Prolog
Idris ingin mengantar Hera kuliah dengan mengendarai moto besar milik daddynya, Igor.
Igor melempar kunci motornya ke arah Idris.
"Hera nggak suka terlalu ngebut. Pelan tapi pasti. Hera nggak suka ngerem mendadak. Hera nggak suka kita motong kendaraan lain dengan kasar. Hera suka kalo kita kasih pejalan kaki nyebrang duluan," terang Igor sebelum Idris ke luar dari apartemennya. Idris sudah lengkap berjaket kulit hitam dan menggandeng dua helm.
"Got it, Dad," tanggap Idris sambil mengepal tinjunya ke tangan Igor yang juga terkepal.
"Good luck!" ucap Igor penuh semangat. Dia senang melihat langkah Idris yang lebih semangat daripada biasanya, meskipun tampak kaku dan gugup.
Gema, sang Mommy, yang ikut melihat keadaan Idris jadi ikutan gugup. Dia pegang dadanya yang tiba-tiba berdegup tidak beraturan.
"Kenapa?" tanya Igor saat menutup pintu apartemennya. Dia heran melihat wajah khawatir Gema.
"Aku takut Idris ditolak Hera. Dia aja belum pede, Igor. Apa perlu aku bujuk Hera?" ujar Gema cemas. Matanya tampak berkaca-kaca.
Igor tersenyum hangat.
"Biarlah. Kasihlah Idris kesempatan berjuang sendiri mendapatkan cinta Hera kembali."
***
Sudah pukul delapan lewat lima menit. Idris resah. Hera belum muncul dari lobi apartemennya. Hampir saja dia hendak melepas helm dari kepalanya karena panas dan sesak, tubuh tinggi Hera tiba-tiba berjalan cepat menuju motornya.
Tanpa basa basi Hera bergegas duduk di belakang Idris yang memang sudah duduk di atas motor besar daddynya sedari tadi.
"Maaf, Om. Aku telat bangun," ucap Hera seraya meraih helm dari tangan Idris.
Idris terkesiap. Dia tahan tawanya setengah mati. Hera mengira dirinya adalah Igor, yang memang biasa mengantarjemput Hera ke mana-mana.
Ini memang tujuannya. Akan tetapi dia tetap tidak menyangka perasaannya saat disapa Hera dengan 'Om'. Untung saja berubah, bagaimana jika dipanggil Daddy seperti yang Hera lakukan saat kecil dulu. Pasti rasanya berbeda lagi.
Idris perlahan melajukan motornya.
Hera pun mulai memeluknya dari belakang.
Idris benar-benar sangat bahagia di awal pagi itu. Jantungnya berdegup sangat kencang saat merasakan lembutnya pelukan Hera. Meski Hera duduk berjarak dan memeluknya tidak terlalu erat, Idris tetap merasakan Hera sangatlah dekat. Bagi Idris, ini momen terindahnya setelah sudah lebih dari dasawarsa tidak merasakan sentuhan Hera.
Berulang-ulang dia menelan ludahnya membayangkan hari-harinya berdekatan dengan Hera. Pasti sangat membahagiakan. Seperti yang sudah dia lewati dulu, menghabiskan waktu seharian bersama-sama Hera, tanpa merasakan sedikitpun kebosanan. Ada saja yang Hera bicarakan, tentang cinta, tentang kehidupan yang menyenangkan, tentang masa depan, tentang rumah masa depan, anak-anak, dan khayalan lainnya yang membahagiakan.
Sepertinya sudah saatnya bersama-sama Hera lagi. Seluruh keluarganya sudah menyerahkan urusan pasangan hidup kepadanya. Dia yang memilih, bukan Mommy, bukan Daddy, bukan Jiddah Nayura atau Njid Gamal.
Sementara itu Hera yang di belakang sempat merasakan sedikit perbedaan cara 'Igor' mengendarai motor. Terlalu hati-hati menurutnya, namun tetap lancar dan akurat.
Hera pun sempat mengendus parfum yang menurutnya berbeda dari yang biasa dipakai Igor. Tapi dia menyukainya, wanginya lembut dan tidak menyengat. Dan yang membuatnya sedikit tersentak adalah ketika melihat punggung 'Igor' yang lebih kecil, dan merasakan perut 'Igor' yang lebih keras.
Namun Hera tidak terlalu memikirkannya, karena pikirannya tertuju ke kuliah yang sebentar lagi akan dimulai. Dia pun berpikir mungkin diet Om Igor sudah berhasil. Entahlah. Sebelumnya Igor pernah mengutarakan niatnya untuk diet ketat, karena merasa tubuhnya tidak sesegar biasanya. Maklum, usia Igor sudah enam puluh lebih, tentu Igor harus memilih olahraga yang tepat untuk usianya.
Dan motor Igor pun sudah tiba di depan gerbang kampus kuliah Hera.
"Om. Nanti jemput aku ya?" ujar Hera sambil menyerahkan helm ke tangan Idris.
"Jam berapa?" tanya Idris sambil melepas helmnya.
Hera terkejut bukan main. Bibirnya gemetar melihat wajah Idris yang sangat dekat di depannya.
Bukannya menjawab. Hera tampak mengatur napasnya yang tiba-tiba memburu begitu saja.
"Jam berapa aku jemput, Hera?" ulang Idris. Dia tatap wajah kaget Hera dengan perasaan tenang.
Hera hampir menggeleng. "Seperti biasa..." jawab Hera. Lalu buru-buru dia melangkah menjauh karena jadwal kuliahnya yang sepertinya sudah dimulai.
Idris menghela napas panjang. Ditatapnya punggung kecil Hera yang berlalu dengan cepat. Idris berusaha tidak berprasangka bahwa Hera tidak menyukai dirinya yang mengantar, akan tetapi Hera ingin cepat-cepat mengejar kuliah.