bc

Brownies, I miss

book_age18+
3.8K
IKUTI
35.6K
BACA
possessive
second chance
pregnant
single mother
drama
comedy
bxg
highschool
office/work place
love at the first sight
like
intro-logo
Uraian

WARNING 21+

YANG MAKSA BACA, RESIKO TANGGUNG SENDIRI

Randita, wanita 24 tahun seorang content creative, yang memiliki prestasi membanggakan di pekerjaannya dan juga seorang influencer, tanpa sengaja menyenggol bahu seorang pelajar tahun ketiga, bernama Revano. Itu terjadi di lift apartemennya saat ia sedang buru-buru karena terlambat masuk ke kantor. Pertemuan singkat itu ternyata membuat Revano tertarik pada sosok Randita.

Di pertemuan berikutnya, Revano berusaha mendekati Randita dengan cara berkenalan. Randita tidak terlalu menghiraukan Revano, karena baginya Revano hanya pelajar yang sedang iseng. Namun, seiring berjalan waktu karena intensitas pertemuan tanpa sengaja mereka, membuat Randita tahu banyak tentang lelaki itu. Terlebih karena sikap Revano ternyata. lebih dewasa dari pada usianya. Usaha Revano tidak sia-sia saat pada akhirnya Randita menerimanya sebagai pacar.

Akankah perjalanan cinta keduanya lancar? Mengingat bos ditempatnya bekerja juga menyukai Randita.

chap-preview
Pratinjau gratis
First Sight
RANDITA Aku benci harus sibuk di pagi hari karena kebiasaan burukku, kesiangan. Telat bukan daftar agenda harianku, tapi entah kenapa selalu mendominasi pagiku. Sudah terlalu banyak usaha yang aku lakukan.  Mulai dari setting alarm ponsel sampai tiga kali, hingga pasang jam weker kuno pemberian si bos, yang jeritannya bikin gendang telinga serasa mau pecah. Semua tak pernah ada yang sukses membuatku terbangun sebelum matahari nongol. Sepertinya penyakit kesiangan yang aku idap sudah sangat akut. Aku sudah berusaha untuk tidur lebih awal, tapi tetap saja masih kesulitan bangun pagi. Aku tidak akan segusar ini, kalau hari ini tidak ada rapat pagi dengan direktur pemasaran. Kenapa juga sih harus mengadakan rapat sepagi ini? Aku tidak tahu masalahku apa? Apa karena terlalu banyak memikirkan masalah pekerjaan akhir-akhir ini? Otakku dipaksa terus jalan untuk mencari ide kreatif konten-konten iklan yang mengundang banyak respon customer. Perusahaan berencana meluncurkan produk yang memiliki spesifikasi khusus. Sebagai ketua tim marketing, aku harus  menganalisa rencana itu agar bisa membuat strategi untuk menarik konsumen. Aku menyukai pekerjaanku sekarang ini, sangat pas dengan jurusan kuliah dulu. Tapi tetap saja, kadang aku juga merasa lelah. Apalagi kalau ada event-event perusahaan yang menuntut kerja extra dari tim marketing. Aku bergegas memasukkan perlengkapan kerja ke dalam tas, termasuk laptop yang belum sempat aku isi baterenya karena  lupa dan ketiduran. Setelah memastikan tidak ada yang tertinggal, aku keluar unit dan segera menuju lift dengan langkah lebar. Aku merasa kotak besi ini bergerak lebih lambat dari biasanya. Beberapa kali aku menengok arloji. Lima belas menit lagi rapat akan mulai dan aku masih terjebak di dalam lift. Astaga! Aku bisa kena semprot Pak Kevin. Dan saat pintu besi itu terbuka, aku melangkahkan kaki selebar mungkin. Namun karena ketidak hati-hatianku, aku menabrak punggung seseorang di lobi apartemen dengan cukup keras, hingga membuatku terjungkal dan bokongku sukses menghantam lantai. Astaga! Mataku ditaruh di mana hingga manusia setinggi itu aku tabrak? Aku meringis kesakitan saat sebuah tangan terulur tepat di hadapanku. Refleks aku mendongak. Seorang laki-laki berseragam putih abu-abu, dia yang aku tabrak tadi. "Kamu baik-baik aja?" Aku akan baik-baik saja seandainya tidak terjatuh. "Menurutmu?" Aku menyambut uluran tangannya. "Kelihatannya sih baik-baik aja."  Kini kami sudah saling berhadapan. Jadi, pelajar ini yang aku tabrak tadi? Tubuh tingginya seperti bukan pelajar. Wajahnya juga cukup komersil, seandainya dia jadi model iklan produk perusahaanku mungkin cocok. Ya Tuhan, aku mikir apa? Ini sudah sangat terlambat. "Aduh! Sorry buat yang tadi, aku udah telat banget." Aku tidak menghiraukannya lagi dan kembali melangkah cepat keluar lobi. Aku tahu ini nggak sopan. Tapi mau gimana lagi? Aha! Aku masih cukup beruntung karena ada taksi berhenti tepat di depan gedung apartemen. Tanpa pikir panjang, aku segera membuka pintu taksi itu. "Maaf, Mbak. Ini taksi pesanan Mas Revano, kok Mbak yang masuk? Mas Revanonya mana?" Hah? Revano siapa? "Maaf, Pak. Saya nggak kenal Revano, saya sudah sangat telat bisakah Bapak mengantar saya ke kantor?" "Maaf, Mbak. Nggak bisa, taksi ini udah ada yang pesan." Ah sial banget sih. Aku harus mencari taksi lain juga? "Pake aja nggak pa-pa." Aku menoleh, dan mendapati pelajar yang tadi aku tabrak berada di sini. "Ini taksi pesanan kamu?" tanyaku. Dia hanya mengangguk. "Jadi, boleh kupakai taksimu ini?" Lagi-lagi dia hanya mengangguk. "Terima kasih banget ya. Aku harus segera berangkat." Aku langsung saja masuk ke dalam taksi. "Jalan, Pak." Sebelum taksi benar-benar jalan, aku sempatkan menoleh pada pelajar tadi yang masih berdiri di tempatnya. "Sekali lagi terima kasih ya." Ingatkan aku, untuk pesan taksi jika ada rapat pagi seperti ini. Untung saja anak itu mau berbaik hati merelakan taksinya untukku. *** Kebencianku yang kedua, jadi pusat perhatian untuk sesuatu yang tidak membanggakan sama sekali. Sebenarnya aku cuma telat sepuluh menit,  tapi pelototan rekan tim membuatku benar-benar keki. Terlebih lagi manajerku yang matanya sudah nampak hampir meloncat dari tempatnya. "Apa saya perlu mengganti ketua tim?" tanya Pak Kevin. Rapat sudah selesai sepuluh menit yang lalu. Bahkan ideku disetujui oleh direktur. Tapi manajerku malah mau menurunkan jabatanku. Award macam apa itu? "Terserah  Bapak aja sih, bawahan mah cuma bisa nurut apa kata atasan," jawabku asal. "Kamu itu ya. Kebiasaan telat. Jam weker yang saya kasih memang nggak kamu pakai lagi?" "Udah saya loakin, Pak. Suaranya minta dibanting banget." "Randita, kamu benar-benar nguji kesabaran saya terusan." "Padahal saya nggak merasa ngasih soal ujian loh, Pak." "Randita!" Aku buru-buru kabur, sebelum Pak Kevin berseriosa lebih panjang lagi. Seandainya dia bukan bos yang bawel, sumpah aku akan menjadi salah satu fansnya. Wajah tampan Pak Kevin sangat terkenal di gedung ini. "Lo emang gila, masih aja suka usil sama Pak Kevin, gimana doi nggak makin kepincut sama lo?" Kepalaku celingukan, sepertinya ada yang bicara? Tapi mana manusianya? Dan detik berikutnya sebuah gatakan mampir di kepalaku. "Sakit,  woy!" pekikku mengelus kepala. Ini isinya ide brilian, bagaimana bisa si kutu kupret Santi bisa seenaknya ngegatak? "Makanya kalo orang lagi ngomong tuh jangan pura-pura bego." Aku menarik kursi dari kubikelku. Menjatuhkan diri di sana. Ini belum jam sepuluh pagi, tapi kepala dan bokongku sudah menderita. "Kalo omzet perusahaan naik gara-gara ide lo, gue pastiin Pak Kevin bakal ngadain gathering buat kita lagi. Sudah menjadi kewajiban kan kita kecipratan bonus si bos?" Santi menyelipkan sebuah pensil ke lipatan telinganya. Kebiasaannya itu padahal sudah sering bikin dia malu,  tapi masih saja tetap dilakukan. "Kalo emang kita kecipratan bonus si bos, gue sih mending pilih mentahnya aja dari pada buat pergi gathering. Menjadi kaum rebahan dengan duit berlimpah pasti lebih menyenangkan." Mataku memejam membayangkan itu. "Ngayal aja terus. Dasar tukang molor." "Otak gue butuh banyak istirahat biar bisa nemu ide-ide segar. Gathering itu biasanya malah bikin tambah capek. Pulang jalan-jalan bukannya bahagia malah badan pada pegel-pegel semua, belum lagi kantong yang jadi bocor karena di sana apa-apa yang biasa kita beli murah mendadak jadi mahal." "Hah! Lo tuh emang susah ya diajak senang-senang. Makanya cari pacar sih, biar kerjaannya nggak molor terus." "Kalo gue punya pacar, dia ntar gue ajak molor bareng." "Pe'a." "Sepertinya yang jadi pacar lo bakalan beruntung karena diajak 'molor'  bareng terus. Apa gue boleh daftar?" Aku memutar bola mata. Garan. Teman satu timku. Telinganya itu cukup tajam mendengar hal-hal yang berbau nananina. Padahal aku dan Santi nggak lagi bahas itu. Otak mesumnya kadang memang perlu disterilkan. "Lo tenang aja, Randita. Sama gue, lo bakal selalu terpuaskan." Sintingkan? Aku nggak yakin sih, tapi katanya dia selalu membuat pasangan one night stand-nya nagih minta ditiduri. Astaga! Nggak jelas banget sih ngomongin si berengsek Garan. "Sorry, makasih.  Gue mending terpuaskan orang lain daripada sama rekan kerja sendiri." Sebenarnya aku asal bicara saja, tapi  Santi langsung tersedak. Dia terbatuk-batuk hingga mukanya memerah. Garan langsung mendekat dan memukul-mukul pelan punggungnya. "Hati-hati dong, San." Aku bisa melihat keengganan Santi, saat tangan Garan menyentuhnya. Aku buru-buru menyodorkan minuman untuknya, yang kemudian langsung dia teguk. "Gila, gue kesedak permen,"  katanya setelah merasa baikkan. "Norak banget. Kenapa juga pake acara kesedak?" Santi menatapku sebal. Tapi, aku pura-pura tidak peduli dan si otak m***m menyeringai. "Bicara soal terpuaskan apa lo mas--" "Diem lo!" Garan langsung diam mendapat bentakan Santi. "Ini masih pagi ya gaes, kalian jangan bahas yang enggak-enggak. Garan, mending lo balik ke meja lo sana gih. Nimbrung aja." "Oke, oke, gue juga mau bikin kopi ke pantry." Laki-laki itu berlalu. Bentakan Santi mujarab juga. Kalau tidak di-stop, aku yakin omongan Garan memang tambah ngawur kemana-mana. Tapi tidak biasanya juga Santi mengusir Garan seperti tadi.

editor-pick
Dreame-Pilihan editor

bc

Network Love

read
93.6K
bc

Enemy From The Heaven (Indonesia)

read
61.4K
bc

No Escape, Honey (BAHASA INDONESIA)

read
18.3K
bc

Symphony

read
181.5K
bc

Crazy In Love

read
406.7K
bc

Hidden Love

read
26.3K
bc

Playboy Tanggung Dan Cewek Gesrek

read
466.8K

Pindai untuk mengunduh app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook