REVANO
Beberapa kali gue menghubungi Randita. Tapi tidak dia angkat. Kemana dia? Apa sudah berangkat ke kantor? Gue kirim pesan pun tidak dibalas. Karena nggak juga mendapat jawaban, aku beranjak menuju unitnya. Tapi beberapa kali menekan bel pun nggak ada tanda-tanda kalau pintu akan terbuka. Masa iya Randita sudah berangkat? Nggak biasanya.
Pikiran gue langsung teringat kejadian semalam. Gue sudah lepas kontrol mencium wanita itu. Entahlah, gue ingin, jadi itulah yang terjadi. Randita juga nggak menolak namun juga nggak bicara apa pun. Apa mungkin dia marah karena kejadian itu? Gue bego banget. Harusnya gue bisa lebih nahan diri lagi. Gimana kalau dia sekarang menghindari gue. s**t!
Hari sudah semakin siang, gue melajukan mobil dengan cepat. Kali ini gue yakin akan telat. Gue korbanin satu jam pelajaran demi menunggu Randita.
***
Setelah membuat laporan terlambat, gue menuju kantin buat sarapan. Harusnya sih gue dihukum berjemur di lapangan. Tapi berhubung lapar jadi lebih baik isi perut dulu.
Jam pelajaran pertama masih berlangsung, kantin di pagi hari juga tidak ada pengunjung. Namun bukan berarti gue bebas duduk di kursi mana pun. Menghindari patroli sekolah, gue makan sambil ngumpet di dapur ibu kantin.
"Tumben sekali Mas Revano telat? Mobilnya masuk ke bengkel lagi?" tanya Bu Sammy, penjual makanan di kantin langganan gue. Pagi ini gue sarapan nasi pecelnya.
"Nggak, Bu. Saya tadi tuh nungguin gebetan. Eh udah nunggu lama, doi taunya udah berangkat duluan."
"Mbak Meta maksudnya?"
"Kok Meta sih? Ya bukanlah, Bu."
"Loh jadi Mas Revano ini bukan pacarnya Mbak Meta tho?"
"Bukan, Bu. Lagian siapa sih yang bilang begitu. Jangan suka bergosip, Bu. Fitnah."
"Lah ibu nggak tahu loh. Itu kan kata anak-anak yang sering makan di sini."
"Saya kasih tahu ya, Bu."
Bu Sammy tampak mendengar dengan serius.
"Gebetan saya itu selebgram. Artis. Dia juga cantik dan enerjik. Mandiri dan nggak manja. Paling penting nih ya, Bu. Orangnya dewasa."
"Dewasa maksud Mas Revano, tua?"
"Ya nggaklah, Bu. Dewasa Bu dewasa, masa nggak tahu. Dewasa dan tua itu beda, Bu. Tua umur belum tentu pikirannya dewasa."
"Ho-oh benar, kaya si Brandy itu loh. Nggak dewasa-dewasa."
Astaga malah disamain dengan si Brandy. Brandy itu anak Bu Sammy yang sudah gede tapi kelakuannya masih kayak bocah. Terserah Bu Sammy ajalah.
Bel usainya jam pertama berbunyi bertepatan dengan habisnya sarapan gue. Setelah membayar, gue langsung melesat menuju kelas. Pergantian mata pelajaran seperti ini nggak akan ada yang sadar dengan keterlambatan gue. Rio langsung melambai saat gue nongol di kelas. Gue langsung duduk di sebelahnya.
"Lo habis kemana?" tanyanya begitu gue mendudukkkan diri.
"Kantin, sarapan. Tadi nggak sempet."
"Lo sarapan, nggak ngajak-ngajak."
"Lo harus telat dulu kayak gue, baru gue ajak."
"Lagian tumben banget sih lo telat? Ah, gue tahu. Pasti ini gara-gara gebetan lo yang selebgram itu kan?"
"Tuh tahu."
"Wah, semalam sampe jam berapa? Rasanya gimana?"
Gue menggeleng, heran sama pikiran tumpul Rio. Mikirnya aneh-aneh terus. "Biasa aja."
"Hah biasa aja? Kok bisa? Ini pertama buat lo kan?"
Sialan, maksud Rio apa sih? Ambigu banget pertanyaannya.
"Emang lo pikir gue ngapain?"
"Jemput Randita kan? apa lagi? Emang itu baru pertama kan?"
Kampret Rio emang. Gue nggak peduli lagi ocehannya sampai guru jam pelajaran kedua datang.
***
"Lo ngapain sih dari tadi melototin HP mulu. Bakal meledak lo pelototin terus." Lagi-lagi gangguan Rio.
"Gue lagi nunggu chat Randita. Dia masih belum balas chat gue."
"Apa? Pedekate lo semalam gagal?"
Gue melirik Rio sekilas. Sembarangan aja kalau ngomong.
"Jadi kenapa setelah itu doi nggak balas chat lo? Ngambek? Nggak nyangka cewek dewasa gede ambek. Lo sih nyarinya tante-tante."
"Randita bukan tante-tante dan dia juga nggak lagi ngambek. Semalam bahkan gue udah cium dia."
Kali ini bisa gue lihat mata Rio melotot. Nah kan kaget dia.
"Serius lo? Wah, wah, nggak nyangka gue. Rasanya gimana? Sama Sofi dulu manis mana?"
"Jangan banding-bandingin Randita dengan Sofi."
Rio tergelak. "Selera lo emang mantap banget, ya. Setelah Sofi sekarang Randita. Hebatnya, mereka berdua sama-sama lebih tua dari lo."
Ya, Sofi mantan gue umurnya lebih tua dari gue dua tahun. Gue pacaran sama Sofi saat pertama kali masuk SMA. Hubungan gue lancar-lancar aja sebelum Sofi lulus dan memutuskan kuliah di luar negeri. Sofi nggak mau pacaran jarak jauh dan dia lebih memilih putus dari gue. Ya, gue bisa apa? Sofi itu pacar pertama gue dan meskipun kebersamaan itu cuma satu tahun lamanya, banyak kenangan manis yang tercipta. Gue sih realistis saja. Namanya juga pacaran, bisa putus, bisa juga nyambung. Nggak terlalu gue bawa ke hati. Lagian masa depan kami masih jauh. Gue nggak mau ambil pusing.
Gue mendadak menegakkan punggung. Jangan-jangan Randita kesal karena ajakkan gue buat pacaran semalam. Mungkin dia mengira kalau gue bercanda. Padahal gue beneran serius saat mengajaknya pacaran.
***
Gila! Sudah lima hari gue nggak ketemu Randita. Kebetulan-kebetulan yang biasanya gue ciptakan nggak bisa gue terapin. Pernah nyaris semalaman gue menunggunya pulang. Jangankan bertemu, nongol batang hidungnya saja enggak. Sebenarnya Randita kemana? Apa dia nggak pulang ke apartemennya?
Telepon gue nggak pernah sekali pun dia angkat. Pesan wa juga nggak dibalas. Jangankan dibalas di-read saja enggak. Gue semakin merasa yakin kalau gue punya salah sama dia. Kenapa sih nggak bilang aja salah gue dimana? Padahal gue nggak maksa dia pacaran juga. Apa karena ciuman gue waktu itu? Kalau dia marah, kenapa waktu itu dia nggak langsung tampar gue saja? Jadi gue bisa tahu kalau dia nggak suka dengan tindakan gue. Kalau seperti ini, gue bingung sendiri. Apa perlu gue mendatangi kantornya? Iya, gue pikir itu memang perlu.
Dan sekarang, gue di sini. Di lobi gedung kantornya. Menunggu kepulangan Randita, walaupun gue nggak tahu dia pulang pukul berapa. Gue akan tetap menunggunya. Gue ingin minta maaf, itu yang paling penting.
Setelah satu jam menunggu, gue akhirnya bisa melihat sosok Randita yang keluar dari lift. Tidak sendiri, dia beriringan dengan seorang laki-laki. Sial! Gue akui laki-laki itu memang oke. Siapa dia? Laki-laki itu bukan yang pernah gue lihat tempo hari.
Gue sangat yakin Randita melihat keberadaan gue. Tapi, dia bersama lelaki itu terus saja jalan melewati gue. Seolah gue nggak tampak, seolah dia nggak pernah mengenal gue. Sebenarnya ada apa dengannya?
"Randita!"
Akhirnya gue memanggilnya.
"Randita tunggu!"
Setengah berlari gue mengejarnya. Randita sama sekali nggak menghentikan langkahnya meskipun mendengar teriakan gue. Dia sengaja menghindar. Tepat di pintu keluar lobi, gue berhasil menarik tangannya, hingga tubuhnya memutar menghadap ke gue.