Berharap Bertemu

2999 Kata
Azzura berjalan keluar dari salah satu mall yang ada di Malioboro. Ketika keluar, ia baru menyadari kalau ternyata hujan turun cukup deras sore ini. Ia berdiri di sisi-sisi mall dekat pintu agar terlindung dari air yang menggenangi bumi. Kemudian terpaksa mengalihkan pesanannya dari ojek motor ke taksi. Karena tak memungkinkan kalau harus pulang dengan motor. Ketika sedang menunggu mobilnya tiba, matanya melirik ke arah kirinya di mana beberapa anak-anak sekolah berdiri tak jauh darinya. Mereka sama dengannya. Tampak menunggu pesanan datang. Ia tersenyum tipis melihat baju putih abu-abu yang masih dikenakan itu. Mengingatkannya pada zaman sekolah dulu ketika pertama kaki datang ke sebuah mall di Jakarta bersama teman-teman SMA-nya. Azzura tak pernah punya mimpi untuk sekolah di Jakarta. Keinginan itu muncul ketika ia merasa kalau akan tertinggal jika terus berlanjut di sekolah-sekolah yang ada di daerahnya. Bukannya ia mengecilkan atau merendahkan sekolah-sekolah di sana. Tapi dari segi apapun, kualitas sekolahnya memang tertinggal. Makanya ia sengaja berangkat ke Jakarta dan sekolah di sini dengan harapan ia bisa menjajari ketinggalan itu. Awalnya ia sempat minder. Tapi ternyata ia bisa mengikuti dengan baik. Sekolah menjadi tempat yang menyenangkan baginya. Meski mungkin ia tak tampak asyik dengan anak-anak yang lain. Ia terlibat seperti perempuan yang sangat ambisius. Padahal ia hanya tak mau membuang waktunya. Bagi Azzura, waktu adalah sesuatu yang sangat berharga. Karena kita tidak akan pernah bisa mengulang waktu. Kita mungkin bisa mengulang hal lain tapi waktu? Demikian juga dengan usia bukan? Mungkin hidupnya memang tampak monoton. Hanya berkutat pada buku-buku pelajaran. Berpikir untuk terus mengejar ketinggalan dalam keilmuan. Ambisius untuk mengejar cita-cita. Ia hanya ingin memperbaiki hidupnya agar lebih baik dibandingkan kedua orangtuanya dan kakak-kakaknya. Apa salah? Tidak bukan? Azzura masuk ke dalam taksi. Ia baru saja meninggalkan mall itu. Sementara orang lain malah baru saja tiba usai berlari dari parkiran karena ia memarkirkan mobilnya di pinggir jalan. Kemudian mengibas-ibas bajunya yang sedikit basah. Ia hendak ke toko buku untuk membeli beberapa peralatan. Biasanya ia selalu memesan secara online ke beberapa toko langganan. Tapi berhubung sangat perlu sekali, ia sengaja membeli langsung. Waktunya sudah mepet. Ia tak akan sempat menunggu pesanan datang. Lebih baik langsung dibeli bukan? Jika tak ada di toko buku ini, ia akan berpindah ke toko buku lain. Takdir itu lucu ya? Mereka yang sudah terpisah lama bahkan tak berpapasan. Perbedaan waktu meski hanya satu atau dua detik menentukan takdir keduanya apakah akan benar-benar dipertemukan atau tidak. Ketika akhirnya masuk ke dalam toko buku itu, ia malah menghentikan langkah. Merasa pernah terjadi sesuatu di sini. Apa? Tentu saja bayangan ibunya. Ibunya yang sangat ia rindukan namun kini tak bisa ia lihat. Karena keberadaannya yang sangat jauh. Ia tersenyum kecil ketika melintasi beberapa rak yang rasanya tak jauh berbeda dengan posisi rak yang pernah ia tahu sejak dulu. Tak banyak yang berubah dan semua hal itu membuatnya tersenyum tipis. Ia jadi rindu sekali suasana Jogja yang dulu. Ketika masih sering merengek kalau ibunya terlalu lama di sini hanya untuk mencari alat tulis atau buku-buku. "Mama!" Nathan kecil seolah berlari berkeliaran kala itu. Nathan yang dewasa seolah bisa melihat sosoknya sendiri. Tampak bahagia dan selalu menarik ibunya menuju buku-buku bergambar. Ia suka gambar gedung-gedung bersejarah. Entah gambar kantor PBB, WHO, kantor kepresidenan, dan lainnya. Aneh ya anak sekecil dirinya dulu suka gambar-gambar semacam itu. Tapi mamanya menganggap hal itu sebagai sesuatu yang luar biasa setidaknya untuk seusia Nathan kala itu. Siapa yang tahu malah ketika dewasa, ia menjadi arsitek bukan? Ia menarik nafas dalam. Tak seharusnya bernostalgia disaat genting begini. Kemudian segera berjalan masuk ke beberapa etalase yang memamerkan alat tulis mahal khusus untuk menggambar. Ia membeli beberapa sesuai dengan kebutuhannya. "Hanya ini saja, mas? Tidak ada tambahan yang lain?" Ia menggeleng kemudian segera mengeluarkan kartunya untuk membayar. Setelah itu keluar dari sana dan membeli beberapa kue untuk dibawa ke rumah. Di rumah Eyangnya akan ada banyak orang yang akan memakannya. Kue ini pada akhirnya pasti akan habis. Setelah itu, ia kembali ke pintu di mana ia masuk tadi. Kemudian menatap langit yang masih gelap namun hujannya sudah berhenti. Ia tersenyum tipis. Walau masih mendung, setidaknya langit tidak menangis. Langit yang menangis hanya akan mengingatkannya pada sebuah luka yang sampai sekarang belum sembuh. Namun hidup harus terus berjalan ke depan bukan? Jadi ia tak mau terpaku pada waktu lampau hanya karena satu atau dua hal. Lalu ia berjalan santai menuju mobilnya. Ia menyalakan mesin mobilnya dan pergi. Ia tampak santai mengendarai mobilnya melintasi jalanan Jogja yang selalu tampak ramai. Jemarinya tampak menggetuk-getuk setir, mengikuti irama lagu yang ia putar. Meski saat ini hujan tipis-tipis. Dua puluh menit kemudian ia akhirnya tiba di rumah Eyangnya. Ada mobil lain yang terparkir di depan rumah. Ia tidak heran. Barangkali ada tamu Eyangnya. Begitu keluar dari mobil, wajah sumringah milik Eyangnya sudah muncul. "Kebetulan sekali cucu Eyang sudah pulang. Tidak banyak pekerjaan di kantor?" Ia tersenyum tipis. Eyangnya tampak senang karena ia tiba di rumah. Kemudian menciumi pipinya dan membawanya masuk ke dalam. Suasana hujan tidak bagus untuk eyangnya yang rentan masuk angin ini. Karena faktor usia memang tidak bisa berbohong. "Di luar dingin, Eyang." Ia malah terkekeh-kekeh. "Ya ndak apa-apa. Kan sesekali," kilahnya. "Ada perempuan ayu itu di dapur. Sedang buatkan sup untuk Eyang." "Ooh," hanya itu reaksi Nathan. Pantas ada mobil di depan. Ia seharusnya merasa aneh karena di ruang tamu tak terlihat satu pun tamu. Ternyata ada di dapur. Ia tak terlalu ambil pusing dengan siapa yang dimaksud sampai akhirnya perempuan yang dibicarakan itu membalik badan. Ia sudah mendengar suara langkah kaki dan bahkan suara mobil yang masuk ke area rumah ini. Itu sudah pasti Nathan. "Mas Nathan!" sapanya dengan anggukan ayu dan senyuman yang cantik. Awalnya Nathan mengernyit karena merasa tak mengenal. Namun lama-lama ia merasa kalau wajah itu sepertinya tak asing. "Vira, Mas," tukasnya yang membuat Nathan mengangguk-angguk. Menyadari kalau ia memang mengenal gadis itu. Seingatnya gadis ini dulu sering datang ke rumah. Berteman pula dengan adiknya, Vita. "Apa kabar, Mas?" Kalau tidak salah, gadis ini adalah salah satu rekan dari mamanya? Ah atau papanya? Atau eyangnya? Entah lah. Saking sudah lamanya, ia juga sudah lupa. "Baik." Ia masih tersenyum. Tak malu menatap Nathan meski gugup setengah mati. Ia sudah lama mendengar kalau lelaki ini kembali ke Jogja. Tak menyangka kalau akan ada kesempatan ini. "Vira dengar, Mas menetap di Jogja. Bangun kantor konsultan sendiri?" Yaa pasti gadis ini sudah mendengarnya. Tapi ia kaget saja karena tampaknya Vira sudah familiar dengan isi rumah ini. Eyangnya juga tampak sumringah sekali melihat interaksinya dengan Vira yang menurutnya sangat biasa. Ya Vira memang cantik. Tapi tidak menarik bagi Nathan. Ia sudah memiliki perempuan lain dihatinya. Mau secantik apapun Vira, tak akan bisa melawan gadis yang ada di dalam hatinya. "Ya begitu lah," tukasnya lantas mengalihkan tatapannya pada Eyang. "Nathan mandi dulu, Eyang. Tadi sempat hujan-hujanan." Eyangnya mengangguk. Nathan mendorongnya hingga dekat meja makan sementara ia menaiki tangga menuju kamar. Vira menatap punggungnya dengan sumringah. Meski langkah kakinya menjauh. Ia tampak senang karena kembali melihat Nathan setelah sekian lama. Ia kerap mencari akun media sosial Nathan. Memang dapat namun terkunci. Ia mencoba mengikuti bahkan mengiriminya pesan langsung tapi tak dibalas dan belum ada kabar kalau pertemanan yang ditawarkan melalui dunia maya itu akan diterima. Yaa ia tak tahu sih bagaimana asmara Nathan. Namun ia sangat senang ketika mendengar cerita Eyang tadi. Kalau Nathan belum punya perempuan yang hendak dinikahi. Bahkan belum terlihat dekat dengan satu perempuan pun. Berarti ia punya kesempatan bukan? Apalagi eyang sangat menyukai kehadirannya. Ia mendadak percaya diri. Ia kan cantik. Dokter lagi. Nathan pasti mau padanya. Apalagi keluarga mereka juga selevel. Nathan yang masih keturunan ningrat pasti tak akan sembarang mencari calon istri bukan? Dari segi manapun, ia tentunya memenuhi kriteria untuk menjadi istri Nathan. Natha akan sangat beruntung kalau memilikinya. Ya kan? Meski ia juga tak bisa menampik kalau ia juga akan beruntung jika berhasil memiliki Nathan. Cowok itu ganteng. Semua perempuan yang ada di bumi ini pasti akan iri padanya. Akan iri sekali. @@@ "Naaaaath! Mati kita, Naath! Matiiii!" Bayu muncul dengan teriakan panik menghampiri Nathan yang bahkan belum turun dari motornya. Cowok itu baru saja tiba di parkiran sekolah. Baru hendak mematikan mesin motor lalu melepas helm. Tapi Bayu datang tiba-tiba begini. "Abis kita, Nath!" "Apanya yang habis?" Ia justru menanggapinya dengan santai. Ya kan pasti tak akan jauh-jauh dari urusan dengan guru atau kepala sekolah. Iya kan? Ia sudah bisa menebaknya karena memang sudah terbiasa melakukan itu. "Bu Hayati ternyata menelepon orangtua kita! Hari ini akan dipanggil semua untuk menghadap kepala sekolah." Ia hanya mengangguk-angguk. Itu hal biasa bagi Nathan. Bolos lalu ikut tawuran dan akhirnya orangtuanya dipanggil. Ibunya sudah sangat biasa mendengar kabar semacam itu. Paling nanti hanya akan diomeli. Hanya sebatas itu. Tapi nanti pasti akan ada obrolan yang jauh lebih dalam dengan ibunya. Itu cara ibunya agar ia bisa memahami apa yang sesungguhnya dikhawatirkan oleh orangtua. Ia beranjak turun dari motor dan berjalan santai menuju kelas sambil menyampirkan tasnya di punggungnya. Keduanya berjalan menuju kelas. "Kamu ndak takut begitu, Nath?" Nathan justru terkekeh. Usai menaruh tasnya di bangku, ia malah keluar dari sana dan berjalan menuju area lapangan sekolah. Lebih baik duduk santai di sana sembari menunggu pelajaran dimulai. Bel masuk pun baru saja berbunyi. Tapi Nathan tak merasa harus masuk ke dalam kelas. Ia paling malas dengan yang namanya belajar. Untuk apa? Nathan tak punya rencana apapun setelah lulus nanti. Ia sekolah saja hanya dalam rangka untuk memenuhi keinginan kedua orangtuanya. Setelah ini akan ke mana? Ia belum memiliki jawaban untuk itu. Ia masih sibuk dengan wara-wirinya sebagai anak yang hobi ikut tawuran. Baginya, kegiatan semacam itu justru lebih berguna karena mengamalkan sisi kesetiaannya pada kawan-kawan dan perjuangan yang begitu tinggi. Itu menurutnya lebih dari keren. Tapi para guru dan bahkan orangtuanya sendiri mungkin tak akan paham dengan pola pikirnya. "NATHAAAAAAAN!" Ia diteriaki dari belakang. Teman-temannya sudah kabur. Sementara ia justru baru membalik badan. Kaget juga kalau guru Fisikanya akan mencarinya sampai ke sini. Alih-alih berlari seperti yang lain, ia justru geleng-geleng kepala. Rajin amat gurunya yabg satu ini karena mencarinya. Hahaha. "Pagi, Buuu!" Ia malah menyapa. Lalu tak lama ia dijewer sembari dibawa menuju kelas. Ia berpura-pura mengaduh. Ya sebetulnya sakit tapi kalau tak menampakan diri sebagai orang yang benar-benar kesakitan itu rasanya tak seru bukan? Hahaha. "Kamu ini! Datang ke sekolah bukannya belajar malah bermain-main. Lalu apa kemarin? Kamu bolos pula! Bagus sekali kamu ya!" "Oh iya dong, Buuk. Namanya juga anak muda. Dimaklumin, Buuk." Si ibu mendengus. Sebetulnya sudah bosan juga menanggapi si bandel yang satu ini. Diberitahu malah menyolot. Kadang juga melunjak. Guru-guru lain saja menyerah. Ganteng loh padahal tapi nakalnya luar biasa. Yaa bukan nakal yang kotor begitu. Tapi nakal yang seperti ini. Nakal yang sebetulnya bisa di toleransi tapi guru-guru bisa jengkel dan hipertensi kalau menahan kedongkolan. "Anak muda itu kerjaannya belajar! Cuma kamu yang hobi bermain-main begini. Memangnya tawuran itu bagus menurutmu?" "Serba salah saya, Buk." "APANYA YANG SERBA SALAH HAH?" Nathan nyengir. Lalu melirik si ibu yang wajahnya sudah tampak memerah. Belum apa-apa, sudah lelah menghadapinya. Mana ia dibawa ke ruang kepala sekolah pula bukannya ke kelas. Nathan kan sengaja mangkir dari kelas biar tak disuruh ke ruang kepala sekolah. Nanti kalau ibunya datang bagaimana? Meski itu sudah menjadi hal yang sangat biasa. "Perempuan itu, Buk, gak akan bisa saya hadapi. Jawab ini salah. Jawab itu juga salah. Semua jadi serba salah, bu." "Nyolot kamu." "Kan pendapat, Bu. Masa berpendapat gak boleh sih?" Jewerannya semakin dikencangkan dan secara otomatis, Nathan berteriak. Beberapa anak di dalam kelas yang melihatnya dibawa menuju ke ruang kepala sekolah riuh dengan tawa. Itu karena teriakan lebay milik Nathan yang disengaja. Anak yabg satu itu kan memang tengil. Makin dijewer ya makin bertingkah alih-alih takut. Makanya yang kain malah tertawa melihat adegan itu. Menghadapi anak seperti Nathan menang sangat sulit. Tiba di ruang kepala sekolah, sudah banyak orangtua yang datang. Termasuk ibunya yang sudah melotot dari kejauhan. Ia nyengir. Paham dengan maksud pelototan ibunya. Kasus tawuran ini adalah tawuran pertama yang ia lakukan semenjak masuk SMA. Untu kasus bolos? Hohoho. Jangan dihitung. Yang ketahuan mungkin hanya sedikit. Sisanya tak ketahuan. Rasanya ia juga lebih banyak absennya. Wali kelasnya yang tampak berbicara di depan sana juga mengutarakan permasalahannya. Ia hanya bisa berdiri bersama beberapa temannya di belakang. Jauh dari orangtua masing-masing. Berdiri sebagai tanda dihukum tapi Nathan yakin kalau ini belum hukuman yang sebenarnya. Sementara ibunya kerap kali menatap ke arahnya dan mengirim pelototan. Ia hanya nyengir ketika dipelototi. Tak tampak takut sama sekali. Ibunya yang memohon maaf pada guru-guru dan kepala sekolah yang hadir karena kenakalannya. Setelah menandatangani surat bermaterai untuk tidak mengulang lagi, mereka diizinkan keluar. Tapi tentu saja Nathan tidak keluar dengan damai. Kalau tadi telinga kanannya yang dijewer, sekarang telinga kirinya. Ia mengaduh-aduh karena benar-benar kesakitan kali ini. Ibunya tentu tak bisa ia tipu. Perempuan itu tahu benar jewerannya akan menyakiti telinga Nathan. Ini bahkan sudah bukan masuk kategori menjewer tapi memelintir. "Kamu ini kebiasaan deh. Harua berapa kali mama bilang, Nathan?!" Ibunya mulai mengomel. Ia hanya bisa mengaduh-aduh. Perempuan itu terus menjewernya sambil mengomelinya hingga mereka tiba di dekat mobil. Yeah namanya juga perempuan. Tak akan bisa berhenti mengomel kecuali lelah. "Pokoknya Mama ndak mau dengar lagi ada surat-surat pemanggilan dari sekolah seperti ini lagi!" tukasnya yang membuat Nathan hanya bisa mengelus telinganya. Rasa sakitnya benar-benar menyelekit hingga ke ubun-ubun. Sakit sekali. Ibunya memperingatkan sekali lagi agar ia tak mengulang kesalahan yang sama. Kemudian membalik badan setelah ibunya pergi. Baru saja hendak kabur ke arah toilet, salah satu guru olahraganya sudah membunyikan pluit. Is disuruh kembali ke dalam kelas. Mau tak mau ia kembali ke sana. Haaah. Menyedihkan sekali hidup sebagai anak SMA yang apa-apa diatur oleh sekolah. Ia memang bukan anak penurut. Bukan pula yang akan pasrah begitu saja ketika hidung terkekang seperti ini. Tapi dalam rangka tak ada urusan lain di luar sekolah, ia enggan menambah masalah. Meski bosan juga kalau terus menerus belajar. Omong-omong memangnya ia pernah belajar? Hahaha. Say bye saja jika urusannya untuk belajar. Tawuran jauh lebih penting. Apalagi nongkrong bersama teman-teman yang lain. @@@ "Kamu itu ndak sopan, Nathan. Kalau ada tamu itu yo, kayak si Vira, yo disambut lah. Masa dibiarkan begitu. Udah naik bukannya turun lagi. Tamu itu raja yo, Nath. Sopan sedikit." Si Eyang menegurnya. Padahal ia baru saja turun dari tangga. Ia hanya tersenyum tipis. Ia memang malas sekali menghadapi perempuan. Tidak seperti dulu yang pekerjaannya tebar pesona. Yaa kalau sekarang, tak usah disebar pun, sudah banyak yang terpesona. Tapi bukan prioritasnya lagi untuk bermain-main dengan perempun. Omong-omong sejak kapan ia jadi tobat begini? Ah entah lah. Usia telah mendewasakannya. Kemarin, ia sengaja tak keluar lagi karena tahu kedatangan Vira. Yaaa ia tak tahu sih kenapa gadis itu jadi sering ke sini. Yang jelas, ia kurang suka saja. Karena kalau dilihat tingkahnya yang malu-malu itu membuat Nathan paham. Gadis itu pasti menyukainya kan? Ya-ya. Yang suka padanya pasti banyak. Tapi ia bukan tipe lelaki yang suka dikejar. Ia justru sebaliknya, lebih ingin mengejar. Yeah tidak seperti dulu di mana ia juga sering membiarkan para perempuan mengejarnya lebih dulu. Kalau sekarang ia tak perduli. Pagi ini, ia hendak ke kampus. Yaa memang ada meeting dengan para dosen kampus di fakultasnya Nata. Tapi kalau beruntung mungkin bisa bertemu dengan seseorang yang telah lama tak bertemu? "Nathan berangkat, Eyaang! Assalamualaikum!" ia pamit begitu saja usai sarapan. Eyangnya masih mengomel karena kesal dengan tindakannya kemarin. Dari semalam juga sudah diomeli tapi Nathan memang ogah mendengar. Ya terserah Eyangnya lah. Baginya tak perlu berbasa-basi lebih panjang dengan Vira. Ia mengendarai mobilnya pagi ini menuju kampus. Tak begitu jauh. Kurang dari lima belas menit sudah sampai. Ia memasuki kawasan kampus itu dan masuk ke dalam Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat, dan Keperawatan. Lokasinya tak jauh dari RSUP dr Sardjito. Di sekitarnya juga ada fakultas lain, seperti Farmasi, Sekolah Pascasarjana, dan Teknik. Nathan turun dari mobil. Lelaki itu berjalan menuju salah satu gedung yang menjadi pusatnya kedokteran. Kemudian menaiki lift menuju lantai tiga di mana ia harus bertemu dengan para dosen untuk rapat pagi ini. Tentunya tak akan ada seseorang yang ia cari di sana. Ia menghabiskan waktu selama hampir tiga jam untuk rapat baru kemudian keluar dan mencari angin segar. Tapi baru hendak menghubungi Nata dulu. Siapa tahu Nata sedang kosong sehingga mereka bisa makan siang bersama di kantin fakultas? Namun sayangnya, Nata justru tak di kampus. Katanya sedang menghadiri seminar di luar. Ia mengiyakan lantas menghela nafas. Meski tak berniat lagi untuk makan siang di fakultas, ia mencoba berkeliling ke area kantin. Berharap menemukan sosok Azzura di tengah keramaian. Namun ternyata tidak. Ia tidak menemukan Azzura di sana. Gadis itu tak terdeteksi. Ia mencoba berkeliling fakultas. Dari satu area ke area yang lain. Ia juga berjalan memasuki beberapa lantai berharap menemukan gadis itu, namun ternyata? Memang bukan takdirnya. Ia tak bertemu dan tak menemukan keberadaannya. Ia melirik jam tangannya. Sepertinya sudah hampir jam satu siang, lebih baik ia solat dulu di masjid kampus sebelum kembali ke kantornya. Ia memutuskan untuk demikian lantas berjalan menuju parkiran. Sebaliknya, Azzura muncul dari arah belakangnya. Gadis itu baru kembali dari perpustakaan dan hendak masuk ke dalam lift yang baru saja ditinggalkan Nathan. Keduanya hampir berpapasan tapi sayangnya, Nathan berjalan beberapa langkah lebih dulu dibandingkan dengannya. Sehingga ketika Azzura memencet tombol pintu lift sembari menunduk dan memainkan ponsel, Nathan sudah berjalan empat langkah di depannya tanpa menoleh ke belakang lagi. Jarak mereka begitu dekat namun sayangnya tak saling melihat. Bahkan hingga akhirnya Azzura masuk ke dalam pintu lift itu dan Nathan yang sedang memerhatikan sekitar, baru menoleh ke belakang bertepatan dengan pintu lift yang tertutup itu. Lucu ya takdir itu? Mereka begitu dekat namun tetap tak saling melihat. Nathan kembali membalik badannya lantas bersegera melangkah menuju parkiran mobil. Ia akhirnya pergi dari sana sembari mengendarai mobilnya menuju masjid kampus. Solat zuhur di sana lalu kembali ke kantornya. Sedangkan Azzura? Gadis itu baru saja masuk ke dalam ruang dosen kemudian hendak mengambil beberapa buku dan laptop untuk dibawa menuju kelas. Ia puasa hari ini jadi tak makan ke kantin. Tadi malah solat dan menyendiri di perpustakaan sembari mengerjakan banyak tugas. Sampai akhirnya tiba waktu untuk mengajar. @@@
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN