Bab. 1.
"Bunga, tolong kamu masak semua ini! Aku sedang buru-buru mau arisan!"
Nyonya Inggrid memberi perintah kepada sang menantu. Ibu mertua Bunga selalu saja pergi untuk bersenang-senang. Sedangkan pekerjaan rumah tak pernah ia sentuh setelah ia mempunyai menantu.
"Iya Bu!" Hanya dua kata yang mampu terucap dari bibir Bunga. Setiap hari akan ada kejadian yang sama. Bunga hanya bisa menuruti semuanya.
Jika Bunga sudah merasa lelahnya tak tertahankan, Bunga akan menangis sendirian sambil mandi di kamar mandi. Entah apa yang sebenarnya menimpa hidup Bunga? Gadis cantik berkulit kuning Langsat dengan tinggi 155 cm itu sangat menderita tinggal di rumah mewah sejak ia menikah.
Siapa sangka pilihannya menikah muda di usia 23 tahun malah menjadikan dirinya sengsara, yang tiada tara. Suaminya yang bernama Reski tidak pernah tahu, saat istrinya mengalami kesulitan.
Bunga gadis yang sangat baik, hanya saja dia lahir dari keluarga biasa saja. Bahkan dia sudah tidak memiliki ibu sejak dia berusia 18 tahun. Bunga mengenal Reski sejak SMA. Mereka berdua menjalin cinta sampai mereka lulus sekolah hingga Reski memutuskan menikahi Bunga sejak 2 tahun lalu.
Terkadang saat Bunga merasa lelah dengan semua keadaan hidupnya, dia akan menangis sejadi-jadinya. Sendirian meratapi kisahnya yang menyedihkan. Lalu muncul pertanyaan yang selama ini bersarang di kepalanya.
Apakah aku hanya terlahir dari orang biasa, sehingga mereka mengabaikan ku dan memanfaatkan ku? Ataukah mereka memang sengaja menikahkan ku dengan putranya untuk mencari pembantu bukan menantu?
Sayangnya sampai bertahun pernikahannya Bunga juga tak mendapatkan jawabannya. Bahkan pernikahan yang sudah lumayan lama itu juga belum mendapatkan momongan. Jika saja ada keberanian untuk mengakhiri penderitaannya, mungkin Bunga tak akan menemui nasib seperti ini.
Mendapati menantunya hanya diam saja dengan pandangan kosong, Nyonya Inggrid mulai menegurnya dengan sedikit bentakan.
"Heyy, sudah puaskah kau melamun? Di suruh beberes dan masak malah bengong saja!"
Bunga yang sedikit kaget, hanya menghembuskan nafas kasar, lalu kembali meneruskan pekerjaannya tanpa harus menjawab semua ocehan sang mertua.
Satu jam berlalu, semua yang di kerjakan Bunga telah beres. Bunga lalu meninggalkan kamar mandi menuju kamarnya. Setelah sampai kamarnya, Bunga bersandar pada pintu, menarik nafas dalam lalu melangkah gontai menuju kamar mandi.
"Ya Allah berikan aku kesabaran yang lebih lagi, untuk menjalani setiap hari yang kau beri."
Air yang jatuh dari shower berjatuhan membasahi badan Bunga, yang nampak pasrah diam menikmati setiap tetes air yang mengalir. Setelah selesai, Bunga mulai memakai handuk dan keluar dari kamar mandi.
Langkahnya menuju ruang ganti, mengambil dress berwarna maroon bermotif bunga. Lalu duduk di depan meja rias. Mengamati wajahnya yang ayu dari balik cermin.
"Ayo kita lihat, sampai kapan kamu mampu bertahan? Apakah kau akan selalu menerima perlakuan buruk dari seseorang di rumah ini?" tanya Bunga lirih.
Setelah selesai, Bunga meraih gawainya, melihat pesan yang di kirim suaminya untuknya.
'Sedang apa? Apakah kau sudah makan siang?'
'Aku habis mandi, ini baru mau turun untuk makan siang.'
Setelah membalas pesan suaminya, Bunga lalu turun ke lantai bawah untuk menyiapkan makan siang. Bunga agak lega, karena siang ini mertuanya tidak di rumah.
Setidaknya siang ini dirinya tidak akan mendengarkan ceramah mulut pedas sang ibu mertua. Bunga dengan cekatan di bantu asisten rumah tangga.
"Nona duduk saja, mumpung Nyonya besar tidak ada, biar Bibi saja yang menyiapkan semuanya!" titah Bi Yuli.
"Tapi Bi, nanti ada yang lapor kalau aku hanya tumpang kaki," jawab Bunga.
"Nggak ada Non. Semua sedang tidak di rumah, hanya ada Tuan muda kan? Ayo duduk Non!"
Akhirnya, Bunga menuruti ucapan Bu Yuli, untuk duduk di meja makan. Bunga makan dengan tenang di temani adik iparnya. Setelah selesai, Bunga ikut merapikan meja makan lalu beranjak lagi ke kamarnya.
"Mumpung ada waktu aku harus istirahat, aku nggak mau kalau sampai sakit. Tidak ada juga yang akan peduli kepadaku, maka aku harus bisa menjaga diriku sendiri," gumam Bunga pelan.
Bunga dengan cepat memejamkan mata, karena rasa lelah seharian melakukan pekerjaan rumah, Bunga terlelap.
*
Sedangkan di sebuah restoran ternama, seorang wanita paruh baya sedang berpesta dengan beberapa temannya. Riuh suara mereka membuat sedikit gaduh di restoran itu. Nyonya Inggrid sedang bercengkrama dengan sahabatnya.
"Kamu belum juga dapat kabar bahagia Ngrid?" tanya salah satu sahabatnya.
"Belum. Nanti setelah pulang dari sini akan aku beri pelajaran menantuku itu, agar dia mau mengandung cucuku," jawab Nyonya Inggrid geram.
"Janganlah begitu, kelak saat kamu tua tak bisa apa-apa, dia yang akan merawatmu. Jangan terlalu keras terhadap menantumu!" Sahabat yang satunya mengngiatkan kelakuan Nyonya Ingrid.
"Perduli setan dengan aku tua nanti. Suami dan Putraku kaya raya, masa ngurus aku saja nggak bisa. Sekarang itu jaman uang dan uang," jawab Nyonya Inggrid tak mau kalah.
"Terserah kau saja. Akan terasa percuma kalau aku ngomong sama kamu," jawab sahabatnya yang bernama Kumala.
Sedangkan Nyonya Kania hanya tersenyum melihat kedua sahabatnya malah adu argumen.
"Sudah, hentikan! Kenapa kalian malah saling adu pendapat. Aku tadi hanya bertanya tentang cucu."
"Ya, mau gimana lagi, Bunga itu padahal sehat, dia cantik juga, menikah dengan Putraku juga sudah lama. Tapi nggak tahu, kenapa dia nggak hamil-hamil," keluh Nyonya Inggrid.
"Kalau aku jadi kamu, aku akan mengatakan kepada putraku untuk menikah lagi. Untuk apa nikah sudah lama, kalau nggak di kasih keturunan kan?" tanya Nyonya Kania malah semakin memperkeruh suasana.
Sedangkan Nyonya Kumala hanya geleng-geleng kepala mendengar perkataan Nyonya Kania.
'Ini orang gimana sih, kok malah dia jadi kompor? Watak Inggrid pasti langsung panas nih, pasti dalan otaknya itu sudah tersusun sebuah rencana untuk memaki menantunya,' ucap Nyonya Kumala dalam hati.
Nyonya Inggrid langsung pamit pulang, selain waktu yang semakin sore, dia juga ingin segera memarahi menantunya itu. Karena gara-gara belum di kasih cucu, setiap bertemu dengan sahabatnya dia selalu di tanya ini dan itu.
"Aku pamit pulang ya, ini sudah sore juga, lain waktu kita ketemuan lagi. Kali ini biar aku saja yang bayar makanannya," ucap Nyonya Inggrid.
"Baiklah, aku juga mau pulang, sebentar lagi suamiku juga pulang kerja," jawab Nyonya Kumala.
"Ya sudah selamat sore dan selamat berpisah," sambung Nyonya Kania.
Ketiga wanita paruh baya itu langsung pisah untuk menuju ke mobilnya yang telah di parkirkan di halaman restoran. Nyonya Inggrid mulai masuk ke dalam mobil, lalu memakai sabuk pengaman, dan mulai menyalakan mesin mobilnya.
Sepanjang perjalanan pulang ke rumah, Nyonya Inggrid sangat kesal, saat mengingat pertanyaan Nyonya Kania tentang kapan ia akan mempunyai cucu.
"Awas saja kamu Bunga, kamu selalu membuatku malu. Kamu yang lahir dari keluarga tak punya, kamu yang tak segera memberiku cucu. Kamu yang disanjung sahabatku lebih cantik dari putri kandungku, akan aku buat kau hidup menderita di bawah atap rumahku," ucap Nyonya Inggrid dengan wajah merah menahan amarah.