Akira terlihat sangat kesal ketika melihat sahabatnya sangat dekat dengan Raka. Ia hanya bisa memanggil namanya.
Sekar dan Raka pun menoleh bersama ke arah Akira. Setelah tersadar Sekar pun berdiri karena takut jika sahabatnya salah paham.
Tanpa mendengar penjelasan Sekar, Akira dengan kesal kembali ke kamar. Melihat hal itu, ia segera beranjak dari duduknya dan menyusul Akira.
“Sekar tunggu!” teriak Raka.
Sekar tak menghiraukan panggilan, ia tetap melangkah menyusul Akira.
“Akira dengarkan aku! Apa yang kamu lihat tidak seperti apa yang kamu pikirkan.” Sekar duduk di ranjang Akira dan mendapati sahabatnya menutup wajah dengan mengenakan selimut.
“Ya sudah tidurlah yang nyenyak dan mimpi indah!” Sekar merapikan selimut Akira dan beranjak berdiri untuk membersihkan wajah sebelum tidur.
Tak selang berapa lama, Sekar kembali menatap ranjang Akira sebelum memejamkan mata, ada perasaan bersalah.
***
Keesokan harinya, Sekar mendapati Akira sudah berangkat bekerja tanpa membangunkannya.
Dengan langkah gontai, Sekar keluar kamar dan melirik ke ruang tamu ada Raka yang sedang duduk sambil menikmati musik di telinganya.
Beberapa menit kemudian, Sekar kembali dari kamar mandi dan dapur. Di tangannya ia membawa cangkir yang berisi sereal. Langkahnya terhenti ketika ia melihat Raka di dampingi wanita tua di belakangnya.
Rasa penasaran itu mengganggu Sekar, hingga ia terpaksa mendekat. Namun, nenek itu hanya melirik dan tubuhnya pun menghilang.
“Sekar!” panggil Raka.
“Aku mau pulang ke Surabaya. Apakah kamu berkenan jika aku memintamu untuk bekerja denganku. Aku butuh seseorang yang bisa melihat hal yang tak terlihat. Aku lelah dengan gangguan,” ucap Raka.
“Maaf, Dok! Saya tidak bisa bekerja dengan mereka yang menyimpan banyak rahasia. Walau dokter tidak bercerita tapi saya bisa melihat dari kedatangan Anda kemari ada maksud tersembunyi.”
“Maksud tersembunyi katamu! Kamu tidak tahu siapa aku, kamu juga tidak tahu apa yang aku rasakan saat ini.” Raka tampak tersulut emosi dan mencengkeram tangan bahu Sekar.
“Aku memang bukan seseorang yang bisa meramalkan masa depan, tapi aku bisa melihat masa lalu seseorang dari dia memegang tubuhku. Tangan ini pernah membunuh!”
“Plak”
Tamparan itu mendarat di pipi Sekar. Namun, gadis itu tak membalas. Hanya tatapan Sekar yang tajam dengan melirik ke Raka.
“Sekar maaf! Aku tadi tidak berniat menamparmu.” Refleks pria itu ingin menyentuh pipi Sekar yang tadi ia tampar.
Sekar tak menanggapi Raka ia pun pergi ke kamar dan meninggalkan Raka dalam kegalauannya.
***
Di sisi lain Dokter Ariya sedang kesal, karena ia akan dipindahtugaskan.
"Shinta, bikin kaget orang saja kamu ini! kagak tahu apa kalau aku lagi kesel juga hari ini!" seru Ariya dengan melempar buku hingga tepat jatuh di wajah Shinta.
"Sebel aku! Sebel ... pokoknya hari ini aku sebel banget sama papaku tahu."
"Sebel kenapa memangnya? Harusnya yang marah itu aku karena hari ini aku akan dipindah tugaskan!"
"Apa? Kamu juga di pindah tugaskan! Pindah di daerah." Ariya yang tadi berwajah muram kini tampak bahagia. Ia berlari menemui Shinta seraya memeluknya.
"Kenapa Papa kamu membuangmu ke pedesaan? Benar-benar enggak menyangka aku kamu bakal di pindah juga."
"Ah, itu namanya papaku adil dan bijaksana. Papa gak membedakan antara aku anaknya, ataupun orang lain," ucap Shinta tampak tersenyum.
Ariya segera merapikan semua catatan dan berkas yang harus ia bawa. Ia tahu betul bagaimana susahnya tinggal di sebuah pedesaan yang jauh dari kerumunan warga.
"Bagaimana dengan Alvin. Aku belum memberitahunya sama sekali." Shinta tampak gusar. Ia tak bisa memberitahu kapada sang kekasih bahwa ia akan pindah tugas.
"Ayo kita berangkat!" ajak Ariya.
"Tunggu aku mau kasih kabar Alvin dulu. Kata papa aku di sana sinyalnya susah."
Wanita muda itu meraih ponsel di saku jas dokternya. Segera ia melakukan panggilan kepada sang kekasih. Namun, tak ada jawaban dari Alvin.
“Aist, ke mana sih dia! Selalu saja di angkat tanpa bicara!” Shinta semakin kesal, karena satu-satunya pria yang ia sayangi diam tak bicara.
“Sibuk, banyak pasien kali! Ayo kita berangkat, keburu malam nanti sampai sana!” ajak Ariya.
Shinta pun akhirnya tersenyum seraya melihat ruang kerja untuk terakhir kalinya. Perlahan, ia pun bergegas pergi menuju mobil yang terparkir di halaman rumah sakit.
“Ariya buruan!” seru Shinta sembari melempar kunci mobil.
“Dasar anak Bos, ingin enaknya saja.”
“Mau, aku yang nyetir! Tapi jangan bawel!” serunya dengan mengambil kunci motor yang masih ada dalam genggaman tangan Akira.
Ariya menyunggingkan bibirnya dan meraih kuncinya lagi. Ia tahu betul bahwa Shinta suka kebut-kebutan di jalan.
“Aku belum kawin! Jangan buat aku jantungan.”
Ha-ha-ha!
“Dasar Lebay!” seru Ariya sembari tertawa lepas.
Ariya segera melajukan mobilnya dan meninggalkan jalanan Ibukota. Mobilnya yang melaju dengan kecepatan sedang sudah memasuki jalan tol. Gadis itu melirik jam yang berdetak di mobilnya, menunjukkan pukul empat sore hari.
Semilir angin menerpa dedaunan di jalanan, sedangkan mobil yang membawa Ariya dan Shinta melaju dengan kecepatan sedang mulai meninggalkan jalan raya dan melintasi hutan rindang yang begitu menyejukkan.
“Kamu pernah pergi ke cabang rumah sakit milik ayahmu, Shinta?” tanya Ariya.
“Belum sih, tapi kata Papa dulu waktu masih aktif, meski di pinggiran, rumah sakitnya ramai.”
“Ya jelas, lah! Papa kamu mendirikan rumah sakit itu atas dasar sosial.”
“Iya, dulu Papa pernah bilang sewaktu muda adiknya meninggal karena tidak menemukan rumah sakit. Semenjak itu papa berniat membuka klinik di desa setelah menjadi Dokter.”
“Sudah delapan tahun klinik itu ditutup, tapi kenapa sekarang mau dibuka lagi? Aneh gitu loh.” Ariya merasakan keganjilan dalam hal ini.
“Entahlah aku sendiri tidak pernah tahu jalan pikir papaku!” ungkap Shinta. “awas jalan menikung!” serunya membuat Ariya kaget.
“Jangan teriak! Malah ganggu konsentrasiku kamu ini,” sahut Ariya.
Shinta hanya senyum tersungging menatap Ariya. Sembari menikmati pemandangan.
“Indah Banget, ya,” ucap Shinta.
Ariya membuka kaca jendela mobil, membiarkan semilir angin menerpa rambut panjang miliknya. Begitu pula Shinta membuka pintu jendela sembari mengadahkan tangan ke luar, sembari mereka mendengarkan sebuah lantunan lagu yang mereka nyanyikan bersama.
“Iya, udaranya segar banget. Enggak kaya tinggal di kota, pengap,” ungkap Ariya.
“Pindah aja yuk! Gak usah balik lagi ke kota. Kita hidup di sini saja!” terang Shinta bercanda.
“Hustttt!”
“Kenapa?”
“Pamali, tahu bicara seperti itu!”
“Upps!”
“Pengen sih sebenarnya, tapi--.”
Wush!
Sekelebat bayangan melintas hingga membuat perhatian Ariya teralihkan.