"I want to say thanks to her now," ujar Hera.
"I'll say to her. Now she is having a private time with my Dad. Hm, like us," kilah Idris yang enggan menyerahkan ponsel ke mommynya. Dia ingin waktu khusus bersama Hera malam ini.
"Well. Did Hudson say something to you, Hera?"
"He said he's happy with me."
"Told you. He likes you. Nadzir told me that."
"Yes. I know. His Mom pushed him to walk with me."
"It's annoying."
"Don't worry, Idris. My heart is only yours."
"Hera, I love you."
"I love you too, Idris."
"Hope we meet again someday and play together."
"Well. I really want it to be."
Keduanya sama-sama tersenyum.
"But you live far away, Idris."
"No, Hera. My Mom and Dad plan to move to Sudirman soon. My Mom wants to live closely with Njid Akhyar and Eyang Ola."
"Really?"
"Yes. You said you live there too, right?"
"Oh My God. I am so happy."
"Yes. I am happier."
"Ok, Idris. It is nine o'clock. I have to go to bed."
"Allright. Have a nice dream, Hera."
"I hope you come to my dream."
Terdengar tawa renyah Idris. Hera memang sangat pandai mengungkapkan kata-kata indah untuknya.
"I will come around."
***
Farid dan Tata yang berdiri di sisi dinding kamar terdiam saat menguping celoteh putri sulung mereka di kamar yang pintunya setengah terbuka.
"Duh. Khawatir aku, Mas," ucap Tata yang wajahnya khawatir. Farid tersenyum melihatnya.
"Hera tuh kayak kamu, Re. Tegas. Dia sudah tau mana yang baik dan tidak baik," balas Farid santai.
"Tapi kan kecil banget. Lima tahun ... mana ada bocil ngomong kegitu?"
Tata menggeleng dengan raut wajah cemas. "Ini malah ketemu yang namanya Idris. Sabine cerita Idris tuh orangnya emang kelewat dewasa. Trus ketemu Hera. Hah ... klop deh."
Farid dan Tata lalu sama-sama tersenyum dengan apa yang mereka berdua dengar, percakapan antara Hera dan Idris. Farid yang terlihat lebih tenang dan Tata yang dilanda kecemasan.
"Kalo begitu, nggak ada yang perlu dicemaskan. Aku bisa menilai Idris dididik sangat baik oleh keduaorangtuanya. Yah, kurang lebih sama dengan apa yang kita lakukan selama ini," begitu pendapat Farid.
"Hm. Tapi aku ragu dengan papanya," Tata bergidik membayangkan tubuh kekar Igor yang terlukis banyak tato.
"Kamu nggak liat diri kamu?" decak Farid sambil melirik tajam ke tubuh istrinya.
"Ih, Mas ah."
Farid terkekeh dengan sikap Tata. Tata lalu mencubit lengannya gemas. Dia malu sekali.
"Nggak usah menilai orang dari penampilannya. Pak Igor menurutku sangat baik dan perhatian."
"Hm, jadi kamu setuju?"
"Ya. Why not? Lagipula Mommy Idris juga dari keluarga baik-baik dan sopan. Hm, meski dia jutek sih."
"Hahaha. Kamu dijutekin dia juga?"
"Iya."
Farid mencebikkan bibirnya. Dia memang tidak senang dengan sikap Gema yang memandangnya dengan pandangan sinis dan angkuh. Dulu saja saat pernikahan ibunya, waktu diperkenalkan, Gema bahkan menolak bersalaman dengannya. Farid kira mungkin karena penampilannya yang tertutup, tapi kenapa dia bersalaman dengan Niko? Bahkan terlihat sangat akrab.
"Dia mah dari dulu emang begitu. Mau diapakan lagi?"
"Sepertinya harus ada kejelasan."
Farid mengangguk kecil mengiyakan.
Tak lama kemudian, terdengar suara riang Hera. Dia tiba-tiba muncul dari dalam kamarnya. Berjalan cepat seraya menyerahkan ponsel ke papanya.
"Merci, Papa. Merci, Mama!" Hera tampak senang sekali. Wajahnya ceria kembali. Dia bahkan memeluk Papa dan Mamanya secara bergantian.
Farid usap-usap rambutnya. "Vous vous sentez bien maintenant? Kamu oke sekarang?"
"Veeeerrry alright!"
Farid langsung mengangkat tubuh mungil itu sambil menggandeng tangan istrinya dan memasuki kamar.
"I want to sleep in the middle, Papa. I want Crystal kick me!"
"Okay," balas Farid.
"Tapi jangan dibalas," canda Tata.
"No way, Mama. I'll let her kick me. I am so happy with that...." Dan bla bla bla. Hera tak habis-habisnya berceloteh saking senangnya.
***
Hal yang sama terjadi di BSD. Gema dan Igor saling lirik saat Idris mengembalikan ponsel papanya. Idris datang dari dapur dan langsung duduk di antara mommy dan daddynya.
"Wow. Good news?"
"Yeah, she said sorry and I said sorry to her too."
Igor menepuk-nepuk pundak Idris dengan perasaan bangga.
"Hm, I said you don't like her hair, Mommy."
Gemma terkesiap. "What?" sergahnya.
"But she is okay with that."
"Idris! What have you done?" Gema risih dengan sikap Idris. Tidak seharusnya Idris terlalu terbuka di depan Hera. Dia malu sekali.
"It's okay, Mommy. I said you like her but you don't like her hair. I think I have to say that, so we understand each other."
Gema mendongakkan kepalanya. Dia tidak habis pikir Idris seterus terang itu terhadap Hera. Bukannya marah atau kesal. Dia malah menertawakan dirinya sendiri. Tapi memang di lubuk hatinya yang terdalam, Gema tidak menyukai rambut Hera. Itu yang membuatnya bersikap acuh tak acuh hingga terkesan angkuh.
Gema rangkul bahu Idris. Dia lega dengan keterusterangan putranya. Rasanya tidak sabar melihatnya tumbuh dewasa. Idris adalah satu-satunya harapannya. "I love you," ucap Gema dengan mata binarnya.
"I love you more," balls Idris.
"Do you? You love Hera too, I am sure you love her more."
"Mommy."
"I know. I am so proud of you."
Igor lega melihat keduanya sangat akrab. Biasanya ada saja yang membuat mereka saling adu argumen.
"I also told her that you made three clothes for her Daisy."
"Then what?"
"She is soooooo happy."
Gema tertawa senang. Dia rangkul bahu Idris lebih erat.
***
Cukup lama Idris termenung memandang Daisy yang sudah rapi berbaju baru. Rambutnya juga sudah disisir rapi oleh Gema. Ada kekecewaan dalam diri Idris, Hera dan keluarganya berangkat menuju Bandung. Mamanya akan melahirkan adik Hera di sana karena keluarga besar di Bandung yang meminta.
Sepertinya hari ini bukan harinya. Mommy dan Daddy sangat sibuk menelepon ke sana ke mari. Entah apa yang mereka sibukkan. Tidak pernah-pernahnya mereka berdua serius terlibat dalam situasi genting di mana dirinya tidak diberi penjelasan. Jika Idris bertanya, dengan cepat daddynya menutup pintu ruang kerja bersama Mommy dan meminta Idris menjauh. Sepintas Idris mendengar kata-kata Akhyar, Sabine dan warisan dari mulut keduanya. Ah, ternyata permasalahan orang dewasa sangatlah rumit, ada banyak hal yang mesti dibahas selain percintaan. Berpikir tentang cinta saja cukup membuat Idris kewalahan, apalagi memikirkan harta atau hal yang lainnya?
Bersambung