Dari gosip itu, yaa Azzura menjaga jarak lah. Meski beberapa kali ia bahkan diolok-olok oleh teman-teman se-gengnya Iwan. Hal yang justru membuatnya sangat tidak nyaman. Ia mati-matian menghindar karenanya. Haaaah. Padahal ia ingin memulai sekolahnya dengan tenang di sini tanpa embel-embel cinta. Kenapa?
Ia termasuk orang yang tidak mementingkan urusan cinta. Aneh ya? Gadis seumurannya justru sangat heboh mengurusi urusan cinta-cintaan ini. Ia justru menjauh dari itu. Walau yah sempat merasa senang. Tapi ia mendengar apa yang dikatakan teman-temannya. Tampaknya lelaki itu memang berbahaya. Lebih baik ia menjaga jarak. Lagi pula apa pentingnya urusan ini kan? Ia berhasil menghentikan hatinya setidaknya untuk saat ini.
"Kalau yang lain sih boleh, Zur. Kalo Kak Iwan aja yang jangan."
Ani dan Ana mengangguk-angguk. Dua gadis itu kembar. Awalnya yang satu kelas dengan mereka adalah Ani. Tapi entah dengan alasan apa, Ana ikut dipindahkan ke kelas mereka. Keduanya duduk sebangku pula. Tak ada aturan memang apakah harus duduk dengan lelaki atau bagaimana. Berbeda dengan saat Azzura berada di sekolah dasar dulu. Di mana teman sebangku saja diatur-atur oleh guru sekolahnya. Ia heran. Hahaha. Menurutnya itu sama sekali tak penting. Yeah di SMP-nya dulu juga begitu sih. Padahal lebih menyenangkan kalau duduk dengan sesama perempuan.
"Kak Iwan bahaya gitu. Mending jauh-jauh. Urusan olokan temen-temennya ya gak usah diladenin. Kayaknya emang tipe begitu tapi gak perlu ge-er lah."
"Bener-bener. Tapi kita-kita kudu liat-liat dulu guys. Kalo bukan Kak Iwan tapi kelakuannya gak beda jauh, mending gak usah juga."
Mereka tertawa. Azzura justru menggelengkan kepalanya. Ini sungguh bukan hal penting untuk dibahas. Karena kehidupan asmaranya memang monoton sejak dulu. Alih-alih ke kantin di jam kosong karena gurunya tak masuk, ia justru melipir ke perpustakaan. Ani, Ana, dan Ria sama-sama ternganga melihat kelakuannya. Ya kaget lah. Hahaha. Mereka mengira kalau Azzura itu sebelas-dua belas dengan mereka. Meski dari segi menyerap pelajaran tampaknya Azzura lebih cepat dibandingkan mereka.
"Seriusan nih kagak ikutan?"
Ana hanya memastikan sekali lagi. Mulutnya sejujurnya masih ternganga. Ya kan mereka tak tahu Zura seperti apa. Gadis itu kerap terlalu memaksakan dirinya. Terlalu memforsir tubuh untuk belajar hal-hal yang menurutnya sangat penting. Ya segala hal yang berkaitan dengan pelajaran memang sangat penting baginya.
"Iya. Kalian aja!" tukasnya lantas berjalan santai sambil membawa buku menuju perpustakaan. Ketiga sahabat barunya itu kompak geleng-geleng kepala.
"Tuh orang dari alam mana sih?"
Ana dan Ani tergelak. Mereka menyeret Ria menuju ke kantin. Biarkan lah saja Azzura yang malah berjalan syahdu menuju perpustakaan.
"Kayaknya Zura emang tipe-tipe cewek pinter gitu deh."
"Mungkin?"
Mereka juga masih menebak-nebak. "Ya udah lah. Biarin aja. Kita makan aja di kantin. Sekalian nanti bawain makanan. Siapa tahu Zura laper."
Yang lain mengangguk-angguk. Sementara itu.....
"Murid baru ya?"
Ia terkaget. Ia baru hendak berjalan masuk tapi tertahan di meja administrasi perpustakaan.
"Kalo mau masuk, harus daftar dulu. Biar bisa minjem buku juga."
Azzura mengangguk-angguk. Kalau ia amati wajahnya tampak tak asing. Lalu saat ia melirik ke arah tag namanya....
"Azzura?"
"Eh iya, Kak."
Ia terkaget. Dari mana tahu namanya?
"C-nya apa?"
Ia berdeham. Aaah ia jadi tahu dari mana lelaki ini jadi tahu namanya. "Camelia."
Cowok itu mengangguk-angguk. Azzura menggigit bibirnya. Kaget lah. Ternyata lelaki di depannya ini adalah kakak kelasnya alias ketua OSIS yang wajahnya super super serius kemarin saat memberikan sambutan. Azzura meneguk ludah dalam-dalam. Bahkan sekarang pun tampak serius dengan komputer di depannya. Haah kenapa ia baru bisa mengenal wajahnya? Tapi wajar sih meski beberapa kali bertemu, ia memang tak terlalu memperhatikan orang-orang.
"Ini kartu kamu."
Azzura mengangguk lantas mengucapkan terima kasih. Ia berjalan masuk ke dalam perpustakaan. Jangan salah sangka. Targetnya bukan buku pelajaran kok. Apalagi kamus-kamu tebal. Hahaha. Targetnya justru n****+-n****+ yang biasanya memiliki tempat khusus di antara rak-rak buku yang ada di dalam perpustakaan. Maka jadi lah ia berkeliling mencari lokasi n****+-n****+ indah itu. Tapi sayangnya....tak berhasil ia temukan. Apakah hanya ada buku pelajaran di sini? Seharusnya tidak begitu bukan?
"Nyari n****+?"
Tahu-tahu ada yang berkata begitu. Ia menegakan tubuhnya usai membungkuk. Mencoba melihat ke rak-rak bawah. Lalu menoleh ke arah samping kanan di mana cowok tinggi menjulang itu berdiri dan menatap ke arahnya. Ia agak mendongak. Padahal setahunya tadi masih berjaga di depan sebagai pengganti staf administrasi perpustakaan. Tapi begitu si staf kembali, ia ikut masuk ke dalam perpustakaan. Ia memang dimintai tolong sebentar tadi untuk berjaga. Karena takut ada yang mau masuk. Eh iya memang ada meski hanya satu, yaitu Azzura.
"I-iya, Kak."
Berhubung dari gelagatnya sudah ketahuan. Lebih baik jujur saja. Cowok itu tersenyum kecil. "Ada di pojok sana. Bukan yang sebelah sini. Lokasinya juga agak tinggi."
Sekali lagi, Azzura mengucapkan terima kasih. Rasanya agak canggung juga. Ia pamit dengan sopan dan berjalan menuju rak yang dimaksud. Ada di ujung kan? Ia komat-kamit mengingat lokasi yang diucapkan tadi. Berharap tidak salah. Tapi benar kok. Buktinya ia memang menemukan jajaran n****+-n****+ itu. Target Azzura apa?
"Suka Harry Potter juga?"
Ia terbatuk-batuk. Kaget lah. Lelaki ini muncul seperti hantu menurutnya. Tahu-tahu ada di sebelahnya. Berdiri pula dengan senyuman kecil dan mengambil n****+ yang tadinya hendak Azzura baca. n****+ jadul itu memang sangat disukai Azzura. Ia suka asmara nya dan alur kisah fantasinya. Jujur saja, Azzura kadang jijik membaca cerita romansa. Hahaha. Mungkin itu juga penyebab kenapa ia tak memikirkan asmara saat ini.
Azzura mengangguk dengan canggung. Ia menerima n****+ yang kini diberikan padanya. Harry Potter seri pertama di mana siapapun tahu judul dan alur ceritanya. Tapi yang Azzura mau baca itu bukan versi Indonesianya. Melainkan versi asli. Dan di perpustakaan ini ada. Semuanya bahkan lengkap. Ia sampai berdecak saking kagumnya. Di perpustakaan sekolahbya semasa SMP tak akan ia temukan. Karena apa? Ya kan buku-buku aslinya itu mahal. Dana sekolah tak akan mampu untuk membeli itu karena memang bukan itu prioritasnya. Tapi di sini ia malah temukan? Iya kan? Apa mungkin sumbangan? Ia mendengar kalau sekolah ini juga menerima dananya yang banyak dari beberapa orangtua murid.
"Raga," ucapnya. Tahu-tahu mengulur tangan ke arah Azzura. Azzura membalasnya dengan sopan dan gemetar. Hal yang mengundang kekehan. Ia sangat sadar kalau gadis ini amat grogi. Meski berusaha bersikap tenang dibalik wajahnya. "Kelas berapa Azzura?"
"Sepuluh, Kak."
"Ya sudah pasti sepuluh. Tapi sepuluh apa?"
Aaaah. Ia merasa bodoh seketika. Hahaha. Kenapa bisa segoblok ini? Rasanya ingin mneerawakan kebodohan sendiri tapi rasanya tak etis sama sekali.
"X-1, Kak."
Cowok itu mengangguk-angguk lagi. Ia tersenyum kecil. "Tahu sama saya?"
Tentu saja Azzura mengangguk-angguk. Ia sangat tahu. Ya kan lelaki ini selalu muncul selama masa orientasi. Bagaimana mungkin Zura bisa melupakannya? Wajahnya memang mensrik perhatian. Tapi Zura bersikap biasa saja. Karena itu adalah hal yang wajar jika merasa tertarik. Lelaki ini tampak seperti sempurna karena memang memiliki segala hal yang para perempuan idamkan. Dengan wajah itu, otak itu, dan mungkin latar belakang keluarganya? Sangat mudah untuk menilai latar belakang seseorang di sini karena memang terlihat jelas dari gaya pakaiannya.
"Pernah ikut OSIS waktu SMP?"
Ooh. Ini bukan dalam rangka ingin berkenalan ya? Tapi dalam rangka ingin mengajaknya bergabung ke dalam OSIS? Azzura ingin tertawa. Ia tak boleh ge-er dulu. Cowok ganteng menyapa atau mungkin yang jelek sekalipun, belum tentu itu dikarenakan tertarik padanya. Bisa jadi karena ada urusan lain kan ya? Segala hal memang dapat terjadi.
"Iya," jawabnya. Waktu SMP, Azzura memang aktif. Ya alasannya memang nilai dan ekstrakurikuler itu sangat penting untuk fortofolionya. Bahkan di sini pun tentu tak akan ia lewatkan. Ia sengaja masuk sekolah ini dengan niat untuk masuk kampus ternama kan? Meski bukan sekolah yang elit-elit banget. Tapi biaya sekolahnya juga lumayan mahal. Setidaknya untuk seukuran kantong keluarganya. Mungkin beebeda dengan beberapa murid lain di sini. Ria, misalnya. Ia bisa menebak kalau Ria pasti berasal dari keluarga kaya. Itu semua tampak jelas dari apa yang ia kenakan. Yah terkadang Zura bukannya ingin terlalu menilai bagaimana kehidupan orang lain. Tapi ini seperti sebuah pikiran yang otomatis muncul.
Di sekolahnya dulu juga banyak murid-murid seperti Ria. Ya masih tergolong kaya menengah. Di sini juga tampaknya banyak selali yang kaya menengah. Mungkin kalau kaya atas itu ada banyak bersekolah di sekolah-sekolah elit ya? Meski tampaknya ada juga beberapa murid yang berasal dari keluarga yang kaya banget tapi malah memilih bersekolah di sini. Ya masing-masing orang memang memiliki tujuan. Ia tak bisa menyamaratakan semua orang.
"Tertarik untuk bergabung?"
Zura mengerjab-erjab. Pikirannya justru berkeliaran ke mana-mana.
@@@
"Nathan! Nathan! Nathan!"
Baru masuk beberapa hari, namanya langsung melejit di kalangan cewek-cewek. Dari yang seangkatan sampai kakak kelas juga mau mengantri untuknya. Beberapa yang menurut Nathan menarik sih sudah pasti digebet. Hahaha. Tapi kalau yang tidak ya sudah. Tinggalkan saja. Dari pada pusing kepala kan?
Lalu apa yang terjadi siang ini? Seperti biasa. Ketika jam terakhir kosong, ya jadwal main bola. Bahkan suasananya sampai ramai karena ketika bel berbunyi pun, mereka tak berhenti. Justru semakin ketagihan karena banyak yang menonton. Meski nama yang diteruskan hanya Nathan. Makin riuh lagi saat cowok itu kebagian tendangan penalti. Akibat didorong kakak kelas tadi. Mungkin kesal karena Nathan mendadak populer padahal masih anak baru.
Nathan tampak serius menatap gawang di depan mata. Sang kiper sudah siap berjaga-jaga. Tak mau sampai kecolongan bola. Nathan bersiap-siap ketika pluit hendak dibunyikan. Lalu tendangannya melesat daaaaan.....
"GOOOOOLLLLL!"
Teman-temannya berseru dengan heboh. Ia terkekeh. Hanya bisa tertawa ketika digendong dan dilempar ke atas. Ini rasanya seperti tim nasional yang berhasil memenangkan pertandingan. Meski mereka hanya bermain untuk bersenang-senang. Beberapa menit kemudian, permainan disudahi karena mereka sudah cukup lelah. Anak-anak yang masih ingin menonton berseru ketika disuruh bubar. Nathan ikut bergabung dengan teman-teman yang lain, berteduh di bawah pohon sambil menyelonjorkan kaki di atas rumput. Mereka lelah juga usai bermain selama hampir satu jam.
"Wooi, Naaath!"
Satu temannya datang lantas memberi kode ke arah cewek-cewek yang kini melempar senyum ke arahnya. Gadis-gadis itu berdiri tak begitu jauh. Nathan hanya mengerlingkan mata dan mereka sudah senang. Teman-temannya heboh berseru. Untuk sahabat Nathan dari SMP, ini bukan sesuatu yang mengherankan. Justru sangat lazim karena Nathan memang digilai wanita dari dulu. Pacarnya saja banyak. Hahahaa.
"Gila ya bos kita?!"
Yang lain meledek lalu mereka tertawa-tawa. Nathan tak pernah ambil pusing dengan segara ledekan itu. Itu adalah hal yang sangat biasa. Teman-temannya memang begitu. Itu sudah terjadi sejak zaman dulu kala. Bahkan mungkin dari ia masih duduk di sekolah dasar? Ya barangkali memang begitu.
Usai mengerling, ia beranjak berdiri. Teman-temannya berseru lagi, mengolok. Apalagi langkahnya memang menuju cewek-cewek itu. Biasa lah, mereka mengajak kenalan lebih dulu. Namanya Chantika. Cewek itu cantik sekali dengan paras yang asli Jogja. Berbeda dengan Nathan yang berkulit putih, cewek ini justru berkulit sawo matang. Tapi kebanyakan orang pasti menyukai paras yang seperti ini. Termasuk Nathan. Hahaha.
"Besok aja. Gue ada perlu hari ini," ujarnya sekalian pamit lantas berjalan menuju ke kelas. Kelasnya pasti sudah sepi karena yang lain sudah pulang. Sementara ia kembali ke kelas hanya untuk mengambil tas kemudian berjalan menuju parkiran. Seperti biasa, mengendarai motornya. Tapi sebelumnya.....
"Di mana?"
"Iiih! Aku udah nunggu setengah jam tahu, Nath!"
Ia hanya terkekeh. "Oke, tunggu."
Perempuan di seberang itu terpaksa mengiyakan. Yang namanya Nathan mana pernah mengutamakan perempuan sih? Apalagi kalau ia yang dikejar? Duuh gak banget. Paling males malah. Hahaha. Tapi mau bagaimana lagi? Mumpung ia tertarik ya hajar saja. Masa muda itu memang harus dinikmati. Apalagi masa-masa SMA. Katanya memang begitu kan?
Yeah para cowok sepertinya memang selalu mencari kesempatan jika ada. Apalagi kalau ada yang terang-terangan memberikan segala perhatian untuknya. Tapi buka berarti ia memanfaatkan juga. Ia tak mau brhubungan dengan perempuan yang tidak menarik. Jadi kalau sampai ia pacari ya sudah pasti ia tertarik. Walau biasanya memang itu tak kan lama.
Ia mengendarai motor menuju sekolah lain untuk menjemput perempuan yang entah ke berapa. Yang jelas ini pacarnya. Ia juga punya pacar lain di sekolah lain juga. Hanya di sekolahnya saja yang belum. Jadi kalau Chantika tadi benar-benar mau padanya, ia bisa punya pacar tiga orang! Gila kan?
Hahaha. Itu hal biasa untuk orang-orang ganteng sepertinya. Karena rumus mempunyai pacar banyak itu hanya satu. Apa? Kamu harus punya wajah yang ganteng seperti Nathan. Hahaha. Karena memang ini adalah sesuatu yang tidak dimiliki semua orang. Terlihat kurang ajar ya? Ya bagi teman-teman Nathan itu adalah hal yang sangat biasa. Mereka sudah melihat semua itu. Nathan memang begitu sejak dulu meski ia tentu tetap menghormati perempuan. Ia tak pernah mengambil kesempatan jauh. Ia juga tahu ada batasnya.
"Iih! Lama banget sih, Naath!"
Ia protes. Walau tak urung tetap naik juga. Nathan hanya berdeham lantas mengendarai kembali motornya. Ia kadang sebal karena hanya dijadikan ojek oleh beberapa cewek seperti ini. Hahaha. Jujur saja, ia paling malas mengantar-jemput cewek. Apalagi kalau cewek itu banyak maunya. Urrrghh!
Walau ujung-ujungnya memang terpaksa ia lakukan. Yeah kadang ia memiliki rasa kasihan atau itu hanya alibinya saja? Ah terserah lah orang mau menilainya apa.
Nathan mengedipkan mata ke arah cewek yang tampaknya terpesona dengannya ketika mereka berhenti di lampu merah. Cewek itu tersadar karena kaget. Mungkin dikira menatap Nathan padahal tak ada maksud ke sana. Hahaha. Meski tak urung, ia tersenyum juga. Tak terganggu dengan cewek yang dibonceng Nathan dan duduk di belakangnya dengan tubuh yang amat mepet.
Usai mengantar cewek itu, ia kembali ke rumahnya. Hanya lima belas menit perjalanan dengan motor, ia akhirnya tiba di rumah. Rumahnya agak sepi kalau masih siang begini. Papanya? Tentu saja bekerja di Jakarta. Mereka memang tinggal terpisah. Tapi kedua orangtuanya tak berpisah. Ia bersama ibunya tinggal di Jogja. Ah ya, ibunya seorang dosen di sebuah kampus ternama swasta yang ada di Jogja.
"Nathan pulaaaang!" serunya. Ia tahu kalau ibunya sudah di rumah. Itu terlihat dari mobil ibunya yang ada di garasi. Ibunya terkaget. Perempuan itu segera menghapus air matanya lantas berpura-pura sibuk di dapur. Nathan muncul dengan senyuman kecil. Senang melihat ibunya dijam-jam seperti ini sudah di rumah. Biasanya kan masih sibuk di kampus. "Tumben, Ma."
Perempuan itu membalik badan dan mencoba tersenyum tipis. Keceriaan yang berusaha ia tampilkan memang berhasil mengecoh Nathan. Sehingga lelaki itu sama sekali tak punya firasat buruk yang mungkin terjadi.
"Gimana sekolahnya?"
Nathan terkekeh. "Sekolah gitu-gitu aja, Ma."
Baginya tak ada hal penting yang harus dibahas tentang sekolah. Lebih baik ia kembali ke kamar lalu beristirahat dengan benar. Meski itu juga tak lama. Ia sibuk membalas semua pesan cewek-cewek. Hahaha.
Ibunya mengangguk-angguk. Ia biarkan Nathan bergerak ke lantai dua. Sementara ibunya menarik nafas dalam. Ia kembali menangis. Entah apa yang terjadi. Nathan benar-benar tak tahu. Tak punya firasat sedikit pun. Ia bahkan sudah larut dalam hal lain yang menurutnya jauh lebih penting.
@@@
Bel pulang berbunyi. Azsura masih sibuk mencatat beberapa hal penting. Mungkin akan ia kenang juga kejadian istimewa hari ini. Hahaha.
Lucu juga. Dari sapaan lalu menjadi obrolan kecil. Terasa menyenangkan? Meskipun Zura tak mau terlibat begitu jauh. Karena menurutnya, ada batasnya. Zura hanya ingin membatasi diri pada sebuah hubungan dengan lelaki mana pun. Ia rak akan membuka hati. Apalagi kalau hanya sebatas obrolan semacam tadi. Ya siapa tahu kakak kelasnya tadi melakukan itu bukan karena tertarik. Tapi biar ada yang bisa diajak mengobrol. Karena mungkin akan membosankan kalau hanya sendirian bukan? Ya kan?
Ya-ya. Iya kan saja. Ia tak mau ambil pusing dengan segalanya.
Omong-omong soal ketua OSIS tadi, sepertinya lelaki itu tertarik padanya. Meski Azzura juga ragu. Yaaa kalau dilihat-lihat Raga itu sosok yang keren. Karena cara bicaranya bagus dan juga pintar. Dia punya kekuasaan juga kan di kalangan siswa. Menjadi ketua OSIS itu memang benar-benar tidak mudah. Azzura sadar betul. Kebanyakan jabatan ini juga masih didominasi laki-laki. Meski waktu ia duduk di bangku SMP dulu, yang menjadi ketua OSIS ditahun angkatannya adalah perempuan. Keren kan?
Hah. Apa yang ia baru saja pikir kan? Hahaha. Lebih baik memikirkan hal lain. Walau ada beberapa hal yang tidak bisa ia tampik dari kakak kelasnya itu. Maksudnya, mungkin karena lelaki itu terlalu sempurna. Tampak memiliki segalanya. Tampak pintar juga. Tapi tak terlalu bagus. Karena akan sangat sulit untuk menyamainya. Zura tak suka bersaing dengan lelaki semacam itu. Ya memang sih bukan itu juga tujuannya. Tapi pasti ada beban moral bukan?
Dan lagi memang ada hal yang ia kagumi. Ia salut sih. Karena jujur saja, tak mudah. Rasa percaya diri harus tinggi dan berwawasan luas. Selain urusan prestasi tentunya. Dan Raga itu juga memiliki porsi tersendiri sebagai ketua OSIS yang bisa dibilang sekarang sedang ia kagumi. Bukan kah siapapun yang berada di posisi itu memang sangat keren? Karena Zura tahu itu tak akan mudah. Ia saja dikenal karena sekedar mendapat ranking. Karena kalau tidak, mungkin ia tak akan pernah terlihat. Tak ada hal yang mencolok darinya. Hanya sekedar cantik? Banyak yang jauh lebih cantik dibandingkannya. Apalagi cewek-cewek yang ada di sini. Ia merasa jauh sekali dari mereka. Ya kan?
"Azzuraaaa! Pikeeeet!"
Salah satu temannya berseru. Aaah. Ia lupa kalau ini adalah piket perdananya. Akhirnya ia membalik badan dan segera melepas tasnya lalu membantu teman-teman yang piket bersamanya. Jadwal menyapu memang siang usai pulang sekolah. Lalu dilanjut besok pagi lagi. Biar mereka tak terburu-buru harus datang pagi pada esok hari. Ini akan lebih santai tentunya.
Usai menyapu dan menutup jendela kelas, ia bersama teman-temannya keluar dari kelas. Keempatnya berjalan sambil mengobrol ringan. Karena benar-benar baru saling mengenal, mereka hanya bertukar informasi tempat tinggal dan sekolah lama. Dan tentu saja mereka kaget dengan kehadiran Azzura yang ternyata bukan anak Jakarta.
"Gue kira lo anak Jakarta, Zura."
"Iya, gue juga ngira begitu."
Karena dari wajahnya terlihat begitu. Azzura tersenyum kecil. Mungkin karena wajahnya tidak mengandung khas daerah tertentu. Cenderung umum saja dengan wajah yang agak lonjong dan mata yang bulat besar. Meski berkulit agak putih, ia cukup manis ketika tersenyum. Ini yang mungkin banyak membuat lelaki merasa tertarik.
Tak banyak hal yang diceritakan Azzura soal kampung halamannya. Karena teman-temannya ini bukanlah orang-orang yang pernah berwisata keluar dari Pulau Jawa. Jadi tidak begitu tahu banyak daerah. Bahkan mereka mengira kalau provinsi di mana Azzura tinggal itu ada di dekat Lombok atau bahkan Maluku. Hal yang membuatnya tertawa.
"Masih Sumatera tahu. Coba kalian lihat deh nanti," tukasnya. Obrolan mereka tampak riang setidaknya sampai gerbang sekolah. Kemudian terpisah. Ada yang dengan motor sehingga berjalan menuju parkiran motor. Ada yang naik metromini yang kebetulan lewat. Ada yang naik angkutan umum juga tapi berbeda arah dengan Azzura.
Saat Azzura hendak menyeberang, cewek itu terpaku. Sumpah ia kaget saat melihat dua kakak kelasnya yang tampak sedang.....berciuman? Astagaaa! Ia ternganga.
@@@