Ia menguap. Jam segini, ia baru hendak pulang ke kosan. Rasanya lelah sih. Tapi ada beberapa pekerjaan yang tidak bisa dilakukan di kosan karena keterbatasan internet. Ia terpaksa nongkrong dulu di salah satu restoran cepat saji. Setelah pekerjaan selesai baru pulang. Punggungnya benar-benar terasa pegal kalau begini. Namun tuntutan pekerjaan harus begitu. Ia bahkan harus lebih banyak bersyukur karena akhirnya mendapatkan pekerjaan yang benar-benar ia impikan. Tidak semua orang mendapatkan hal yang mereka ingin kan. Iya kan?
Tiba di kos, ia segera mandi. Sempat solat isya dulu sebelum kembali membuka laptop untuk mengerjakan beberapa pekerjaan yang tak perlu internet. Sekaligus mengecek pekerjaan tadi. Ia kan mengerjakannya dengan terburu-buru karena lelah dan ingin cepat pulang. Namun malah terpaku pada sesuatu hal.
Azzura tersenyum menatapnya. Menatap seseorang yang pernah manjadi orang yang sangat spesial di dalam hidupnya. Menatap fotonya yang muncul di layar laptop. Foto yang masih ia simpan sebagai kenangan yang tak terlupakan. Rasanya sudah lama sekali ia tak mengutak-atik folder yang ada di dalam hard disk-nya itu. Kalau bukan karena tadi tak sengaja melihat seseorang yang sangat mirip dengan masa lalunya. Azzura tahu kalau tak mungkin orang itu adalah orang yang sama. Karena apa? Lelaki itu sudah pergi lama sekali. Mereka sudah berpisah lama sekali. Karena sesuatu hal yang sangat sulit bagi Azzura. Perpisahan yang sangat menyakitkan.
Zura memejamkan mata sesaat. Kenangan pahit itu masih nelum bisa ia lupakan. Begitu juga dengan kejadian konyol setelahnya. Tapi setidaknya ia telah mempelajari banyak hal. Bahwa tidak semua hal bisa sejalan dengan apa yang ia inginkan. Bahkan ia juga tak pernah terpikir akan jauh ke sana. Ternyata segala rencana-Nya memang benar-bensr tak terduga ya?
Kini apa kabarnya? Pertanyaan itu bahkan sudah tak pernah terlintas lagi. Karena Zura pun memang tak ingin membahasnya lagi. Lebih baik dilupakan saja. Toh semua sudah terjadi di masa lalu. Sejak itu tak ada hal yang membuatnya harus terus mengingat kenangan itu Jadi lebih baik memang dilupakan.
Ia tak pernah mau membahas luka itu lagi. Tak pernah mau mengungkitnya lagi. Membiarkan menjadi kenangan sudah paling tepat. Apalagi kisah itu sudah sangat lama berlalu. Dua belas tahun berlalu? Ya, dua belas tahun juga tak bertemu lagi. Lelaki itu yang pergi jauh. Azzura tak mau mencari keberadaannya lagi. Bukan karena sudah melupakan. Tapi hanya itu yang menurutnya paling masuk akal.
Butuh waktu lama untuk membuat Azzura benar-benar melupakan. Bahkan hingga masa-masa kuliahnya, ia masih merasa berat. Banyak lelaki yang datang mendekat tapi semua tak lagi sama. Hingga ia merasakan hatinya hampa. Tak mempan di gombal dengan cara apapun.
Setelah menatap lama, membuka-buka file lama yang kini hatinya hanya berdesir. Tidak terluka seperti dulu. Kini hatinya telah terbiasa. Ia akhirnya bisa menerima perpisahan mereka. Memang benar kalau disetiap pertemuan akan ada perpisahan. Harusnya Azzura sudah menerima hal itu sejak awal. Iya kan?
Ia tampak tersenyum tipis. Tidak lagi menangis tiap membuka file-file lama itu. Senyumannya sama lebarnya dengan dulu. Kini Azzura sudah bahagia meski sendiri. Ada banyak fotonya bersama lelaki itu. Ya, lelaki itu. Karena terlalu kelu bagi Azzura untuk sekedar menyebut namanya. Gadis itu menatap wajahnya yang tampak sangat tengsin dan menyebalkan kalau diajak foto bersama. Meski sebetulnya sangat bahagia. Azzura tak pernah bisa jujur akan perasaan yang dirasakannya hingga lelaki itu benar-benar pergi. Menyiksa diri bukan? Akhirnya memang tenggelam di dalam penyesalan.
Azzura menarik nafas dalam. File yang ia klik-klik sedari tadi akhirnya sudah sampai difoto terakhir. Foto terakhir yang diambil di depan rumah cowok itu saat Azzura datang untuk terakhir kali. Gadis itu masih tak menyangka kalau hari itu akan menjadi hari terakhirnya berkunjung ke sana.
Pertemuan terakhir di depan rumah di mana ia sangat gembira. Namun ternyata itu menjadi kenangan yang tak pernah ia lupakan. Jujur saja, usai lulis SMA, Sura pernah datang ke rumah itu. Ia tahu kalau lelaki itu tak mungkin tiba ada di sana. Karena saat ia ke rumah itu pun, pemiliknya sudah berganti. Bukan lagi lelaki itu maupun ibunya atau adiknya. Ia pada akhirnya tak menemukan apapun. Walau ia punya tujuan tersendiri kala itu. Ia hanya ingin mengucapkan salam perpisahan untuk cerita SMA yang pernah menjadi begitu indah saat mereka bersama. Sekaligus menjadi perpisahan karena Zura tak tinggal di Jaksrta lagi setelah itu. Walau yah masih tinggal di sekitsrnya juga, lebih tepatnya di sebelahnya. Di mana? Depok, di mana ia pernah belajar.
Lalu bagaimana Azzura bisa sampai di titik ini? Tiba-tiba memutuskan untuk menutup diri? Semua tidak berlangsung cepat. Semua butuh waktu. Usai menyelesaikan SMA dan Azzura diterima di UI, cewek itu pulang sebentar ke kampung halamannya. Di rumah, ia diceramahi habis-habisan oleh kakak sulungnya yang mendadak tobat. Lucu sih saat mengingatnya tapi ia akhirnya menyadari kalau kakaknya benar-benar berubah. Bukan sekedar angin lalu bahkan kini menjadi ustad yang disegani di kampungnya meski hanya lulusan SD. Panggilan ustad yang benar-benar bukan ustad sebetulnya. Tapi karena ia rajin mengajar anak-anak kampung mengaji, mengurus masjid, menjadi muazin dan sudah menghapal Quran. Perubahan yang pesat bukan? Walau awalnya Azzura hanya sekedar menuruti kata-kata kakaknya untuk menutup aurat, ditahun terakhir perkuliahan, ia akhirnya memutuskan untuk lebih tertutup lagi setelah mempelajari agama lebih dalam dan merasa kalau jalan yang ia ambil ini sudah benar. Lupakan segala khilafnya dimasa lalu dan anggap itu sebagai pembelajaran dimasa depan. Itu yang Azzura pegang hingga hari ini, penampilannya tak berubah. Pada akhirnya, cinta pada Allah lah yang membuat hidupnya menjadi lebih baik.
"Allah," bisiknya. Ia bahagia dengan kesendiriannya karena itu terus membuatnya lebih banyak mengingat Allah. Iya kan?
Ia tersenyum kecil lantas mengalihkan pikirannya lagi. Berupaya untuk fokus pada kehidupannya sekarang. Ia sudah sangat bahagia. Meski dikala akan tidur, ia justru terkekeh kecil. Teringat bagaimana gugupnya ketika ia masuk sekolah di Jakarta untuk pertama kalinya.
"Dibawa santai aja, Zur. Sekolah di Jakarta juga sama aja kayak di kampung kita. Yang bedain cuma bahasanya aja. Di sini, anak-anak itu ngomongnya pakek lo-gue. Inget kan?"
Ia tersenyum kecil. Jadi kangen tantenya. Karena berkat perempuan itu, ia banyak berubah dikala SMA. Tantenya membuatnya merasa percaya diriuntuk melakukan apapun. Karena menurut tantenya, anak-anak di sini juga sama dengannya. Meski mungkin mereka lebih berada dan tidak semua orang ingin berteman dengannya, hal semacam itu juga pasti Zura temukan di kampungnya bukan? Hanya saja hal semacam itu agak kurang cocok di kampungnya. Karena memang terkesan sombong sekali. Kalau di sini jelas berbeda bukan?
"Percaya sama tante, Zura pasti bisa saingan sama anak-anak di sini. Anak-anak di sini juga makan makanan yang sama. Belajarnya juga sama. Mungkin ada yang jenius, ada yang biasa aja. Yang kayak gitu juga pasti Zura temukan di kampung kan? Jadi gak usah takut dengan hal-hal semacam itu. Ponakan tante pasti bisa cepat beradaptasi dan pasti nemu teman yang mau bareng Zura."
Kini ia tersenyum kecil. Ya tantenya benar. Buktinya ia menemukan sahabat terbaik dikala SMA. Meski kini mereka terpisah tapi setidaknya mereka masih saling menyapa. Walau ya memang sudah memiliki kesibukan masing-masing. Namanya juga hidup bukan?
@@@
"Nanti kalo naik angkot kudu hati-hati ya, Zur. Ini bukan kampung kita loh. Ini Jakarta. Kamu harus perhatikan orang-orang di sekeliling. Tas kamu jangan disandang belakang. Pasang di depan. Terus jangan ngeluarin hape atau uang banyak kalo lagi di jalan. Siapin uang pas kalo naik angkot. Oke?"
Entah berapa kali Tantenya mengulang nasehat itu. Padahal ini bukan hari pertamanya naik angkutan umum. Beberapa hari yang lalu, ketika datang untuk daftar ulang pun ia sudah mencoba untuk naik angkutan umum. Meski waktu itu bersama Tantenya sih. Hahaha. Ya kan setidaknya ia hapal nomornya dan di mana ia harus naik. Dari rumah Tantenya juga bisa naik metromini sebetulnya. Tapi ribet karena nanti turunnya tiga kali. Mending naik angkot saja meski dua kali kan lebih cepat.
Haah. Hidup menumpang dengan orang lain rasanya tak patut kalau harus mengeluh. Ia seharusnya bersyukur karena akhirnya bisa tiba di sini dengan segala hal yang sangat menyenangkan. Setidaknya sampai hari ini. Ia bisa meneruskan sekolahnya di sini. Hanya agar bisa mempersiapkan masa depannya dengan jauh lebih baik. Harga yang harus dibayar mungkin tak sepadan dengan ini.
Usai bersiap-siap, ia berangkat sepagi mungkin. Ini masih jam lima lewat dua puluh menit. Tapi ia sudah beralan. Karena hari ini adalah hari pertama Masa Orientasi Siswa, ia tak mau terlambat. Terlebih jam masuknya dimajukan menjadi jam setengah tujuh pagi. Dan lagi, masa MOS itu identik dengan masa-masa mengerikan namun mungkin juga akan sangat sulit dilupakan. Iya kan?
Ia pamit pada Tantenya kemudian berjalan cepat menuju g**g kecil yang tentu saja diujungnya, ia akan menemukan jalan raya. Ia menunggu di pinggir jalan sampai angkotnya datang. Setelah memastikan nomornya, ia segera naik. Jantungnya berdebar tak karuan. Karena rasanya sungguh berbeda. Ini adalah pengalaman pertamanya sekolah di Jakarta. Ia tidak sekolah di kampungnya. Ia mungkin paham seluk-beluk pergaulan di kampung halamannya. Tapi di sini? Jelas berbeda. Dari bahasanya saja berbeda. Ia harus berbahasa Indonesia bahkan Tantenya juga berbicara bahasa Indonesia di sini. Sengaja, untuk membiasakannya. Tantenya sudah banyak mengajarkan banyak hal tentang pergaulan di sini. Ia masih belum terbiasa apalagi belum pernah mengalami. Namun harapannya adalah menemukan teman yang sejalan dengannya. Baginya, itu sudah cukup. Ia khawatir kalau tak punya teman, hidupnya akan seperti neraka. Itu sangat tidak nyaman. Apalagi tiga tahun akan berada di sekolah itu kan? Jadi ia menyiapkan diri dengan baik. Meski agak-agak minder juga. Yaa sebagai anak kampung yang hanya bermodalkan otak. Ia tak punya uang seperti kebanyakan anak-anak mampu di Jakarta. Ya kan?
Ia pindah angkutan umum lagi ketika tiba di perempatan. Lalu menyebrangi jalan dan berdiri tak begitu jauh dari pos polisi. Tak lama, angkot merah yang menjadi tujuannya pun datang. Ia mengulurkan tangan untuk menghentikan angkot itu. Kemudian segera naik begitu mobil angkot itu berhenti.
Semakin dekat menuju sekolah barunya ia semakin gugup. Tangannya saling meremas saking gugupnya. Ia juga menegakan badan ketika sadar kalau ia hampir sampai. Haah padahal ini bukan pertama kalinya baginya untuk mengalami ini. Ia sudah pernah mengikuti masa orientasi ketika SMP bukan? Jadi yang sekarang pun seharusnya tak jauh berneda. Ia juga seharusnya jauh lebih terbiasa.
"Kiri, Bang!"
Ia meminta berhenti. Angkutan umum yang ditumpanginya pun berhenti. Ia turun dan membayar ongkosnya. Lalu berjalan menuju gerbang dan belum apa-apa, sudah disuruh masuk dengan antrian. Ia tak paham apakah masa orientasi di sini sama dengan sinetron-sinetron Jakarta yang sering ia tonton? Ah entah lah.
Ia masuk dengan lancar lalu melihat namanya di papan pengumuman. Untuk memastikan, ia dilempar di kelas mana selama masa orientasi siswa ini. Ya paling hanya beberapa hari saja. Setelah orientasi itu, mereka akan masuk ke kelas sebenarnya. Maka tugasnya adalah melewati masa orientasi ini dulu.
Tiba di dalam kelas, ia celingak-celinguk. Jelas bingung. Beberapa tampak asyik mengobrol. Sementara ia bingung. Akhirnya mencoba mengambil bangku di depan, sambil melirik-lirik ke arah samping. Berharap ada yang mau mengobrol dengannya. Tapi ternyata...tidak ada. Hahaha.
Ia menghela nafas. Ingin memulai perbincangan, rasanya terlalu canggung dan malu. Ia ingin memulai tapi terlalu takut juga. Akhirnya hanya diam hingga bel berbunyi. Mereka ikut upacara. Penampilan sebagai siswa baru memang agak memalukan. Tak heran kalau Azzura dan rekan-rekan seangkatannya menjadi korban tawa dari para kakak kelas. Ia hanya menunduk saja. Mencoba untuk mengabaikan segala pandangan. Dan berharap masa ini cepat selesai. Ia sudah benar-benar tak kuat. Padahal ini baru awalnya saja.
Upacara berjalan seperti lima jam. Padahal tidak sampai satu jam. Lalu para anak baru belum diizinkan untuk ke kelas gara-gara ada rekan-rekan mereka yang terlambat dan disuruh untuk menonton mereka yang terlambat dan sedang dihukum itu. Azzura hanya menyimak saja. Ini hal yang sungguh biasa. Setelah ada kata sambutan dari ketua OSIS, mereka akhirnya dipersilahkan untuk kembali masuk ke kelas dan memulai masa orientasi siswa.
Begitu kembali ke kelas, akhirnya ada yang mau menyapa Azzura. Tentu saja teman sebangkunya. Namanya Ria. Kalau dilihat-lihat tampaknya berada namun gayanya sederhana. Azzura lebih banyak mengangguk dan mendengarkannya. Karena jujur saja, ia belum terbiasa dengan gaya bicara anak-anak di sini.
"Dari mana?"
Ria bertanya begitu. Zura mengira kalau ria tahu jika ia bukan dari daerah sini. Jadi ia menjawab provinsi asal daerahnya lalu gadis itu terkejut dan tertawa. Ia tak menyangka kalau akan mendapatkan jawaban semacam itu dari Zura. Kesan yabg ia dapat sejak awal mengenal Zura adalah gadis itu sangat polos. Masih benar-benar awam tentang Jakarta. Tapi bisa belajar banyak dari Ria. Ya biar Zura tsk terlihat sangat norak.
@@@
Menjelang hari terakhir masa orientasi, Azzura dikagetkan dengan sebuah surat. Ia tahu siapa yang mengirim. Siapa? Itu loh, sang wakil ketua OSIS. Salah satu temannya yang tadi memberikan surat itu menunjuk lelaki itu sebagai pengirimnya. Yaaaa lumayan sih. Manis dan tinggi. Tampak baik dan juga pintar. Tapi Azzura tak mencari pacar di sini. Ia justru datang ke sekolah ini untuk belajar dan bisa menyamakan keilmuannya dengan anak-anak di sini. Ia kan berencana masuk kampus UI. Untuk tembus ke saja jelas bukan jalan yang mudah. Pesaingnya banyak sekali dan ia tak mau membuang waktu untuk hal semacam ini. Meski.....
"Pulang?"
Lelaki itu berdiri tak jauh darinya ketika ia menunggu angkot di seberang gerbang sekolah. Sebetulnya, Azzura sudah sadar sedari lelaki itu muncul dengan motornya lalu kini berhenti tepat di depan Azzura. Motornya sederhana. Bukan motor yang keren seperti anak-anak orang kaya lainnya di sekolah ini.
Zura mendadak merasa gugup. Ia meremas tangannya tanpa sadar saking gugupnya. Jujur saja, ini adalah pertama kalinya ada lelaki yang bertsnya hal semacam ini. Karena terasa ganjil. Para lelaki yang dulu sering bertanya padanya sebatas menanyakan tugas, kerja kelompok, dan ah entah apalagi. Ia juga lupa. Padahal ia saja yang tak sadar dan terkadang terlalu penakut pada laki-laki.
"I-iya, Kak."
Lelaki itu tersenyum kecil. "Saya antar. Mau gak?"
Azzura takut sebetulnya. Ia belum banyak mengenal orang di sini. Jadi ia menggeleng. "Maaf," ia menolak dengan sopan dan beruntungnya, angkot merah yang ia hendak tumpangi, datang diwaktu yang tepat. "Angkot saya udah datang. Permisi, Kak," pamitnya lantas terburu-buru berjalan masuk ke dalam angkutan umum berwarna merah itu.
Ia menghela nafas lega saat akhirnya duduk. Namun belum yang lega-lega amat. Karena ia tahu kalau lelaki itu mengikutinya dari belakang. Hal yang membuat Azzura sempat was-was. Tiba di perempatan, ia segera turun usai membayar dan berlari ke arah angkutan umum berwarna hijau telur asin yang akan membawanya menuju rumah Tantenya. Ia sempat memerhati di mana motor lelaki itu. Di mana? Ada jauh di belakang. Masih tertahan di lampu merah perempatan itu. Sementara ia sudah naik kembali ke angkot kedua. Ini jelas membuatnya lebih tenang.
Esok harinya....
"Lo didekatin sama Kak Iwan?"
Ia terbatuk-batuk. Ia akhirnya satu kelas dengan Ria. Orang yang menjadi teman sebangku pertamanya ketika masa orientasi siswa kemarin juga sampai sekarang ketika mereka masuk kelas X1.
"Kata siapa?"
Ria justru menunjuk sebuah surat yang ada di atas meja Azzura dan pagi ini sudah membuat heboh teman-teman sekelasnya. Kening Azzura mengerut. Ia melepas tasnya lalu memilih untuk duduk di kursi. Lalu mengamati amplop surat itu.
"Anak-anak tadi pada heboh," lapor Ana. Teman barunya juga yang duduk di belakang ia dan Ria. "Yakin sama Kak Iwan?"
"Hah?"
Azzura sebetulnya masih bingung. Apalagi wajah-wajah keduanya malah tampak cemas. Ada apakah? Salah kah? Padahal tadinya ia baru saja hendak terbang karena terpikir kalau ini adalah sesuatu yang menyenangkan. Sementara teman-temannya jelas takut karena tahu betapa polosnya Zura saat ini. Gadis itu benar-benar harus belajar banyak tentang lelaki, Jakarta, dan pergaulannya. Kalau sampai terjerumus ke dalam lubang yang salah, penyesalannya akan terjadi seumur hidup. Bukan kah itu lebih mengerikan?
Jadi sebelum semua bertambah buruk, lebih baik dihentikan saja. Zura adalah perempuan yang baik. Gadis itu terjaga. Ria, Ana, dan Ani bahkan tahu betul ia seperti apa meski mereka belum lama mengenal. Gadis seperti ini tentu lebih mudah dijadikan korban untuk lelaki m***m dan mengerikan bukan?
"Kak Iwan itu dulu satu sekolah sama gue waktu SMP," tukasnya. Aaaah.
Matanya terbelalak. Ia bahkan beru tahu. Ya iya lah. Selama ini pasti tak pernah diceritakan. Karena untuk apa juga? Aneh juga kalau mendadak membahas seseorang yang tak pernah ada hubungannya.
"Terus?"
Malah Ria yang penasaran. Karena meski penasaran, tak satupun kata yang keluar dari mulut Zura. Gadis itu benar-benar terpaku dalam diamnya. Ya kaget lah. Karena dalam sekali pandang, ia tak menangkap kesan nakal atau mengerikan. Cowok itu tampak normal seperti cowok-cowok lain yang ada di luar sana. Lagi puka bagaimana Zura akan tahu kalau hanya beberapa kali melihatnya tanpa pernah mengenalnya lebih dekat?
"Dia tuh sempet di-DO dari sekolah gara-gara sebuah kasus."
"Kasus?"
Mata Ria hampir lepas dari kerangka matanya. Lalu Ana membisikannya ke telinga Azzura. Gadis itu membeku seketika. Ria yang penasaran juga dibisiki. Tapi responnya lebih parah kagetnya. Karena menurutnya, ini memang benar-benar sangat parah.
"Seriusan?"
Ana mengangguk-angguk. Wajahnya benar-benar tampak serius. Ia benar-benar tak berbohong. Karena setiap mekihat wajah Iwan pun, yang terlintas di dalam benaknya adalah kasus itu. Ya mungkin kalau sudah tobat ya bagus. Tapi kan tak ada yang pernah tahu bagaimana seseorang bisa beruabah? Siapa tahu sudah benar-benar tobat dan menyesali segala perbuatannya. Walau belum tentu dapat djbiarkan juga.
"Lebih baik sih jangan."
Azzura sempat terdiam. Ya tanpa kata-kata dari Ana juga, ia tak berniat untuk mengurus urusan perasaan dengan Iwan. Ia tak berniat punya pacar dalam waktu dekat. Tujuannya masuk ke sekolah ini sudah jelas kan? Untuk belajar dengan baik. Iya kan?
Zura tersenyum tipis. Ya kalau dipikir memang niatmya hanya lah untuk belajar di sini. Tidam ada hal.lain yang dapat membuatnya untuk memikirkan hal lain. Ini juga soal janjinya pada ibunya.
"Parah ya? Kalo dilihat-lihat mukanya kayak anak baik-baik begitu. Ternyata isi kepala bokep juga."
Ana terkekeh. Itu sih bukan rahasia lagi. Kebanyakan remaja lelaki seumuran mereka bahkan mungkin sudah khatam. Entah apa yang didapat dari hal-hal semacam itu. Ana dan yang perempuan-perempuan lain juga tak mengerti.
Ya Ani memang benar. Kalau dilihat dari wajahnya, memang tak ada siapapun yang akan menduga kalau ia sangat lah b***t dan mengerikan.
"Lebih baik, suratnya dibuang aja," tutur Ria yang diangguki Azzura. Ia juga takut berurusan dengan lelaki semacam itu. Mereka mengkhawatirkan Zura.
"Mantannya pasti trauma parah ya?"
Ana justru tertawa. Mereka masih membawa pembicaraan itu hingga ke kantin.
"Kayaknya sih enggak. Masih seneng-seneng aja hidupnya. Cuma orangtuanya sih yang katanya marah besar. Iya lah cuy. Gilak kali. Videonya udah kesebar gitu di sekolahan gue waktu itu. Terus bisa bangga dengan hal kayak gitu? Ajib emang. Salut gue."
Azzura dan Ria tertawa.
@@@