Idris senang, dia tidak saja bertemu Nadzir. Ternyata Nadzir memperkenalkannya kepada seorang anak laki-laki yang bernama Bagas. Yang membuatnya lebih senang lagi, ternyata Bagas juga bisa berbahasa Inggris. Meski aksennya terdengar sangat Indonesia dan sebagian kata-kata Inggrisnya tidak terlalu jelas, tak masalah bagi Idris. Artinya Bagas dan dirinya bisa saling memahami. Apalagi kepribadian Bagas cukup ramah dan mau menjawab setiap pertanyaannya.
"So your house is there?" tanya Idris sambil menunjuk sebuah rumah bercat putih yang di depannya ada pekarangan luas dengan hamparan rerumputan dan berbagai tanaman indah terawat.
"Actually it's not my house. It's my grandmas'. But I live there with many people." Bagas menjelaskan bahwa rumah itu bukan rumahnya tapi rumah eyangnya. Dia tinggal di sana dengan beberapa orang.
Idris menganggukkan kepalanya. Sejenak membandingkan tempat tinggalnya yang hanya dihuni tiga orang saja, dia dan keduaorangtuanya. Dia amati wajah Bagas yang hidupnya seperti tidak pernah merasakan kesedihan seperti yang sebelumnya dia rasakan. Wajah putih Bagas memang tampak selalu senyum. Mata Bagas juga selalu tampak berbinar.
"You know, Idris. Ammi Akhyar married his grandma," sela Nadzir sedikit mengejutkan lamunan Idris yang sedang mengamati Bagas.
"Njid Akhyar? Yes. I know it. I met his granma many times," tanggap Idris, mengaku sudah beberapa kali bertemu Eyang Ola.
"Oh. Really? But I didn't see you when I went to Nadzir's house on their wedding (Iyakah? Tapi aku nggak liat kamu pas nikahan mereka lho)," bantah Bagas yang tidak menyangka bahwa Idris pernah bertemu dengan eyangnya di beberapa kali kesempatan.
"I went there. Maybe we just split." (Aku ke sana kok. Mungkin kita terpisah)
Dahi Bagas sedikit mengernyit. Dia hanya bertemu Nadzir waktu itu, tapi tidak Idris. Agak aneh baginya. Tapi Bagas tepis perasaan anehnya. Bagas memang tidak mau rusuh dengan pikiran yang memberatkan. Lalu dia kembali mengamati ponsel yang sedang dimainkan Nadzir. Bagas tidak sabar menunggu gilirannya.
Setelahnya, mereka langsung akrab bermain bertiga di salah satu pojok pekarangan depan rumah yang sangat megah itu. Mereka tidak memperdulikan tamu-tamu yang mulai berdatangan dengan berbagai macam jenis kendaraan mewah.
***
Sekitar satu jam mereka asyik bermain, Idris mulai merasa bosan bermain gawai. Tiba-tiba pikirannya tertuju ke foto neneknya yang sedang terbaring di rumah sakit di Kolombo, yang ditunjukkan daddynya semalam. Idris mulai merasa sedih lagi.
Idris sangat jarang bertemu dengan Granma Uwung, mama daddynya. Dia lebih sering berkomunikasi lewat ponsel, karena Granma Uwung tinggal jauh di Kolombo. Kata Daddy, Granma Uwung memang sudah sakit diabetes akut sejak lama. Cukup banyak obat-obatan yang harus dikonsumsi Granma Uwung di setiap harinya, untuk menjaga kondisi tubuhnya agar tetap stabil. "Jangan banyak makan yang mengandung gula. Olah raga. Jangan males. Liat Mommy, selalu jaga kesehatan dan nggak sembarangan makan. Kamu juga. Biar nggak sakit kayak Granma," begitu nasihat yang selalu diucapkan daddynya.
"I need some rest. Need fresh air," ucap Idris sambil mengembalikan ponsel ke Nadzir. Pikirannya tidak lagi fokus bermain. Lalu dia berlalu menuju ke bagian dalam rumah.
Nadzir memandang heran ke arah Idris yang melangkah cepat memasuki rumah pamannya.
"Fresh air? Inside the house? Something wrong with his head (Udara segar? Di dalam rumah? Ada yang salah di dalam kepalanya)," kelakarnya ke Bagas.
"No. Kepalanya ok kok. Kan ada taman yang lebih luas di belakang rumah ini. Mungkin dia ke sana," bantah Bagas.
"Oh. Yes. You're right," ujar Nadzir sambil menepuk dahinya, dia baru menyadari ada taman yang lebih luas di belakang rumah pamannya.
***
Idris mengedarkan pandangannya ke seluruh penjuru ruang utama yang sudah dipenuhi tamu-tamu yang berkumpul. Mereka terdengar sedang membicarakan acara pernikahan besar Akhyar dan Ola yang akan diadakan di sebuah gedung mewah.
Idris tidak menemukan daddynya di perkumpulan tamu. Padahal dilihatnya cukup banyak kerabat yang dia kenal yang ada di sana, yang biasanya mengajak daddynya ngobrol-ngobrol. Bahkan dia melihat kakeknya, Njid Gamal, yang asyik ngobrol dengan sesama tamu pria di salah satu sudut ruangan.
"Njid. Did you see my Dad?" tanya Idris setelah mendekati kakeknya.
"Oh. Dia di taman belakang," jawab Gamal. Lalu dia hentikan obrolannya dan beralih memperhatikan Idris yang terlihat cemas. "Idris. Njid tau Granma Uwung sakit," ujarnya penuh prihatin.
"Yes. Last night she was in the hospital. But this morning she's already home," jelas Idris, mengatakan bahwa grandmanya sudah pulang dari rumah sakit.
Gamal mengangguk-angguk lega. "We talked about her. Mudah-mudahan kita bisa ke sana setelah acara besar ini."
Bukan main Idris senang mendengar ucapan kakeknya. Dia peluk kakeknya kuat-kuat.
"Thank you, Njid," ucapnya senang. Lalu berjalan cepat ke bagian belakang rumah, menuju taman yang ada di sana.
Idris terperangah, dilihatnya daddynya sedang bercanda dengan seorang gadis kecil yang duduk di atas pangkuannya.
***
...
"I am Igor. You are..."
Wajah Hera sinis melihat Igor yang tersenyum lebar ke arahnya.
"I don't like your smile," desis Hera. Tapi lucunya, dia malah duduk di atas bangku yang lebih rendah yang kebetulan ada di samping Igor. Hera duduk santai sambil membelai-belai rambut kusut boneka barbienya. Sejurus kemudian, Hera menoleh ke Igor dan mengamati sekujur tubuh Igor dengan seksama. Matanya turun naik dari atas kepala hingga ke kaki Igor. Lalu menggeleng-geleng dengan mata terpejam.
Igor tersenyum-senyum melihat sikap Hera yang sama sekali di luar dugaannya. Perasaan gundahnya karena memikirkan mamanya yang sakit keras tiba-tiba lenyap begitu saja.
Tak tahan menahan rasa geli di perutnya. Igor pun tertawa dengan kepala mendongak.
"You are," ucap Igor saat tawanya reda. Dia ingin Hera menyebutkan namanya.
"Je suis Héra," jawab Hera singkat.
Igor terperangah. Hera ternyata berbahasa Perancis. Pantas saja aksen Inggris Hera saat memarahinya tengah merokok terdengar berbeda.
Igor perbaiki letak duduknya dan menghadap ke Hera yang tersenyum-senyum melihat indah pemandangan taman. Kaki Hera bergerak-gerak senang karena udara di taman belakang sangat menyegarkan.
"You ... hm ... ck. Avez-vous déjà été ici?" tanya Igor. Dia berusaha mengingat-ingat bahasa Perancis yang pernah dia pelajari secara otodidak ketika kuliah di Leeds, Inggris, beberapa tahun silam. Dia bertanya apakah Hera sudah pernah ke rumah itu sebelumnya.
Hera mendelik. Dia menoleh ke arah Igor dan mengangguk tersenyum. Mengangguk karena senang Igor bisa berbahasa Perancis.
"But ... hm. I've never seen you. I've been here many times. Not that often. Hm ... you are new for me," gumam Igor. Matanya sedikit memicing mengamati sekujur tubuh Hera. Selama berkunjung ke acara keluarga istrinya, Igor yang hafal dengan anak-anak di lingkungan keluarga istrinya, belum pernah bertemu dengan gadis berambut keriting panjang sebahu, dengan perut gembul dan pipi merah. Igor sama sekali tidak pernah melihat yang satu ini. Gadis kecil yang berani dan cerewet.
Bersambung