"Hera!" pekik Bagas yang ternyata sedang asyik bermain mobil-mobilan kecil di sisi kolam renang di taman belakang. Hera yang berada di gendongan Mbok Min langsung meminta Mbok Min menurunkannya dan memburu Bagas.
"Aku ada kabar bagus. Dedek Nesrin akan tinggal sama aku di sini lo," ujar Bagas setelah cukup lama memeluk Hera. Dan Nesrin adalah anak dari Ayu, kakak sambung Bagas.
Hera menganga lebar. "What?" teriaknya tak percaya.
Bagas mengangguk senang. "Iya. Jadi adikku ada dua. Nesrin sama yang sedang di dalam perut mamaku," ucap Bagas dengan gaya soknya.
Mbok Min tertawa melihat tingkah Bagas. Ada yang perlu diluruskan menurutnya dari ucapan Bagas.
"Mas Bagas. Dedek Nesrin itu keponakannya Mas. Bukan adik Mas Bagas. Jadi Mas itu sekarang posisinya sebagai Pak le nya dedek Nesrin," sela Mbok Min sambil mengusap-usap kepala Bagas.
"Oh. Kok gitu, Mbok?" tanya Bagas heran. Hera juga heran mendengar ucapan Mbok Min.
"Iya. Kan dedek Nesrin itu anaknya Mbak Ayu. Ayu mbaknya Mas Bagas."
Bagas yang kurang menangkap ucapan Mbok Min tampak berpikir keras. Sementara Hera mengangguk memahami apa yang dimaksud Mbok Min.
"Oh. Jadi, Mas. Dedek Nesrin harus call you Oncle," jelas Hera ke Bagas yang melihat kebingungan di wajah kakak sepupunya itu. "Eh, terus aku juga ya, Mbok?" tanya Hera yang tiba-tiba saja menyadari sesuatu.
Mbok Min mengangguk tersenyum. Hera lebih cepat paham ketimbang Bagas.
"Iya," jawab Mbok Min senang. Hera menutup mulutnya menahan tawa. Sepertinya dia sedang membayangkan Nesrin besar yang akan memanggilnya Tante Hera.
"Duh. Pinter-pinter ini anak Mama Nayra sama Papa Farid. Gemes Mbok. Sayang Mbok Min dulu sini."
Mbok Min bangga dengan Bagas dan Hera. Meski usia mereka baru genap lima tahun, sikap mereka sangat mengagumkan.
Tiba-tiba Mata Hera memicing heran ketika berada di dalam dekapan Mbok Min.
"Tapi mengapa Papaku panggil kamu Mbok Min juga? Seharusnya aku panggil kamu grandma," ujar Hera sedikit dengan nada protes.
Bagas terkesiap. Kini dia sudah mulai memahami.
"Iya. Mama aku juga panggil Mbok Min. Kok bisa?" Bagas ikut protes.
Mbok Min bukannya tersinggung, dia malah tersenyum simpul mendengar sanggahan keduanya. Tidak tahu juga kenapa dia senang orang-orang yang lebih muda dan mengenalnya memanggilnya Mbok Min.
"Jadi mau panggil Mbok Min dengan Gren ma mbok min gitu? Gimana? Boleh-boleh saja," tawar Mbok Min iseng. Bagas dan Hera menggeleng. Lalu kembali memeluk Mbok Min.
"Mbok Min saja," ucap Hera dan Bagas hampir bersamaan.
Mbok Min perlahan merenggangkan pelukannya dari dua anak pintar tersebut.
Tiba-tiba muncul Farid. Dia tersenyum lebar melihat keakraban Hera, Bagas dan Mbok Min. Senang karena ternyata Hera masih mengingat Mbok Min.
"Maaf, Mbok. Kayaknya sudah dipanggil ke rumah depan. Sebagian keluarga besar Pak Said sudah datang. Hm. Hera mau ikut Papa?"
Hera awalnya terlihat bimbang. "Mas Bagas?" tanyanya.
"Aku mau ikut," jawab Bagas mantap.
Mbok Min agak kecewa, karena baru saja dia ingin bersenang-senang dengan dua anak yang menggemaskan itu.
"Lho, Mas Farid. Baru juga nyampe. Hera pasti capek. Tadi ceritane mau tak pijet dulu bareng Bagas," ucap Mbok Min.
Farid sedikit terhenyak, membenarkan ucapan Mbok Min. Diamatinya wajah lelah Hera.
"Pijatnya nanti malam saja, Mbok Min," tolak Hera halus. Dia sudah membayangkan akan bertemu dengan Grace dan Gloria. Karena papanya saat di pesawat menceritakan bahwa akan ada pertemuan keluarga besar di depan rumah Eyang Hanin pagi ini, tak terkecuali keluarga Grace dan Gloria.
"Nanti kita main lagi, Mbok Min," ucap Bagas sambil menggandeng tangan Hera.
"Ya sudah. Jangan pecicilan di sana ya?" pesan Mbok Min seraya mengusap-usap kepala Bagas dan Hera.
"Iya, Mbok," jawab keduanya bersamaan.
***
Hera sedikit kecewa, ternyata keluarga si kembar Grace dan Gloria belum datang. Bagas sudah berusaha membujuknya agar ikut bermain dengannya bersama keponakan Said, Nadzir namanya. Nadzir memang sudah pernah bertemu Bagas di saat acara akad nikah Eyang Ola dan Njid Akhyar di rumah orang tuanya di daerah Bintaro. Tapi Hera menolak ajakan Bagas dengan alasan masih ingin menunggu Grace dan Gloria datang.
"Pa. Can I explore this big house?" tanya Hera kepada papanya. Nadanya sedikit memelas. Dia mulai tertarik dengan hiasan-hiasan dinding yang dipenuhi kaligrafi Arab serta kilat lampu kristal di ruang tamu. Ini seperti berada di dunia lain, karena sebelumnya dia belum pernah berada di tempat yang hiasannya seperti itu. Dia ingin mengeksplor rumah Mbak Ayu lebih jauh.
"Yes. But please do not touch the fragile ones. You know the rules." Farid membolehkannya asal tidak menyentuh barang pecah belah.
Hera lega mendapat izin dari papanya. "Bien sûr," decaknya penuh keyakinan.
Sambil terus mendekap boneka barbie kesayangannya yang berbaju lusuh (karena terlalu sering dia mainkan), Hera mulai berjalan-jalan sendiri menyusuri ruang demi ruang rumah itu. Ada senyum puas menghiasi wajahnya karena ini adalah pengalaman pertamanya berada di rumah luas yang memiliki banyak ruang. Belum lagi ada banyak hiasan indah yang menarik mata bulatnya. Hera terus mengingat pesan papanya agar tidak menyentuh barang-barang yang mudah pecah.
Sudah puas berada di lantai satu, Hera tidak lupa menyusuri tangga menuju lantai dua. Hera senang sekali melihat lukisan di setiap anak tangga yang seakan-akan hidup. Ada pemandangan indah di setiap pijakan kakinya. Kadang seakan-akan berada di dekat kolam ikan, lalu di taman penuh bunga dan pepohonan. Indah sekali. Pemandangannya seakan-akan hidup dan bergerak.
Kini Hera berada di lantai dua. Bibirnya sedikit mencebik karena ternyata perabotan dan penataan ruang di sana tidak ada yang baru baginya. Terlalu modern dan tidak seklasik yang di bawah. Ini seperti hotel-hotel yang biasa dia kunjungi bersama keluarganya saat liburan. Atau persis sama dengan rumah Mami Lizett di Paris.
Hera kembali menyusuri tangga indah tadi dengan langkah sangapelan. Hera memang terlihat lebih betah sendiri.
Setiba di lantai satu, pandangan Hera tidak sengaja tertuju ke balkon luar di bagian belakang rumah. Ada yang menarik di sana. Sebuah taman yang indah. Untungnya pintu kaca menuju ke sana terbuka sedikit. Hera dengan langkah mantap menuju ke sana.
"Wow," decaknya kagum saat berada di teras belakang. Sungguh taman yang sangat indah di matanya. Bahkan ada sebuah kolam yang berisi ikan-ikan warna warni.
Namun kekagumannya mencair saat diendusnya asap rokok. Dicarinya asal muasal asap tersebut.
Hera tersentak kaget. Dilihatnya seorang pria empat puluhan sedang duduk santai merokok dengan kaki terangkat. Hera sempat mengamati pria yang lengannya penuh tato, juga betis kaki besarnya. Hera sedikit bergidik saat matanya tersita ke anting-anting yang ada di salah satu telinga pria tersebut.
Hera menggeleng kesal dengan asap yang mengepul dari mulutnya.
Hera dekati pria yang juga terlihat asyik memainkan ponselnya.
"You are not supposed to smoke here. It will destroy your health and this beautiful garden. You are the crusher of the living!" tegur Hera geram. Dia kesal, karena berharap taman yang dia lihat sempurna, tanpa ada sampah atau bau yang tidak sedap. Di samping itu, belum ada tanda-tanda kedatangan Grace dan Gloria. Hera semakin kesal. Saking kesalnya dia berbicara menggunakan bahasa Inggris, lagi pula perawakan pria itu juga tidak seperti orang Indonesia pada umumnya.
Pria itu ikut tersentak kaget. Cepat-cepat dia sudahi rokoknya dengan menekan-nekan ujungnya di asbak di atas meja tepat di hadapannya. Setelahnya, dia menoleh ke arah Hera yang menatapnya dengan pandangan tidak suka.
Hera memberanikan diri menatapnya balik.
"Oh. Ups. Sorry, Beautiful ... little ... creature, with ummmm. Ck." Cukup lama pria itu mengamati tubuh Hera yang gendut yang menggemaskan. Dia sesaat menggelengkan kepalanya. "With nice hair," lanjutnya dengan senyum lebar terkagum melihat rambut keriting Hera. Pria itu berusaha seramah mungkin.
"I am Igor. You are..."
Bersambung