Bab 1. Pulang

1079 Kata
Hera Odette Farid, gadis kecil yang gendut dan menggemaskan dengan celotehnya yang terkadang membuat orang-orang sekitar takjub karena penuh makna dan dewasa. Dia adalah anak pertama dari pasangan Renata Paris dan Farid Malik Adam, yang keduanya merupakan mahasiswa di salah satu Universitas terkenal di kota Caen. Si rambut keriting ini lahir di kota indah Caen, dan proses kelahirannya yang tidak biasa, yaitu melalui orgasmic birth. Tata, panggilan akrab mamanya, mengalami kesusahan saat melahirkan, sehingga dokter kandungan di sana menyarankannya untuk berhubungan badan dengan suami sebelum melahirkan. Tahun ini Hera dan mamapapanya harus pulang kembali ke Jakarta dan tidak akan tinggal di Caen, kota kelahirannya. Mama dan Papa Hera sudah menyelesaikan pendidikan mereka dengan baik dan memang sudah waktunya pulang dan mengabdi di tanah air Indonesia tercinta. Khususnya Papa Hera yang kuliah dengan beasiswa kerjasama pemerintah Indonesia dan Perancis, dia memiliki tanggung jawab dan kewajiban untuk pulang dan mengabdikan ilmunya di Indonesia. “Vous aurez beaucoup de nouveaux amis à Jakarta.” Farid membujuk Hera saat mengemasi barang ke dalam beberapa koper. Hera duduk di salah satu koper yang sudah dikemas, dia bertanya apakah dirinya akan memiliki teman di sekolah, sementara dia memiliki keterbatasan bahasa dalam berbicara, dan papanya itu yakin bahwa dia akan memiliki banyak teman baru di Jakarta. “D'accord. J'étudierai assidûment l'indonésien.” Farid tersenyum mendengar Hera yang berjanji akan belajar bahasa Indonesia. Padahal Hera bisa berbahasa Indonesia. “Kamu kan bisa bicara dengan menggunakan bahasa Indonesia.” “Ya, But not selancar Grace dan Gloria, Papa.” Grace dan Gloria adalah saudara sepupu Hera. “Jangan khawatir. Kamu pintar dan pasti bisa belajar dengan cepat.” Farid sudah menyelesaikan mengepak satu koper, lalu dia meletakkan di sisi dinding ruangan. Tampak Hera senyum-senyum sendiri dan Farid heran melihatnya dan bertanya kenapa, “Pourquoi souriez-vous?” “Karena … aku akan bertemu Grace dan Gloria!” Farid meraih tubuh Hera dan menggendongnya. “Ada Mas Bagas, Mbak Ayu juga kan?” “Oui, Papa. Farid tersenyum lebar, Hera pasti sangat bahagia tinggal di Jakarta. Tampak Hera memeluk boneka barbienya erat-erat dengan mata yang berbinar membayangkan hidupnya yang pasti sangat membahagiakan di Jakarta. *** Mata Hera membulat segar ketika sinar matahari pagi menembus jendela pesawat yang berada tepat di sampingnya. Dia berteriak senang ketika merasakan roda pesawat menyentuh daratan dengan sempurna. Perjalanan kali ini cukup melelahkan baginya, karena dia selalu menghitung waktu dan jarak yang ditempuh dari Paris ke Jakarta selama perjalanan. Tak sabar rasanya ingin segera berjumpa dengan sepupu-sepupunya, terutama si kembar Grace dan Gloria. Farid, sang Papa yang duduk di sampingnya tersenyum lebar melihat dua kaki Hera yang bergerak-gerak saking senangnya. Hera juga memeluk boneka barbienya kuat-kuat sambil bersenandung ria. "Ayo, Hera. Kita sudah sampai," ucap Farid sambil melepas seatbelt khusus dari tubuh semok Hera. "Non, papa. Je ne suis plus un bébé. I can unbuckle my seatbelt by myself," protes Hera sambil memukul tangan papanya dengan boneka barbienya. Dia tidak ingin papanya membantu membukakan sabuk pengamannya karena dia bukan bayi lagi. Sadar apa yang dilakukannya salah, Hera mengusap-usap kepala barbienya seraya mengucapkan kata maaf berkali-kali kepada barbienya. Farid cepat menyingkirkan tangannya dari perut Hera dengan wajah penuh senyum. "I am a big sister, now," ucap Hera tegas sambil menyerahkan barbienya ke papanya. Lalu kemudian dengan arahan papanya Hera berhasil melepas sabuk khusus anak seusianya di tubuhnya. "But you are my little daughter," balas Farid sambil siap-siap meraih tubuh anak sulungnya itu. "A. A. No. No. Jangan gendong..." protes Hera dengan bahasa Indonesia yang terbata-bata. Farid tertawa kecil mendengar Hera yang bersusah payah berbahasa Indonesia, tapi dia memakluminya. *** Dengan mata memicing Hera amati ruang tamu nan luas di rumah Eyang Hanin yang didiami keluarga Pak De Guntur. Eyang Hanin adalah nenek dari sepupu Hera, Bagaskara namanya. Sebelumnya dia sudah pernah berkunjung ke rumah itu beberapa tahun silam. Waktu itu dia dan mamapapanya berangkat dari Caen ke Jakarta, karena akan menghadiri pesta pernikahan kakak sepupunya, Ayu Aghnia Haribawa dengan pria bernama Said Hassan Youdha. Mbak Ayu dan suaminya ini memiliki rumah tepat di depan rumah Eyang Hanin tersebut. Ada dua alasan besar Hera kembali ke Jakarta sekarang, papanya sudah menyelesaikan studinya di Caen dan pesta pernikahan eyangnya yang bernama Febyola, dengan seorang pria bernama Akhyar Sirojuddin, yang tak lain adalah kakek kandung dari Gloria dan Grace. Dan kali ini Hera dan keluarga benar-benar akan menetap di Jakarta. Tidak ada yang berubah yang Hera lihat dari ruang tamu rumah Eyang Hanin tersebut. Penataan ruang sama persis dari yang dia lihat sebelumnya. Bersih, rapi, juga sangat wangi. Maklum, ada banyak pembantu yang bekerja di rumah Eyang Hanin. Ada yang namanya Mbok Min dan Bu Sar dan Pak Johan, sang supir sekaligus penjaga taman, serta tiga pembantu lainnya. Pastinya rumah Eyang Hanin terawat dengan sangat baik. Tentu keadaan rumah Eyang Hanin sangat berbeda dengan ruang apartemen kecilnya di Caen. Sempit, berantakan dan berbau masakan. Hera menghela napas panjang mengingat tempat tinggalnya yang kini hanya tinggal kenangan. Seketika rasa rindu kota Caen dia rasakan, tapi setelah mengingat penjelasan dari papanya sebelum berangkat menuju Jakarta --bahwa dia tidak akan kembali ke sana lagi dalam waktu dekat-- Hera dengan cepat menepis rasa rindu itu. "Masih ingat sama Mbok Min, Hera?" tanya Mbok Min, salah satu dari pembantu Eyang Hanin yang ikut menyambut kedatangan keluarganya di rumah itu. Mbok Min adalah pembantu yang agak judes, tapi hatinya sangat baik. Sebelumnya Mbok Min dan Bu Sari mengamati gerak-gerik Hera yang sangat berubah dari sebelumnya. "Kayak maling cucune Bu Ola satu ini. Matanya sibuk lihat sana sini. Nggak sapa, nggak senyum. Beda iki," gumam Bu Sari saat Hera berjalan memasuki ruang tamu. Namun sepertinya Mbok Min tidak setuju dengan pendapat Bu Sari, dia malah nekad mendekati Hera. "Masih, Mbok. I remember you," jawab Hera lugas. "Aku ingat kamu," ralatnya agar Mbok Min memahami ucapannya. "Capek? Mau Mbok pijet?" tawar Mbok Min sambil menggerak-gerakkan kedua tangannya dengan gerakan memijat. Hera tersenyum kali ini. Entah kenapa Hera senang dengan sambutan Mbok Min. Dia rentangkan kedua tangannya meminta Mbok Min menggendongnya. Semua yang ada di ruang tamu terperangah melihat Hera yang senang digendong Mbok Min, karena sebelumnya mereka mencoba menarik perhatian Hera dengan menawarkan gendongan. Hera hanya diam tak menggubris tawaran mereka. Farid menggeleng saat anaknya diboyong Mbok Min ke taman belakang. Dia sendiri saja sering ditolak Hera jika menawarkan gendongan. "Jangankan Hera, wong Ayu aja dulu juga manja banget sama Mbok Min. Bagas apalagi," sela Eyang Hanin, sang pemilik rumah. Ayu yang duduk di sampingnya senyum-senyum mendengar ucapan eyangnya. Bersambung
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN