"Baik lah, sekian acara kita hari ini. Sebelum ditutup, mari bersama-sama kita ucapkan alhamdulillah. Dan saya serta panitia juga memohon maaf atas segala kekhilafan ataupun kekurangan dalam penyelenggaraan acara ini. Wassalamualaikum warahmatullahi wabarahkatuh," tutupnya yang disambut tepuk tangan oleh para peserta seminar. Ia lega karena akhirnya selesai juga. Saat awal membuka acara tadi, sesungguhnya ia sangat gugup. Tapi kemudian bisa membawa diri. Ya maklum lah, jam terbangnya minim sebagai pembawa acara begini. Namun ia belajar banyak semenjak resmi bekerja di sini. Semuanya dipaksakan dulu agar bisa. Walau akhirnya ia secara sukarela menawarkan diri jika memamg tak ada orang lain lagi yang berminat. Meski terkadang ini bagai menambah masalah sendiri.
Azzura langsung menghela nafas sembari mematikan mikrofon. Ia lega sekali karena tugasnya hari ini sudah selesai. Ia ikut membantu panitia lain untuk membereskan urusan acara ini. Disaat ia sedang ikut membantu membereskan beberapa hal itu lah, ia tak sengaja menangkap seseorang yang tadinya tersenyum namun kini sudah memalingkan wajah dan bergerak menuju pintu keluar. Merasa familiar meski hanya melihat sekilas, membuat Azzura berpikir sejenak. Ia mencoba mengingat-ingat senyuman tadi. Namun yang terlintas justru wajah seseorang yang dalam ingatannya memakai baju SMA dengan kemeja yang berantakan. Bahkan beberapa kancing atasannya terbuka. Kaos putihnya terlihat. Tangan kirinya memegang bola basket dan tampak tersenyum. Ini aneh.
Lalu tanpa tendeng aling, Azzura membalikan badan. Ia segera berlari ke arah pintu namun tak menemukan sosok itu lagi. Meski di satu sisi, ia merasa tak salah melihat. Di sisi lain, ia juga meragu. Mana mungkin lelaki itu akan ada di sini kan? Iya kan? Ia saja yang terlalu berhalusinasi. Ia mengangguk-angguk. Akhirnya membalik badan lagi dan kembali menyelesaikan urusan di ruangan seminar ini.
Beberapa hari ini, wajah lelaki itu memang kerap muncul di pikirannya. Bukannya ia rindu. Tapi karena buku Dear Mantan yang ia tulis sendiri itu ia buka. Ia membaca banyak halaman lalu tertawa sendiri. Akhirnya malah mengingatkannya pada masa-masa dulu. Itu sesuatu yang wajar hingga ia merasa seakan berhalusinasi. Padahal sesungguhnya tak demikian.
Satu jam kemudian, ia kembali ke ruang dosen untuk melanjutkan pekerjaan terakhirnya. Masih ada satu kelas yang harus ia hadiri hari ini sebelum pulang ke kosan untuk bersantai. Haaah. Pekerjaan ini memaksanya untuk lebih banyak mengembangkan diri. Si gadis introvert ini memang sedari dulu sudah mengembangkan diri namun ia merasa kalau sekarang jauh lebih banyak yang harus ia lakukan. Ternyata tak semudah ini kesibukannya menjadi dosen. Bukan hanya sekedar menulis jurnal dan mengajar mahasiswa tentunya.
@@@
"Apa dejavu ya?"
"Hah?"
Ridha kaget. Mereka jalan pagi hari ini. Yeah bukan lari pagi ya. Azzura jadi rajin berolahraga semenjak ia hampir menginap rumah sakit karena jantungnya berdebar. Ia bukan sakit jantung tapi denyut nadinya terlalu kencang. Mungkin bisa dibilang sistem peredaran darahnya terlalu bagus kah? Ah entah lah. Yang jelas, meski tekanan darahnya cukup tinggi namun masih batas normal. Yang menjadi masalah hanya denyut nadinya saja yang tak lazim. Padahal setelah pemeriksaan jantung, volume dan detak jantungnya justru tergolong normal. Ini jelas aneh. Ia sampai mengikuti tes tiroid kala itu. Karena tubuhnya ketika dibawa ke rumah sakit itu mengalami tremor yang cukup parah. Kejadian setahun lalu itu jelas masih terbayang di kepala Azzura dan juga Ridha. Ridha saja trauma melihatnya yang agak kejang. Azzura bahkan berpikir, mungkin ia akan mati. Tapi sampai lulus, ia masih hidup. Bukan kah ia harus bersyukur? Lantas apa vonis dokter kala itu?
"Stres. Dan pengaruh dari makan durian. Waktu itu durian yang dimakan banyak sekali kah?"
Keduanya sama-sama nyengir kala itu. Kalau sedang banyak pikiran? Entah lah. Azzura juga tak yakin. Tapi kalau mabuk durian, Azzura mengakui. Karena Ridha bahkan mengalami muntah dan diare akibat makan durian. Sementara ia malah tremor parah. Bukan salah duriannya tapi salah tubuh mereka. Waktu itu sepertinya mereka sama-sama memiliki masalah. Azzura pusing dengan urusan keluarga. Ridha lelah dengan kata-kata orang saat menghadiri pernikahan adik perempuannya. Sebagai kakak perempuan yang pernikahannya dilangkahi tentu tidak mudah kan? Meski merasa ikhlas. Karena urusan jodoh kan tak ada yang tahu. Hanya saja terkadang orang-orang itu ya mulutnya bukannya membantu menyembuhkan sisi hati malah menambah sakitnya. Malah menghakimi bahkan menyudutkan. Padahal mereka tak pernah tahu bagaimana hidup Ridha kala itu.
Haaah. Panjang memang urusan drama hidup mereka kala itu. Tapi berhasil mereka lewati bersama-sama. Kalau diingat kembali malah terasa lucu sendiri. Kejadian itu malah mengundang tawa karena yaa gara-gara hal yang tampak sepele, mereka sampai harus berobat ke rumah sakit dan sudah terbayang penyakit serius yang sedang dihadapi. Padahal kenyataannya tidak seperti itu. Tapi banyak hal juga yang berubah dari Zura. Ia tentu lebih mengharga kesehatannya hingga saat ini. Ia berusaha keras untuk mengonsumsi makanan apapun yang lebih sehat. Meski kalau kata Ridha percuma juga. Ia bisa melihat Zura selalu membeli selai coklat crunch untuk rotinya. Ya roti bagus tapi selainya itu loh.
"Enggak," tukasnya. Gara-gara kejadian usai seminar itu, ia memang terus terbayang. Ia juga tak tahu kenapa mendadak berpikir tentang seseorang yang mungkin sudah bahagia sekarang? Untuk apa ia pikir kan lagi? Rasanya tak ada hal yang lebih penting lagi jika harus membahas hal yang satu itu.
Azzura hanya menelaah apakah ia pernah bermimpi soal kejadian usai seminar kemarin? Tapi rasa-rasanya tak pernah. Makanya ia merasa ini sungguh aneh. Haaaah. Ia menghela nafas berat. Seolah sedang ditimpa masalah yang begitu berat. Ridha sampai mengerjab-erjab menatapnya. Heran saja.
"Apaan sih?" ia bertanya lagi saking penasarannya.
Azzura menghela nafas. Ia juga menggelengkan kepala. "Lo masih kepoin mantan lo?"
Ia mengalihkan pembicaraan. Ya dari pada membicarakan tentang apa yang ia sedang pikirkan. Karena menurutnya, itu tak penting-penting amat. Bahkan lebih baik kalau dilupakan.
"Nanyain itu lagi," jengkel Ridha. Azzura terkekeh. Sahabatnya yang satu ini kan gagal move on parah dan stalker parah. Tapi sudah setahun ini tak pernah lagi memiliki akun media sosial. Alasannya, ingin menyendiri. Tapi Zura tetap tak yakin. Ridha punya srribu cara untuk mengetahui keadaan mantannya. Padahal Ridha sudah jauhebih baik dibandingkan mantannya. Tapi ya namamya juga sakit hati. Siapa yang tak sakit hati kalau diselingkuhi laku ia yang diputuskan? Ia merasa kalau harga dirinya benar-benar diinjak kala itu. Rasanya sakit sekali.
"Ya kan nanya."
"Kan udah gue bilaaaang."
Ia malas mengulang hal yang sama. Azzura mengangguk-angguk. Pura-pura paham saja. Padahal ia sedang bosan karena tak ada hal lain yang lebih baik untuk dibicarakan. Mereka akhirnya tiba di Jalan Malioboro. Jangan tanya seberapa jauh mereka berjalan. Karena sesungguhnya tadi mereka menaiki TransJogja lalu disambung jalan kaki ke sini. Di Malioboro kan banyak sekali jajanan di pinggir-pinggirnya. Tapi harus pandai mencarinya. Harganya bisa naik kalau mereka tahu yang membeli bukan orang Yogyakarta. Khusus ini, Azzura diajari oleh salah satu temannya yang memang asli Yogyakarta.
"Kalo seandainya, secara mendadak lo ketemu mantan lo di sini. Apa yang akan lo lakuin?"
"Gue sepak lah."
Azzura terbahak. Ucapan inj terdengar begitu frontal tapi sesungguhnya itu hanya di dalam kata-kata saja. "Kebagusan dong. Lo terlalu membuatnya melayang. Itu tandanya lo gak bisa lupain dia tauk!"
Ridha mendengus. Ia juga tak paham. Kadang masih ada rasa marah dan jengkel saja. Rasa itu yang sangat sulit ia hapus. Apalagi kalau ia ingat penyebab putusnya dan bagaimana kejadian seolahnya di mana ia seolah masih mengemis. Namun tidak berhasil. Bukan kah itu lebih menyedihkan? Makanya jalur untuk lanjut S2 ini pun ia jadikan balas dendam pada cowok itu. Ya niat di mulut mungkin memang begitu. Tapi di dalam hatinya tidak kok. Ia tidak seperti itu. Kakau dipancing ya pasti emosi dan ia memang masih belum biaa mengendalikannya.
"Kalo lo? Emangnya enggak?"
"Enggak lah," sahutnya santai. Ridha menoleh. Mereka duduk di bangku-bangku yang ada di trotoarnya.
"Karena lo ditinggalkan banyak kenangan yang indah sih."
Azzura tertawa. "Gak juga. Justru kami tuh banyak masalah. Dari awal kenal aja udah ada masalah. Terus sampai akhirnya putus juga masih banyak masalah yang gue juga gak paham. Gak ada yang bahas dan yah terlupakan begitu aja. Dia juga pergi jauh kan?"
Ia pernah membahas ini. Mungkin setahun lalu? Saat Zura tak sengaja menyebut kalau mantannya adalah orang dari sini. Tapi namanya? Zura tak pernah menyebutkan namanya. Hanya menggantikan namanya menjadi 'dia'. Kenapa ia seolah menghindari namanya? Bukan menghindar. Hanya akan terasa aneh.
"Kalo dia kembali suatu saat untuk ketemu lo. Lo akan--"
"Itu gak mungkin."
Ia langsung menolak asumsi itu. Menurutnya, ia dan lelaki itu sudah sangat lama berlalu. Belasan tahun bahkan. Ya kalau ia hitung-hitung. Dan lagi, mereka memang tak pernah berkabar lagi. Lelaki itu sendiri yang memutuskan untuk tidak menghubunginya lagi. Rasanya sakit? Ya seperti dibuang. Tapi ia juga tak punya hak untuk marah sebetulnya. Tahu karena apa? Karena mereka saat itu memang tak ounya hubungan apapun.
"Kenapa?"
"Dia juga pasti udah sama cewek lain kali, Dha. Ya kan orangnya ganteng. Mustahil gak ada cewek yang mau. Pasti banyak yang mau."
"Elo?"
"Lo tahu kehidupan asmara gue minim."
Ridha terkekeh. "Sama orang yang udah lama nunggu aja lo gak mau."
Azzura terkekeh. Haah jangan sebut nama orang itu. Kenangan yang ditinggalkan tidak begitu bagus. Ia bahkan harus kehilangan seorang sahabat. Bukan kah itu lebih menyedihkan? Dari sekian banyak orang, kenapa malah sahabat sendiri? Dan dari sekian banyak cerita, kenapa jalannya harus semengerikan itu? Zura ingat betul betapa namanya buruk di tahun-tahun terakhir kuliah. Semua orang membicarakannya ketika lelaki itu putus dengan mantan sahabatnya. Ia disebut-sebut menjadi dalangnya. Bahkan juga disebut kalau ia tak rela melepaskan lelaki itu pada sahabatnya. Padahal kenyataannya begitu jauh. Zura juga bingung bagaimana orang-orang bisa berpikir seperti itu?
"Gak semudah itu. Gak semua perasaan bisa dipaksa."
"Cinta katanya bisa datang karena terbiasa."
"Gue kepret itu yang bilang begitu."
Ridha terbahak. Kadang perkara ini memang sangat lucu. Cinta karena terbiasa itu tak mempan untuk Zura. Ia juga tak paham, jenis cinta apa yang pernah ia alami? jatuh cinta pada pandangan pertama atau kah yang lain?
"Kalo kayak begitu pepatahnya, lo dan gue gak akan di sini."
"Terus di mana?"
"Udah nikah kali sama ngurusin anak."
Ridha terpingkal-pingkal mendengarnya. Bisa jadi memang begitu. Tapi kalau memang bukan jodoh itu ya tak akan bisa dipaksakan. Iya kan?
Tapi menurut Ridha, takdir terbaik untuk ia dan Zura memang di sini. Tak terbayang bagaimana posisi mereka saat ini. Bukan kah sudah begitu menyenangkan? Bisa kuliah dengan santai. Bahkan Zura sudah menyelesaikan pendidikannya lebih dulu. Ia? Hanya karena urusan administrasi sungguh memperlamanya. Tapi tak apa. Pengalamannya menjadi begitu banyak.
"Coba deh lo pikir. Diusia kita yang udah sebegini. Gue udah 28 tahun dan elo 29 tahun. Kita masih betah sendiri. Nyinyiran orang banyak banget. Tapi gak perlu didengerin lah. Bikin capek hati soalnya. Mending fokus pada hidup kita sendiri aja. Toh nyatanya, kadang mereka yang udah menikah juga kepengen berada di posisi kita. Sebaliknya, kita justru kepengen udah menikah kayak mereka kan? Nah ini hanya persoalan bersyukur dan tidaknya sih."
Ridha mengangguk-angguk. Betul sekali kalau persoalan ini. Azzura mengangkat kepalanya. Lalu segera beranjak. Mereka harus berjalan kaki lagi sebelum matahari semakin naik ke atas. Haaah. Kalau Ridha pikir-pikir, menjadi perempuan benar-benar tak mudah bukan? Apalagi diusia seperti ini. Alih-alih dibantu mencari jodoh malah dinyinyiri. Ya biasanya yang melakukan itu memang hanya mereka yang sungguh iri hati bukan?
"Setahun kemarin, gue terlalu mikirin usia gue yang udah segini dan belum menikah-nikah. Tapi karena kejadian rumah sakit itu," Ridha terkekeh mendengarnya. Ia juga masih ingat jelas kejadian itu. "Gue jadi mikir, ternyata jodoh yang paling dekat itu bukan sama cowok. Tapi kematian. Dan sejak itu, gue bersyukur banget karena Allah udah ngasih gue sakit yang kayak gitu. Karena dengan gue sakit itu, gue banyak mengubah diri. Gue lebih banyak mendekatkan diri. Gue lebih banyak berbuat baik. Yang mudah-mudahan gua bisa istiqomah sampai sekarang. Iya kan?"
Ridha mengangguk-angguk. Betul sekali. Jodoh yang paling dekat itu memang kematian. Bukan yang lain-lain. Kenapa ia baru terpikir sekarang?
@@@
"Pagi Eyang," sapanya. Ia baru saja selesai mandi. Hendak ke kantor lagi hari Sabtu pagi ini karena ada beberapa pekerjaan yang hendak dituntaskan. Eyangnya bertanya apakah ia akan pergi, ia mengangguk lantas segera pamit karena memang harus cepat. Ia memiliki jadwal rapat online dengan salah satu klien dari Jepang. Sehingga harus segera tiba di kantor. Ia tak mau terlambat. Baginya etika adalah hal yang harus diutamakan ketika berurusan dengan klien. Apalagi klien dari negara asing yang tentu memilikk kultur yang berbeda dengan yang ada di sini. Walau ia sesungguhnya sudah terbiasa dengan hal semacam itu karena memang lama tinggal di Inggris.
Ia mengendarai mobil dengan cepat. Hari Sabtu ini beberapa jalan ramai. Karena banyak yang jalan pagi atau sibuk pergi dan pulang dari pasar. Jalan di komplek rumahnya juga lumayan padat. Karena banyak anak-anak kecil bermain di depan rumah. Aah lebih tepatnya, di jalan yang hendak ia lewati sehingga ia harus benar-benar berhati-hati dalam mengemudi sehingga tak menabrak salah satu dari mereka. Urusannya bisa panjang kalau terjadi.
Dua puluh menit kemudian ia tiba di kantornya. Jalanan memasuki gedung kantornya yang sederhana agak tinggi. Sehingga mobilnya terkesan menanjak. Lalu ia memarkirkan mobilnya. Tak lama, ia melompat turun dan berjalan memasuki gedung dua tingkat itu. Kemudian menuruni tangga. Ya karena posisinya memang begitu. Ia bertanya mengenai kesiapan dari staf-stafnya. Setelah itu bersama-sama naik lagi ke lantai atas karena sinyal lebih kencang di sana. Lalu rapat online pun dimulai.
Dua tahun bukan lah waktu yang sebentar untuk mengembangkan perusahaan jasa ini. Bahkan memiliki banyak klien dari luar negeri adalah sesuatu hal yang sangat luar biasa. Ia juga tak menyangka. Mungkin ini adalah pencapaian tertingginya? Ya setiap hidup akan menanjak. Ia benar-benar memulai segalanya dari bawah. Jadi ia harus terus mengembangkan ini secara konsisten.
Dia, Nathan. Usianya kini sudah 28 tahun. Ia sudah sangat matang. Ciri khasnya yang dulu petakilan sudah tak terlihat. Senyum tengilnya sudah berubah menjadi senyum yang menawan ala-ala pemimpin muda perusahaan. Hidup dan kenangan yang telah mengantarkannya pada titik ini. Titik di mana ia benar-benar fokus untuk masa depannya. Hal yang dulu tak pernah ia pikirkan sama sekali. Ya sejak kapan Nathan bisa memikirkan masa depan? Kalau berkaca dari sisi Nathan yang dulu. Nathan yang pernah marah pada dunia. Tapi kini ia sudah berdamai dengan dunia itu. Ia sudah menerima segala hal yang pernah terjadi. Ternyata ia lah yang salah menangkap makna dari segala cerita dibalik kepedihan yang pernah ia alami. Mungkin pikirannya masih terlalu sempit kala itu.
Usai rapat dengan klien, ia sempat rapat kecil bersama staf-stafnya. Mereka juga bekerja setidaknya sampai jam dua siang. Setelah itu, Nathan menyuruh mereka pulang. Hari Sabtu itu harusnya beristirahat bukannya bekerja. Iya kan? Ia mana peduli meski Kementerian Tenaga Kerja justru menganjurkan bekerja sampai hari Sabtu. Persetan dnehan peraturan yang sebetulnya lebih menguntungkan bagi perusahaan. Tapi bagi Nathan, itu justru mematikan sisi kemanusiaan dari pihak perusahaan. Itu sesuatu yang gila menurutnya. Manusia adalah manusia. Mereka harus diperlakukan secara lebih manusiawi. Bukan diperlakukan kejam seperti b***k yang tak dinilai ada harganya.
"Belum pulang, Pak?"
Ia tersenyum kecil. "Duluan saja Bayu," tukasnya. Lelaki itu pun pamit meninggalkan Nathan yang masih asyik dengan sketsanya di laptop. Ia menarik nafas dalam. Disela-sela mengerjakannya malah teringat kejadian kemarin di mana ia melihat perempuan itu. Ya, perempuan yang sudah lama ia cari. Awalnya tak berpikir untuk mencarinya. Namun hatinya tergerak begitu saja. Ia tak tahu kenapa. Ia yakin kalau Allah punya alasan tersendiri kenapa hatinya dibawa menuju Azzura. Ya, Azzura.
Iseng. Ia mengetik nama Azzura Camelia di internet. Jujur saja, sebelumnya, ia sebelumnya tak berpikir untuk mencari nama ini di internet. Namun mendadak saja terpikir sekarang. Lalu muncul beberapa situs. Salah satunya dari Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi. Informasi mengenai pendidikan Azzura muncul di sana. Ia mengangguk-angguk. Sebetulnya sudah tahu kalau ternyata Azzura melanjutkan S2 di UGM. Tapi kaget juga kalau ternyata Azzura tak lolos Kedokteran UI. Ia justru masuk Kesehatan Masyarakat di sana. Namun sepertinya Azzura tampak bahagia sekarang dengan apapun jurusannya. Gadis itu benar-benar mengejar impiannya.
Dulu, Natha berpikir kalau Azzura adalah perempuan yang terlalu ambisius. Karena ya dalam pandangan Nathan yang dahulu, untuk apa perempuan mengejar sesuatu? Kalau akhirnya akan berada di rumah untuk mengurus anak dan suami? Tapi seiring waktu mengenal Azzura, ia jadi tahu kalau perempuan itu punya alasan sendiri agar bisa sukses. Apa alasannya? Coba tebak?
"Gue bukan anak orang kaya, Nath. Kalo gue gak ngejar mimpi dan cita-cita gue, lo pikir, gue akan bisa bantu orangtua gue?"
Azzura diumur yang seperti itu sudah sangat tahu apa yang ia inginkan. Azzura juga sudah tahu bagaimana cara untuk mengejarnya. Gadis itu juga sudah sangat berusaha agar dapat memperoleh semua hal itu. Meski urusan iya atau tidak tetaplah menjadi urusan Allah. Karena Allah yang paling tahu apa yang terbaik untuknya.
Dan wajar kalau Natha mungkin salah menilai hidup Azzura. Karena Nathan tidak terlahir sederhana seperti Azzura. Nathan terlahir di dalam keluarga ningrat dengan harta yang juga lumayan. Ya ibunya kan dosen kampus kala itu. Walau setelahnya memutuskan untuk menjadi ibu rumah tangga. Sementara ayahnya adalah pejabat strategis di BUMN. Gaji minimal lima puluh sampai enam puluh juta. Maksimal? Bisa ratusan juta per bulan. Sehingga Nathan sangat berkecukupan. Berbeda dengan Azzura yang anak kampung bukan?
Nathan tersenyum kecil. Ia sejujurnya sangat senang dengan kabar yang baru ia ketahui ini. Azzura ternyata sudah menggapai impian yang ia inginkan. Lalu kehidupan perempuan itu juga jauh lebih baik dibandingkan sebelumnya. Yaa ia hanya bisa berdoa sih agar perempuan itu terus membaik. Lalu untuk apa ia mencari Azzura lagi?
Nathan memejamkan matanya. Ia menyandarkan tubuhnya di kursi. Kedua tangannya terlipat di belakang kepala. Ada suatu yang ia janjikan pada Azzura. Meski tak pernah ia ucapkan untuk gadis itu. Kalau memang berjodoh, ia hendak mengajaknya menikah. Namun entah kenapa, semua keinginan ini mendadak tertahan setelah melihat kehidupan Azzura yang kemarin. Azzura yang ia lihat jelas berbeda dengan Azzura yang ia pernah kenal dulu. Azzura dengan penutup kepala dan baju yang sungguh jauh dari ingatan terakhirnya. Azzura yang ia lihat telah berubah total. Hal yang membuatnya agak-agak berpikir panjang. Lalu ia mendadak kehilangan rasa percaya dirinya. Ya bagaimana tak hilang?
Dari dulu, sebetulnya Azzura memang selalu berada di depannya bukan? Maksudnya, dari sisi prestasi. Dibandingkan dengannya yang anak nakal. Bahkan banyak guru yang mengompor-ngompori Azzura intuk tak dekat dengannya karena ia bisa saja membawa pengaruh buruk untuk Azzura. Lalu terbukti?
Haaah. Ia sakit kalau ingat pertengkaran mereka saat putus malam itu. Maksih sakit hati. Namun ia akan melupakan. Lantas apa yang sekarang hendak ia lakukan?
@@@