20 Tahun Silam
Dua puluh tahun yang lalu, Saman Adyatma, suami Ayundya kebingungan karena istrinya akan melahirkan.
“Karyo kamu di mana kenapa lama sekali tibanya!” gerutu Saman.
“Mas! Sakit, Mas!”
“Sebentar, Bu. Yang sabar ya!”
Rumahnya yang jauh dengan fasilitas kesehatan, membuatnya mengurungkan niat membawa istrinya ke rumah sakit. Jalanan bebatuan, tikungan yang tajam dan melewati hutan belantara barulah mereka akan sampai ke puskesmas.
Jarak tempuh dan kendaraan yang tidak memadai, membuatnya beralih mencari Mbah Atma, dukun bayi yang sudah tersohor di kampungnya.
“Kang, piye?”
“Mbak mu, Mbak mu mau melahirkan.”
Malam itu gerhana bulan akan terjadi total di Desa Bojong, tempat di mana Saman bertugas di pelosok desa sebagai mandor Perhutani. Sesegera mungkin calon ayah itu meminta bantuan Karyo, temannya untuk pergi dengan menaiki sepeda motor menjemput Mbah Atma.
“Ndang cepet, selak gerhana bulan.”
Saman sangat khawatir melihat keadaan wanita yang dicintainya. Sedari tadi, ia memperhatikan pergerakan jarum jam yang menempel di dinding rumahnya.
“Karyo ... Karyo, pesen e si Mbok! Kalau mau jemput Mbah Atma jangan menoleh ke belakang.”
“Ada apa to, Kang! Kok pakai hal-hal kaya gitu!”
“Katanya si Mbok. Biar kita cepat sampai.”
“Kok, ada-ada saja, to Kang.”
“Dadi cah enom sing manut, yen ono kolo mengo ki. Biasane mandi omangan e!”
“Ya sudah, saya tak berangkat dulu, Kang!”
***
“Mas. Mas Saman! Aku dah gak kuat lagi, Mas,” keluh Ayundya sambil mengelus perutnya yang mulai kontraksi.
“Sabar, ya, Nak. Paklikmu baru cari dokter!” Saman mulai mengelus perut Ayundya dengan penuh kesabaran.
“Mas aku mau ke belakang!” Ayundya berdiri dengan tangan kirinya memegang pinggangnya yang nyeri.
“Bu, Kamu itu bukan mau buang hajat, jadi gak usah ke belakang. Aku itu malah takut kalau ibu jatuh.”
“Tapi, aku bingung, Mas.”
Ayundya menggeliat, ia merasakan kontraksi pada rahimnya. Semakin lama kontraksinya semakin tinggi.
“Sabar, Nak! Bentar lagi Pak Lik mu pulang.
Saman mengelus-elus punggung istrinya yang sejak tadi teriak kesakitan. Wanita berambut sebahu itu selalu mengeluh dan meminta Saman mengantar ke kamar mandi berulang kali untuk membuang air besar.
“Bu, wes toh rasah tangi! Tiduran wae. Itu bukan karena kepengen ke kamar mandi. Tapi karena Bu e ini mau melahirkan.”
“Tapi Mas aku kudu ngeden! Aku ndak bisa kalau di ranjang suruh ngeden, aku pengen e jongkok!”
"Bu, sebentar lagi dokter datang. Sabar, ya, Bu!" resah Saman yang tak tega melihat istrinya. Hingga ia harus berbohong bahwa yang akan datang adalah seorang dokter agar kekasih hatinya tak merasa khawatir.
***
“Ndek jaman pejuang! Jur kelingan anak lanang. Mbiyen tak openi ning saiki ono ngendi.” Karyo bersenandung selama di perjalanan, selain menghilangkan kejenuhan juga untuk menghilangkan rasa takut.
Sepeda motor buntutnya tak bisa berjalan cepat, sementara lampu motornya redup dan klaksonnya mati. Udara malam terasa begitu dingin hingga menusuk ke tulang. Sepanjang perjalanan tidak ada motor berlalu lalang hanya suara binatang yang menemani Karyo sepanjang jalan.
“Derek langkung, Mbah! Nyuwun sewu? Asalamualaikum,” ucap Karyo ketika melewati perempatan jalan.
Rasa takut mulai menyelimuti hati Karyo. Suara binatang yang sedari tadi riuh tiba-tiba menjadi hening.
“Astaugfirllahaladzim! Opo kae! Duh gusti putih-putih kae opo!” Karyo menghentikan motornya. Ia melihat sesuatu berdiri di ujung jembatan.
Berkali-kali Karyo mengucek matanya. Ia tidak begitu jelas dengan apa yang di lihat. Sementara jembatan kali itu adalah satu-satunya penghujung Desa Bojong dengan Desa Sruwen.
Dengan berat hati Karyo pun menerjang jembatan yang memiliki panjang lima meter dengan mata tertutup.
Namun nahas, saat mata Karyo terpejam ada sesuatu yang menempel di lengannya. Ia pun berhenti dan berteriak ketika melihat ada kain putih di menempel di lengannya.
“Ampun, Mbah! Saya tidak mengganggu,” teriak Karyo ketakutan.
Ia pun melirik dan ternyata hannyalah kain putih yang di gunakan para warga sebagai tanda berkabung. Kain itu telah usang dan terlepas dari bambu yang mengikatnya.
“Sontoloyo!” maki Karyo.
Karyo yang memiliki mata minus terkadang salah menangkap dengan penglihatannya.
“Alhamdulilah sudah ada kampung.”
Setibanya di rumah Mbah Atma, Karyo dengan segera mengutarakan niat hatinya menemui beliau.
“Le, iki Malam Sabtu Pahing tanggal 1 suro.”
“Enggih, Mbah!”
“Ayo ndang mangkat! Bayi ini harus lahir sebelum gerhana bulan. Jika tidak dia akan membawa nasibnya sendiri.”
“Monggo, Mbah!”
Mbah Atma adalah seorang bidan desa yang merangkap sebagai dukun bayi. Semasa masih muda ia bekerja di rumah sakit ibu dan anak yang berada di kota. Setelah pensiun Mbah Atma memiliki ilmu turunan dari leluhurnya dan menjadi dukun beranak.
“Cepet sitik, Le!”
“Motornya gak bisa ngebut, Mbah. Motor tua.”
“Dua jam lagi gerhana datang!”
“Sabar njih, mbah!”
***
Dari dalam rumah, Saman mendengar suara Karyo yang sedang berbicara, hatinya lega, ketika melihat seorang wanita tua sudah masuk ke dalam rumahnya.
“Alhamdulilah, Mbah Atma pun rawuh.”
“Ndie bojomu?” tanya Mbah Atma.
“Mari silakan Mbah.”
Mbah Atma, kini hanya terdiam menatap Ayu, panggilan akrab Ayundya yang sedang meringis kesakitan.
Seketika tersadar, ia segera menyiapkan segala peralatan guna membantu persalinan. Tiba-tiba wanita muda itu mengalami kontraksi yang hebat, kata Mbah Atma itu sudah pembukaan tujuh.
Dengan bantuan pisau bedah Mbah Atma membantu merobek alat vital dengan harapan air ketuban akan sedikit-sedikit merembes. Meskipun dukun, alat medisnya pun lumayan lengkap.
"Argh." Ayu menjerit kesakitan. Mulut rahimnya bertambah membuka selebar satu senti. Namun, rembesan air ketuban tak juga kunjung keluar.
“Tarik napas, Nduk! Lepaskan dan tarik, lalu lepaskan lagi.”
“Mbah mules, Mbah!”
“Tarik lagi, lepas. Pelan-pelan ya, Nduk!”
Saman yang mendampingi istrinya pun ikut melakukan apa yang diperintahkan Mbah Atma.
“Le, kenapa kamu malah yang ikut-ikutan ambil napas?” tanya Mbah Atma.
Saman yang menyaksikan penderitaan sang istri wajahnya di penuhi dengan peluh yang mengucur deras.
“Saya mau ke belakang, Mbah! Saya gak kuat kalau ngangkang begini. Saya lebih baik jongkok Mbah!”
“Tidak, kalau mau BAB keluarin di sini.” Mbah Karyo yang tahu itu hanya efek dari kontraksi melarang Ayundya pergi.
Istri Saman menjerit lagi dan ia terus mengejan. Sesuai arahan Mbah Atma kedua tangan Ayu diletakkan di belakang kepalanya. Sesekali, ia mengangkat kepala mengambil napas dan kemudian mengempaskannya.
"Tolong ambilkan handuk atau sapu tangan yang bersih," perintah Mbah Atma yang merasa was-was, karena Ayu tak mengeluarkan sedikit pun rembesan air ketuban.
“Sebentar lagi gerhana Bulan akan datang, bayi ini harus segera lahir,” gerutu Mbah Atma.
Saman segera meminta kepada Laila—istri Karyo untuk segera mencari kain. Tak lama kemudian sapu tangan yang ia bawa dari kamar Ayu, segera diberikan kepada Mbah Atma.
"Taruh di mulut istrimu! Agar ia tidak menggigit lidahnya sendiri!" perintah Mbah Atma dan Saman hanya bisa mengangguk.
Ayu mengejan dengan kuat, membuat Saman semakin kebingungan. Mbah Atma kemudian memerintahkan Saman untuk beristirahat dan Laila pun menggantikan untuk menjaganya.
Kontraksi kembali terjadi dengan hebat. Istri Saman mengejan dengan sekuat tenaga. Saat itu pula Mbah Atma menyobek alat vital Ayu. Darah bercucuran, tetapi air ketuban itu tak kunjung keluar.
“Karyo! Ambil peralatan dapur, panci wajan atau apa saja!" teriak Mbah Atma.
"Njih Mbah!" jawab Karyo dengan berteriak.
"Buat apa? Masa orang lahiran dibawain panci wajan. Horor banget ini Simbah," gerutu Saman.
"Di turuti saja, kang demi kebaikan Mbak Ayu. Aku juga gak tau alat ini untuk apa," terang Karyo.
"Karyo, ndang cepet, Le!" teriakan Mbah Atma kembali terdengar.
"Sik Mbah lagi di cuci, reget kabeh pancine!" kilah Karyo membalas dengan berteriak.
"Tidak usah dicuci, kotor gak papa!"
Rumah Saman tidak begitu luas, separuh masih bentuk tembok dan separuhnya lagi dari kayu papan dan bagian belakang gedek. Teriakan mereka yang saling sahut menyahut terdengar keras.
"Nduk, mengejan yang kuat, ya." Mbah Atma memberikan aba-aba kepada Ayu.
Keringat Nenek itu pun bercucuran, sesekali ia mengelapnya dengan selendang yang melingkar di lehernya.
“Mbah ini alat dapurnya.”
“Karyo! Tabuh panci di depan pintu!” perintah si Mbah.
"Aargh," teriakan Ayu semakin kuat, seketika itu juga Mbah Atma mengunting kembali perineumnya. Darah kembali bercucuran seiring dengan ejannya. Dengan cekatan, ia mengambil kain yang telah di siapkan dari rumah.
“Karyo tabuh terus pancinya! Jangan berhenti.”
"Njih, Mbah!"
"Mas hawane kok merinding gini!" ucap Karyo.
"Gerhana bulan ya begini, angine kenceng," jawab Saman.
"Kampung yang mereka tinggali tidaklah banyak penduduk. Hanya lima belas keluarga yang bekerja di perhutani.
Sekali lagi dukun anak itu meminta Ayu mengejan sekuat tenaga. Namun, wanita berhidung mancung itu tampak lemas dan terkuras habis tenaganya.
“Haus, Mas!”
Laila memberikan semangat dan dukungan, sehingga Ayu kembali memiliki kekuatan. Dengan sisa energi yang dimiliki ia mengejan dengan hebatnya. Mbah Atma kembali mengelus-elus perut Ayu dan berbicara dengan sang Janin yang masih berada di dalam rahim.
Marmarti Kakang Kawah Adi Ari-Ari Getih puser jabang bayine bin saman Adyatama. Ya, Allah ya Gusti, paringono dumateng kulo sedaya kebebasan saking musibah donyo kelawan akhirat. Paringana kulo petunjuk ingkang leres kersanipun kulo kalian sederek kulo, Ayu lan larenipun ugi Panjenengan paringi pitulung. Panjenengan paringi welas asih kekalihipun ugi saged gesang. Sedulur papat kalimo pancer ingkang katon lan ingkang mboten keton, ingkang kerumat lan mboten kerumat. Kalian ingkang medal saking margaino kalian ingkang mboten. Kadangisun ingkang medal sedinten sedoyo. Bopo wonten ing ngajengan lan ibu wonten mburi, paringono kelancarrahi.
“Nduk kamu harus kuat, ya!”
"Nduk, sekali lagi mengejan yang kuat, ya!" perintah Mbah Atma dengan mulutnya memberikan aba-aba, agar persalinan segera selesai. Ayu mengejan dengan sekuat tenaga, hingga keluar bongkahan dari rahimnya dengan bersamaan gerhana datang.
Bayi Ayu keluar dalam keadaan masih terbungkus. Bayi mungil yang sudah membawa nasibnya sendiri ini, harus dirahasiakan dari siapa pun yang suatu saat bisa saja memanfaatkannya.
"Saman, kamu di mana!" teriak Mbah Atma sembari membawa janin yang masih terbungkus.
"Dalem, Mbah," jawab Saman dengan berlari dari dapur ke kamar. Ia kaget ketika mendapati bayinya masih terbungkus.
"Gigit pembungkus plasenta ini dengan gigimu, Saman!" perintah Mbah Atma dengan memberikan janin itu kepada ayahnya.
Beberapa kali mencoba, Saman selalu gagal menggigit kulit plasenta bayinya. Rasa mual yang tak tertahan membuat Saman selalu muntah ketika mendekatinya.
"Saman, ini harus segera dibuka. Kalau bukan kamu yang menggigit suatu saat bisa membahayakan anakmu. Jika menggunakan caraku, kamu harus siap tanggung segala risiko," ujar Mbah Atma dan Saman meminta Mbah Atma untuk menyayat pembungkus plasenta itu.
Mbah Atma membawa bayi yang masih terbungkus itu ke ranjang dan dengan segera ia menggunakan pisau bedah untuk menyobek selaput plasenta hingga akhirnya ketuban itu pecah.
Bayi mungil itu menangis dan diberi nama Sekar Anindya.
Nenek itu dengan gesit menggunting tali pusarnya dan dengan segera bayi itu mereka tidurkan di d**a ibunya. Selang beberapa menit, Mbah Atma segera kembali mengangkat bayi itu. Kemudian ia mandikan dan memberikan kepada Saman untuk di Adzani.
Menjalani proses persalinan, menjadi pengalaman yang begitu membekas di hati Ayundya, rasa takut, khawatir, semua membaur menjadi satu. Terlebih wanita muda itu melahirkan bukan dengan seorang dokter, melainkan dengan seorang dukun bayi. Rasa lelah itu kini terbayar dengan mendengar suara tangisan bayi.
"Ayu, jangan tidur! Tunggu kentut kamu keluar, baru boleh makan dan tidur," ucap Mbah Atma.
"Saman, ingat baik-baik. Jangan sampai anak kamu terluka oleh barang yang terbuat seperti gunting dan pisau, pisau bedah atau sejenisnya. Karena kekebalan anakmu akan turun jika ia terluka dari bahan seperti ini."
Mbah Atma mencoba menjelaskan kepada Saman tentang putrinya yang terlahir pada satu Suro malam Sabtu Pahing dan mengenai kelemahan yang bisa membawa malapetaka untuk Sekar. Penduduk Desa Bojong meyakini bahwa bayi lahir terbungkus adalah bayi istimewa..