar dari mulutnya, Bunga tidak tahu jawabannya. Yang Bunga tahu, hanya bagaimana caranya ia menjalani setiap hari yang penuh tekanan ini dengan hati kuat.
Setelah meredakan tangisnya, Bunga bergegas mandi, karena waktu semakin beranjak siang, sedangkan suaminya belum ia bangunkan. Hanya sepuluh menit, Bunga sudah keluar dengan berbalut bathrobe, dengan gerakan pelan, tangan Bunga mengelus pelan pipi Reski.
Reski menyipitkan pandangannya, karena pipinya terasa dingin karena sentuhan Bunga.
“Maaf aku mengganggumu, tapi hari makin siang, kau harus bekerja bukan?”
“Iya,” jawab Reski dengan suara serak khas orang bangun tidur.
Saat Bunga ingin beranjak mengganti baju, tangan Bunga di tarik Reski hingga perempuan cantik itu jatuh ke d**a bidang Reski.
“Sudah siang Mas, jangan begini? Kalau kita telat turun ibu akan marah padaku,” ucap Bunga sambil menatap manik hitam sang suami.
“Biarkan sebentar saja aku memelukmu, aku sangat merindukanmu. Mulai malam ini aku akan pulang cepat, seluruh pekerjaan yang belum selesai akan aku bawa pulang. Aku sudah lama tidak berolahraga denganmu,” ucap Reski tepat di telinga Bunga.
Bunga merasa geli karena ucapan suaminya, wajahnya yang putih langsung bersemu merah, Reski semakin memperhatikan wajah Bunga, lalu mencium kedua mata Bunga dan kedua pipi Bunga. Setelah itu, Reski melepaskan pelukannya, dan mulai duduk.
“Bagaimana ini Bunga?”
Pertanyaan ambigu Reski membuat langkah Bunga kembali terhenti.
“Ada apa Mas?” tanya Bunga ingin tahu apa yang di maksud sang suami.
“Ada yang tegak berdiri tapi bukan tugu Monas!”
Bunga tertawa lalu melanjutkan langkah, “Siapa suruh kamu malah memelukku?”
“Masa meluk istri sendiri nggak boleh?”
“Bukan nggak boleh Mas, tapi kalau malah bikin tegang kan berabe!”
Bunga berganti dengan cepat, sedangkan Reski mengacak rambutnya dengan kasar. Setelah itu Reski mulai masuk ke kamar mandi untuk mandi. Bunga mengambilkan ganti dah segala keperluan Reski untuk ke kantor, sebelum Bunga kembali turun untuk menyiapkan sarapan.
“Mas, aku sudah siapkan keperluanmu, aku akan turun untuk menyiapkan sarapan,” teriak Bunga dari depan pintu kamar mandi.
“Iya Sayang,” jawab Reski dari dalam kamar mandi.
Setelah mendapat jawaban dari suaminya, Bunga mulai turun. Setelah kakinya menginjak anak tangga yang terakhir, Bunga kembali bertemu dengan ibu mertuanya. Bunga menunduk, sedangkan Nyonya Inggrid menatap sinis ke arah menantunya itu.
“Lama amat, kamu sengaja ya berlama-lama di kamar, buat nggak di suruh-suruh sama aku?”
“Nggak Bu, saya kan harus menyiapkan keperluan Mas Reski dahulu.”
“Awas saja, kalau kamu merasuki pikiran anak saya, untuk membenci saya!”
Bunga hanya menggeleng, dan beristighfar dalam hati, ‘Astagfirullah.’
Nyonya Inggrid meninggalkan Bunga yang masih diam menunduk di dekat tangga. Setelah keberadaan ibu mertuanya tak lagi terlihat, Bunga melanjutkan langkah menuju dapur untuk menyiapkan sarapan di bantu asisten rumah tangganya.
Bi Yuli sedang mengelap piring dan sendok serta garpu yang akan di gunakan untuk sarapan. Bahkan kedatangan Bunga saja, sampai tidak di ketahui oleh wanita paruh baya itu.
“Bibi, mikirin apa kok serius banget?” tanya Bunga saat sudah mengambil alih piring yang sudah di bersihkan.
“Eh, Non Bunga, nggak ada Non,” jawab Bi Yuli berkilah.
Yang sebenarnya, wanita paruh baya itu ingin melaporkan setiap perlakuan buruk Nyonya besarnya kepada Tuan Mudanya. Tetapi Bi Yuli belum ada keberanian.
Bi Yuli ingin memberikan sedikit kebahagiaan untuk wanita muda yang sangat baik hati itu. Agar tidak selamanya hidup Nona-nya di bawah tekanan.
Lamunan dan angan Bi Yuli sirna kala, bunga bertanya tentang apa lagi yang harus ia bawa ke meja makan.
“Bi, ada lagi nggak yang harus saya bantu?”
“Tidak ada Non, tinggal bikin s**u, itu nanti Bibi saja. Lebih baik Nona sekarang ke meja makan. Nanti malah kena omel Nyonya besar lagi.
“Iya Bi!”
Bunga kembali ke meja makan, di sana sudah ada semua orang termasuk suaminya. Bunga mulai mengambilkan nasi goreng dan telur mata sapi untuk Reski. Lalu menuangkan minum sebelum akhirnya Bunga mengambil nasi goreng untuknya sendiri.
Nyonya Inggrid sesekali melirik sinis ke arah menantunya itu. Entah apa yang ada di pikiran wanita paruh baya yang masih terlihat muda itu. Tetapi saat tak sengaja Bunga bersitatap, mulut mama mertuanya itu seolah komat Kamit tak jelas.
Tuan Hardi memecah keheningan dengan mulai obrolan untuk Reski agar tak terlalu mengabaikan istrinya.
“Reski, coba mulai hari ini jangan terlalu bekerja keras di perusahaan. Kamu juga harus ada waktu untuk dirimu dan istrimu. Pernikahan kalian sudah lama, apa kalian tidak merindukan sosok bayi?”
Pertanyaan Tuan Hardi membuat Reski dan Bunga bungkam. Reski yang tahu gelagat istrinya yang mulai tidak nyaman, hanya bisa memberi ketenangan lewat genggaman tangannya di bawah meja.
Bunga menatap suaminya itu dengan muka bersalah. Reski hanya mengangguk mengisyaratkan bahwa semua akan baik-baik saja.
“Aku juga berpikir begitu Pa, apalagi sekarang perusahaan perkembangannya makin pesat. Aku tidak akan menghabiskan waktuku di kantor seperti sebelumnya Pa. Kalau soal anak, aku dan Bunga sudah pasrah dengan takdir Tuhan Pa. Meskipun kami berdua sangat ingin, jika Tuhan belum mempercayai kita untuk mengurus anak, lalu kami bisa apa?”
Tuan Hardi hanya mengangguk, seolah membenarkan jawaban sang Putra, sedangkan adiknya Reski hanya diam ikut menyimak apa saja yang menjadi obrolan.
“Bunga, kamu juga jangan terlalu capek. Di rumah ini ada 3 ART. Yang khusus masak Bi Yuli, kamu jangan terlalu fokus pada urusan rumah. Sesekali pergilah kemana kau suka, biar mendapat teman. Syukur kalau kamu mau buka usaha sendiri.”
Tuan Hardi begitu adil, dia sangat menyayangi menantunya yang tidak banyak tingkah meski Bunga menjadi menantu orang berada.
“Bunga belum berani mengambil keputusan sebesar itu Pa. Kalau untuk jalan dan mencari teman mungkin suatu saat akan bunga lakukan,” jawab Bunga sambil senyum.
Sedangkan Nyonya Inggrid yang sejak tadi hanya diam dan menikmati sarapan, mulai membuka suara.
“Kalau nggak hamil-hamil ya cari bibit baru! Gitu aja kok repot. Kita ini nggak kekurangan uang, masa nggak ada penerus di kelurga kita?”
Bunga hanya bisa mendengar dan mencoba menelan nasi yang sudah terlanjur dia masukkan ke dalam mulutnya. Mendengar omongan pedas ibu mertuanya, membuat mood Bunga hancur.
“Mama ini bicara apa? Mama nggak mikir apa kalau ucapan Mama itu bisa menyakiti Bunga dan bahkan menyakiti perasaanku?”
Pertanyaan dari Reski membuat Nyonya Inggrid melotot tak percaya. Nyonya Inggrid pikir, Reski tak akan menjawab atau membantah ucapannya, ternyata di luar dugaan Reski menunjukkan kemarahannya. Membuat wanita paruh baya itu memutar otak agar Reski tak membencinya.