"Apa emang begitu ya?"
Teman-temannya terbahak. Kaget juga kalau sesembrono itu. Itu sih lebih dari parah namanya. Azzura masih syok dengan kejadian kemarin dikala ia melihat kakak kelasnya berciuman di pos satpam gerbang sekolah. Jelas kaget lah. Itu kan masih area sekolah meski susah jam pulang dan sudah agak sepi.
Gilaaaak. Azzura memang belum tahu dunia di sini karena berbeda jauh dengan ia dulu. Ya ia tahu sih kalau teman-temannya semasa SMP yang meninggalkannya, juga melakukan hal-hal semengerikan itu. Maksudnya, teman-temannya dimasa SD yang baru tahu dunia ketika SMP dan lebih memilih berpacaran dibandingkan belajar. Banyak dari mereka yang berubah lalu ia melihat juga bagaimana pergaulan mereka. Hanya melihat dari jauh lalu banyak mendengar segerintil gosip-gosip. Entah benar atau tidak. Azzura tak mau ambil pusing. Biarkan lah. Itu adalah urusan mereka.
"Kayaknya udah sering deh. Semua orang juga bilang gitu. Kata Kak Dewi juga begitu. Udah biasa. Apalagi yang namanya Iwan."
Ana dan Ani ikut mengangguk-angguk. Azzura masih syok karena ia merasa perbedaan budaya yang sangat signifikan. Ya ia tapi ada temannya juga yang seperti itu. Taaaapi tidak akan melakukannya di sekolah. Apalagi dijam-jam seperti itu. Itu gila namanya. Apalagi banyak yang tahu. Ia terheran-heran. Apakah di sini, orang-orang tak tahu malu? Atau ia saja yang tak paham dengan budaya mereka? Tapi mai dilihat dari sudur manapun tetap salah bukan? Bukan sekedar menabrak norma dan etika tapi jelas-jelas salah menurut agama.
"Makanya lo kudu hati-hati sama yang namanya Iwan itu, Zuur!"
Ani mengacungkan jempolnya. "Betuuul! Nanti kita-kita akan jagain elu dari cowok-cowok b******k kayak dia."
"Siapa yang b******k hah?"
Keempatnya terkaget. Ya mana tahu kalau ada yang nongkrong di kamar mandi. Berhubung orangnya belum keluar dari salah satu bilik pintu toilet, mereka segera kabur. Begitu jauh dan mengamati kamar mandi tadi, mereka tertawa terbahak. Meski masih was-was juga. Ya mana tahu kalau ada orang di dalamnya.
"Kayaknya ceweknya deh, Zuur."
Ia jadi was-was. Masalahnya namanya yang disebut-sebut tadi. Kalau sampai ketahuan bagaimana? Ini apes banget daaaah!
@@@
Azzura tersenyum kecil. Ia membaringkan tubuhnya di atas kasur. Lucu kalau mengingat-ingat masa sekolahnya kala itu. Proses adaptasinya dalam mencari teman tak begitu lambat. Setidaknya ia punya teman-teman yang ramah dan terbuka dengan siapa saja. Dalam bayangannya, anak-anak Jakarta itu memiliki kasta tinggi. Tapi setelah ia pikir-pikir, sepertinya tidak semuanya begitu. Buktinya anak-anak di sekolahnya. Meski ada yang bergeng-geng, tapi kenyataannya, banyak juga yang berbaur. Yaaa sentimentil mengenai harta dan kelas sosial itu tak begitu berjarak jauh. Ya kembali sih karena sekolahnya memang bukan sekolah elit. Ia juga sadar diri. Orangtuanya tak akan mampu membiayai. Ia tak mau menyusahkan Tantenya. Perempuan itu sudah baik karena mau menampungnya di sini. Meskipun....semua juga terbatas. Lagi pula memang bukan tugas tantenya untuk mengurusnya sekolah tapi kedua orangtuanya.
"Azzura, udah ngecek jurnal yang saya kirim ke translator? Karena katanya hasilnya udah dikirim hari ini."
Aaah. Ia baru ingat. Tadi ia mengecek itu tapi lupa. "Sebentar, Prof. Saya cek dulu."
Perempuan itu mengangguk-angguk. "Saya titip ya, Azzura. Kalau sudah, langsung di-submit saja."
Azzura mengiyakan. Ia membuka email dengan cepat lantas segera mengecek jurnalnya. Lalu segera mengecek jurnal yang hendak diajukan ke sebuah penerbit di luar negeri. Dengan cekatan ia mengerjakannya. Satu jam kemudian urusan selesai lalu baru ia bisa pulang. Haaaah. Lelah sekali.
Sebetulnya ia lebih suka menerjemahkan sendiri. Sehingga biayanya jauh lebih murah. Jadi hanya perlu meminta bantuan proofreader untuk mengecek sebelum jurnal itu dikirim. Tapi ya sudah lah. Ia ikut saja apa yang profesornya mau selama tak merugikannya.
Menjelang jam lima sore, ia membereskan barang-barangnya. Rasanya ruang departemen ini juga sudah mulai sepi. Kemudian ia segera bergerak untuk merapikan meja baru kemudian berpamitan pada dosen lain yang masih menetap dan sibuk dengan pekerjaannya masing-masing. Fase-fase sibuk dosen itu? Heum....rasa-rasanya setiap waktu. Hahaha. Kenapa?
Yaaaa pekerjaannya ketika libur perkuliahan, sibuk dengan jurnal, mengurus beberapa mahasiswa sidang yang sudah mepet yudisium, mengurus yudisium, lalu silabus perkuliahan, persiapan mahasiswa baru. Haaaah. Apalagi dosen muda sepertinya. Tapi Azzura mulai menikmati sih. Karena ia sendiri yang ingin terjun ke dalam bidang ini bukan?
Ia yang memilih jalan ini jadi ia harus bertanggung jawab untuk segalanya. Tapi ia tak pernah menyesal. Karena....
"Bu Zura!"
Salah satu mahasiswinya memanggil dikala ia baru saja keluar dari ruang dosen. Ia menoleh ke arah kedatangan mahasiswinya yang tampak tersenyum ceria.
"Ya, ada apa?"
"Eung....apakah saya boleh konsultasi terkait proposal penelitian skripsi saya, bu?"
Zura mengangguk. Dengan senang hati ia akan mau membantu. "Boleh."
"Kira-kira kapan ya, bu, ada waktu?"
Zura tampak berpikir. "Mungkin besok? Saya kebetulan harus membimbing juga beberapa mahasiswa. Kamu bisa datang jam empat sore setelah mereka."
Ia mengangguk-angguk senang lalu mengucapkan terima kasih pada Zura dan pamit. Zura mengangguk. Ia pasti akan membantu karena ia tahu bagaimana rasanya menjadi mahasiswa dulu. Kemudian ia menempelkan sidik jari untuk absensi pulang.
"Balik semuanya."
"Iya, bu Zura!"
Ia berjalan menuju lobi fakultas. Ini bukan kampus lamanya yang memiliki bis kuning. Jadi biasanya ia akan memesan ojek online untuk sampai di kosnya. Sudah sore begini, mahasiswa juga masih ramai. Ia tersenyum kecil. Terkenang masa-masa kuliah yang sangat menyenangkan. Masa kuliah itu menyenangkan karena bertemu dengan teman-teman. Iya kan?
Ia jadi rindu teman-teman kuliah dan teman-temannya dikala SMA. Masing-masing sudah punya kesibukan sendiri. Mereka sudah sibuk dengan dunia masing-masing. Bersua rasanya hampir jarang sekali. Dengan teman-teman SMA, ia pikir ya saat mereka masih sama-sama kuliah. Tapi saat sudah bekerja, mereka masing-masing sudah sibuk. Sama juga dengan teman-teman semasa kuliahnya yang penuh dengan drama. Hahaha.
"Pulang, Kak?"
Ia terkaget. Yumna terkekeh melihat reaksinya. Ia mengangguk. Tak lama muncul suami dari perempuan yang baru menyapanya ini.
"Duluan, Zura!" pamit keduanya.
Ia mengangguk dengan senyuman lantas membiarkan keduanya pergi dengan mobil. Yumna masih sempat melirik ke arah kaca spion mobil, melihat Azzura yang baru saja naik ke atas motor abang ojek.
"Siapa temen Mas yang mau sama Mbak Zura?"
"Mantannya Zura juga itu, si Nathan."
"Itu serius, Mas?"
"Kenapa?"
"Yaaa kalo dilihat-lihat lama-lama kok tengil begitu ya bawaannya?"
Nata tertawa. "Tapi dia udah jauh berubah dibandingkan dulu."
"Dulu parah yo, Mas?"
Ia tergelak. Kalau dulu jelas tak bisa dibandingkan. Entah efek usia remaja atau kepribadian. Tapi menurut Nata memang kepribadiannya seperti itu. Kalau sekarang mulai berubah itu karena keadaan. Ya kadang keadaan memang bisa mendewasakan bukan? Nathan juga bercerita banyak hal dengan apa yang terjadi selama beberapa tahun terakhir padanya. Mulai dari permasalahan keluarga, pindah ke Inggris dengan tiba-tiba, sampai kematian ibunya. Sepertinya akan pahit sekali. Tapi tanpa itu semua, Nathan tak mungkin ada di tempatnya sekarang berdiri. Ya kan?
Lantas di mana Nathan saat ini? Lelaki itu sedang menyelesaikan pekerjaannya dengan serius. Tadi sempat mampu ke kampus Nata karena memang ia memiliki proyek di sana. Hal yang membuatnya bisa melihat Azzura. Ia tersenyum kecil. Tadi memang ia sempat melihat gadis yang selalu tampak serius itu. Ia tampak cantik sekali dengan rok dan blouse atasan yang terpadu indah. Gadis itu cantik tapi tak pernah sadar. Beberapa kali, ia dulu sering terpesona sendiri. Haaah. Rindu meski ia juga harus tahu diri. Kenapa harus tahu diri? Ya lihat lah Azsura yang sekarang sudah bukan Azzura yang dulu, yang pernah ia kenal. Gadis itu benar-benar berubah total. Dan Nathan merasa agak malu juga tertinggal. Ya dari dulu ia memang selalu tertinggal dari gadis itu kan? Dalam hal apapun. Meski....sekarang tampaknya dunia mereka sudah sangag berbeda. Ya kan?
"Gak pulang, Pak?"
Salah satu karyawannya menegur. Ia tersenyum kecil. Pekerjaannya baru saja selesai. Ia juga hendak pulang kok.
"Duluan saja," ucapnya.
@@@
"Udah balik aja? Gak jadi bimbingan?"
Ridha berdesis. Wajahnya tampak jengkel. Zura terkekeh. Sepertinya terjadi sesuatu yang buruk. Itu sangat terlihat dari wajah Ridha yang sangat jengkel.
"Revisi dong. Banyak banget. Heiiish! Pusing gue. Mana tugas banyak banget."
Ia mengeluh. Mau bagaimana? Ia sudah terjepit. Mana masih ada beberapa kuliah. Zura mengira kalau urusan kuliah sudah beres. Tapi ternyaga masih berjalan. Ia juga lelah dengan urusan kampus yang seolah tak kunjung selesai.
"Lagian akademik lo aneh banget sih. Semester tuga malah dikosongin. Semester empat dipenuhin sama matkul. Udah tahu kalau mau sidang tesis, semua matkul udah harus keluar nilainya."
Sebetulnya ini benar-benar sudah sering dibahas. Bahkan Zura juga bosan mengatakan hal yang sama tapi tetap harus menghiburnya. Zura juga sudah menyarankan untuk melakukan advokasi dari semester-semester lalu. Tapi Ridha tak biaa melakukan itu hanya dengan tiga orang yang menginginkan itu. Jadi mau bagaimana lagi? Akhirnya malah terperangkap dengan metode yang tidak asyik. Hanya karena masalah akademik dan semua menjadi serba terlambat.
"Ya udah kerjain aja lah. Kan lo sendiri yang mau ngambil jurusan itu."
Ridha hanya bisa menghela nafas. Zura malah beruntung karena dua semesrer awal malah dipenuhi dengan semua mata kuliah yang harus ia ambil. Setelah itu ia bisa fokus hanya dengan tesis. Dan ia juga bisa melalukan banyak hal lainnya. Entah terlibat di dalam lembaga swasaya masyarakat maupun proyek dosen. Rasanya menyenangkan karena ia melakukan itu tanpa beban. Ya tak ada beban pekerjaan kantor pula karena ia sengaja keluar biar bisa fokus kuliah. Berbeda dengan Ridha yang juga masih bisa disibukkan dengan urusan kantor.
"Semua ada hikmahnya," pikirnya. Semua ada rezekinya. Dulu ketika berada di kantor, ia kerap dihina karena jurusannya. Karena orang-orang di sana merasa yaaa seharusnya jurusan mereka yang lebih diunggulkan. Tapi Zura tak mau merasa kecil. Ia justru beruntung karena orang-orang tka pernah tahu apa yang ia pelajari. Saking luasnya, mereka tak pernah mengerti. Sementara Zura tahu apa yang mereka pelajari dan kerjakan karena ia terus mengikuti perkembangan itu. Ia belajar apa yang mereka pelajari sementara mereka hanya bisa mencerca apa yang ia pelajari. Miris?
Saat ia memutuskan keluar dari kantor, rasanya juga sama. Menyedihkan ketika direndahkan. Bahkan bosnya juga pernah mengatakan....
"Ah palingan beberapa bulan lagi kamu balik lagi ke sini."
Zura diam saja kala itu. Ia justru sangat bersyukur karena akhirnya bisa keluar. Setidaknya ia masih punya pekerjaan lain yang pendapatannya juga jauh lebih besar dibandingkan ia terus di sana. Terus terperangkap di dalam dunia kerja yang sama sekali tak sehat. Punya teman tapi semua hanya iri padanya. Padahal apa sih yang mau di-irikan? Bukan kah mereka merasa kalau jurusan mereka jauh lebih baik? Dan mereka merasa kalau jurusannya sangat buruk? Ketika ada sesuatu, tak ada orang yang mau melibatkannya hanya karena? Karena takut bersaing dengannya. Ada saja alasan agar ia tak bisa ikut. Bahkan teman di kantor paling dekat juga begitu. Padahal Azzura benar-benar menganggapnya teman. Tak pernah mengambil posisinya. Ia juga tak perduli hal semacam itu sedari dulu.
Orang-orang seperti itu berusaha keras agar ia bisa mundur dari apapun. Agar rezekinya terhambat. Agar ia tak menjadi apa-apa. Agar orang sepertinya hancur berkeping-keping. Jahat ya?
Banyak teman yang seperti itu. Disaat Zura datang mengulurkan tangan untuk membantu, mereka bersedia menerimanya. Tapi ketika sebaliknya, mereka enggan. Mereka akan makin senang kalau Zura menderita. Yang pada akhirnya memang membuat Zura mengerti bahwa itu lah arri teman yang sesungguhnya. Bahkan terkadang jangan kan teman, keluarga sendiri pun pasti ingin menjatuhkan.
Ini mungkin yang disebut sebagai penyakit hati? Penyakit yang sangat sulit disembuhkan. Zura menarik nafas dalam. Sekian tahun ia merasa hidupnya baik-baik saja. Tapi semenjak ia mulai kuliah, semua watak teman-teman yang pernah ia kenal terbongkar. Bagaimana mereka nenar-benar tak ingin ia hidup dengan baik. Mereka lebih senang melihatnya menderita.
"Lo cerdas, Zura."
Ria mengatakan itu. Menurut Ria, itu alasan orang-orang iri padanya.
@@@
"Kata siapa?"
"Masagus!"
Yang lain mengangguk-angguk. Mereka baru selesai jam olahraga. Harusnya berganti baju sekarang. Tapi mendadak berputar ke arah lain.
"Hari ini ada ulangan?"
Nathan mempercepat langkahnya sembari melihat ke sekitar. Takutnya ada yang melihat.
"Enggak deh kayaknya."
"Emangnya inget?"
Nathan terkekeh. Ia lupa kalau beberapa temannya ini memang tidak perduli hal-hal semacam itu. Lantas mereka berembuk secara mendadak kemudian pergi terpisah. Tapi tujuannya sama? Apa? Tentu saja kelas. Rencananya, Nathan akan meninggalkan tasnya di sekolah. Hal yang sudah biasa terjadi.
"Di mana?"
"Tempat biasa?"
"Gara-gara yang kemarin?"
"Iya lah. Mereka ndak terima, Than. Gara-gara si Bayu pacaran sama mantannya Kiwil."
"Kiwil ada yang mau juga?"
Teman-temannya terbahak mendengar ucapan Nathan. Lantas mereka segera berpisah. Nathan bersiul-siul hendak masuk kelas. Tapi....
"Woooi! Jangan dibukaaa!"
Ia terkekeh. Cewek-cewek sedang beringas kalau sedang ganti baju di dalam kelas begini. Ia? Ya seperti biasa lah. Suka iseng meski tahu apa yang mereka lakukan.
"Ngintip dikit boleh kali?"
"s****n kamu, Nath!"
Nathan tergelak. Ia senang sekali membuat gaduh. Tapi omong-omong, ia tak punya banyak waktu untuk meladeni hal-hal semacam ini. Sebelum diserang, lebih baik menyerang. Dan lagi, mereka juga yang mencari gara-gara padanya dan teman-teman lebih dulu. Urusan mantan pacar saja bisa jadi runyam. Makanya Nathan malas punya pacar dengan perasaan. Menurutnya itu menyusahkan dan membahayakan diri sendiri. Nathan malas kalau harus menjadi hero demi pacarnya. Seperti tak ada pekerjaan lain aja. Dari pada melindungi perempuan semacam itu, lebih baik ia melindungi ibu dan adiknya. Itu lebih keren menurutnya. Tapi kalau kali ini? Ya atas nama solidaritas teman lah. Tawuran menjadi wajib. Dan perempuan mungkin tak akan pernah mengerti jalan pikirannya ini.
"Wooi! Buruan!"
Cowok lain juga mulai tak sabar. Nathan masih berdiri di depan pintu dan sibuk memikirkan berbagai strategi untuk tawuran kali ini. Ini sudah biasa.
"Iiih! Kalian ini yaa? Kebiasaan tauk gak!"
Cewek-cewek mulai mendumel. Beberapa orang terkekeh sementara Nathan lebih memilih untuk cepat masuk. Mereka perlu mengambil beberapa barang penting seperti dompet dan ponsel. Sisanya ya tinggalkan saja. Tak lupa, Nathan juga membawa kemejanya. Tak ada yang curiga dengan kepergian mereka karena cewek-cewek mengira kalau mereka pergi mengganti baju ke toilet. Padahal hal itu tak perlu dilakukan. Hahaha.
"Nath! Tak tunggu di warung Mbah Rejo!"
Nathan mengangguk. Cowok itu bergegas ke arah lain. Setidaknya ia tidak memarkirkan motornya di parkiran sekolah. Karena lebih mudah untuk bolos. Dan memang tadi ia agak terlambat sih. Hahaha. Kalau dalam seminggu, ia tidak terlambat sekali saja akan hebat sekali. Tapi tentu saja Nathan tidak akan mau rajin-rajin ke sekolah. Wajib terlambat dimasa sekolah itu penting. Meski ia nanti berniat untuk mengubah diri ketika masuk kuliah. Karena ritmenya mungkin sudah berbeda. Kalau kuliah nanti, terlambat? Tak usah masuk lah. Titip absen saja. Hahaha.
Ia melirik ke arah sekitar. Hanya ingin memastikan kalau tak ada guru yang akan melihat aksinya melompati pagar yang tak begitu tinggi. Setidaknya kalau tingginya hanya satu setengah meter, ia masih bisa. Dengan lihai ia panjat kemudian melompat turun ketika sudah berada di atasnya. Ia geleng-geleng kepala alan sekolahnya ini. Sudah tahu kalau para siswa sering kabur dengan melompati pagar tapi masih saja tak dijaga ketat.
"Heh! Mau ke mana kamu!"
Baru juga meremehkan sistem keamanannya di dalam hati, ia sudah ketahuan. Nathan terkikik-kikik. Ia segera berlari kencang ke arah samping sekolah. Menembus beberapa rumah warga dan bersembunyi di antaranya. Ini bukan intrik umum lagi. Sudah biasa tapi tak pernah ketahuan. Cukup menunggu selama sepuluh menit dan ia menjamin hal itu. Maka tak lama, ia segera keluar untuk mengintip. Kemudian berjalan santai menuju motornya yang terparkir di warung seberang sekolah.
"Ayo, Naaath!"
Salah satu temannya sudah muncul dengan motor. Ia mengangguk. Lantas duduk di atas motor dan memakai helm dengan gaya yang keren. Setelah itu, ia menyalakan mesin motornya dan segera menarik gasnya dengan kencang. Aaah sudah lama ia tak refreshing seperti ini. Hahaha.
@@@
"Dulu kamu itu yang selalu bolos, Nath. Mau ada tawarun atau ndak, kamu terdepan!"
Ia tergelak. Tak menyangka kalau hari ini akan menjadi hari reuni dengan teman-teman di SMA waktu ia masih sekolah di Jogja dulu. Ia sudah lama sekali tak bersua. Mendadak bertemu di sosial media. Aah rasanya waktu sungguh cepat berlalu.
"Aku pikir, kamu ndak kembali lagi ke Jogja, Nath."
"Balik lah. Kan kalau liburan pasti ke sini. Keluarga besarku juga masih di sini."
Teman-temannya mengangguk-angguk. Mereka sangat senang bisa melihat Nathan lagi. Mereka juga tahu kalau keluarga besar Nathan masih di sini. Tapi tak yakin kalau Nathan akan di sini karena yaaa jarang terlihat.
"Yang aku tak sangka-sangka, kita semua bisa tobat yo?"
Mereka tergelak lagi. Iya lah. Dari enam orang teman termasuk Nathan, hanya Nathan dan Bayu yang masih jomblo. Kalau yang lain sudah menikah. Sudah punya istri dan anak. Ia tersenyum kecil. Tentu ada keinginan menikah hanya saja masih bimbang.
"Kamu ndak kuliah di Jakarta, Nath? Tak dengar-dengar kamu malah ke Inggris yo?"
"Aku ke Inggris, ikut orangtuaku. Waktu itu juga belum selesai sekolah di Jakarta. Tapi ikut pindah aja lah. Sampai kuliah aku di sana. Dua tahun terakhir baru pindah ke Jogja."
"Oh? Begitu toh? Kenapa ndak menetap aja di Inggris, Nath? Aku yakin yo kalau udah kuliah di sana ya, pasti lebih enak dapat kerjaan. Gaji besar, mata uang jauh lebih bernilai tinggi. Rugi lo kamu malah balik ke Jogja. Jogja ndak banyak berubah. Masih murah-murah kecuali kalo kamu ke tempat wisata."
Ia terkekeh dengan senyuman kecil. Justru ia kembali dengan satu hal. Yaaa satu alasan yang tak sengaja dibuat hatinya sendiri. Namun ia tak berpikir kalau waktu memang membuat orang bisa berubah bahkan dirinya sendiri. Ia jadi tak percaya diri sekarang. Merasa sadar diri kalau dunianya dan Azzura benar-benar berubah sekarang. Haaah. Ia menarik nafas dalam. Tak tahu apa yang akan dilakukan. Jujur, ia tak punya rencana begitu tahu kalau Azzura sungguh berbeda sekarang. Tadinya ia memang berencana untuk kembali mendekati. Tapi kalau sekarang, ia tak yakin? Memangnya Azzura masih mau dengannya? Dengan kondisi yang sekarang jelas berbeda? Meski perasaannya masih sama?
Walau Azzura bukan satu-satunya perempuan yang menarik baginya tapi jujur saja, ia sampai kini bahkan tak bisa melupakan Azzura semudah itu. Gadis itu benar-benar masih melekat di dalam hatinya. Mungkin tak akan pernah lepas. Ia tak tahu juga caranya melupakan. Karena secara tidak langulsung, gadis itu telah menjadi semangatnya untuk menggapai mimpi. Azzura menanamkan banyak hal berharga di dalam hidupnya dengan berbagai kata-katanya.
"Hidup itu, Nath, gak melulu bisa sebercanda itu."
"Kamu itu harusnya serius belajar. Ya memang pelajaran ini mungkin gak akan dibawa ke dalam dunia pekerjaan kecuali kalau kamu menjadi pengajar dan pendidik. Tapi perlu diingat loh, Nath, esensi belajar itu bukan hanya nilai. Tapi nalar kamu juga."
"Nathan, masa depan itu harus diperjuangkan dengan serius. Jangan pernah berpikir kalau segalanya akan lancar. Karena kita gak pernah tahu, apa yang mungkin terjadi di dalam hidup kita nantinya. Persiapkan selagi bisa."
Ia tersenyum kecil. Dulu ia memang menetawainya karena Azzura terlalu kaku menurutnya. Namun ia membenarkan kata-katanya sekarang.
@@@